"Aku ... diceraikan Chiko. Katanya dia enggak mau nerima barang bekas," kata Bella sambil menunduk dan menyembunyikan wajahnya di antara rambutnya yang terurai. Malu. Air matanya terus mengalir deras.
"Biadab! Seenaknya mereka berkata itu pada putriku,” ucap sang papa.George menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia tak habis pikir dengan kelakuan keluarga yang sudah menjadi besannya itu."Tenanglah, Pa!" ucap Ana. Ia tak mau jika sampai terjadi yang tidak-tidak.Ketika amarah George tak tertahankan, ia biasanya akan merusak beberapa barang di rumahnya. Ia juga akan melempar benda apa saja yang berada di dekatnya."Enggak bisa! Kita harus segera bertindak,” berang George."Sabar, Sayang! Kita tunggu aja besok. Kasihan Bella," ucap Ana sambil mengelus dada dan pundak suaminya.George terdiam. Matanya sudah memerah. Namun, ia kembali menatap iba anak semata wayangnya yang malang itu.“Bawa dia masuk!” suruh George sambil menjatuhkan kembali dirinya ke sofa dan menghela nafas panjang."Ayo, Nak! Mamah akan menemanimu tidur," ajak Ana memboyong putrinya yang sedang teramat sedih.***
Pagi hari menyapa. Burung berkicau dan matahari menampakkan dirinya. Hari ini begitu cerah. Namun, hati Bella masih saja berselimut dengan kesedihan.
Bella tak mau bangun. Ana pun membiarkannya saja. “Dia pasti trauma,” pikirnya. Ia teramat mengkhawatirkan anaknya.Di sinilah peran seorang ibu sangat dibutuhkan. Ana pun berusaha memberikan perhatian, kasih sayang dan pengertiannya. Ia segera menyuruh asisten rumah tangganya agar membuatkan sarapan untuk Bella. George kala itu sedang duduk sambil mengotak-atik ponselnya.“Gimana Bella?” tanya George.“Dia enggak mau bangun,” sahut Ana.“Ya udah, kita aja yang berangkat ke rumah Hena.”“Jangan! Nanti aja sama Bella. Kasihan dia, pasti belum siap ketemu mereka.”“Terus, kapan? Masa mau marah harus ditunda-tunda?” George benar-benar sangat marah.“Sabar, Sayang! Kita tunggu sampai Bella merasa tenang.” Ana membujuk suaminya agar mau mengerti dengan keadaan sang anak. Akhirnya George menuruti kemauan sang istri.Seorang asisten rumah tangga membawakan makanan ke kamar Bella. Namun, Bella sama sekali tak menyentuhnya. Ia hanya menghabiskan harinya termenung di kamar sendirian. Dua sampai tiga hari Bella masih seperti itu dan membuat kedua orang tuanya sangat cemas.“Si Hena bahkan enggak mau datang ke sini.” George berdiri di bibir pintu sambil mengepalkan kedua tangannya.Jika tidak ditahan oleh istrinya, George rasanya ingin sekali datang ke rumah Hena dan menghajar Chiko. Saat ini ia merasa harga dirinya sedang diinjak-injak. Bahkan, Hena sendiri tidak berani datang sebagai tanda itikad baik."Aku kotor. Tidak suci ...!” teriak Bella yang tiba-tiba mengagetkan seisi penghuni rumah.George dan Ana segera menghampiri kamar Bella. Akan tetapi, pintu kamar mandi itu terkunci dari dalam. Mereka berdua tak mampu berbuat banyak.Bella berlari dan lebih banyak menghabiskan waktunya di kamar mandi. Ia menangis di bawah guyuran air yang keluar dari shower. Bella bahkan menggosok-gosokkan sabun berulang kali. Ia berusaha menghapus noda yang ada pada dirinya. Ia sering mengamuk saat sabunnya habis.Satu minggu sudah dilewati Bella dengan kesendiriannya di kamar. Mengurung diri saja. Ia hanya berteman sepi dan bersahabat kesedihan. Bermuram durja.Setiap malam ia terbangun dan menjerit. Ia bermimpi seolah kejadian tempo hari itu terulang setiap hari. Sungguh menyiksa diri. Mimpi buruk yang teramat mengerikan.George berusaha keras untuk membawa anaknya keluar dari kamar."Bella, yuk jalan-jalan ke luar sama Papa!" George mencoba menyentuh pundak Bella. Namun, secepat kilat Bella malah menepis tangan George dan bahkan sampai menggigitnya.George terkejut. Akan tetapi ia tak menarik tangannya kembali. Ia merelakan tangannya berdarah karena ia pikir rasa sakitnya tak sebanding dengan rasa sakit di hatinya melihat penderitaan sang anak.Setelah puas, Bella pun melepaskan gigitan itu. Ia lalu memegang kepala dengan kedua tangannya. Tatapan matanya kosong. Tubuhnya seperti menggigil. Ia akan menjerit dan berteriak saat ada seorang pria yang menghampirinya, termasuk Papanya."Enggak. Pergi! Pergi! Aaaa ...!" Bella menarik-narik rambutnya sendiri.George meneteskan air matanya. Ia segera pergi keluar sebelum Bella sampai menyakiti dirinya sendiri. Ana dan seorang asisten rumah tangganya segera masuk dan memberi Bella obat penenang.Ana sering menangis tatkala mendengar teriakan anaknya yang menggema di telinga dan seolah mengiris tipis hatinya. Terluka.Kemudian Bella pun tertidur. Ana menyelimuti tubuh anaknya yang mulai terlihat kurus itu. Ia pun lalu keluar dan menemui suaminya yang masih berada di depan kamar."Bi, tolong ambilkan kotak P3K!" titah Ana."Baik, Nyonya." Asisten rumah tangga itu pun pergi mengambilkan barang yang diminta Ana."Ayo, Pa!" Ana mengajak George untuk duduk di sofa di ruang tengah. George hanya menundukkan kepalanya.Selang beberapa menit, asisten rumah tangga tadi datang membawa kotak P3K. Lalu Ana mengambil kapas yang sebelumnya diberi alkohol untuk membersihkan darah pada luka suaminya agar tidak sampai infeksi."Enggak usah diobatin! Ini enggak parah, kok!" ujar George."Diem!" suruh Ana dengan nada yang seperti membentak.George sedikit terkejut karena sebelumnya ia tak pernah mendengar istrinya itu mengeluarkan nada tinggi dengan penuh penekanan seperti tadi. Namun, ia pun mengerti jika sang istri sepertinya sangat kelelahan mengurus Bella. George tidak bisa melawan istrinya."Pa, kita enggak bisa biarin dia kaya gitu terus," kata Ana sambil memberikan iodin pada luka bekas gigitan di tangan suaminya. Bulir bening membasahi pipi Ana."Jangan menangis! Lalu apa yang harus kita lakukan?" tanya George sambil menyeka air mata istrinya.Berulang kali mereka memikirkan solusi untuk mengatasi trauma anaknya. Namun, selalu jalan buntu yang mereka temui."Kita bawa dia saja ke psikiater," ucap Ana.George malah menatap aneh pada istrinya. "Enggak. Jangan! Anakku enggak gila.""Tapi, Pa. Apa Papa enggak lihat, kondisinya malah semakin memburuk? Pokoknya aku akan membawanya ke psikiater." Ana bangkit dari duduknya.Tangan George dengan spontan menahan pergerakan sang istri. Ana terdiam. Ia tak mengerti apa yang sedang dipikirkan suaminya."Tunggu! Jangan bawa dia ke sana. Kau bawa saja psikiater itu ke rumah kita. Mengertilah! Aku ini seorang pimpinan perusahaan besar, aku tidak mau Bella sampai menjadi bahan perbincangan para bawahanku," tutur George.Gengsi dan takut kehilangan pamor George yang selalu menghalangi pengobatan Bella. Ia merasa malu mempunyai anak yang menjadi seorang korban pelecehan hingga terganggu jiwanya."Iya." Ana pun mengangguk.***
Keesokan harinya, Ana masuk ke kamar Bella bersama seorang psikiater wanita. Awalnya Bella melawan dan bahkan sempat mendorong psikiater itu.
Akan tetapi, sang psikiater begitu sabar dan berusaha terus untuk menenangkan Bella. Butuh waktu lama sampai Bella benar-benar mendapatkan kembali kepercayaan dirinya.Dengan telaten, psikiater itu mengerjakan tugasnya. Bella pun perlahan mulai menerima keberadaannya. Nafsu makan Bella mulai meningkat hingga berat tubuhnya mulai kembali normal.Secercah harapan datang, setelah sekitar satu bulan Bella mengurung diri, akhirnya ia mau diajak keluar. Meskipun hanya sekedar duduk di taman sambil merasakan semilir angin. Bella juga perlahan mulai membuka dinding penghalang antara dirinya dengan para pria terutama dengan sang papa.Namun, sesuatu yang aneh terjadi pada Bella. Ia berlari keluar-masuk kamar mandi."Perutku mual," katanya.Bella merasa mual dan mengeluarkan isi perutnya. Hanya cairan berasa asam dan pahit.Ana memijat tengkuk anaknya. Ia mulai khawatir dengan apa yang telah terjadi pada Bella. Ana dan sang Psikiater saling menatap. Lalu Ana menyuruh asisten rumah tangganya untuk membeli alat tes kehamilan. Sementara itu, George hanya bisa menunggu di luar sambil menguping percakapan mereka.Awalnya Bella menolak untuk memakai alat tersebut. Namun, setelah ia berpikir cukup lama, ia pun menuruti perintah Ana. Ia pergi ke kamar mandi dan mencoba alat itu.“Aaa ...!” teriak Bella.Ana dan Psikiater itu segera berlari dan masuk ke dalam. Mereka melihat Bella sedang terduduk di sudut tembok. Alat itu tergeletak di lantai dan Ana pun segera mengambilnya.Mata Ana terbelalak. Apa yang ditakutkannya pun terjadi. Dua garis biru terpampang nyata di sana. Ia lalu menghampiri Bella dan memeluk anaknya itu. Menangis bersama.“Aku enggak mau punya anak,” kata Bella. Matanya semakin sembab. Apalagi ia kini kembali menangis. Hati Ana terasa tersayat-sayat melihat nasib anaknya.“Benih haram ini harus mati sekarang juga,” kata Bella sambil mengepalkan kedua tangan dan memukuli perutnya.Sang Psikiater segera bertindak. Ia menahan tangan Bella agar tak menyakiti dirinya sendiri. “Sadarlah! Sadar! Kamu enggak boleh nyakitin nyawa yang enggak berdosa!”“Aku enggak mau. Aku enggak sudi mengandung anak ini,” kata Bella. Tangisnya tumpah ruah di sana.Bella mengacak-acak rambutnya. Ia seperti seseorang yang telah hilang akal sehatnya. Kakinya dientak-entakkan ke lantai basah. Berulang kali ia mengusap wajahnya kasar.Kemudian ia tarik shower yang menggantung dan segera menyiram tubuhnya. Frustrasi. Air matanya bercampur dengan air yang keluar dari shower.Ana berusaha menahannya berulang kali. Hingga Bella pun melemah dan terduduk lemas.“Udah! Jangan kaya gini!” Ana memeluk lagi Bella.Seorang asisten rumah tangga yang menyaksikan kejadian itu langsung segera membantu. Dengan bantuan sang Psikiater juga, mereka pun memboyong Bella ke kamar karena di kamar mandi sangat dingin.Setelah mengganti pakaian anaknya, Ana kemudian membaringkan tubuh lemah Bella di kasur. Tak lupa selimut pun ditariknya. Bella yang kelelahan pun tertidur.“Bersabarlah, Nak!” ucap Ana sambil mengecup puncak kepala anaknya.Sang Psikiater memegang erat kedua pundak Ana. Mencoba menguatkan diri sang Mama. George membuka pintu dan mengintip dengan mata sedihnya.“Tuhan ... kenapa Engkau menguji anak hamba dengan cobaan yang berat seperti ini? Tuhan ... hamba harap, semoga setelah ini akan ada kebahagiaan baginya.” Hati Ana menjerit.***
Tepat pukul delapan pagi, George sudah bersiap. Selain berpakaian rapi, ia pun sudah mempersiapkan amarahnya yang akan meledak. George menyewa beberapa bodyguard untuk mengawal keluarganya.
"Kamu yakin mau ikut, Sayang?" tanya Ana."Iya, Ma.” Bella mencoba tegar. Ia memegang tangan Mamanya dengan erat.Semua perkataan dan masukan sang Psikiater mampu membuat pikiran Bella sadar. Ia yakin dengan keputusannya demi anak yang sedang dikandungnya.Mobil melaju dengan cepat karena George sudah tak sabar ingin segera memberi perhitungan kepada keluarga Chiko.Sesampainya di sana, salah seorang bodyguard dengan sengaja menendang pintu agar terbuka.Brak!Suara pintu yang membentur tembok membuat semua orang yang berada di dalam terkejut. Kala itu mereka sedang menikmati sarapannya."Hena!" teriak George dengan suara yang begitu menggelegar. Ia mengangguk kepada para bodyguard-nya seakan memberi isyarat untuk menangkap ketiga orang yang sedang menatap aneh di meja makan tersebut.Para bodyguard menangkap Hena, Chiko dan Criss. Mereka membuat ketiganya agar berlutut di hadapan keluarga George. Keluarga Hena tak memberi perlawanan."Tuan, maafkan kami ....” Hena memohon. Ia menangkup kedua tangannya, berharap belas kasih."Tidak semudah itu, Hena!" teriak George sambil melempar guci antik yang ia ambil tepat berada di sampingnya.Brak!Hena menjerit. Sementara itu, Ana masih berpegangan erat dengan Bella. Pecahan guci pun bertebaran di lantai. Beberapa pecahannya mengenai tangan Hena. Menggores sampai mengeluarkan zat merah yang segar dan berbau khas."Lalu, apa yang harus kami lakukan?" tanya Hena dengan ketakutan yang teramat sangat. Ia sampai tak berani menatap besannya. Rasa sakit akibat goresan pecahan guci sama sekali tak ia hiraukan."Anakku hamil," kata George dengan lantangnya."Hamil?" ulang Ibu dan kedua anaknya yang sedang berlutut itu.Sejenak hening. Chiko menatap Bella. Suasana tampak tegang kala itu. Semua orang seakan merapatkan bibir mereka masing-masing. "Biar aku ... biar aku yang bertanggung jawab," teriak Criss memecah keheningan. Pria bertato itu mengepalkan tangan di atas lututnya. Ia terlihat sangat yakin dengan keputusannya.George melirik anaknya. Bella hanya menggeleng-gelengkan kepala."Enggak. Aku enggak mau nikah sama berandalan," ucap Bella."Bella ... anak itu sekarang butuh Ayah," bisik Ana."Tapi ...," ucap Bella tak selesai. Ia menangis."Chiko! Kamu yang harus bertanggungjawab!" kata George yang tak menghiraukan perkataan Criss."Maaf, Tuan. Baru kemarin saya menjatuhkan talak padanya.” Chiko tak bisa apa-apa.“Kalian bisa rujuk,” ucap George. Bella sebenarnya masih berharap pada Chiko, tapi dilihatnya Chiko malah menggeleng-gelengkan kepalanya."Bella ...," panggil Chiko.Bella mengangkat wajahnya dan menatap lurus pada Chiko. Ia menaruh harapan besar pada suaminya agar bisa menerima dan kembali menjalani bahtera rumah tangganya yang baru seumur jagung."Menikahlah dengan Criss!" sambung Chiko.Bagai disambar petir siang bolong. Bella sangat terkejut dengan keputusan suaminya. Ia meremas pakaiannya kuat-kuat. Menahan sesak di dada.“Chiko ...,” sebut Bella. Lututnya melemas hingga ia harus berpegangan kuat pada tembok."Turun ranjang maksudmu?" George tak mengerti apa maksud dari menantunya yang tidak bisa diandalkan itu.Bab 5"Turun ranjang maksudmu?" George tak mengerti apa maksud dari menantunya yang tidak bisa diandalkan itu.George melipat tangan di dada. Ia berpikir keras. "Itu memang bisa dilakukan jika kamu sudah tiada. Sudah mati,” tambahnya."Ya, anggap saja saya sudah mati," ucap Chiko. Ia berdiri dan sama sekali tak menghormati keberadaan orang tua Bella. Lalu ia pergi sambil mengangkat tangannya."Chiko ...," sebut Bella. Ia memanggil nama suaminya.Bella sangat kecewa pada Chiko yang tidak mau memperjuangkan bahtera rumah tangganya."Enggak ada pilihan lain, Sayang. Menikahlah dengan Criss!" ucap George. Ia tak memaksa Chiko karena ia pun sudah sangat kecewa terhadapnya.George segera menarik kerah baju Criss. Namun, Criss tak menampakkan rasa takut. Ia menatap tajam orang yang akan menjadi mertuanya.“Aku akan menyerahkan anakku padamu. Tapi, jika kau membuat kesalahan dan membuat anakku bersedih seperti perlakuan Kakakmu, aku tak segan-segan akan menjeblosk
"Maaf, saya tidak bisa menerima jabatan itu. Biarkan saya belajar dan mengenal dulu bisnis ini. Saya masih terlalu awam dan buta tentang masalah perusahaan," tutur Criss.Pandangan Criss lurus ke depan. Keputusannya sudah bulat karena ia bukanlah tipe orang yang serakah dan gila akan jabatan. Baginya bisa mendapatkan uang untuk makan dirinya dan Bella saja sudah teramat cukup.Criss menyadari dirinya sendiri yang memang tidak paham betul mengenai seluk-beluk tentang bisnis. Dari kecil yang ia tahu hanya bermain saja. Sementara itu, Chiko melirik adiknya itu."Tapi–" ucap George tak selesai."Saya janji akan belajar. Untuk sementara biar Chiko yang menduduki posisi itu. Saya dengar, bisnis ini juga sedang tidak stabil. Saya hanya takut membuatnya semakin terpuruk."Hal ini juga yang membuat Criss berpikir berulang kali. Ia tak mau jika perusahaan malah hancur oleh dirinya.George mengangguk-anggukan kepalanya. "Mmm ... bagaimana?" tanyanya kepada para karyawan yang
Mata Bella masih tertutup, hingga ia tak sadar jika bagian depannya sudah sangat terlihat. Criss menatapnya sejenak. Bella perlahan membuka matanya dan melihat sosok Chiko yang berada tepat di hadapannya itu. Ia yang malu-malu hanya menggigit jari telunjuknya.Criss tak puas jika hanya memandangnya saja. Ia dengan cepat memakannya dengan rakus. Seperti bayi, ia mengisap puncaknya. Tangannya yang nakal masuk menyelinap ke dalam rok. Bella semakin mengila saat ia merasakan dua jari masuk ke dalam area terlarang itu."Duh ... Chiko." Bella menutup mulut dengan kedua tangannya.Seketika Criss menghentikan aktivitasnya. Ia merasa kecewa pada Bella yang menyebut nama orang lain. Ia meninggalkan Bella begitu saja dan kembali ke kamar mandi."Aku ... apa yang udah aku ucapin? Astaga!"Bella segera merapikan pakaiannya dan menyusul suaminya. Ia hendak meminta maaf. Saat mengintip dari sedikit celah itu, ia melihat Criss sedang mengeluarkan cairannya.Bella menunduk dan meng
Tok! Tok! Tok!Suara ketukan semakin keras. Chiko segera mengalirkan air lagi pada tubuhnya, membersihkan sisa-sisa sabun.Namun, suara ketukan pintu masih saja terdengar jelas."Berisik banget, sih?!" dengkus Criss.Criss yang marah dan jengkel dengan suara ketukan itu lalu mematikan shower dan meraih handuknya. Ia pun berjalan dan membuka pintu.Dilihatnya Bella sedang berdiri sambil memegang nampan. Matanya membulat, begitu pun dengan Bella."Aduh, lihat dia pakai handuk lagi." Bella menundukkan kepalanya. Ia hanya melihat sandal bulu yang dipakai suaminya.Bella memang belum terbiasa melihat suaminya dalam keadaan seperti itu. Jarak dan komunikasi antar keduanya belum terlalu intens meskipun mereka sudah sah menjadi sepasang suami-istri."Ada apa?" tanya Criss sambil menggosok rambutnya yang masih bercucuran air.Sesekali Bella menatap wajah Criss. Ia merasa jika Criss memang sangat tampan ketika rambutnya sedang dalam keadaan basah.Bella merasa ak
“Pe-pengen apa?” tanya Criss.Pikirannya sudah melayang-layang. Hasratnya sudah mulai naik ketika melihat wajah Bella yang semakin terlihat cantik dan menggoda.“Criss ....” Bella menghampiri dan mengelus pipi suaminya.Criss sangat gugup dibuatnya. “A-apa?” Hatinya mulai tak karuan."Ya ampun, ini udah malem. Aku lelah," lanjutnya sambil menelan ludahnya kasar.“Apa dia mau malam ini juga? Duh, aku udah lelah banget. Takut enggak memuaskan. Nanti dia kapok dan kecewa lagi, gimana dong?” pikir Criss.Seketika Bella menangis mendengar perkataan Criss. Sang suami jadi salah tingkah dan merasa sangat bersalah."Sabar Criss ... sabar! Apa aku turutin aja maunya?" batin Criss. Ia mengatur nafasnya."Mmm ... pengen apa istriku?" Berucap dengan nada yang menggemaskan. Ia sudah tidak sabar untuk mendengar Bella meminta hal yang selalu dimimpikannya."Enggak jadi. Nanti dimarahin lagi. Enggak mau.” Bella melipat tangan di dada dan membuang muka.Criss semakin ge
Bella kemudian berjalan ke arah kamar Criss. "Kamar Criss pasti lebih berantakan dari pada kamarku."Saat membuka pintu, semerbak wangi pengharum ruangan beraroma lemon menusuk hidung Bella."Wangi banget, kaya kamar perawan,” ucap Bella.Matanya terpana. Ia terkejut dengan keadaan kamar suaminya yang teramat rapi dan bersih. Barang-barangnya tertata dengan sedemikian rupa hingga melihat siapapun yang memandang akan terlena.“Kasurku kok enggak kaya punya dia? Enggak adil, nih!”Kasur ukuran king size itu sangat menggoda dirinya. “Wah, nyaman banget tidur di sini.” Bella mencoba berbaring di kasur Criss yang empuk hingga matanya tertuju pada kalender di sana.Selanjutnya ia berjalan menghampiri kalender yang menempel di dinding karena begitu menarik perhatiannya. "Banyak lingkaran merah. Artinya apa, ya?"Ia mencoba menelaah dan mulai merasa tidak asing dengan tanggal-tanggal dalam lingkaran itu. "Tanggal 23 April 'kan tanggal lahirku. Dari mana dia bisa tahu?"
Sabtu pagi ternyata Criss mendapatkan pesan dari Chiko agar bekerja lembur. Memang Criss meminta maaf karena tidak bisa mengantar Bella jalan-jalan. Akan tetapi, Bella yang kekanak-kanakan malah marah dan hanya mendiamkan Criss. Setelah kepergian sang suami, wajah Bella jadi murung.“Jangan-jangan dia juga besok ga bisa libur. Huft!” keluhnya.Setiap setelah Criss pergi, ia sengaja duduk di sofa sambil mengintip sesekali ke jendela seolah sedang menanti seseorang. Di rumah besar hanya sendirian membuatnya merasa sangat kesepian.Tiba-tiba terdengar suara mobil yang berhenti di depan pintu gerbang rumahnya. Bella mengintip dari balik jendela.“Eh, itu mobil Chiko.”Bella segera berbenah. Ia merapikan meja dan juga penampilannya. Rambut yang awalnya ia ikat, segera dilepas dan dibiarkan terurai begitu saja.“Sudah kuduga, dia pasti datang,” ucap Bella sambil tersenyum.Tok! Tok! Tok!Bagaikan sebuah ciri khas. Setiap seseorang yang mengetuk pintu pasti se
“A-aku enggak pegang-pegang kamu kok semalem. Swear!” Criss mengangkat kedua tangan dan jarinya membuat simbol perdamaian.Tatapan Bella yang tajam sungguh membuatnya takut. Menyeramkan. Ia takut difitnah melakukan hal yang aneh-aneh pada Bella.“Bukan itu!” Bella menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia lalu menaruh kembali sendoknya.“Terus?” Criss tak mengerti.Bella mendorong sedikit piringnya. Lalu ia memundurkan kursinya juga sambil melipat tangan di dada. Bibirnya cemberut."Aku enggak mau makan sendirian," jawab Bella dengan nada yang begitu manja."Ini 'kan berdua," kata Criss.“Maksudnya apa, sih? Aku enggak ngerti,” batinnya.Bella lalu bangkit dan menuangkan mie-nya ke dalam piring Criss hingga kini piring itu terlihat sangat penuh. Beberapa mie tak menjuntai ke bawah."Begini maksudku,” ucap Bella.Criss melongo. Ia hanya bisa pasrah. Bella pun mengatur kursi dan duduk di samping suaminya. "Criss!" panggilnya."A-apalagi?""Sini!" Bella men
"Bella ...." Criss memegang lututnya kuat-kuat. Menengadah, menatap istrinya yang kini telah meragukan cintanya."Cepat katakan siapa yang kamu pil–”Criss yang berlutut segera berlari dan mencium istrinya itu. Mulut Bella dibungkam seketika.Pautan itu terasa berbeda, ada gejolak emosi di sana. Bella menitikkan air matanya lagi. Ia berusaha melepaskan diri. Namun, Criss tak mengizinkan. Ia sangat takut kehilangan. Perlahan ia membimbing Bella agar bersandar di dinding. Kedua telapak tangan Criss menyentuh dinginnya tembok, menghalangi pergerakan istrinya itu.Saat pautan itu terlepas, keduanya berusaha mencari udara. Mengatur nafas. Terlihat dada Bella yang naik-turun, terasa sesak."Bella ... aku mencintaimu. Enggak ada wanita lain,” ucap Criss dengan nafas yang tersengal-sengal."Criss ....""Aku mencintaimu, Bella!" teriak Criss.Bella bergegas memeluk Criss. Ia sudah tak peduli dengan gengsi dan kemarahannya."Ucapkan lagi! Kumohon ...," pinta Bella.
Hari demi hari berlalu. Bella masih saja mendiamkan Criss. Tak pernah ada lagi komunikasi di antara mereka setelah pengakuan yang sangat mengejutkan dari Criss. Bahkan tanpa sepengetahuan Ana dan George, mereka sudah tidur secara terpisah.Criss dan Bella memang tetap makan dalam satu meja. Mereka terkadang terlihat baik-baik saja saat di hadapan Ana dan George. Namun, kali ini Bella seakan tak bisa menahan perasaan kesalnya lagi pada Criss.“Ini untukmu.” Criss memberikan lauk kesukaan Bella. Ia taruh sayap ayam itu tepat di atas nasi putih yang ada di piring istrinya. Berharap hati Bella akan luluh jika diberi perhatian-perhatian kecil.Namun, harapan itu pupus seketika karena Bella malah memberikan sayap ayam itu pada kucing yang ada di rumah.Tentunya perasaan Criss terluka akan hal itu. Ia terlihat sedih. Akan tetapi, kembali lagi, memang ia pun pantas mendapatkan hal tersebut. Criss pikir, hati Bella lebih terluka dibanding dengan yang dialaminya barusan. Yang Cris
Bella bukan anak kecil lagi. Ia tak sepolos yang Criss pikirkan. Bagaimana pun, semua yang Bella lihat dengan mata kepalanya sendiri adalah hal nyata. Bagaimana bisa ia mengacuhkan bukti nyata itu?Gerak-gerik Criss membuatnya semakin curiga. Terlebih Arnold, yang menghubungi suaminya itu tempo hari. Tanpa sepengetahuannya, Criss pergi dan meninggalkan pertanyaan di kepala Bella.“Apa yang ditemuinya itu Arnold atau ... Gea? Apa donat itu hanya alasan saja?” pikir Bella.Kepala Bella seakan mau pecah saat terus memikirkan hal tersebut. Kini, saatnya ia mendapatkan jawaban atas semua kecurigaannya.“Ma-maksudnya?” tanya Criss.“Apa waktu itu kamu menemui Gea, bukan Arnold? Donat? Haha. Aku tahu jika donat itu hannyalah kambing hitam,” kata Bella.Criss mulai panik mendengar apa yang baru saja Bella katakan. Ia benar-benar terpojok. Sementara Bella menarik nafas panjang dan kembali mengusap air matanya.
“Dia Ellena ... dia anak suamimu. Aku dan Tuan Arnold dikenalkan juga oleh Tuan Criss,” batin Gea. Rasanya ia ingin sekali mengatakan hal tersebut. Namun, kembali lagi, Gea tak mau menyakiti hati Bella. Sebagai sesama wanita, ia pun tak mau sampai mengalami hal seperti itu. "Aku enggak sejahat itu," batinnya. Ya, begitulah sifatnya. Ia rela menderita dan mengubur niatnya untuk berkata yang sebenarnya. “Biar, biar waktu yang mengungkapnya,” pikir Gea sambil menatap kebersamaan Bella dengan Keysha. Mereka terlihat sangat bahagia. Gea pikir, mana mungkin dirinya sanggup menghancurkan keluarga yang bahagia itu? Mata Bella kini tertuju pada Gea. Ia menunggu sebuah jawaban, bahkan sampai berhenti menyuapi Keysha. Bella merasa hubungan Gea dengan Arnold terlalu aneh. Terlebih Arnold adalah teman Criss juga. “Dia ... Ellena. A-aku dan Tuan Arnold enggak sengaja bertemu dulu,” jawab Gea tanpa menatap lawan bicaranya. “Oh ... begitu.” Be
Di usia Keysha yang menginjak genap satu tahun, Criss mengajaknya dan juga Bella untuk pergi ke taman hiburan. Taman yang pernah dikunjungi oleh dirinya dan Bella dulu.“Apa kamu masih ingat waktu dulu, di atas sana kamu menyatakan cintamu?” tanya Bella sambil menunjuk biang lala yang sedang berputar.Tak ada perubahan yang signifikan. Warna cat dari kerangka besi biang lala itu pun masih tetap sama. Kursi yang diduduki oleh mereka bertiga pun masih kursi yang sama.“Tentu dan aku sangat sedih dengan penolakanmu.” Criss menunduk malu.“Hahaha. Maaf, saat itu aku masih ragu, tapi sebenarnya aku tuh mau ngungkapin perasaanku juga, cuman kamu keburu marah,” kata Bella. Ia mengakui jika memang dirinya saat itu tak diberi kesempatan untuk melanjutkan perkataannya.“Yang benar?” tanya Criss antusias.“Iya.” Bella mengangguk.Criss memegang kedua tangan Bella. “Coba diulang! Aku pengen deng
Kedatangan Keysha membuat semua penghuni rumah terkejut sekaligus bahagia. Suasana rumah pun kembali menjadi ramai dan hangat. Criss memeluk Bella erat.Semua tampak normal setelah kehadiran Keysha. Ya, rona wajah Bella tak murung lagi. Aura keibuannya semakin terpancar.Criss belajar banyak dari Bi Iyum tentang mengurus anak. Kala itu, ia sedang bermain dengan Keysha yang berusia empat bulan. Merelakan dirinya terkena pipis Keysha hingga membuat Bella tertawa. Kegigihan dan perhatiannya membuat hati Bella terenyuh.“Syukurlah dia mau nerima Keysha,” batin Bella.Pernah Criss mencoba memandikan Keysha. Ia terlihat begitu telaten, meskipun tetap harus didampingi Bi Iyum. Ia semakin mahir mengenai bayi.Berbulan-bulan, Criss selalu menyempatkan diri untuk bermain dengan Keysha meskipun pekerjaannya di kantor sangat banyak. Bella senang akan hal itu.Ding!Bunyi pesan masuk terdengar dari ponsel Criss. Bella mendengarnya juga dan bertanya, “Apa sebuah pesan? Dari s
Criss mengajak Bella ke hotel yang tidak jauh dari restoran tadi. Ia sudah siap bertempur malam ini.“Izinkan aku memberimu seorang anak,” ucap Criss dengan nafas yang memburu.“Criss ....”Seakan bulan madu yang tertunda. Criss melepas satu-persatu kain yang menutupi tubuh istrinya. Melemparnya ke sembarang tempat. Sementara Bella hanya bisa pasrah.Criss mulai beraksi. Ia membaringkan Bella yang tanpa sehelai benang pun. Mengecup adalah tindakan favoritnya.Bibir Bella adalah sasaran pertama. Ia memberi pautan yang begitu dalam. Merasakan setiap detik kebersamaannya dengan istri tercinta.Bella pun sangat menikmati. Ia membalas setiap perlakuan suaminya. Kecupan Criss turun dan membubuhi setiap jengkal leher Bella yang menggoda. Tubuh Criss memanas.Diputarnya gunung kembar di sana. Mana mungkin ia membiarkannya begitu saja.“I love you,” bisik Criss.Tak bisa membalas, Bella hanya bisa mengerjapkan mata menikmati sensasi itu. Dirinya seakan melayang. Ti
“Ah, aku enggak kuat liat dia nangis, hatiku sakit,” pikir Criss. Ia kembali ke ruangan tempat Bella berada, masuk dan hanya mendapati Bi Iyum di sana.“Bi, Papa dan Mama ke mana?” tanya Criss.“Mereka pergi ke bagian administrasi. Pak Eman kembali ke parkiran,” jawab Bi Iyum yang sedang merapikan ari-ari bayi Bella. Ia masukkan ke dalam sebuah guci kecil.“Kenapa mereka enggak minta aku buat bayar biaya persalinan Bella? Apa karena aku bukan ayah kandungnya? Ah, aku juga salah, kenapa aku terlambat mengurusnya?” batin Criss.“Criss, kamu dari mana?” tanya Bella.“Aku dari toilet,” sahut Criss yang kemudian duduk di ranjang tempat Bella berbaring. Ia memegang tangan istrinya dan saling memandang.Bi Iyum merasa tak enak dan canggung dengan keadaan itu. Ia tak mau mengganggu momen romantis majikannya.“Ya udah, Bibi pulang dulu, ya? Selamat Tuan, akhirnya kau jadi seorang
Bi Iyum pun tak mengerti dengan apa yang dilakukan Tuan yang sejak kecil diasuhnya. Yang ia tahu memang Criss itu orangnya jahil dan nakal.“Aku mau bawa Bibi ke rumahku dan Bella,” sahut Criss dengan entengnya.Hena mengernyitkan dahi. Ia dibuat bingung dengan kelakuan anaknya. “Maksudnya?”“Aku mau Bibi jagain Bella. Ya ... menjaga kehamilannya,” jelas Criss penuh penekanan. Matanya mendelik.“Tapi ... rumah ini gimana? Siapa yang mau masak dan bersih-bersih?”Hena mencemaskan rumahnya jika tanpa seorang asisten rumah tangga. Terlebih Bi Iyum sudah bekerja selama berpuluh-puluh tahun. Bahkan lebih dari umur Chiko sekarang. Bi Iyum sudah mengabdi sangat lama. Hena sama sekali tak berpikir akan mencari penggantinya.Sementara dirinya sama sekali tak pernah melakukan tugasnya baik sebagai istri mau pun sebagai ibu. Akan tetapi, setidaknya nasi goreng buatannya cukup enak. Ya, sayangnya ia jarang turun ke da