Bab 5
Mama memeluk papa dengan erat, sambil mencoba menetralisir perasaan dalam dadanya yang kelihatan semakin menyesakkan. Beberapa kali mengatur nafas akhirnya mama mulai bicara.
“Maya pa..,” mama mengulangi ucapannya dalam dekapan papa.“Iya ma, maya kenapa? Bilang sama papa pelan-pelan,” sahut papa dengan penuh kelembutan.“Maya minta semuanya mengikhlaskan maya, dan membiarkan anaknya hidup pa. Hu..hu..hu..” Tangis mama semakin menjadi.“Maya..,” gumam papa dengan nada lemas.Ya Allah kak maya, kenapa kamu mengambil keputusan ini kak? Kedua bahuku serasa ditimpa batu besar, ini berat sekali ujianMU Ya Allah. Mama menenggelamkan wajahnya dibahu papa, dan papa beberapa kali terlihat mengusap sudut matanya. Begitu pun tante indri dan om surya, mereka tampak sedih memikirkan nasib menantunya.Kami memang mengharapkan kehadiran cucu pertama bagi orang tua kami, tapi bukan berarti kami harus membiarkan kak maya mengambil keputusan itu. Ini rumah sakit berstandart internasional pasti dokter akan mengupayakan untuk kesembuhan kak maya tanpa memilih nyawa salah satu dari mereka. Beberapa orang berpakaian suster yang lewat didepan kami semua menunjukkan raut wajah yang sedih dan juga kasihan. Bagaimana tidak kasihan, kami semua duduk tanpa alas di lantai rumah sakit dengan menyandarkan punggung di dinding rumah sakit. Menangisi segala kejadian hari ini.Selang sepuluh menit kak vano keluar dengan mata yang sembab, aku jadi teringat ketika dia bersimpuh dihadapan mama dan meminta maaf. Dia menyalahkan dirinya sendiri akan keadaan kak maya. Kak vano juga terluka disini, wajah dinginnya berubah menjadi wajah paling nelangsa disini. Kak vano duduk berjongkok didepan orang tuanya sebelum melangkah ke arah mama. Dia meminta izin pada mama untuk mengabulkan permintaan kak maya. Mama mengangguk pasrah dengan keputusan kak maya. Setelah meminta izin pada orang tuaku, kak vano gegas berjalan menuju ruangan dokter Anisa dengan langkah gontai. Kami tahu keputusan kak maya membuat kami takut akan kehilangan meski dokter bilang akan mengupayakan semampu tenaga mereka untuk tetap menyelamatkan ibu dan bayinya. Semoga saja keputusan kak maya membawa kebaikan untuk kita semua.****
Dua wanita berpakaian suster masuk ke dalam ruangan ICU. Tak lama kemudian ranjang yang ditempati kak maya didorong oleh dua suster tadi bersamaan dengan Dokter Anisa dan kak vano yang berjalan tergesa dari arah yang berlawanan. Dokter anisa menyampaikan akan segera melakukan operasi ceasar pada kak maya walaupun kandungan kak maya masih menginjak di hitungan tujuh bulan. Tapi itu semua dilakukan untuk mencegah hal yang lebih fatal terjadi. Kami pasrah kepada dokter di rumah sakit ini, kami yakin bahwa mereka akan mengusahakan yang terbaik untuk kak maya.
Kak maya terbaring di ranjang dengan mata yang tertutup tapi sungguh itu tak mengurangi sedikit pun kadar kecantikannya. Kak maya.. kak maya pasti kuat menghadapi ini semua, kita semua disini ada untuk kak maya, batinku dalam hati dengan netraku yang tetap memandang kak maya di ranjang yang telah didorong suster. Kami semua berjalan mengiringi kak maya menuju ruang operasi. Drrtt...drrttt...drrtt..Ponsel yang ada di dalam tas kecilku terasa bergetar, segera aku ambil untuk melihat siapa yang menelpon.Pak Fikri is calling Dahiku seketika mengernyit, pak fikri telpon? Ada apa? Segera aku menggeser tombol telpon warna hijau.“Hallo, Assalamu’alaikum Bu Delina,” suara pak fikri terdengar dari seberang sana.“Walaikumsalam pak,” jawabku.“Bu, gimana perkembangan keadaan mbak maya?”Aku sedikit tercengang, pak fikri perhatian sekali pada keluargaku, pikirku. Segera ku jawab pertanyaan pak fikri, karena beliau pasti menunggu kabar juga.“Kak Maya sedang di operasi ceasar pak, kak maya kekeuh mempertahankan bayinya,” jawabku.“Ya Allah Bu, semoga semua berjalan lancar ya.”“Terima kasih pak fikri, ohya pak fikri udah sampai rumah?” tanyaku.“Alhamdulillah sudah bu, sampai dengan selamat hehehe. Bu delina yang sabar dan tabah ya bu,” ucap pak fikri.“Baik pak, terima kasih banyak.”Setelah sambungan telpon terputus, aku segera memasukkan ponsel ke dalam tas dan menghampiri mama. Menggenggam tangan mama untuk menyalurkan kekuatan, aku tahu mama sangat menyayangi anak-anaknya.****
Dua jam sudah pintu ruang operasi tertutup, kami semua cemas berada di luar ruangan. Kenapa lama sekali operasinya? Mama sudah kelihatan tidak sabar terlihat dari tadi mama mondar mandir didepan pintu ruangan. Tahu rasanya menunggu kan? Apalagi menunggu dalam keadaan yang seperti ini.
Pintu ruangan operasi terbuka, disusul dengan tangis bayi terdengar dari dalam. Ya Allah, itukah suara bayi kak maya. Dokter anisa keluar, kami semua segera menghampiri. “Bapak Ibu sekalian, Alhamdulillah anak Bu Maya bisa diselamatkan. Jenis kelaminnya perempuan, tapi bayinya keadaannya premature, kami akan mengusahakan perawatan untuk putri bu Maya,” ucap dokter anisa.“Alhamdulillah, lalu keadaan anak saya bagaimana dokter?” mama memburu pertanyaan dengan tidak sabar kepada dokter maya.“Mohon maaf kami sampaikan untuk keadaan Bu maya sendiri saat ini masih sangat kritis, beliau kehilangan banyak darah,” jelasnya.“Ya Allah mayaaa...” Tangis mama pun pecah pada akhirnya.“Yang sabar Bu, kami disini akan mengupayakan yang terbaik untuk keadaan Bu Maya. Doakan saja bu Pak untuk kebaikan bu maya, saya permisi dulu ya bu pak," ucap dokter anisa dengan senyuman tipis dan melangkah menuju ruang lain.Sesak hati ini tidak bisa dihindarkan lagi, ketakutan akan kehilangan kak maya semakin jelas tergambar. Kami hanya bisa berharap ada mukjizat dari Allah untuk kami semua. Bagaimana dengan bayi kak maya yang pasti membutuhkan sosok mamanya, bagaimana dengan kak vano yang nantinya akan ditinggal oleh istri tercinta. Bagaimana denganku yang belum pernah terbayang sedikitpun untuk kehilangan kak maya. Terutama bagaimana dengan mama dan papa, yang pasti sangat terpukul dengan ini semua. Kak maya adalah sosok anak perempuan mereka yang besar dan membanggakan bagi kami semua. Beberapa suster bolak balik keluar masuk ruangan kak maya melewati kami begitu saja. Ada yang membawa peralatan medis, ada yang membawa sesuatu yang aku tahu itu adalah darah mungkin untuk transfusi kak maya. Tapi yang menyita perhatianku bukan keluar masuknya mereka, melainkan raut wajah mereka. Seperti tersirat kekhawatiran dan kecemasan yang luar biasa. Salah satu dari suster sempat menyunggingkan senyum ke arahku, dari sorot matanya seperti mengatakan berdoa saja dan yang tabah. Oh Allah,Bab 6Aura ketegangan masih menyelimuti kami, dengan di dominasi kecemasan. Salah satu suster membuka pintu, dan melangkah ke arah kami mungkin akan memberikan informasi mengenai kak maya.“Mohon maaf, disini ada yang bernama Delina?” ucap suster tadi.Dahiku mengernyit, kenapa suster menanyakan aku?“Iya, saya sus. Ada apa ya?” jawabku.“Bu maya ingin bertemu dengan anda bu," ucapnya.“Baik sus.”Aku berpamitan pada mama dan papa, dan lansung mengikuti langkah suster masuk ke dalam ruangan, tapi batinku bertanya ada apa kak maya ingin bertemu denganku?Hatiku mencelus ketika melihat kondisi kak maya, inikah kakak cantikku? Raut wajah lemas dengan selang oksigen bersarang di hidungnya. Hatiku rasanya tak kuasa melihatnya, sakitnya sungguh luar
Bab 7Keesokan harinya aku meminta izin kepada dokter untuk pulang ditemani oleh pak fikri karena pemakaman kak maya dilaksanakan pagi ini. Hatiku tersentuh ketika pak fikri selalu ada untukku, memberi perhatian, menenangkan dan juga rela menemaniku semalaman di rumah sakit demi perkembangan si kecil yang ada di ruangan bayi.Setelah aku mendapatkan izin dari dokter dan beliau mengatakan bahwa kalau perkembangan sekecil apapun mengenai putri kak maya akan segera beliau informasikan. Aku berjalan beriringan dengan pak fikri menuju parkir di area basement rumah sakit. Keheningan menyelimuti kami, karena aku ingin segera pulang dan membantu mengurus pemakaman kak maya.Sesampainya di mobil, pak fikri segera menjalankan mobilnya dengan kecepatan sedang. Aku lebih memilih berkonsentrasi melihat jalanan, tapi aku bi
Bab 8Besoknya aku perlu memastikan dulu keadaan mama sebelum aku tinggal berangkat mengajar. Mama bersikeras menyuruhku berangkat ke sekolahan, supaya tidak kepikiran mak maya. Tapi justru aku yang takut mama masih kepikiran almarhumah anak cantiknya itu. Aku keluar dari kamar mama dan berpapasan dengan papa yang mau masuk kamar. Aku melirik jam dinding yang terletak di ruang tengah, jam menunjukkan pukul 06.15. Tumben papa jam segini masih memakai celana pendek dan kaus oblong, apa papa masih meliburkan diri dari kantor.“Pa, masih libur?” tanyaku yang spontan menghentikan langkah Papa.“Iya Del, Papa masih izin libur. Kasihan mamamu kalau Papa tinggal pasti sendirian, semalem mamamu mimpi almarhumah kakakmu del. Akhirnya dia nangis sampai mau shubuh,” jelas papa sambil
Bab 9Aku tetap menjalani hidup seperti biasa dua hari ini, seperti sore ini aku pulang mengajar menjelang senja. Aku selalu menikmati pemandangan senja dari motor yang aku kendarai. Tidak berhenti-berhenti untuk mengagumi ciptaanNYA yang sangat indah. Ketika di perempatan lampu merah ada sesuatu yang membuat hati ini terenyuh. Ada bocah perempuan kecil berumur sekitar sembilan tahun an sibuk menjajakan donat yang dia bawa dalam keranjang plastiknya, terlihat masih banyak donat. Aku melambaikan tangan padanya, menyuruhnya mendekat kearahku selagi lampu merah masih menyala.“Mau donat kak?” tawarnya menatapku, aku menatap lampu merah sekali lagi ternyata sudah mau lampu hijau.“Dek, tunggu kakak di seberang jalan sana ya. Ini sudah mau lampu hijau, nanti kakak beli donatny
Bab 10Pagi ini kami sekeluarga berangkat ke rumah sakit untuk membawa alea pulang. Kami berangkat menggunakan mobil papa. Rasanya bahagia Allah telah mengabulkan doa-doa kami semua untuk kesehatan alea. Karena hanya alea kenang-kenangan dari almarhumah kak maya yang bisa kami lihat setiap saat. Papa mengendarai mobil dengan tenang karena suasana jalanan yang lumayan lenggang. Aku libur karena hari ini tidak ada jadwalku mengajar, jadi aku bisa sekalian menjemput alea. Aku masih ingat kemarin waktu aku ke rumah sakit mata alea sudah terbuka, dia menatapku lama seolah mengajak bicara. Mama menolehku dari kursi depan karena beliau tahu dari tadi aku tersenyum. Itu membuatnya menggelengkan kepala karenaku.Di setiap perempatan lampu merah aku selalu celingukan menoleh kanan dan kiri, berharap bertemu dengan sifa. Tapi sepertinya anak itu tidak ada, ap
Bab 11Setelah dari kamar mandi aku bergegas untuk membuka bingkisan dari tante indri. Ternyata sebuah kerudung berwarna putih polos dengan sedikit payet di tepinya, bagus sekali. Aku menemukan notes kecil didalam paper bag, ada-ada saja tante indri ini.Nak Delina,Pakai kerudung ini saat prosesi Akad Nikah dengan Vano ya. Ini kerudung yang Tante pakai dulu saat Akad Nikah dengan Om kamu.Ohya, mulai sekarang biasakan manggil Tante dengan sebutan Bunda dan Om dengan sebutan Ayah ya Nak. Karena kamu calon menantu Bunda.Salam hangat,IndrigianaAku memeluk kerudung putih tadi dengan rasa yang sangat terharu. Aku merasakan begitu besar pengharapan tante indri dengan pernikahan ini. Aku merapikan kerudung dan menaruhnya di lemari pakaian berjajar dengan baju pengantin sederhana yang telah aku pesan beberapa h
Bab 12Akad nikah berjalan dengan lancar, serangkaian acara yang digelar pun semua lancar. Tampak mama dan papa sangat bahagia dengan cucu mereka ada di gendongan mama. Alea sepertinya sudah mengerti bahwa hari ini adalah hari bersejarah untuk mama keduanya, sehingga dari tadi pagi dia tampak anteng, tidak rewel sedikit pun walau pun keadaan sekitar lumayan ramai. Aku menatap ayah dan bunda, mertuaku itu tampak bahagia sekali. Pandanganku terhenti pada kak vano yang sedang mengobrol di pojok ruangan bersama beberapa kerabat tampak begitu tampan di mataku, tapi raut keterpaksaannya nampak sekali di wajahnya. Aku ingin berbicara berdua setelah dengannya setelah ini.Beberapa rekan guru terlihat berdatangan walau mereka sedikit telat. Mereka terlihat ikut larut dalam kebahagiaan ini. Aku sengaja melakukan akad nikah di har
Bab 13Setelah beberapa saat termenung memikirkan raut wajah konyolku baru saja, aku dikagetkan dengan suara tangis alea. Dia mengompol ternyata, aku segera mencari popok yang bersih di keranjang dan mengganti popok anak cantikku ini. Aku berpikir alea adalah malaikat kecil bagiku, dia begitu mengerti keadaan sekitar. Bahkan dia mungkin bisa memahami bahwa mama kandungnya sudah lebih dulu meninggalkannya. Aku menggendongnya dan aku timang pelan-pelan agar tangisnya reda. Apa kak vano tidak merasakan kalau anaknya menangis di kamar ini, dia seperti terlihat menghindari anaknya sendiri. Aku tahu mungkin kak vano masih di selimuti bayang-bayang kak maya, tapi apa harus alea juga yang menanggungnya?Aku melangkah keluar kamar untuk menemui mama dengan menggendong alea yang sudah berhenti menangis. Aku berjalan ke arah dapur mencari mama ternyata tidak ada, papa juga tidak ada. Aku putar arah melangkah ke luar rumah mungkin mama di teras sore-sore begini. Tapi ketika di teras
Bab 20“Alea mandi dulu ya, Nak. Biar makin cantik,” ucapku pada Alea yang terlihat menghisap jempolnya.Pukul 08.30 aku telah selesai memandikan Alea dan aku sendiri juga sudah mandi. Aku membawa Alea ke teras dengan baby strollernya, bibir mungilnya terlihat mengecap-ngecap sesuatu. Aroma khas bayi pun menguar ketika aku mendorong baby strollernya.Sampai teras aku menaruh baby stroller di dekat kursi dan aku mengambil selang air, beberapa tanaman tanpa hampir mengering. Mungkin Mas Vano tidak sempat melakukan ini semua, pikirku. Dengan telaten tanganku mulai membersihkan daun-daun yang rontok dan aku menyapunya.“Wah, rajin sekali, Bu,” ucap seorang ibu yang mengagetkanku. Aku menoleh ke arah sumber suara ternyata Bu Sri yang aku temui di tempat penjual sayur tadi pagi.“Iya Bu S
Bab 19Aku menaruh Alea pada baby stroller dan merapikan bajunya. Dia terlihat memainkan mulutnya sendiri dan menggenggam ujung bajunya, menggemaskan sekali kamu Nak, pikirku."Anak mama tiduran di sini dulu ya, Mama mau makan sebentar ya, Nak," ucapku sambil mendorong baby stroller mendekati meja makan.Aku mendudukkan diriku di kursi lalu mulai memakan nasi yang tadi sudah aku ambil. Satu suapan, dua suapan masuk dalam mulut tapi aku termenung memikirkan Mas Vano lagi. Beberapa waktu lalu sudah teralihkan tapi malah sekarang kepikiran lagi saat aku menyantap masakanku yang harusnya ini juga dinikmati oleh lidah Mas Vano."Kenapa Mas? Kenapa kamu tidak bisa menghargai usahaku sedikit saja," ucapku sendirian dengan terus menyuap nasi pada mulutku.Beberapa saat kemudian ponsel yang aku kantongi be
Bab 18Aku berjalan gontai menuju kamar utama dengan sesekali tanganku masih menyusut air mata yang terus menetes. Kenapa mas Vano sama sekali belum menerimaku di rumah ini. Terdengar tangis Alea nyaring di telinga ketika aku hampir menyentuh gagang pintu. Lalu aku segera membuka pintu, anakku terlihat menangis dengan keras seolah ikut merasakan sesak yang ada di hati mamanya.Alea masih terus saja menangis ketika aku mengganti popoknya yang sudah basah. Lalu aku menggendongnya dengan penuh kelembutan dan menimang-nimangnya supaya tangisnya terhenti. Aku membawa Alea keluar kamar, tak lupa aku meraih ponselku yang tergeletak di atas nakas mungkin saja nanti aku ingin menghubungi seseorang.Langkahku terus saja menuju dapur dengan menggendong Alea, aku meraih satu panci agak besar yang ada di rak lalu aku isi air dan merebusnya untuk air mandinya Alea. Tak lupa aku mengambil satu panci lagi yang kecil untuk aku gunakan merebus air guna membuat susunya A
Bab 17 Tepat pukul 21.00 aku mendengar deru mobil masuk ke dalam halaman rumah. Aku yang tadi sempat merebahkan diri di samping Alea gegas turun dari ranjang. Tanganku menyalakan sakelar lampu ruang tengah tamu. Aku berjalan perlahan sambil memijit kepalaku yang terasa agak pening. Aku menuju pintu depan supaya mas Vano tidak terlalu lama menunggu. Terdengar ketukan dari pintu depan, aku segera membukanya. Mas Vano langsung masuk ke dalam rumah setelah pintu berhasil terbuka dan mengucap salam. Aku menutup pintu kembali dan menguncinya lalu ikut masuk ke dalam di mana mas Vano berada. Terlihat dia sedang duduk di ruang tengah sambil mengendurkan dasi miliknya. Aku berjalan ke dapur untuk membuatkan minuman hangat untuk suamiku. Aku sedikit heran, dia pulang malam tapi kenapa bau parfum mas Vano masih sangat menyengat. Namun di sisi lain dia terlihat seperti kelelahan. Aku mempercepat gerakanku membuat teh hangat. Setelah selesai aku segera membawa
Bab 16Jam dinding menunjukkan pukul 04.00 ketika aku membuka mata. Aku merenggangkan otot sejenak dan melirik Alea yang masih berbaring dengan tenang. Aku menurunkan kakiku dari ranjang, mataku memandang sekeliling kamar tapi tidak aku temukan kak Vano berada di dalam kamar. Aku beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan badan dan menunaikan sholat subuh.Alea terlihat menggeliat pelan saat aku telah selesai melipat mukena. Aku menenangkannya sebentar supaya tertidur lagi. Ku rasakan dia tenang kembali, aku menggeser badanku pelan-pelan untuk turun dari pembaringan. Aku membuka handle pintu dengan sangat pelan agar Alea tidak terganggu tidurnya dan mencari keberadaan kak Vano.Mataku membelalak melihat suamiku tidur dengan menyandar pada sofa ruang tengah, di depannya terdapat tumpukan kertas berkas mahasiswanya.“Kak Vano,” ucapku membangunkannya dengan menyentuh ujung sikunya.“Kak,” aku mengulangi ucapanku.
Bab 15Cahaya mentari pagi menerobos masuk ke dalam kamar melalui jendela yang sudah terbuka. Aku menyipitkan mata dan mengerjap menyadari ini sudah pagi. Aku melirik sofa tempat kak Vano tidur semalam, kosong. Bantal dan selimutnya sudah tertata rapi di ranjang. Ke mana dia, kenapa dia tidak membangunkanku. Aku menyibakkan selimut lalu merapikannya, dan segera mandi.Lima belas menit kemudian aku selesai dan mematut diriku di cermin. Aku memakai daster berbahan kaos dengan lengan sepanjang siku dan panjang di bawah lutut. Aku terbiasa memakai daster ketika di rumah, toh tak apa karena yang melihat hanya keluargaku sendiri. Aku membuka pintu kamar untuk membantu mama di dapur. Ketika melewati ruang makan ternyata sudah tertata rapi makanan yang sudah disiapkan mama untuk sarapan pagi ini. Aku bangun kesiangan, sungguh tak sadar ketika pagi menyapa. Mungkin ini juga efek acara kemarin yang melelahkan dan beberapa kejadian yang membuatku berpikir keras.Aku mela
Bab 14Pembicaraan mama dan Sifa terhenti saat ada pelayan yang membawakan makanan untuk kami. Aku memesan tiga porsi nasi padang dengan lauk ikan mujair dan juga tiga gelas es teh manis. Kami menikmati makan dalam diam. Tapi sedari tadi aku melihat mama juga tengah memandang Sifa dengan dalam. Ada apa sebenarnya? Apa ada hubungannya dengan ibunya Sifa? Karena pada saat Sifa menyebutkan nama ibunya beliau terlihat kaget. Teka teki apa lagi ini. Aku berencana untuk mengantar Sifa pulang sampai rumahnya supaya semua jelas.Setelah kami bertiga selesai makan aku memesankan makanan untuk Sifa biar dibawa pulang buat ibunya. Aku melirik mama dari meja kasir, beliau tampak memperhatikan Sifa dengan menatap dalam. Aku membayar dan kembali ke meja dengan membawa bungkusan nasi untuk Sifa. Kami segera keluar menuju parkir.“Sifa, kakak anter sampai ke rumah ya?” Pintaku padanya.“Gak usah kak, aku jalan kaki aja terima kasih,” ucapnya.
Bab 13Setelah beberapa saat termenung memikirkan raut wajah konyolku baru saja, aku dikagetkan dengan suara tangis alea. Dia mengompol ternyata, aku segera mencari popok yang bersih di keranjang dan mengganti popok anak cantikku ini. Aku berpikir alea adalah malaikat kecil bagiku, dia begitu mengerti keadaan sekitar. Bahkan dia mungkin bisa memahami bahwa mama kandungnya sudah lebih dulu meninggalkannya. Aku menggendongnya dan aku timang pelan-pelan agar tangisnya reda. Apa kak vano tidak merasakan kalau anaknya menangis di kamar ini, dia seperti terlihat menghindari anaknya sendiri. Aku tahu mungkin kak vano masih di selimuti bayang-bayang kak maya, tapi apa harus alea juga yang menanggungnya?Aku melangkah keluar kamar untuk menemui mama dengan menggendong alea yang sudah berhenti menangis. Aku berjalan ke arah dapur mencari mama ternyata tidak ada, papa juga tidak ada. Aku putar arah melangkah ke luar rumah mungkin mama di teras sore-sore begini. Tapi ketika di teras
Bab 12Akad nikah berjalan dengan lancar, serangkaian acara yang digelar pun semua lancar. Tampak mama dan papa sangat bahagia dengan cucu mereka ada di gendongan mama. Alea sepertinya sudah mengerti bahwa hari ini adalah hari bersejarah untuk mama keduanya, sehingga dari tadi pagi dia tampak anteng, tidak rewel sedikit pun walau pun keadaan sekitar lumayan ramai. Aku menatap ayah dan bunda, mertuaku itu tampak bahagia sekali. Pandanganku terhenti pada kak vano yang sedang mengobrol di pojok ruangan bersama beberapa kerabat tampak begitu tampan di mataku, tapi raut keterpaksaannya nampak sekali di wajahnya. Aku ingin berbicara berdua setelah dengannya setelah ini.Beberapa rekan guru terlihat berdatangan walau mereka sedikit telat. Mereka terlihat ikut larut dalam kebahagiaan ini. Aku sengaja melakukan akad nikah di har