Share

Pemakaman

Penulis: Pratiwi
last update Terakhir Diperbarui: 2021-08-15 20:36:34

                               Bab 7

Keesokan harinya aku meminta izin kepada dokter untuk pulang ditemani oleh pak fikri karena pemakaman kak maya dilaksanakan pagi ini. Hatiku tersentuh ketika pak fikri selalu ada untukku, memberi perhatian, menenangkan dan juga rela menemaniku semalaman di rumah sakit demi perkembangan si kecil yang ada di ruangan bayi.

Setelah aku mendapatkan izin dari dokter dan beliau mengatakan bahwa kalau perkembangan sekecil apapun mengenai putri kak maya akan segera beliau informasikan. Aku berjalan beriringan dengan pak fikri menuju parkir di area basement rumah sakit. Keheningan menyelimuti kami, karena aku ingin segera pulang dan membantu mengurus pemakaman kak maya. 

Sesampainya di mobil, pak fikri segera menjalankan mobilnya dengan kecepatan sedang. Aku lebih memilih berkonsentrasi melihat jalanan, tapi aku bisa menangkap dari ekor mataku kalau pak fikri sebentar-sebentar mengamati aku dari samping. Aku bisa mengerti akan tatapan itu, mungkin dia ingin kita ada pembicaraan.

“Pak Fikri terima kasih karena telah banyak membantu saya dengan kejadian ini, dan menemani saya semalaman di rumah sakit,” ucapku memecah keheningan.

“Sama-sama Bu Delina, dengan senang hati saya menemani Ibu, karena itu sudah tugas saya," jelasnya dari balik kemudi mobil. Dahiku mengernyit, apa maksud dari perkataan pak fikri barusan yang dia bilang kalau menemaniku adalah tugasnya.

“Maksud pak fikri apa ya?”

“Emmm.. Maaf sebelumnya Bu, saya menyukai Bu Delina sejak beberapa bulan yang lalu. Saya berniat menjadikan Bu Delina pendamping hidup saya,” jelasnya. Aku terkejut mendengar pengakuan pak fikri, hingga tanpa sadar mulutku sedikit terbuka dibuatnya.

“Maaf Pak, saya belum ingin membahas itu sekarang. Pak Fikri kendalikan saja mobilnya dengan hati-hati karena saya ingin cepat sampai di rumah dan mengurus pemakaman Kak Maya,” tukasku seketika.

“Baik Bu Delina.”

Aku mengalihkan wajah menatap kaca jendela mobil di samping kiriku, pikiranku kembali menerawang pada ucapan pak fikri dan permintaan kak maya semalam untuk menikah dengan suaminya. Apa aku bisa mengabulkan permintaan kak maya dan menikah dengan kakak iparku sendiri? Atau aku terima saja pak fikri dan mengabaikan permintaan kak maya?. Aku menghela napas panjang, kenapa semua jadi rumit seperti ini.

Semakin aku memikirkan hal itu kepalaku terasa semakin pening, ku sandarkan kepalaku di sandaran kursi dan mulai memejamkan mata. Sempat aku melirik Pak fikri sekilas, dia mengemudikan mobil dengan raut wajah yang kecewa sepertinya. Saya mohon maaf pak, saya masih bingung dengan semua ini, batinku dalam hati.

****

Mobil berbelok ke arah halaman mungil rumahku, disana sudah terdapat beberapa kursi yang tertata rapi di halaman dan ada beberapa bapak-bapak yang bertakziah. Di depan pagar terdapat bendera kuning yang menancap, dan mayoritas orang-orang mengenakan pakaian serba hitam khas berduka. Seketika suasana duka menyergap di dalam hati, memori tentang kenangan bersama kak maya tiba-tiba saja muncul memenuhi pikiran, hatiku sesak melihat ini semua.

Aku membuka pintu mobil, berjalan sedikit membungkukkan badan untuk menghormati para bapak-bapak. Salah satu diantara mereka berdiri dan menghampiriku, mengucapkan beberapa kata bela sungkawa. Aku tersenyum tipis dan segera menarik diri untuk masuk ke dalam rumah. Ruang tamu sudah dipenuhi ibu-ibu yang mengaji mengelilingi jenazah kak maya. Mama berada tepat disamping kepala kak kaya dengan bersandar di salah satu kerabat kami. Aku melewati mereka dan langsung masuk ke kamar untuk mengganti baju, karena sejak kemarin aku belum sempat ganti baju sehelai pun.

Aku mengganti baju dengan kecepatan kilat, dan duduk persis disamping mama. Memeluknya, merasakan bahu mama terguncang dengan kencang.

“Sudah Ma, kita ikhlaskan Kak Maya ya. Biarkan dia pergi dengan tenang, kita doakan saja supaya Kak Maya diterima disisiNYA," ucapku dengan tangan mengusap punggung mama dengan lembut.

“Tapi mama belum siap kehilangan Maya Del.”

“Iya Ma, Delina paham. Tapi Allah lebih sayang Kak Maya, kalau Mama kangen sama Kak Maya bilang Delina nanti langsung Delina anter ke makamnya Kak Maya ya.” Aku mencoba menghibur mama dengan sebisaku sembari mengusap air mataku sendiri. Aku harus tegar, aku harus kuat. Karena mama butuh aku untuk menguatkan.

“Janji ya Del.”

“Iya Ma, Delina Janji”

Aku menatap tubuh kak maya yang diselimuti kain batik, dan dibagian wajahnya ditutup oleh kain putih transparan. Senyum di bibir kak maya tertangkap olehku, pasti dia sudah bahagia, sudah tidak merasakan sakit lagi. Aku janji kak akan menjaga mama dan papa, dan juga alea putri kakak. Sekali lagi aku mengusap air mataku yang hampir jatuh dan mengeratkan pelukan mama.

****

Semua orang telah meninggalkan area pemakaman satu persatu, kak vano baru saja juga meninggalkan pemakaman dengan dipapah bundanya. Raut kesedihan menghiasi wajahnya sejak kemarin, aku tahu ini terlalu cepat baginya. Ditinggal selamanya oleh istri tercinta, dengan meninggalkan seorang putri. Sorot mata yang biasanya kulihat dingin itu sekarang berganti dengan sorot mata kosong.

Mama masih memeluk nisan yang bertuliskan nama MAYA FEBRIANTI seolah yang dipeluknya adalah sosok anaknya yang sudah tenang di alam sana. Papa pun masih berjongkok dan menaburkan beberapa bunga yang dibawa dalam keranjangnya. Aku membiarkan mama menuntaskan kesedihannya di sini untuk yang terakhir kali. Aku mengambil beberapa bunga dari keranjang dan menaburkan di pusara makam kak maya.

“Ma, pulang yuk," ajakku.

“Bentar Del, mama masih ingin peluk Maya,” jawab mama semakin mengeratkan pelukan batu nisan.

“Ya sudah, lima menit lagi kita pulang ya,” ucapku mencoba memenuhi keinginan mama.    Aku berjanji dalam hati akan selalu membahagiakan mama dan papa. Papa mengusap punggung mama dengan lembut untuk menenangkan mama yang masih terisak. Aku mengedarkan pandangan ke area sekitar makam, sunyi dan sepi yang terlihat hanya hamparan batu nisan berjajar. Berada di pemakaman semakin menyadarkanku bahwa manusia hidup di dunia hanya sementara, tujuan terakhir tetaplah di alam akhirat. Ini adalah beberapa alam yang kita lalui sebelum akhirnya nanti kita akan berada di alam yang kekal. Sungguh KuasaMU Agung sekali wahai Rabb-ku.

“Ma, udah lima menit loh. Pulang yuk, kita doakan saja ya ma biar Kak Maya tenang di sana,” ucapku setengah membujuk mama.

“Iya Ma, kita harus ikhlas. Kita memang menyayangi Maya ma, tapi Allah lebih sayang sama Maya. Kan sekarang dia udah gak ngerasain sakit lagi,” papa juga menimpali ucapanku dengan kata-kata yang menenangkan mama.

“Iya, Pa.”

“Maya, mama pulang dulu ya Nak, kamu yang tenang di sana. Kalau mama kangen pasti mama akan ke sini nemuin Maya ya," ucap mama dilanjutkan dengan mencium lama batu nisan almarhumah kak maya.

Kami melangkah menjauh dari makam kak maya menuju mobil, sekali lagi aku menoleh ke arah makam untuk salam perpisahan terakhir pada kak maya. Jangan khawatir kak, Insya Allah mama sama papa aman denganku. 

Kami memasuki mobil, aku berada di samping kemudi dengan papa yang mengemudi dan mama berada di kursi belakang supaya beliau bisa beristirahat barang sejenak. Aku ingin memejamkan mata sebentar tapi justru permintaan kak maya semalam kembali terngiang di telingaku. Sungguh, aku berada dalam kebingungan yang sulit. Haruskah aku beritahu mama tentang permintaan kak maya, tapi mengingat kondisi mama yang masih lemah aku harus mengubur ingatan tentang ucapan kak maya.

Bagaimana bisa kak maya punya pemikiran seperti itu?

Bab terkait

  • Turun Ranjang   Bimbang

    Bab 8Besoknya aku perlu memastikan dulu keadaan mama sebelum aku tinggal berangkat mengajar. Mama bersikeras menyuruhku berangkat ke sekolahan, supaya tidak kepikiran mak maya. Tapi justru aku yang takut mama masih kepikiran almarhumah anak cantiknya itu. Aku keluar dari kamar mama dan berpapasan dengan papa yang mau masuk kamar. Aku melirik jam dinding yang terletak di ruang tengah, jam menunjukkan pukul 06.15. Tumben papa jam segini masih memakai celana pendek dan kaus oblong, apa papa masih meliburkan diri dari kantor.“Pa, masih libur?” tanyaku yang spontan menghentikan langkah Papa.“Iya Del, Papa masih izin libur. Kasihan mamamu kalau Papa tinggal pasti sendirian, semalem mamamu mimpi almarhumah kakakmu del. Akhirnya dia nangis sampai mau shubuh,” jelas papa sambil

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-18
  • Turun Ranjang   Demi si kecil

    Bab 9Aku tetap menjalani hidup seperti biasa dua hari ini, seperti sore ini aku pulang mengajar menjelang senja. Aku selalu menikmati pemandangan senja dari motor yang aku kendarai. Tidak berhenti-berhenti untuk mengagumi ciptaanNYA yang sangat indah. Ketika di perempatan lampu merah ada sesuatu yang membuat hati ini terenyuh. Ada bocah perempuan kecil berumur sekitar sembilan tahun an sibuk menjajakan donat yang dia bawa dalam keranjang plastiknya, terlihat masih banyak donat. Aku melambaikan tangan padanya, menyuruhnya mendekat kearahku selagi lampu merah masih menyala.“Mau donat kak?” tawarnya menatapku, aku menatap lampu merah sekali lagi ternyata sudah mau lampu hijau.“Dek, tunggu kakak di seberang jalan sana ya. Ini sudah mau lampu hijau, nanti kakak beli donatny

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-20
  • Turun Ranjang   Menjemput si kecil

    Bab 10Pagi ini kami sekeluarga berangkat ke rumah sakit untuk membawa alea pulang. Kami berangkat menggunakan mobil papa. Rasanya bahagia Allah telah mengabulkan doa-doa kami semua untuk kesehatan alea. Karena hanya alea kenang-kenangan dari almarhumah kak maya yang bisa kami lihat setiap saat. Papa mengendarai mobil dengan tenang karena suasana jalanan yang lumayan lenggang. Aku libur karena hari ini tidak ada jadwalku mengajar, jadi aku bisa sekalian menjemput alea. Aku masih ingat kemarin waktu aku ke rumah sakit mata alea sudah terbuka, dia menatapku lama seolah mengajak bicara. Mama menolehku dari kursi depan karena beliau tahu dari tadi aku tersenyum. Itu membuatnya menggelengkan kepala karenaku.Di setiap perempatan lampu merah aku selalu celingukan menoleh kanan dan kiri, berharap bertemu dengan sifa. Tapi sepertinya anak itu tidak ada, ap

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-22
  • Turun Ranjang   Akad Nikah

    Bab 11Setelah dari kamar mandi aku bergegas untuk membuka bingkisan dari tante indri. Ternyata sebuah kerudung berwarna putih polos dengan sedikit payet di tepinya, bagus sekali. Aku menemukan notes kecil didalam paper bag, ada-ada saja tante indri ini.Nak Delina,Pakai kerudung ini saat prosesi Akad Nikah dengan Vano ya. Ini kerudung yang Tante pakai dulu saat Akad Nikah dengan Om kamu.Ohya, mulai sekarang biasakan manggil Tante dengan sebutan Bunda dan Om dengan sebutan Ayah ya Nak. Karena kamu calon menantu Bunda.Salam hangat,IndrigianaAku memeluk kerudung putih tadi dengan rasa yang sangat terharu. Aku merasakan begitu besar pengharapan tante indri dengan pernikahan ini. Aku merapikan kerudung dan menaruhnya di lemari pakaian berjajar dengan baju pengantin sederhana yang telah aku pesan beberapa h

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-23
  • Turun Ranjang   Pengharapan

    Bab 12Akad nikah berjalan dengan lancar, serangkaian acara yang digelar pun semua lancar. Tampak mama dan papa sangat bahagia dengan cucu mereka ada di gendongan mama. Alea sepertinya sudah mengerti bahwa hari ini adalah hari bersejarah untuk mama keduanya, sehingga dari tadi pagi dia tampak anteng, tidak rewel sedikit pun walau pun keadaan sekitar lumayan ramai. Aku menatap ayah dan bunda, mertuaku itu tampak bahagia sekali. Pandanganku terhenti pada kak vano yang sedang mengobrol di pojok ruangan bersama beberapa kerabat tampak begitu tampan di mataku, tapi raut keterpaksaannya nampak sekali di wajahnya. Aku ingin berbicara berdua setelah dengannya setelah ini.Beberapa rekan guru terlihat berdatangan walau mereka sedikit telat. Mereka terlihat ikut larut dalam kebahagiaan ini. Aku sengaja melakukan akad nikah di har

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-30
  • Turun Ranjang   Dewi? Siapakah dia?

    Bab 13Setelah beberapa saat termenung memikirkan raut wajah konyolku baru saja, aku dikagetkan dengan suara tangis alea. Dia mengompol ternyata, aku segera mencari popok yang bersih di keranjang dan mengganti popok anak cantikku ini. Aku berpikir alea adalah malaikat kecil bagiku, dia begitu mengerti keadaan sekitar. Bahkan dia mungkin bisa memahami bahwa mama kandungnya sudah lebih dulu meninggalkannya. Aku menggendongnya dan aku timang pelan-pelan agar tangisnya reda. Apa kak vano tidak merasakan kalau anaknya menangis di kamar ini, dia seperti terlihat menghindari anaknya sendiri. Aku tahu mungkin kak vano masih di selimuti bayang-bayang kak maya, tapi apa harus alea juga yang menanggungnya?Aku melangkah keluar kamar untuk menemui mama dengan menggendong alea yang sudah berhenti menangis. Aku berjalan ke arah dapur mencari mama ternyata tidak ada, papa juga tidak ada. Aku putar arah melangkah ke luar rumah mungkin mama di teras sore-sore begini. Tapi ketika di teras

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-01
  • Turun Ranjang   Malam pertama?

    Bab 14Pembicaraan mama dan Sifa terhenti saat ada pelayan yang membawakan makanan untuk kami. Aku memesan tiga porsi nasi padang dengan lauk ikan mujair dan juga tiga gelas es teh manis. Kami menikmati makan dalam diam. Tapi sedari tadi aku melihat mama juga tengah memandang Sifa dengan dalam. Ada apa sebenarnya? Apa ada hubungannya dengan ibunya Sifa? Karena pada saat Sifa menyebutkan nama ibunya beliau terlihat kaget. Teka teki apa lagi ini. Aku berencana untuk mengantar Sifa pulang sampai rumahnya supaya semua jelas.Setelah kami bertiga selesai makan aku memesankan makanan untuk Sifa biar dibawa pulang buat ibunya. Aku melirik mama dari meja kasir, beliau tampak memperhatikan Sifa dengan menatap dalam. Aku membayar dan kembali ke meja dengan membawa bungkusan nasi untuk Sifa. Kami segera keluar menuju parkir.“Sifa, kakak anter sampai ke rumah ya?” Pintaku padanya.“Gak usah kak, aku jalan kaki aja terima kasih,” ucapnya.

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-05
  • Turun Ranjang   Rasa yang menyesakkan

    Bab 15Cahaya mentari pagi menerobos masuk ke dalam kamar melalui jendela yang sudah terbuka. Aku menyipitkan mata dan mengerjap menyadari ini sudah pagi. Aku melirik sofa tempat kak Vano tidur semalam, kosong. Bantal dan selimutnya sudah tertata rapi di ranjang. Ke mana dia, kenapa dia tidak membangunkanku. Aku menyibakkan selimut lalu merapikannya, dan segera mandi.Lima belas menit kemudian aku selesai dan mematut diriku di cermin. Aku memakai daster berbahan kaos dengan lengan sepanjang siku dan panjang di bawah lutut. Aku terbiasa memakai daster ketika di rumah, toh tak apa karena yang melihat hanya keluargaku sendiri. Aku membuka pintu kamar untuk membantu mama di dapur. Ketika melewati ruang makan ternyata sudah tertata rapi makanan yang sudah disiapkan mama untuk sarapan pagi ini. Aku bangun kesiangan, sungguh tak sadar ketika pagi menyapa. Mungkin ini juga efek acara kemarin yang melelahkan dan beberapa kejadian yang membuatku berpikir keras.Aku mela

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-06

Bab terbaru

  • Turun Ranjang   Tetangga kepo

    Bab 20“Alea mandi dulu ya, Nak. Biar makin cantik,” ucapku pada Alea yang terlihat menghisap jempolnya.Pukul 08.30 aku telah selesai memandikan Alea dan aku sendiri juga sudah mandi. Aku membawa Alea ke teras dengan baby strollernya, bibir mungilnya terlihat mengecap-ngecap sesuatu. Aroma khas bayi pun menguar ketika aku mendorong baby strollernya.Sampai teras aku menaruh baby stroller di dekat kursi dan aku mengambil selang air, beberapa tanaman tanpa hampir mengering. Mungkin Mas Vano tidak sempat melakukan ini semua, pikirku. Dengan telaten tanganku mulai membersihkan daun-daun yang rontok dan aku menyapunya.“Wah, rajin sekali, Bu,” ucap seorang ibu yang mengagetkanku. Aku menoleh ke arah sumber suara ternyata Bu Sri yang aku temui di tempat penjual sayur tadi pagi.“Iya Bu S

  • Turun Ranjang   Telepon dari Mama

    Bab 19Aku menaruh Alea pada baby stroller dan merapikan bajunya. Dia terlihat memainkan mulutnya sendiri dan menggenggam ujung bajunya, menggemaskan sekali kamu Nak, pikirku."Anak mama tiduran di sini dulu ya, Mama mau makan sebentar ya, Nak," ucapku sambil mendorong baby stroller mendekati meja makan.Aku mendudukkan diriku di kursi lalu mulai memakan nasi yang tadi sudah aku ambil. Satu suapan, dua suapan masuk dalam mulut tapi aku termenung memikirkan Mas Vano lagi. Beberapa waktu lalu sudah teralihkan tapi malah sekarang kepikiran lagi saat aku menyantap masakanku yang harusnya ini juga dinikmati oleh lidah Mas Vano."Kenapa Mas? Kenapa kamu tidak bisa menghargai usahaku sedikit saja," ucapku sendirian dengan terus menyuap nasi pada mulutku.Beberapa saat kemudian ponsel yang aku kantongi be

  • Turun Ranjang   Teralihkan

    Bab 18Aku berjalan gontai menuju kamar utama dengan sesekali tanganku masih menyusut air mata yang terus menetes. Kenapa mas Vano sama sekali belum menerimaku di rumah ini. Terdengar tangis Alea nyaring di telinga ketika aku hampir menyentuh gagang pintu. Lalu aku segera membuka pintu, anakku terlihat menangis dengan keras seolah ikut merasakan sesak yang ada di hati mamanya.Alea masih terus saja menangis ketika aku mengganti popoknya yang sudah basah. Lalu aku menggendongnya dengan penuh kelembutan dan menimang-nimangnya supaya tangisnya terhenti. Aku membawa Alea keluar kamar, tak lupa aku meraih ponselku yang tergeletak di atas nakas mungkin saja nanti aku ingin menghubungi seseorang.Langkahku terus saja menuju dapur dengan menggendong Alea, aku meraih satu panci agak besar yang ada di rak lalu aku isi air dan merebusnya untuk air mandinya Alea. Tak lupa aku mengambil satu panci lagi yang kecil untuk aku gunakan merebus air guna membuat susunya A

  • Turun Ranjang   Prahara

    Bab 17 Tepat pukul 21.00 aku mendengar deru mobil masuk ke dalam halaman rumah. Aku yang tadi sempat merebahkan diri di samping Alea gegas turun dari ranjang. Tanganku menyalakan sakelar lampu ruang tengah tamu. Aku berjalan perlahan sambil memijit kepalaku yang terasa agak pening. Aku menuju pintu depan supaya mas Vano tidak terlalu lama menunggu. Terdengar ketukan dari pintu depan, aku segera membukanya. Mas Vano langsung masuk ke dalam rumah setelah pintu berhasil terbuka dan mengucap salam. Aku menutup pintu kembali dan menguncinya lalu ikut masuk ke dalam di mana mas Vano berada. Terlihat dia sedang duduk di ruang tengah sambil mengendurkan dasi miliknya. Aku berjalan ke dapur untuk membuatkan minuman hangat untuk suamiku. Aku sedikit heran, dia pulang malam tapi kenapa bau parfum mas Vano masih sangat menyengat. Namun di sisi lain dia terlihat seperti kelelahan. Aku mempercepat gerakanku membuat teh hangat. Setelah selesai aku segera membawa

  • Turun Ranjang   Mas?

    Bab 16Jam dinding menunjukkan pukul 04.00 ketika aku membuka mata. Aku merenggangkan otot sejenak dan melirik Alea yang masih berbaring dengan tenang. Aku menurunkan kakiku dari ranjang, mataku memandang sekeliling kamar tapi tidak aku temukan kak Vano berada di dalam kamar. Aku beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan badan dan menunaikan sholat subuh.Alea terlihat menggeliat pelan saat aku telah selesai melipat mukena. Aku menenangkannya sebentar supaya tertidur lagi. Ku rasakan dia tenang kembali, aku menggeser badanku pelan-pelan untuk turun dari pembaringan. Aku membuka handle pintu dengan sangat pelan agar Alea tidak terganggu tidurnya dan mencari keberadaan kak Vano.Mataku membelalak melihat suamiku tidur dengan menyandar pada sofa ruang tengah, di depannya terdapat tumpukan kertas berkas mahasiswanya.“Kak Vano,” ucapku membangunkannya dengan menyentuh ujung sikunya.“Kak,” aku mengulangi ucapanku.

  • Turun Ranjang   Rasa yang menyesakkan

    Bab 15Cahaya mentari pagi menerobos masuk ke dalam kamar melalui jendela yang sudah terbuka. Aku menyipitkan mata dan mengerjap menyadari ini sudah pagi. Aku melirik sofa tempat kak Vano tidur semalam, kosong. Bantal dan selimutnya sudah tertata rapi di ranjang. Ke mana dia, kenapa dia tidak membangunkanku. Aku menyibakkan selimut lalu merapikannya, dan segera mandi.Lima belas menit kemudian aku selesai dan mematut diriku di cermin. Aku memakai daster berbahan kaos dengan lengan sepanjang siku dan panjang di bawah lutut. Aku terbiasa memakai daster ketika di rumah, toh tak apa karena yang melihat hanya keluargaku sendiri. Aku membuka pintu kamar untuk membantu mama di dapur. Ketika melewati ruang makan ternyata sudah tertata rapi makanan yang sudah disiapkan mama untuk sarapan pagi ini. Aku bangun kesiangan, sungguh tak sadar ketika pagi menyapa. Mungkin ini juga efek acara kemarin yang melelahkan dan beberapa kejadian yang membuatku berpikir keras.Aku mela

  • Turun Ranjang   Malam pertama?

    Bab 14Pembicaraan mama dan Sifa terhenti saat ada pelayan yang membawakan makanan untuk kami. Aku memesan tiga porsi nasi padang dengan lauk ikan mujair dan juga tiga gelas es teh manis. Kami menikmati makan dalam diam. Tapi sedari tadi aku melihat mama juga tengah memandang Sifa dengan dalam. Ada apa sebenarnya? Apa ada hubungannya dengan ibunya Sifa? Karena pada saat Sifa menyebutkan nama ibunya beliau terlihat kaget. Teka teki apa lagi ini. Aku berencana untuk mengantar Sifa pulang sampai rumahnya supaya semua jelas.Setelah kami bertiga selesai makan aku memesankan makanan untuk Sifa biar dibawa pulang buat ibunya. Aku melirik mama dari meja kasir, beliau tampak memperhatikan Sifa dengan menatap dalam. Aku membayar dan kembali ke meja dengan membawa bungkusan nasi untuk Sifa. Kami segera keluar menuju parkir.“Sifa, kakak anter sampai ke rumah ya?” Pintaku padanya.“Gak usah kak, aku jalan kaki aja terima kasih,” ucapnya.

  • Turun Ranjang   Dewi? Siapakah dia?

    Bab 13Setelah beberapa saat termenung memikirkan raut wajah konyolku baru saja, aku dikagetkan dengan suara tangis alea. Dia mengompol ternyata, aku segera mencari popok yang bersih di keranjang dan mengganti popok anak cantikku ini. Aku berpikir alea adalah malaikat kecil bagiku, dia begitu mengerti keadaan sekitar. Bahkan dia mungkin bisa memahami bahwa mama kandungnya sudah lebih dulu meninggalkannya. Aku menggendongnya dan aku timang pelan-pelan agar tangisnya reda. Apa kak vano tidak merasakan kalau anaknya menangis di kamar ini, dia seperti terlihat menghindari anaknya sendiri. Aku tahu mungkin kak vano masih di selimuti bayang-bayang kak maya, tapi apa harus alea juga yang menanggungnya?Aku melangkah keluar kamar untuk menemui mama dengan menggendong alea yang sudah berhenti menangis. Aku berjalan ke arah dapur mencari mama ternyata tidak ada, papa juga tidak ada. Aku putar arah melangkah ke luar rumah mungkin mama di teras sore-sore begini. Tapi ketika di teras

  • Turun Ranjang   Pengharapan

    Bab 12Akad nikah berjalan dengan lancar, serangkaian acara yang digelar pun semua lancar. Tampak mama dan papa sangat bahagia dengan cucu mereka ada di gendongan mama. Alea sepertinya sudah mengerti bahwa hari ini adalah hari bersejarah untuk mama keduanya, sehingga dari tadi pagi dia tampak anteng, tidak rewel sedikit pun walau pun keadaan sekitar lumayan ramai. Aku menatap ayah dan bunda, mertuaku itu tampak bahagia sekali. Pandanganku terhenti pada kak vano yang sedang mengobrol di pojok ruangan bersama beberapa kerabat tampak begitu tampan di mataku, tapi raut keterpaksaannya nampak sekali di wajahnya. Aku ingin berbicara berdua setelah dengannya setelah ini.Beberapa rekan guru terlihat berdatangan walau mereka sedikit telat. Mereka terlihat ikut larut dalam kebahagiaan ini. Aku sengaja melakukan akad nikah di har

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status