Berendam dalam bathub dengan air hangat membuat tubuhku sedikit relax, tidak peduli jika malam sudah sedikit larut dan memang tidak baik mandi malam yang akan mengakibatkan rematik jika terlalu sering. Tapi apa boleh buat, ini demi bisa tidur nyenyak malam ini.
Aku sengaja mengganti pakaian di kamar mandi, rasanya belum terbiasa jika harus di depan lelaki meski dia sudah sah dan berhak mendapatkan atas apa yang ada pada diriku. Tapi rasanya masih saja janggal. Aku keluar kamar mandi setelah mengganti baju tidur baru yang sengaja aku beli sebelum pernikahan. Aku bawa sendiri dari rumah, buat berjaga-jaga jika Evan nantinya malah menawariku baju tidur seksi yang kurang bahan. Bisa-bisa nanti aku masuk angin. Baju yang kukenakan sekarang mirip seperti daster berlengan, tapi ini sedikit lebih modern dengan bagian depan berenda dan panjang selutut. Di sana, aku melihat Evan tengah berbaring di sofa dengan mata terpejam. Kumis tipis dan janggut yang sedikit lebat itu semakin menonjolkan sisi ketampanan juga keeksotisan dirinya sebagai lelaki. Aku yang masih normal tentu dibuat deg-degan mendapati pemandangan indah seperti ini. “Jangan dipandangi begitu, Mbak. Aku tau kok, aku memang tampan.” Tiba-tiba Evan bersuara, lalu membuka matanya membuatku terkejut. Gegas aku membalikkan badan sebelum mata elangnya menelanku. “Swit, swiitt ....” Evan bersiul, suaranya persis seperti siulan laki-laki jika melihat cewek cantik dan berniat menggodanya. Aku diam mematung membelakanginya, kedua tanganku menahan dada yang berdebar kencang, bahkan lebih kencang dari sebelumnya. Entah seperti apa tatapannya sekarang. Ingin rasanya kabur dan pulang ke rumah dan tidur nyaman di kamarku yang sederhana. Tiba-tiba aku merasakan helaan napas di leher, aku menghidu aroma parfum Evan dalam jarak dekat. Lelaki itu berdiri persis di belakangku. Astaga ... apa Evan bakal melakukan yang iya-iya sekarang? “Mbak wangi,” ucapnya. Deg! Detik berikutnya tidak ada suara, nafasnya pun tidak lagi mengganggu bulu kudukku. Aroma parfumnya pun menghilang. Loh, ke mana dia? Aku memberanikan diri memutar badan dan mendapati Evan sudah kembali rebahan di sofa. Ia tertidur dan dengan mudah, hanya dalam waktu singkat terdengar dengkuran halus. “Van ... kamu tidur? Beneran?” tanyaku tanpa berani mendekat. Biasanya yang sering terjadi dalam adegan drakor adalah jika si cowok tidur dan ceweknya mendekat, yang terjadi selanjutnya adalah yang iya-iya. Misalnya si cewek mendekat lalu tangannya ditarik si cowok yang ternyata malah pura-pura tidur. “Van ....” Aku kembali bersuara, tapi tetap tidak ada jawaban. Sepertinya Evan benar-benar sudah tidur. Tapi dia belum ganti baju dan masih mengenakan jas. Ah, biarlah. Aku membuka lemari kecil yang ada di sudut kamar, di sana ada ekstra selimut. Aku mengambilnya satu dan kugunakan untuk menyelimuti tubuh Evan. Meski aku menikahi lelaki ini tanpa cinta, tapi tidak lucu juga membiarkannya kedinginan semalaman dan malah membuatnya masuk angin besok pagi. Bisa-bisa ada KDRT yang dilakukan istri pada suaminya di malam pertama. Kan nggak lucu. Tubuh Evan menggeliat sebentar saat selimut aku naikkan sampai leher. Lelaki itu terlihat nyenyak, aku tidak tega membangunkannya untuk sekadar ganti baju. Biarlah, sepertinya dia juga lelah. Aku mematikan lampu utama, penerangan kamar hanya dari lampu kecil yang terpasang di dinding membuat kesan remang-remang. Aku menarik selimut sampai leher, rasanya nyaman dan hangat. Tubuh yang lelah setelah seharian berdiri di pelaminan membuat kantuk datang lebih cepat. Mataku terpejam. Kesadaranku masih ada karena belum sepenuhnya terlelap. Aku mendengar suara langkah kaki yang mendekat, aku merasakan belaian lembut di pipi membuat jantungku kembali berpacu. Jangan-jangan Evan tadi hanya pura-pura tidur dan menyerangku dalam keadaan tidur. Ish ... ini tidak bisa dibiarkan. “Kamu cantik, Mbak.” Evan bersuara, membuatku urung membuka mata. Aku membiarkan lelaki ini menuntaskan apa yang akan dilakukannya padaku. Meski nantinya jika malam ini Evan benar-benar menagih haknya. Aku masih pura-pura tidur, meski dalam dadaku seperti tentara yang sedang bertempur saking groginya dibelai begitu mesra. “Aku sayang sama kamu, Mbak. Aku nggak akan maksa kamu untuk menunaikan kewajiban sebagai istri. Aku akan nunggu sampai kamu benar-benar siap menyerahkan segalanya padaku.” Kalimat panjang itu membuatku tersentuh. Apa Evan benar-benar bisa membuatku bahagia dan mengenyahkan luka yang pernah ditorehkan oleh kakaknya. Entah lah. Tangan Evan masih membelai pipi, lalu rambut. Lelaki ini hanya membelai tanpa melakukan hal lebih, cium misalnya. Eh, kok ngarep, sih. Dalam waktu tempo yang cukup lama Evan membuatku mati rasa. Mati rasa karena tidak bisa bergerak dan malah menikmati belaian tangannya yang hangat. Lalu tiba-tiba aku merasakan sentuhan di kening. Bukan tangan, melainkan bibirnya karena aku juga merasa geli saat janggutnya bersentuhan dengan hidung. “Mimpiin aku, Mbak.” Begitulah ucapnya. Lalu setelahnya, aku mendengar pintu kamar mandi terbuka dan terdengar kran air mengalir. Evan sepertinya mandi. Aku membuka mata, tanganku dengan cepat meraba jantung yang sepertinya mau keluar dari badan. Lebay memang, tapi sikap Evan yang manis dan terkesan cool membuatku lemas dan seolah ingin pasrah. Tapi, rasa trauma ini masih membelenggu dada. Aku merasa bersalah pada lelaki itu, sikap manisnya malah mendapat balasan sikap tidak peduli dariku. “Maafin aku, Evan.” Aku menarik selimut dan menutupi semua badan, aku tidak mau Evan melihatku menangis. ** “Percayalah padaku, Mbak. Aku akan buat Mbak bahagia!” Tangan Evan terulur, tapi saat aku hendak meraihnya, sosok itu perlahan menjauh. Aku berlari mengejar Evan, tapi dia menghilang. Aku terus memanggilnya, menjerit-jerit. “Evaannn!” “Mbak, kenapa?” Evan muncul dari kamar mandi, tubuh bagian bawahnya tertutup handuk serta rambut yang masih basah. Refleks aku bangkit dari ranjang dan berlari ke arahnya. Memeluk tubuhnya erat. Evan membalas pelukanku, mengusap punggungku lembut. Entah perasaan dari mana datangnya, tapi mimpi itu seperti nyata, Evan menghilang dan membuatku sedih. “Mimpi buruk, ya?” tanyanya. Aku mengangguk dan belum melepas pelukan. Mataku menghangat karena air mata yang secara tidak sopan lolos dari sana. “Takut kehilangan aku?” tanyanya lagi. Air mataku mendadak berhenti mengalir dan melepaskan pelukan, menjauhkan diri dari Evan. Kini mataku secara nyata bisa melihat roti sobek milik Evan dalam jarak yang dekat. “Astaga, roti sobek!” Aku menutup mulut yang sudah lancang berkata begitu, Evan menarik bibir lalu berjalan mendekat. “Roti sobeknya boleh, kok, dicobain, Mbak,” ucapnya dengan nada meledek. Aku melotot tapi lelaki itu malah tertawa. Dasar gila! Situasi gila ini akan menjadi semakin gila jika aku tidak segera menyudahinya. Bergegas aku berlari ke kamar mandi. Aku berharap Evan tidak melihat wajahku yang memerah.Momen pelukan yang tidak direncanakan tadi membuatku tidak bisa tidur. Masih terasa hangatnya tubuh Evan saat berada dalam jarak yang begitu dekat dengan dada ini. Astaga, kok bisa deg-degan ini nggak ilang, sih. Hidungku pun masih mencium aroma wangi sabun dari tubuh Evan.Jantungku berdebar kencang seperti genderang yang mau perang!Aaagghh ... aku menggigit ujung bedcover yang menutupi badan sampai batas leher. Aku menoleh ke arah sofa yang terletak di sebelah kiri dekat dengan jendela, Evan yang mengenakan pakaian tidur lengan pendek dan celana panjang sudah terlelap di sana. Selimut yang kupakaikan padanya tadi kembali terlipat di ujung sofa.Aku memiringkan tubuh, menatap lekat ke arah suamiku yang masih menahan nafsunya untuk tidak menyentuhku. Harus aku akui, dia baik. Hati ini pun luluh dengan sikapnya yang lembut. Tutur katanya yang pelan, membuatku merasa diperlakukan seperti seorang wanita yang paling berharga.“I love you, Mbak!” Aku mendengar Evan bersuara, tapi tubuhnya
Denis wiratama dan Evan wiratama, dua bersaudara yang memiliki perwatakan berbeda bak langit dan bumi. Denis bak bumi yang keras, sementara Evan bak langit yang siap membawaku terbang. Dan kini sudah saatnya untukku terbang bersama cinta baru yang akan membuatku tertawa.Awal pernikahanku dengan Denis dan Evan, sungguh jauh berbeda. Bersama Denis, aku harus patuh dan menjadi istri yang penurut. Apa pun kata-katanya tidak bisa dibantah. Aku dijadikan istri yang siap melayaninya di rumah, hanya di rumah. Tidak untuk di luar rumah, bahkan untuk dikenalkan ada temannya pun hanya bisa dihitung dengan jari. Bersama Evan, aku bisa merasakan menjadi wanita paling bahagia. Bahkan tidak sedetik pun ia membiarkan aku melamun, ada saja tingkah konyolnya yang akan membuatku tertawa. Atau lebih tepatnya, menjengkelkan. Lelaki itu ada saja idenya untuk menggangguku.Dasar bocah tengil!Hari ini kami masih di hotel, usai sarapan tadi kami menghabiskan waktu bersama di kamar. Rebahan manja, tentunya
Jika ada yang menganggap Evan laki-laki bodoh, dia memang begitu. Merasa dirinya bodoh di hadapan perempuan yang amat dicintainya. Bersedia mengalah, demi terjaganya hubungan baiknya bersama pasangan. Seperti halnya pagi ini, dia masih mau menerima seperti apa keadaan layaknya orang yang memiliki status teman. Bukan pengantin baru yang seharusnya penuh kemesraan. Evan tidak membantah apalagi protes, dia menuruti semua keinginanku. Dia akan meminta ijin jika ingin menyentuhku, dan tidak menyentuh ketika aku larang.Usai mandi dan berganti pakaian, Evan membawaku ke pusat perbelanjaan di kota Jakarta. Kami memasuki Mall dengan bergandengan tangan dengan penuh mesra. Aku tidak lagi memberontak apalagi membantah keinginannya memperlakukan aku seperti apa. Aku sudah pasrah, toh disakiti akan sama rasanya meski dengan lelaki berbeda. Jadi apa pun yang akan terjadi selanjutnya, aku akan menghadapi dengan bijak. Harusnya seperti itu, bukan?Mataku terasa bersinar kala memandangi toko-toko pa
“Emang kamu bisa milih makeup buat aku?” tanyaku hati-hati. Takut juga melihat ekspresi dia seperti tadi. Takut tersinggung, malah gagal shopping. Kan nggak asik.“Bisa, Kok. Aku kan sering diajak Mama beli makeup. Eh, maksudnya nemenin Mama kalo dia mau shopping.” Evan berucap sambil tangannya memilih bedak brand lokal. Tangannya dengan terampil membuka bungkus bedak itu, lalu menyapukan di punggung tangan.“Bagus, kok, Mbak. Ini cocok buat kulit Mbak yang normal dan sedikit kering. Kalo Mbak pake ini, cocok dan pasti makin cantik.”Aku mendelik kesal. Bisa-bisanya dia di saat begini menggombal. Tapi jika dilihat dari raut wajahnya, Evan berkata jujur dan sedang tidak mengambil kesempatan untuk menggodaku.“Jadi ini bagus buat aku?” tanyaku memastikan sambil mengambil bedak yang masih segel.“Iya, percaya, deh.” Evan tersenyum manis. Entah datang dorongan dari mana, aku pun membalas senyumannya itu.“Cantik!” serunya sambil berjalan melewatiku.Aku merasakan wajahku panas dipuji begi
Aku memilih langsung pulang meski Evan memaksa untuk makan di luar. Rasa lapar menguap begitu saja saat memikirkan adegan mesra tadi, meski sebenarnya aku pun tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Entah ucapan Evan yang jujur, atau memang dia hanya sedang menutupi kesalahannya saja. Entah lah, sejak Denis mengkhianati kepercayaanku, aku sulit untuk percaya lagi. Terlebih percaya pada cinta.Tas berisi make up kulempar ke kasur. Isinya berserakan di sana. Bodo amat, aku kesal. Sepanjang perjalanan aku diam. Entah apakah ini rasa cemburu atau marah atau kesal. Aku tidak mau ambil pusing. Terserah bagaimana hidupku jadinya.“Mbak nggak percaya sama omongan aku?” tanya Evan saat melihatku masih saja diam dan mengacuhkan ucapannya, terus berjalan ke kamar mandi. Tapi langkahku terhenti saat tangannya mencekal lengan.“Apa!” bentakku. Entah kenapa aku bisa selabil ini. Yang aku rasakan saat ini hanya marah dan kesal. Ingin berteriak kencang agar rasa sesak di dadaku ini hilang.Tuhan, ken
Ketika hati sudah memutuskan siap untuk menikah, sudah seharusnya tahu apa yang akan terjadi. Bagaimana pun takdirnya, jalani dengan ikhlas. Lalu, ketika ada sebuah kesalahpahaman, runding kan dengan pasangan untuk mencari jalan keluar terbaik agar tidak terjadi perpecahan apalagi sampai terjadinya sebuah perceraian. Redam ego yang ada pada diri sendiri, niscaya semuanya akan kembali berseri.Aku bahkan masih tidak percaya ketika Evan mampu meredam emosi yang tadi sempat naik. Lelaki itu dengan santai juga lembut menenangkan amarahku yang sedang bergejolak. Dan kini, kami sedang duduk bersisian, kepalaku bersandar mesra di bahunya. Entah ada dorongan dari mana datangnya, hati kecilku sedang ingin manja pada suamiku. Iya, suamiku. Aku sudah mulai mengakui Evan sebagai suami. Laki-laki yang pantas mendapatkan segalanya dariku.Setengah berbisik, Evan mengajakku untuk salat. Katanya salat bisa meredam emosi yang ada di hati. Aku percaya itu, karena guru di sekolah pun mengatakan jika sed
Posisi tidur kami miring, tapi saling berhadapan. Mata kami beradu dalam jarak yang sangat dekat, membuat suasana menjadi canggung. Ditambah cahaya lampu yang sengaja dibuat remang-remang membuat suasananya terasa aneh. Aku merasa merinding saat tangan Evan membelai kepala juga pipi, lalu jemarinya mengusap bibir.“Mbak, cantik!” puji Evan sambil tersenyum. Aku hanya bisa membalas senyumannya tanpa bisa membalas pujiannya. Biasanya aku akan memaki Evan jika dia berani menggombal, tapi sekarang, aku justru menikmati kata-kata manisnya.“Istriku yang cantik!” Evan kembali memuji dengan suara yang terdengar parau. Sepertinya ia hanyut dalam suasana mesra ini. Dan harus aku akui, aku pun sama.“Suamiku juga ganteng!” Aku membalas pujiannya. Sikap dan perlakuan Evan membuatku kehilangan kata-kata kasar yang biasa aku lontarkan jika ia sedang menggombal.Evan hanya tersenyum mendengar aku memujinya. Tangan Evan masih saja aktif membelai area kepala dan wajahku, membuat syaraf di tubuhku lem
Aku berusaha membuang muka saat Evan mencoba untuk melihat wajahku. Entah kenapa aku bisa memiliki rasa malu seperti ini. Mengingat kejadian tadi malam saat Evan meninggalkan bekas merah di payudara sebelah kanan, aku sama sekali tidak protes. Justru membiarkannya melakukan hal itu dan meninggalkan jejak pada sebelah kiri. Aku menikmatinya? Ah, gila! “Mbak!” panggil Evan. Tapi aku pura-pura tidak mendengar panggilannya yang jelas-jelas tepat di telingaku. Tanganku terus sibuk merapikan pakaian dan melipat dan memasukkan ke dalam koper kecil. “Mbak sayang!” panggilnya lagi. Laki-laki itu sama sekali tidak menyerah dan terus mencari cara agar aku mau menoleh ke arahnya. “Mbak sayang!” serunya terus menerus. Dan aku tetap diam. Dia sepertinya tahu jika aku malu jika menatap wajahnya. Terlalu memalukan karena aku benar-benar menikmati momen intim malam tadi meski tidak terjadi hal yang lebih intim lagi. Karena Evan memegang janjinya akan menungguku sampai siap. “Mbak say ....” “Sin
Caca masih terus mengoceh hingga kami tiba di meja kerja. Dea, si gadis manis dengan lesung pipinya sudah ada di sana, duduk manis di meja kerjanya menghadap laptop yang sudah menyala. Meja kerja kami berdekatan, meja Caca dan Dea berdampingan dan meja kerjaku ada di depan mereka, hanya terhalang sekat setinggi pinggang.“Duileh, penganten baru udah masuk!” Dea berkomentar saat dirinya melihatku dan Caca mendekat. “Muka lu seger banget, kayak rujak cingur yang biasa mangkal di gang rumah gue,” sambungnya lagi.Tahu ‘kan rujak cingur? Iya, rujak moncong sapi. Punya temen nggak kira-kira kalo ngomong. Suka asal jeblak. Untung, sayang.Dea dan Caca adalah sahabatku sejak masih berseragam putih abu-abu. Dea dan Caca memiliki nasib baik sampai bisa kuliah di universitas impian mereka, sementara aku justru bekerja di sebuah pabrik. Tapi takdir membawa kami kembali bertemu dan akhirnya bisa berkumpul lagi. Entah doa bapak yang mana sampai Allah membuat hidupku selalu penuh keberuntungan, mes
Aku segera menepis pikiran kotor itu. Buru-buru geleng-geleng kepala dan membalikkan badan, jangan sampai pikiran kotor itu diketahui Evan. Akan sangat memalukan dan dia pasti menggodaku sampai puas.Gegas aku menuju dapur, memasak untuk sarapan dan bekal kami ke kantor. Di kulkas semua tersedia lengkap, mulai dari frozen food, sayuran mentah juga buah-buahan. Semuanya lengkap. Aku tinggal memakai semua yang ada, karena itu semua disiapkan Evan untukku.Pukul lima, Evan sudah bangun. Laki-laki itu langsung mandi dan setelahnya mengganti baju tidur dengan pakaian kantor. Lalu duduk di meja makan menyantap sarapan, sementara aku mengganti pakaian.“Nanti pulang jam berapa, Mbak?” tanya Evan di sela-sela makannya.“Nggak tau, deh. Biasanya kan jam lima, mudah-mudahan aja nggak ada suruhan lembur mendadak!” ucapku sambil mengela napas panjang. Pengumuman lembur mendadak itu selalu benar-benar mendadak, karena diumumkan saat mepet jam pulang.“Nanti kabarin aku, ya. Biar aku jemput.”“Iya
Belum sempat Evan menyelesaikan perkataannya, terdengar suara orang mengobrol di lantai bawah. Seperti suara Mama bersama perempuan, Lilis, mungkin.Aku dan Evan bergegas turun dan menemui mereka berdua. Aku mencium punggung tangan Mama, lalu menyalami Lilis. Tatapan Mama masih sama seperti terakhir kali aku melihatnya, datar tanpa ekspresi. Aku tidak mau ambil pusing dengan apa yang ada di dalam pikiran beliau.“Udah makan? Kapan sampe?” tanya Mama pada Evan.“Tadi pagi, Ma. Aku sama Mbak Ana udah makan, kok!” jawab Evan.“Kok, manggil istrinya Mbak, sih, Van?” tanya Lilis heran.“Udah biasa, Mbak Lilis. Mau ganti manggil sayang, nanti istri aku protes!” seru Evan sambil dengan sengaja menyenggol bahuku, aku bisa menebak dia akan mencoba untuk menggodaku lagi.“Oh, gitu!” seru Lilis.“Ya udah. Kalian istirahat, gih. Pasti capek!” seru Mama lagi.“Mama mau ke kamar, capek juga. Tadi di butik rame banget.” Sebelum Mama meninggalkan kami dan masuk ke kamar, aku melihatnya tersenyum seki
“Enak!” Tatapan mata Evan menyiratkan bahagia. Tangan kanannya tak berhenti menyendokkan makanan ke mulutnya, sampai mulutnya itu penuh. “Ini akan menjadi makanan kesukaanku, Mbak!” Evan makan dengan lahapnya. Padahal yang tersaji di meja makan hanya lah sayur sop dan telur dadar, ditambah sambal tomat. Karena bahan makanan mentah yang ada di kulkas hanya itu. Entah sejak kapan Evan senang berbelanja bahan dapur, juga perintilan rumah tangga. Kapan juga laki-laki ini menyiapkan ini semua untukku? Ahh ... kenapa diri Evan selalu penuh rahasia dan kejutan? Kami makan di balkon, menggelar tikar plastik dan menata makanan yang sudah aku masak. Angin berembus pelan, menambah sejuknya cuaca pagi ini. Ditambah, di hadapanku ada laki-laki yang sedang lahapnya menyantap makanan sederhana yang aku buat. Aku hanya makan sedikit, sementara sisanya dirinya yang menyantap sampai tidak tersisa. Aku memandangi wajah tampan suamiku yang masih lahap makan. Ini adalah nasi ke tiga yang diletakkan ke
Aku berusaha membuang muka saat Evan mencoba untuk melihat wajahku. Entah kenapa aku bisa memiliki rasa malu seperti ini. Mengingat kejadian tadi malam saat Evan meninggalkan bekas merah di payudara sebelah kanan, aku sama sekali tidak protes. Justru membiarkannya melakukan hal itu dan meninggalkan jejak pada sebelah kiri. Aku menikmatinya? Ah, gila! “Mbak!” panggil Evan. Tapi aku pura-pura tidak mendengar panggilannya yang jelas-jelas tepat di telingaku. Tanganku terus sibuk merapikan pakaian dan melipat dan memasukkan ke dalam koper kecil. “Mbak sayang!” panggilnya lagi. Laki-laki itu sama sekali tidak menyerah dan terus mencari cara agar aku mau menoleh ke arahnya. “Mbak sayang!” serunya terus menerus. Dan aku tetap diam. Dia sepertinya tahu jika aku malu jika menatap wajahnya. Terlalu memalukan karena aku benar-benar menikmati momen intim malam tadi meski tidak terjadi hal yang lebih intim lagi. Karena Evan memegang janjinya akan menungguku sampai siap. “Mbak say ....” “Sin
Posisi tidur kami miring, tapi saling berhadapan. Mata kami beradu dalam jarak yang sangat dekat, membuat suasana menjadi canggung. Ditambah cahaya lampu yang sengaja dibuat remang-remang membuat suasananya terasa aneh. Aku merasa merinding saat tangan Evan membelai kepala juga pipi, lalu jemarinya mengusap bibir.“Mbak, cantik!” puji Evan sambil tersenyum. Aku hanya bisa membalas senyumannya tanpa bisa membalas pujiannya. Biasanya aku akan memaki Evan jika dia berani menggombal, tapi sekarang, aku justru menikmati kata-kata manisnya.“Istriku yang cantik!” Evan kembali memuji dengan suara yang terdengar parau. Sepertinya ia hanyut dalam suasana mesra ini. Dan harus aku akui, aku pun sama.“Suamiku juga ganteng!” Aku membalas pujiannya. Sikap dan perlakuan Evan membuatku kehilangan kata-kata kasar yang biasa aku lontarkan jika ia sedang menggombal.Evan hanya tersenyum mendengar aku memujinya. Tangan Evan masih saja aktif membelai area kepala dan wajahku, membuat syaraf di tubuhku lem
Ketika hati sudah memutuskan siap untuk menikah, sudah seharusnya tahu apa yang akan terjadi. Bagaimana pun takdirnya, jalani dengan ikhlas. Lalu, ketika ada sebuah kesalahpahaman, runding kan dengan pasangan untuk mencari jalan keluar terbaik agar tidak terjadi perpecahan apalagi sampai terjadinya sebuah perceraian. Redam ego yang ada pada diri sendiri, niscaya semuanya akan kembali berseri.Aku bahkan masih tidak percaya ketika Evan mampu meredam emosi yang tadi sempat naik. Lelaki itu dengan santai juga lembut menenangkan amarahku yang sedang bergejolak. Dan kini, kami sedang duduk bersisian, kepalaku bersandar mesra di bahunya. Entah ada dorongan dari mana datangnya, hati kecilku sedang ingin manja pada suamiku. Iya, suamiku. Aku sudah mulai mengakui Evan sebagai suami. Laki-laki yang pantas mendapatkan segalanya dariku.Setengah berbisik, Evan mengajakku untuk salat. Katanya salat bisa meredam emosi yang ada di hati. Aku percaya itu, karena guru di sekolah pun mengatakan jika sed
Aku memilih langsung pulang meski Evan memaksa untuk makan di luar. Rasa lapar menguap begitu saja saat memikirkan adegan mesra tadi, meski sebenarnya aku pun tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Entah ucapan Evan yang jujur, atau memang dia hanya sedang menutupi kesalahannya saja. Entah lah, sejak Denis mengkhianati kepercayaanku, aku sulit untuk percaya lagi. Terlebih percaya pada cinta.Tas berisi make up kulempar ke kasur. Isinya berserakan di sana. Bodo amat, aku kesal. Sepanjang perjalanan aku diam. Entah apakah ini rasa cemburu atau marah atau kesal. Aku tidak mau ambil pusing. Terserah bagaimana hidupku jadinya.“Mbak nggak percaya sama omongan aku?” tanya Evan saat melihatku masih saja diam dan mengacuhkan ucapannya, terus berjalan ke kamar mandi. Tapi langkahku terhenti saat tangannya mencekal lengan.“Apa!” bentakku. Entah kenapa aku bisa selabil ini. Yang aku rasakan saat ini hanya marah dan kesal. Ingin berteriak kencang agar rasa sesak di dadaku ini hilang.Tuhan, ken
“Emang kamu bisa milih makeup buat aku?” tanyaku hati-hati. Takut juga melihat ekspresi dia seperti tadi. Takut tersinggung, malah gagal shopping. Kan nggak asik.“Bisa, Kok. Aku kan sering diajak Mama beli makeup. Eh, maksudnya nemenin Mama kalo dia mau shopping.” Evan berucap sambil tangannya memilih bedak brand lokal. Tangannya dengan terampil membuka bungkus bedak itu, lalu menyapukan di punggung tangan.“Bagus, kok, Mbak. Ini cocok buat kulit Mbak yang normal dan sedikit kering. Kalo Mbak pake ini, cocok dan pasti makin cantik.”Aku mendelik kesal. Bisa-bisanya dia di saat begini menggombal. Tapi jika dilihat dari raut wajahnya, Evan berkata jujur dan sedang tidak mengambil kesempatan untuk menggodaku.“Jadi ini bagus buat aku?” tanyaku memastikan sambil mengambil bedak yang masih segel.“Iya, percaya, deh.” Evan tersenyum manis. Entah datang dorongan dari mana, aku pun membalas senyumannya itu.“Cantik!” serunya sambil berjalan melewatiku.Aku merasakan wajahku panas dipuji begi