Aku berusaha membuang muka saat Evan mencoba untuk melihat wajahku. Entah kenapa aku bisa memiliki rasa malu seperti ini. Mengingat kejadian tadi malam saat Evan meninggalkan bekas merah di payudara sebelah kanan, aku sama sekali tidak protes. Justru membiarkannya melakukan hal itu dan meninggalkan jejak pada sebelah kiri. Aku menikmatinya? Ah, gila! “Mbak!” panggil Evan. Tapi aku pura-pura tidak mendengar panggilannya yang jelas-jelas tepat di telingaku. Tanganku terus sibuk merapikan pakaian dan melipat dan memasukkan ke dalam koper kecil. “Mbak sayang!” panggilnya lagi. Laki-laki itu sama sekali tidak menyerah dan terus mencari cara agar aku mau menoleh ke arahnya. “Mbak sayang!” serunya terus menerus. Dan aku tetap diam. Dia sepertinya tahu jika aku malu jika menatap wajahnya. Terlalu memalukan karena aku benar-benar menikmati momen intim malam tadi meski tidak terjadi hal yang lebih intim lagi. Karena Evan memegang janjinya akan menungguku sampai siap. “Mbak say ....” “Sin
“Enak!” Tatapan mata Evan menyiratkan bahagia. Tangan kanannya tak berhenti menyendokkan makanan ke mulutnya, sampai mulutnya itu penuh. “Ini akan menjadi makanan kesukaanku, Mbak!” Evan makan dengan lahapnya. Padahal yang tersaji di meja makan hanya lah sayur sop dan telur dadar, ditambah sambal tomat. Karena bahan makanan mentah yang ada di kulkas hanya itu. Entah sejak kapan Evan senang berbelanja bahan dapur, juga perintilan rumah tangga. Kapan juga laki-laki ini menyiapkan ini semua untukku? Ahh ... kenapa diri Evan selalu penuh rahasia dan kejutan? Kami makan di balkon, menggelar tikar plastik dan menata makanan yang sudah aku masak. Angin berembus pelan, menambah sejuknya cuaca pagi ini. Ditambah, di hadapanku ada laki-laki yang sedang lahapnya menyantap makanan sederhana yang aku buat. Aku hanya makan sedikit, sementara sisanya dirinya yang menyantap sampai tidak tersisa. Aku memandangi wajah tampan suamiku yang masih lahap makan. Ini adalah nasi ke tiga yang diletakkan ke
Belum sempat Evan menyelesaikan perkataannya, terdengar suara orang mengobrol di lantai bawah. Seperti suara Mama bersama perempuan, Lilis, mungkin.Aku dan Evan bergegas turun dan menemui mereka berdua. Aku mencium punggung tangan Mama, lalu menyalami Lilis. Tatapan Mama masih sama seperti terakhir kali aku melihatnya, datar tanpa ekspresi. Aku tidak mau ambil pusing dengan apa yang ada di dalam pikiran beliau.“Udah makan? Kapan sampe?” tanya Mama pada Evan.“Tadi pagi, Ma. Aku sama Mbak Ana udah makan, kok!” jawab Evan.“Kok, manggil istrinya Mbak, sih, Van?” tanya Lilis heran.“Udah biasa, Mbak Lilis. Mau ganti manggil sayang, nanti istri aku protes!” seru Evan sambil dengan sengaja menyenggol bahuku, aku bisa menebak dia akan mencoba untuk menggodaku lagi.“Oh, gitu!” seru Lilis.“Ya udah. Kalian istirahat, gih. Pasti capek!” seru Mama lagi.“Mama mau ke kamar, capek juga. Tadi di butik rame banget.” Sebelum Mama meninggalkan kami dan masuk ke kamar, aku melihatnya tersenyum seki
Aku segera menepis pikiran kotor itu. Buru-buru geleng-geleng kepala dan membalikkan badan, jangan sampai pikiran kotor itu diketahui Evan. Akan sangat memalukan dan dia pasti menggodaku sampai puas.Gegas aku menuju dapur, memasak untuk sarapan dan bekal kami ke kantor. Di kulkas semua tersedia lengkap, mulai dari frozen food, sayuran mentah juga buah-buahan. Semuanya lengkap. Aku tinggal memakai semua yang ada, karena itu semua disiapkan Evan untukku.Pukul lima, Evan sudah bangun. Laki-laki itu langsung mandi dan setelahnya mengganti baju tidur dengan pakaian kantor. Lalu duduk di meja makan menyantap sarapan, sementara aku mengganti pakaian.“Nanti pulang jam berapa, Mbak?” tanya Evan di sela-sela makannya.“Nggak tau, deh. Biasanya kan jam lima, mudah-mudahan aja nggak ada suruhan lembur mendadak!” ucapku sambil mengela napas panjang. Pengumuman lembur mendadak itu selalu benar-benar mendadak, karena diumumkan saat mepet jam pulang.“Nanti kabarin aku, ya. Biar aku jemput.”“Iya
Caca masih terus mengoceh hingga kami tiba di meja kerja. Dea, si gadis manis dengan lesung pipinya sudah ada di sana, duduk manis di meja kerjanya menghadap laptop yang sudah menyala. Meja kerja kami berdekatan, meja Caca dan Dea berdampingan dan meja kerjaku ada di depan mereka, hanya terhalang sekat setinggi pinggang.“Duileh, penganten baru udah masuk!” Dea berkomentar saat dirinya melihatku dan Caca mendekat. “Muka lu seger banget, kayak rujak cingur yang biasa mangkal di gang rumah gue,” sambungnya lagi.Tahu ‘kan rujak cingur? Iya, rujak moncong sapi. Punya temen nggak kira-kira kalo ngomong. Suka asal jeblak. Untung, sayang.Dea dan Caca adalah sahabatku sejak masih berseragam putih abu-abu. Dea dan Caca memiliki nasib baik sampai bisa kuliah di universitas impian mereka, sementara aku justru bekerja di sebuah pabrik. Tapi takdir membawa kami kembali bertemu dan akhirnya bisa berkumpul lagi. Entah doa bapak yang mana sampai Allah membuat hidupku selalu penuh keberuntungan, mes
Bab. 1 “Jangan menolak lamaranku, Mbak atau aku akan berbuat nekad!” Lelaki dengan tinggi badan 180 CM dan manik mata cokelat itu menatap tajam. Ia lalu berdiri dan melangkah mendekat. Tatapannya seolah menghipnotis, membuat tubuhku kaku dan sama sekali tidak bisa digerakkan. “K-kamu jangan bercanda, Evan!” seruku agak sedikit takut. Takut jika lelaki ini berani melancarkan aksinya seperti apa yang barusan ia katakan. “Mbak sudah cukup kenal seperti apa watakku, bukan?” Kini kedua tangannya memegang pegangan kursi yang aku duduki, mengurungku dengan lengannya yang kekar. Pandangan kami beradu. Ya ... bisa aku rasakan jika Evan sedang tidak bercanda sekarang. Aku menutup mata menghindari tatapan matanya yang serasa menusuk pupil. Aku tidak bisa berkutik sekarang, yang ada dalam pikiranku adalah bagaimana memikirkan agar bisa terbebas dari situasi menjijikkan seperti ini. “Aku tidak menerima penolakan! Mbak, harus mau menikah denganku!” Suaranya kembali menggema masuk ke dalam te
Aku mematut diri di depan cermin. Polesan dari MUA yang dipesan Evan benar-benar kualitas jempol. Wajahku yang biasa saja disulap menjadi bidadari kesiangan yang menjadi pusat perhatian para undangan, terutama mantan suamiku, Denis. Seharian kami menjadi pusat perhatian tamu yang datang.Waktu seolah berlari dan menghilangkan rasa trauma, membuatku merasakan tenang dan dengan mudah menjawab ‘iya pada Evan yang memintaku menjadi istrinya. Terlebih saat ia meminta restu pada bapak dan keluarga besarku, semuanya setuju tanpa ada satu pun yang menolak.Aku curiga jika Evan memakai ilmu santet agar rencananya lancar.Astagfirullah! Dosa, Ana. Suudzon itu nggak baik!Aku menundukkan kepala, rasanya seperti Dejavu, seperti saat aku pertama kali menikah. Pikiranku mengembara saat pertama kali Denis mengucapkan kalimat ijab qobul yang disaksikan semua orang. Tapi naasnya pernikahan itu hanya bertahan dua tahun dan berakhir di meja perceraian. Satu-satunya alasan yang tidak bisa aku terima sam
Berendam dalam bathub dengan air hangat membuat tubuhku sedikit relax, tidak peduli jika malam sudah sedikit larut dan memang tidak baik mandi malam yang akan mengakibatkan rematik jika terlalu sering. Tapi apa boleh buat, ini demi bisa tidur nyenyak malam ini.Aku sengaja mengganti pakaian di kamar mandi, rasanya belum terbiasa jika harus di depan lelaki meski dia sudah sah dan berhak mendapatkan atas apa yang ada pada diriku. Tapi rasanya masih saja janggal.Aku keluar kamar mandi setelah mengganti baju tidur baru yang sengaja aku beli sebelum pernikahan. Aku bawa sendiri dari rumah, buat berjaga-jaga jika Evan nantinya malah menawariku baju tidur seksi yang kurang bahan. Bisa-bisa nanti aku masuk angin. Baju yang kukenakan sekarang mirip seperti daster berlengan, tapi ini sedikit lebih modern dengan bagian depan berenda dan panjang selutut.Di sana, aku melihat Evan tengah berbaring di sofa dengan mata terpejam. Kumis tipis dan janggut yang sedikit lebat itu semakin menonjolkan si
Caca masih terus mengoceh hingga kami tiba di meja kerja. Dea, si gadis manis dengan lesung pipinya sudah ada di sana, duduk manis di meja kerjanya menghadap laptop yang sudah menyala. Meja kerja kami berdekatan, meja Caca dan Dea berdampingan dan meja kerjaku ada di depan mereka, hanya terhalang sekat setinggi pinggang.“Duileh, penganten baru udah masuk!” Dea berkomentar saat dirinya melihatku dan Caca mendekat. “Muka lu seger banget, kayak rujak cingur yang biasa mangkal di gang rumah gue,” sambungnya lagi.Tahu ‘kan rujak cingur? Iya, rujak moncong sapi. Punya temen nggak kira-kira kalo ngomong. Suka asal jeblak. Untung, sayang.Dea dan Caca adalah sahabatku sejak masih berseragam putih abu-abu. Dea dan Caca memiliki nasib baik sampai bisa kuliah di universitas impian mereka, sementara aku justru bekerja di sebuah pabrik. Tapi takdir membawa kami kembali bertemu dan akhirnya bisa berkumpul lagi. Entah doa bapak yang mana sampai Allah membuat hidupku selalu penuh keberuntungan, mes
Aku segera menepis pikiran kotor itu. Buru-buru geleng-geleng kepala dan membalikkan badan, jangan sampai pikiran kotor itu diketahui Evan. Akan sangat memalukan dan dia pasti menggodaku sampai puas.Gegas aku menuju dapur, memasak untuk sarapan dan bekal kami ke kantor. Di kulkas semua tersedia lengkap, mulai dari frozen food, sayuran mentah juga buah-buahan. Semuanya lengkap. Aku tinggal memakai semua yang ada, karena itu semua disiapkan Evan untukku.Pukul lima, Evan sudah bangun. Laki-laki itu langsung mandi dan setelahnya mengganti baju tidur dengan pakaian kantor. Lalu duduk di meja makan menyantap sarapan, sementara aku mengganti pakaian.“Nanti pulang jam berapa, Mbak?” tanya Evan di sela-sela makannya.“Nggak tau, deh. Biasanya kan jam lima, mudah-mudahan aja nggak ada suruhan lembur mendadak!” ucapku sambil mengela napas panjang. Pengumuman lembur mendadak itu selalu benar-benar mendadak, karena diumumkan saat mepet jam pulang.“Nanti kabarin aku, ya. Biar aku jemput.”“Iya
Belum sempat Evan menyelesaikan perkataannya, terdengar suara orang mengobrol di lantai bawah. Seperti suara Mama bersama perempuan, Lilis, mungkin.Aku dan Evan bergegas turun dan menemui mereka berdua. Aku mencium punggung tangan Mama, lalu menyalami Lilis. Tatapan Mama masih sama seperti terakhir kali aku melihatnya, datar tanpa ekspresi. Aku tidak mau ambil pusing dengan apa yang ada di dalam pikiran beliau.“Udah makan? Kapan sampe?” tanya Mama pada Evan.“Tadi pagi, Ma. Aku sama Mbak Ana udah makan, kok!” jawab Evan.“Kok, manggil istrinya Mbak, sih, Van?” tanya Lilis heran.“Udah biasa, Mbak Lilis. Mau ganti manggil sayang, nanti istri aku protes!” seru Evan sambil dengan sengaja menyenggol bahuku, aku bisa menebak dia akan mencoba untuk menggodaku lagi.“Oh, gitu!” seru Lilis.“Ya udah. Kalian istirahat, gih. Pasti capek!” seru Mama lagi.“Mama mau ke kamar, capek juga. Tadi di butik rame banget.” Sebelum Mama meninggalkan kami dan masuk ke kamar, aku melihatnya tersenyum seki
“Enak!” Tatapan mata Evan menyiratkan bahagia. Tangan kanannya tak berhenti menyendokkan makanan ke mulutnya, sampai mulutnya itu penuh. “Ini akan menjadi makanan kesukaanku, Mbak!” Evan makan dengan lahapnya. Padahal yang tersaji di meja makan hanya lah sayur sop dan telur dadar, ditambah sambal tomat. Karena bahan makanan mentah yang ada di kulkas hanya itu. Entah sejak kapan Evan senang berbelanja bahan dapur, juga perintilan rumah tangga. Kapan juga laki-laki ini menyiapkan ini semua untukku? Ahh ... kenapa diri Evan selalu penuh rahasia dan kejutan? Kami makan di balkon, menggelar tikar plastik dan menata makanan yang sudah aku masak. Angin berembus pelan, menambah sejuknya cuaca pagi ini. Ditambah, di hadapanku ada laki-laki yang sedang lahapnya menyantap makanan sederhana yang aku buat. Aku hanya makan sedikit, sementara sisanya dirinya yang menyantap sampai tidak tersisa. Aku memandangi wajah tampan suamiku yang masih lahap makan. Ini adalah nasi ke tiga yang diletakkan ke
Aku berusaha membuang muka saat Evan mencoba untuk melihat wajahku. Entah kenapa aku bisa memiliki rasa malu seperti ini. Mengingat kejadian tadi malam saat Evan meninggalkan bekas merah di payudara sebelah kanan, aku sama sekali tidak protes. Justru membiarkannya melakukan hal itu dan meninggalkan jejak pada sebelah kiri. Aku menikmatinya? Ah, gila! “Mbak!” panggil Evan. Tapi aku pura-pura tidak mendengar panggilannya yang jelas-jelas tepat di telingaku. Tanganku terus sibuk merapikan pakaian dan melipat dan memasukkan ke dalam koper kecil. “Mbak sayang!” panggilnya lagi. Laki-laki itu sama sekali tidak menyerah dan terus mencari cara agar aku mau menoleh ke arahnya. “Mbak sayang!” serunya terus menerus. Dan aku tetap diam. Dia sepertinya tahu jika aku malu jika menatap wajahnya. Terlalu memalukan karena aku benar-benar menikmati momen intim malam tadi meski tidak terjadi hal yang lebih intim lagi. Karena Evan memegang janjinya akan menungguku sampai siap. “Mbak say ....” “Sin
Posisi tidur kami miring, tapi saling berhadapan. Mata kami beradu dalam jarak yang sangat dekat, membuat suasana menjadi canggung. Ditambah cahaya lampu yang sengaja dibuat remang-remang membuat suasananya terasa aneh. Aku merasa merinding saat tangan Evan membelai kepala juga pipi, lalu jemarinya mengusap bibir.“Mbak, cantik!” puji Evan sambil tersenyum. Aku hanya bisa membalas senyumannya tanpa bisa membalas pujiannya. Biasanya aku akan memaki Evan jika dia berani menggombal, tapi sekarang, aku justru menikmati kata-kata manisnya.“Istriku yang cantik!” Evan kembali memuji dengan suara yang terdengar parau. Sepertinya ia hanyut dalam suasana mesra ini. Dan harus aku akui, aku pun sama.“Suamiku juga ganteng!” Aku membalas pujiannya. Sikap dan perlakuan Evan membuatku kehilangan kata-kata kasar yang biasa aku lontarkan jika ia sedang menggombal.Evan hanya tersenyum mendengar aku memujinya. Tangan Evan masih saja aktif membelai area kepala dan wajahku, membuat syaraf di tubuhku lem
Ketika hati sudah memutuskan siap untuk menikah, sudah seharusnya tahu apa yang akan terjadi. Bagaimana pun takdirnya, jalani dengan ikhlas. Lalu, ketika ada sebuah kesalahpahaman, runding kan dengan pasangan untuk mencari jalan keluar terbaik agar tidak terjadi perpecahan apalagi sampai terjadinya sebuah perceraian. Redam ego yang ada pada diri sendiri, niscaya semuanya akan kembali berseri.Aku bahkan masih tidak percaya ketika Evan mampu meredam emosi yang tadi sempat naik. Lelaki itu dengan santai juga lembut menenangkan amarahku yang sedang bergejolak. Dan kini, kami sedang duduk bersisian, kepalaku bersandar mesra di bahunya. Entah ada dorongan dari mana datangnya, hati kecilku sedang ingin manja pada suamiku. Iya, suamiku. Aku sudah mulai mengakui Evan sebagai suami. Laki-laki yang pantas mendapatkan segalanya dariku.Setengah berbisik, Evan mengajakku untuk salat. Katanya salat bisa meredam emosi yang ada di hati. Aku percaya itu, karena guru di sekolah pun mengatakan jika sed
Aku memilih langsung pulang meski Evan memaksa untuk makan di luar. Rasa lapar menguap begitu saja saat memikirkan adegan mesra tadi, meski sebenarnya aku pun tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Entah ucapan Evan yang jujur, atau memang dia hanya sedang menutupi kesalahannya saja. Entah lah, sejak Denis mengkhianati kepercayaanku, aku sulit untuk percaya lagi. Terlebih percaya pada cinta.Tas berisi make up kulempar ke kasur. Isinya berserakan di sana. Bodo amat, aku kesal. Sepanjang perjalanan aku diam. Entah apakah ini rasa cemburu atau marah atau kesal. Aku tidak mau ambil pusing. Terserah bagaimana hidupku jadinya.“Mbak nggak percaya sama omongan aku?” tanya Evan saat melihatku masih saja diam dan mengacuhkan ucapannya, terus berjalan ke kamar mandi. Tapi langkahku terhenti saat tangannya mencekal lengan.“Apa!” bentakku. Entah kenapa aku bisa selabil ini. Yang aku rasakan saat ini hanya marah dan kesal. Ingin berteriak kencang agar rasa sesak di dadaku ini hilang.Tuhan, ken
“Emang kamu bisa milih makeup buat aku?” tanyaku hati-hati. Takut juga melihat ekspresi dia seperti tadi. Takut tersinggung, malah gagal shopping. Kan nggak asik.“Bisa, Kok. Aku kan sering diajak Mama beli makeup. Eh, maksudnya nemenin Mama kalo dia mau shopping.” Evan berucap sambil tangannya memilih bedak brand lokal. Tangannya dengan terampil membuka bungkus bedak itu, lalu menyapukan di punggung tangan.“Bagus, kok, Mbak. Ini cocok buat kulit Mbak yang normal dan sedikit kering. Kalo Mbak pake ini, cocok dan pasti makin cantik.”Aku mendelik kesal. Bisa-bisanya dia di saat begini menggombal. Tapi jika dilihat dari raut wajahnya, Evan berkata jujur dan sedang tidak mengambil kesempatan untuk menggodaku.“Jadi ini bagus buat aku?” tanyaku memastikan sambil mengambil bedak yang masih segel.“Iya, percaya, deh.” Evan tersenyum manis. Entah datang dorongan dari mana, aku pun membalas senyumannya itu.“Cantik!” serunya sambil berjalan melewatiku.Aku merasakan wajahku panas dipuji begi