Ketika hati sudah memutuskan siap untuk menikah, sudah seharusnya tahu apa yang akan terjadi. Bagaimana pun takdirnya, jalani dengan ikhlas. Lalu, ketika ada sebuah kesalahpahaman, runding kan dengan pasangan untuk mencari jalan keluar terbaik agar tidak terjadi perpecahan apalagi sampai terjadinya sebuah perceraian. Redam ego yang ada pada diri sendiri, niscaya semuanya akan kembali berseri.Aku bahkan masih tidak percaya ketika Evan mampu meredam emosi yang tadi sempat naik. Lelaki itu dengan santai juga lembut menenangkan amarahku yang sedang bergejolak. Dan kini, kami sedang duduk bersisian, kepalaku bersandar mesra di bahunya. Entah ada dorongan dari mana datangnya, hati kecilku sedang ingin manja pada suamiku. Iya, suamiku. Aku sudah mulai mengakui Evan sebagai suami. Laki-laki yang pantas mendapatkan segalanya dariku.Setengah berbisik, Evan mengajakku untuk salat. Katanya salat bisa meredam emosi yang ada di hati. Aku percaya itu, karena guru di sekolah pun mengatakan jika sed
Posisi tidur kami miring, tapi saling berhadapan. Mata kami beradu dalam jarak yang sangat dekat, membuat suasana menjadi canggung. Ditambah cahaya lampu yang sengaja dibuat remang-remang membuat suasananya terasa aneh. Aku merasa merinding saat tangan Evan membelai kepala juga pipi, lalu jemarinya mengusap bibir.“Mbak, cantik!” puji Evan sambil tersenyum. Aku hanya bisa membalas senyumannya tanpa bisa membalas pujiannya. Biasanya aku akan memaki Evan jika dia berani menggombal, tapi sekarang, aku justru menikmati kata-kata manisnya.“Istriku yang cantik!” Evan kembali memuji dengan suara yang terdengar parau. Sepertinya ia hanyut dalam suasana mesra ini. Dan harus aku akui, aku pun sama.“Suamiku juga ganteng!” Aku membalas pujiannya. Sikap dan perlakuan Evan membuatku kehilangan kata-kata kasar yang biasa aku lontarkan jika ia sedang menggombal.Evan hanya tersenyum mendengar aku memujinya. Tangan Evan masih saja aktif membelai area kepala dan wajahku, membuat syaraf di tubuhku lem
Aku berusaha membuang muka saat Evan mencoba untuk melihat wajahku. Entah kenapa aku bisa memiliki rasa malu seperti ini. Mengingat kejadian tadi malam saat Evan meninggalkan bekas merah di payudara sebelah kanan, aku sama sekali tidak protes. Justru membiarkannya melakukan hal itu dan meninggalkan jejak pada sebelah kiri. Aku menikmatinya? Ah, gila! “Mbak!” panggil Evan. Tapi aku pura-pura tidak mendengar panggilannya yang jelas-jelas tepat di telingaku. Tanganku terus sibuk merapikan pakaian dan melipat dan memasukkan ke dalam koper kecil. “Mbak sayang!” panggilnya lagi. Laki-laki itu sama sekali tidak menyerah dan terus mencari cara agar aku mau menoleh ke arahnya. “Mbak sayang!” serunya terus menerus. Dan aku tetap diam. Dia sepertinya tahu jika aku malu jika menatap wajahnya. Terlalu memalukan karena aku benar-benar menikmati momen intim malam tadi meski tidak terjadi hal yang lebih intim lagi. Karena Evan memegang janjinya akan menungguku sampai siap. “Mbak say ....” “Sin
“Enak!” Tatapan mata Evan menyiratkan bahagia. Tangan kanannya tak berhenti menyendokkan makanan ke mulutnya, sampai mulutnya itu penuh. “Ini akan menjadi makanan kesukaanku, Mbak!” Evan makan dengan lahapnya. Padahal yang tersaji di meja makan hanya lah sayur sop dan telur dadar, ditambah sambal tomat. Karena bahan makanan mentah yang ada di kulkas hanya itu. Entah sejak kapan Evan senang berbelanja bahan dapur, juga perintilan rumah tangga. Kapan juga laki-laki ini menyiapkan ini semua untukku? Ahh ... kenapa diri Evan selalu penuh rahasia dan kejutan? Kami makan di balkon, menggelar tikar plastik dan menata makanan yang sudah aku masak. Angin berembus pelan, menambah sejuknya cuaca pagi ini. Ditambah, di hadapanku ada laki-laki yang sedang lahapnya menyantap makanan sederhana yang aku buat. Aku hanya makan sedikit, sementara sisanya dirinya yang menyantap sampai tidak tersisa. Aku memandangi wajah tampan suamiku yang masih lahap makan. Ini adalah nasi ke tiga yang diletakkan ke
Belum sempat Evan menyelesaikan perkataannya, terdengar suara orang mengobrol di lantai bawah. Seperti suara Mama bersama perempuan, Lilis, mungkin.Aku dan Evan bergegas turun dan menemui mereka berdua. Aku mencium punggung tangan Mama, lalu menyalami Lilis. Tatapan Mama masih sama seperti terakhir kali aku melihatnya, datar tanpa ekspresi. Aku tidak mau ambil pusing dengan apa yang ada di dalam pikiran beliau.“Udah makan? Kapan sampe?” tanya Mama pada Evan.“Tadi pagi, Ma. Aku sama Mbak Ana udah makan, kok!” jawab Evan.“Kok, manggil istrinya Mbak, sih, Van?” tanya Lilis heran.“Udah biasa, Mbak Lilis. Mau ganti manggil sayang, nanti istri aku protes!” seru Evan sambil dengan sengaja menyenggol bahuku, aku bisa menebak dia akan mencoba untuk menggodaku lagi.“Oh, gitu!” seru Lilis.“Ya udah. Kalian istirahat, gih. Pasti capek!” seru Mama lagi.“Mama mau ke kamar, capek juga. Tadi di butik rame banget.” Sebelum Mama meninggalkan kami dan masuk ke kamar, aku melihatnya tersenyum seki
Aku segera menepis pikiran kotor itu. Buru-buru geleng-geleng kepala dan membalikkan badan, jangan sampai pikiran kotor itu diketahui Evan. Akan sangat memalukan dan dia pasti menggodaku sampai puas.Gegas aku menuju dapur, memasak untuk sarapan dan bekal kami ke kantor. Di kulkas semua tersedia lengkap, mulai dari frozen food, sayuran mentah juga buah-buahan. Semuanya lengkap. Aku tinggal memakai semua yang ada, karena itu semua disiapkan Evan untukku.Pukul lima, Evan sudah bangun. Laki-laki itu langsung mandi dan setelahnya mengganti baju tidur dengan pakaian kantor. Lalu duduk di meja makan menyantap sarapan, sementara aku mengganti pakaian.“Nanti pulang jam berapa, Mbak?” tanya Evan di sela-sela makannya.“Nggak tau, deh. Biasanya kan jam lima, mudah-mudahan aja nggak ada suruhan lembur mendadak!” ucapku sambil mengela napas panjang. Pengumuman lembur mendadak itu selalu benar-benar mendadak, karena diumumkan saat mepet jam pulang.“Nanti kabarin aku, ya. Biar aku jemput.”“Iya
Caca masih terus mengoceh hingga kami tiba di meja kerja. Dea, si gadis manis dengan lesung pipinya sudah ada di sana, duduk manis di meja kerjanya menghadap laptop yang sudah menyala. Meja kerja kami berdekatan, meja Caca dan Dea berdampingan dan meja kerjaku ada di depan mereka, hanya terhalang sekat setinggi pinggang.“Duileh, penganten baru udah masuk!” Dea berkomentar saat dirinya melihatku dan Caca mendekat. “Muka lu seger banget, kayak rujak cingur yang biasa mangkal di gang rumah gue,” sambungnya lagi.Tahu ‘kan rujak cingur? Iya, rujak moncong sapi. Punya temen nggak kira-kira kalo ngomong. Suka asal jeblak. Untung, sayang.Dea dan Caca adalah sahabatku sejak masih berseragam putih abu-abu. Dea dan Caca memiliki nasib baik sampai bisa kuliah di universitas impian mereka, sementara aku justru bekerja di sebuah pabrik. Tapi takdir membawa kami kembali bertemu dan akhirnya bisa berkumpul lagi. Entah doa bapak yang mana sampai Allah membuat hidupku selalu penuh keberuntungan, mes
Waktu bergulir begitu cepat di hari pertama masuk kerja. Pukul empat sore tepat, Evan menjemputku. Mobil Evan yang sudah terparkir mendapat sorotan tajam dari dua sahabatku. Bagaimana tidak, rencananya saat pulang kerja, kami Caca dan Dea mengajakku untuk duduk sejenak di cafe. Tapi saat mereka melihat jemputanku sudah datang, mereka pun melepaskan aku untuk pulang.“Enak banget punya suami. Ada yang anter jemput!” keluh Caca saat kami sudah ada di lobi kantor.“Hoo, Ca. Ana enak banget ya, disayang suami begitu. Berasa jadi wanita paling bahagia sedunia deh!” Dea menimpali dengan mimik wajah menyedihkan. Aku hanya tersenyum melihat tingkah mereka, doaku semoga mereka berdua lekas mendapatkan jodoh yang baik juga penyayang. Aamiin.“Gue duluan, ya, girls! See you tomorrow ledis!” Aku melambaikan tangan pada mereka yang masih berdiri mematung. Dea dan Caca masih saja melihat ke arahku meski sudah masuk ke mobil.“Mereka kenapa, Mbak? Kok lemes banget keliatannya?” tanya Evan sambil men
Aku hendak memejamkan mata, karena hawa dingin kamar ini membuatku ingin segera tidur nyenyak. Tapi mataku kembali segar saat melihat Caca ke luar dari kamar mandi. Gadis bermata sipit itu terlihat manis dengan balutan bathrobe berwarna merah muda.“Buset, nyonya. Bisa lebih lama lagi, nggak, mandinya?” tanya Dea setengah emosi. Gadis itu langsung duduk di sisi ranjang saat Caca berjalan santai dan duduk di meja riasnya.Tangan Caca membuka handuk yang menutupi rambutnya yang basah, lalu mengeringkannya dengan hair dryer.“Ya ampun, Dea. Ini termasuk mandi gue yang paling cepet, tau!”“What the fu*k!” Dea sudah terlihat kesal.Bagaimana tidak, di antara kami bertiga, hanya Dea yang tidak terlalu suka membuang waktu. Dia termasuk gadis yang paling pandai memanfaatkan waktu dan selalu tepat waktu.Caca tidak menimpali ucapan Dea. Dia dengan santai mengeringkan rambutnya.“ih, udah, deh. Jangan pada berantem. Lagian hal sepele begini kan emang sering kejadian.”Tepatnya bukan sering. Ini
Tidak ada yang berubah dari rumah Caca sejak terakhir kali aku mampir di rumahnya saat masih SMA dulu. Caca adalah penyelamat isi perutku. Gadis itu selalu membawa bekal makan lebih banyak yang separuhnya diberikan padaku. Aku yang saat itu tidak mampu untuk membawa uang jajan, apalagi membawa bekal makanan karena bapak harus fokus membiayai pengobatan ibu yang sedang sakit. Aku bisa bersekolah dengan bantuan beasiswa saja sudah sangat bersyukur, karena tujuanku sekolah saat itu hanya satu. Lulus dengan baik.Tapi Alhamdulillah, Allah maha baik sehingga memberikan aku dua sahabat yang luar biasa mulia. Tidak pernah memandangku sebelah mata hanya karena aku bukan dari kalangan orang kaya, tapi Dea dan Caca benar-benar merangkulku sebagai sahabat yang baik.Rumah berlantai tiga dengan pagar pembatas yang tinggi menjulang. Orang tua Caca adalah pengusaha hebat di bidang properti dan sukses karena sudah memiliki beberapa cabang di beberapa kota. Tidak heran jika rumah orang tua Caca terli
Malam yang kami lalui masih sama. Kali ini, tanpa aku yang melakukan, Evan sudah melakukannya lebih dulu. Meletakkan bantal guling sebagai pembatas tidur kami. Sejak malam pertama di hotel waktu itu, aku sudah mengawali ini dan sekarang Evan yang melakukannya. Tapi kali ini, entah kenapa hatiku terasa sakit. Aku merasa sakit melihat kerelaan Evan menjalani rumah tangga ini. Aku sakit karena telah menyiksa batinnya selama ini. Dan aku sekarang bingung bagaimana menyudahi ini semua, aku ingin hidup sebagai pasangan suami istri yang normal. Aku ingin bebas bergelayutan manja padanya, memeluk dan menciumnya dengan semauku dan kapan pun aku mau. Aku ingin merasakan sentuhannya setiap saat dia ingin. Aku inginkan itu, sungguh!Aku menoleh ke arah Evan yang sudah terlelap, terdengar dengkuran halus lolos dari bibirnya. Bulu-bulu halus mulai tumbuh di sekitar kumis dan jambangnya karena beberapa hari belakangan ini Evan terlalu sibuk dan belum sempat bercukur. Wajahnya yang putih terlihat sed
“Hhaaahhh ....” Aku hanya bisa mengela napas panjang. Ada sedikit rasa yang mengganjal di hatiku. Setiap detik dan hari yang aku lalui, selalu dipenuhi rasa bersalah karena membiarkan Evan begitu saja. Entah bagaimana keadaan Evan saat dirinya menahan luapan biologisnya yang sudah seharusnya segera tersalurkan. Tapi ia justru kuat menahannya dan tidak menunjukkan gejala aneh atau apa lah.“Van, aku minta maaf!” seruku lirih.Aku jongkok, mengusap kotak itu. Tapi bergegas kembali berdiri lagi, takut jika aku sampai tergoda dan mengenakan baju seksi itu. Lekas aku mengambil daster selutut dan pakaian dalam.Pintu lemari aku tutup kembali, meletakkan pakaian yang sudah aku pilih di kasur. Tanganku membuka handuk dan ....“Aargghh!” Evan berdiri di ambang pintu dan berteriak. Kedua tangannya menutupi wajah. Sontak, aku yang terlambat sadar ikut berteriak kencang sambil kembali menutupi tubuh dengan handuk.“Aduh, Mbak. Aku minta maaf. Sumpah, deh, aku nggak liat apa-apa!” seru Evan sambil
Evan tidak merasa bahwa dia meminta Denis untuk menjemputku, sementara tadi Denis bilang kalau dia disuruh Evan buat jemput aku.Siapa di antara mereka yang sedang berbohong dan siapa yang berkata benar? Meski tanpa bertanya pada mereka, aku sudah pasti menemukan jawabannya. Denis yang berbohong, karena hati kecilku berkata jika Evan berbicara jujur. Lagi pula, selama ini Evan tidak pernah berbohong padaku. Dia pun tidak pernah terlihat menyembunyikan sesuatu dariku. Entah, sih. Untuk saat ini, aku bisa merasakan jika Evan adalah laki-laki jujur dan Denis tidak.Aku tidak banyak bertanya tentang kejanggalan tadi pada Evan. Yang jelas, untuk saat ini dan seterusnya, aku harus lebih hati-hati ketika berhadapan dengan Denis. Laki-laki itu terlalu licik dan berbahaya. Apa lagi status Denis adalah mantan suami, tidak menutup kemungkinan jika di hatinya masih ada perasaan yang entah apa bentuknya padaku.Yang pasti, aku harus jauh-jauh dari Denis.Sikap Lilis pada Denis sampai detik ini mas
Denis ingin menjemputku? Kenapa? Ada apa? Bisakah aku menolak ajakan itu? Sungguh aku masih takut berhadapan dengan dia. Masih membekas di ingatan sisa perlakuan kasarnya padaku dulu. Jika aku berhadapan dengannya, tubuhku bereaksi mengeluarkan keringat dingin dan jantungku berdegup kencang. Takut.[Aku pulang naik taksi aja!]Akhirnya, aku membalas chat dari Denis.[Aku disuruh Evan buat jemput kamu!][Nanti aku jemput tepat waktu.]Balas Denis.Menyerah. Aku enggan berdebat lagi. Makan siang yang masih tersisa, enggan aku habiskan. Sisa makanan itu berakhir di tempat sampah. Dea dan Caca hanya bisa beradu pandang saat menyaksikan aku kehilangan nafsu makan.Benar saja. Tepat pukul lima sore, Denis sudah berada di lobi. Dengan pedenya laki-laki itu menungguku di resepsionis.“Lo balik sama Denis, An?” tanya Caca setengah berbisik-bisik. Dea yang berdiri di sebelah Caca melihat ke arah Denis dengan tatapan tidak percaya.“Mau gimana lagi.” Aku hanya bisa mengembuskan nafas pasrah. Pas
Aku masih berdiri depan bangunan itu, beberapa langkah lagi sudah masuk dan pastinya akan bertemu resepsionis. Pikiranku mengajakku agar masuk dan mencari keberadaan Denis yang entah berada di kamar berapa. Tapi hati kecilku mengatakan agar aku secepatnya pergi dari sana, sebelum semuanya terlambat dan malah akan mendatangkan masalah baru.Aku memejamkan mata sekejap, membulatkan tekad. Lalu dengan sepenuh jiwa membalikkan badan dan kembali melangkah menuju trotoar, berharap segera ada taksi yang kosong.Dewi Fortuna sedang berada di pihakku. Tak berapa lama kemudian, datang taksi kosong. Aku lantas naik dan mengatakan pada sopir ke mana tujuannya. Yaitu, ke kantor.Aku duduk bersandar, kepalaku mendadak terasa pusing. Bayangan Denis sedang bermesraan dengan wanita yang entah siapa malah menari-nari di pikiranku. Rasanya jijik membayangkan hal itu. Ingin rasanya menepis semua hal negatif yang bisa saja belum tentu terjadi, tapi sulit. Mobil Denis terlihat terparkir di sana, entah dia
Pernikahanku dengan Evan berjalan dengan baik. Evan bukan tipe laki-laki banyak menuntut. Ia justru semakin bersikap dewasa, tidak pernah mengeluh ketika sikapku ada yang tidak berkenan baginya. Ia malah mengimbangi langkahku dan selalu mengalah di setiap kondisi, membuatku akan merasa sangat bersalah ketika hendak marah.Evan di mataku itu sempurna. Mungkin itu untuk saat ini, entah jika di masa mendatang. Tapi bagiku, Evan sudah cukup menjadi baik sebagai suami dan aku ingin berusaha menjadi istri yang baik pula untuknya.Entah karena hal apa, Evan yang beberapa waktu lalu terlihat murung dan kadang kala uring-uringan, kini kembali ceria. Tawanya yang khas sudah kembali terdengar dan tidak ada lagi raut wajah yang sendu saat bertatapan di meja makan. Aku sedikit merasa lega karena tidak perlu mencari tahu penyebab hilangnya keceriaan Evan, meski pada dasarnya, aku masih penasaran saat ekspresi Evan menunjukkan keterkejutan saat dirinya melihat nomor ponsel misterius itu.Tadi pagi M
Aku tidak bisa fokus kerja, pengirim foto misterius itu semakin mengganggu pikiranku. Siapa dia, dan ada maksud apa melakukan ini padaku. Sungguh mengganggu! Bahkan aku tidak bersemangat menimpali ucapan Dea dan Caca yang sedang menceritakan tetangga yang baru menghuni rumah di sebelah mereka.Katanya, sih, laki-laki itu masih lajang dan bekerja di sebuah instansi pemerintah. Duh, siapa, sih, yang tidak tertarik pada kumbang matang seperti itu. Tapi lagi-lagi, pikiran tentang orang misterius dan juga sikap Denis yang sudah melampaui batas membuatku tidak bisa berpikir jernih, apalagi Evan melarang keras aku ikut campur dalam urusan itu.Ck. Kenapa sih!Caca dan Dea kesal dengan sikapku yang mendadak menjadi pemurung. Mereka lantas pergi saat jam kantor usai. Aku pun tidak ada niat untuk mencegah mereka, karena aku pun sedang tidak ingin diganggu oleh orang lain. Aku butuh ketenangan dalam kesendirian.Evan datang tepat setelah Caca dan Dea pergi, sehingga kami pun langsung meluncur pu