Caca masih terus mengoceh hingga kami tiba di meja kerja. Dea, si gadis manis dengan lesung pipinya sudah ada di sana, duduk manis di meja kerjanya menghadap laptop yang sudah menyala. Meja kerja kami berdekatan, meja Caca dan Dea berdampingan dan meja kerjaku ada di depan mereka, hanya terhalang sekat setinggi pinggang.“Duileh, penganten baru udah masuk!” Dea berkomentar saat dirinya melihatku dan Caca mendekat. “Muka lu seger banget, kayak rujak cingur yang biasa mangkal di gang rumah gue,” sambungnya lagi.Tahu ‘kan rujak cingur? Iya, rujak moncong sapi. Punya temen nggak kira-kira kalo ngomong. Suka asal jeblak. Untung, sayang.Dea dan Caca adalah sahabatku sejak masih berseragam putih abu-abu. Dea dan Caca memiliki nasib baik sampai bisa kuliah di universitas impian mereka, sementara aku justru bekerja di sebuah pabrik. Tapi takdir membawa kami kembali bertemu dan akhirnya bisa berkumpul lagi. Entah doa bapak yang mana sampai Allah membuat hidupku selalu penuh keberuntungan, mes
Waktu bergulir begitu cepat di hari pertama masuk kerja. Pukul empat sore tepat, Evan menjemputku. Mobil Evan yang sudah terparkir mendapat sorotan tajam dari dua sahabatku. Bagaimana tidak, rencananya saat pulang kerja, kami Caca dan Dea mengajakku untuk duduk sejenak di cafe. Tapi saat mereka melihat jemputanku sudah datang, mereka pun melepaskan aku untuk pulang.“Enak banget punya suami. Ada yang anter jemput!” keluh Caca saat kami sudah ada di lobi kantor.“Hoo, Ca. Ana enak banget ya, disayang suami begitu. Berasa jadi wanita paling bahagia sedunia deh!” Dea menimpali dengan mimik wajah menyedihkan. Aku hanya tersenyum melihat tingkah mereka, doaku semoga mereka berdua lekas mendapatkan jodoh yang baik juga penyayang. Aamiin.“Gue duluan, ya, girls! See you tomorrow ledis!” Aku melambaikan tangan pada mereka yang masih berdiri mematung. Dea dan Caca masih saja melihat ke arahku meski sudah masuk ke mobil.“Mereka kenapa, Mbak? Kok lemes banget keliatannya?” tanya Evan sambil men
Evan terus saja mengejarku dengan ucapannya yang ngasal tapi tepat sasaran. Aku memang sedang berkhayal memainkan bulu-bulu indah di wajahnya itu, menciuminya perlahan, lalu ....Tapi aku berharap khayalan itu tidak pernah diketahui Evan. Bisa-bisa, dia akan meledekku habis-habisan atau justru mewujudkannya. Aduh, jadi pengen beneran, kan.“Assalamu’alaikum !” ucapku dan Evan bersamaan. Mama, Lilis dan Denis menjawab berbarengan pula. Ketiganya sedang duduk di meja makan dan di meja tersaji hidangan yang banyak juga terlihat lezat. Ada acara apa ini?“Duduk dulu, sini, An, Van!” Mama berseru dengan tangan kanan melambai dan mengisyaratkan untuk menempati kursi di bagian kiri, karena di sebelahnya sudah ditempati Lilis dan Denis.Aku dan Evan saling pandang, lalu sedetik berikutnya mengikuti arahan Mama. Evan meletakkan paper bag dan tas kerja di sofa.“Ada acara apa ini, Ma? Kok tumben banyak makanan?” tanya Evan saat kami sudah duduk. Evan duduk di dekat Mama, berhadapan dengan Lilis
Sampai malam tiba, aku masih rebahan. Setelah cuci muka dan berganti pakaian aku kembali tiduran. Evan sudah memberiku Paracetamol, khawatir pusing ini akan menjadi demam jika dibiarkan berlarut-larut.Aku masih di atas ranjang, sementara Evan tadi dia ijin duduk di sofa, mengerjakan file yang harus beres besok pagi. Aku pun tidak keberatan.Aku masih memikirkan sikap Denis tadi di meja makan. Arti tatapan menakutkan itu yang hanya ditujukan untukku. Lalu apa juga maksudnya mengusap kakiku? Kenapa sekarang sikapnya seperti laki-laki nakal, padahal dia memiliki istri yang baik dan sempurna di mata Mama. Kalau Denis bisa bersikap nekat padaku, tidak menutup kemungkinan dia bisa main dengan perempuan lain di luar sana.Astaga! Kenapa aku malah suuzon sama orang, sih!Sakit kepala tadi berangsur membaik setelah minum obat, hanya saja kini aku justru tidak bisa tidur. Mataku memandang langit-langit kamar, entah apa yang sedang aku bayangkan. Hanya saja, langit-langit berwarna putih polos i
Pagi ini ada insiden sedikit. Aku berdebat dengan Evan karena laki-laki itu melarangku berangkat ke kantor.“Mbak tuh masih sakit, udah, lah. Istirahat aja. Biar aku yang kerja. Toh, Mbak itu sudah menjadi tanggung jawab aku sebagai suami. Mbak resign aja!” Begitulah ucapannya yang sukses membuatku meradang. Aku marah sekaligus kesal padanya. Bisa-bisanya dia melarangku bekerja dan mulai mengekangku dengan alasan aku adalah istri yang harus patuh pada suami.“Aku lagi nggak pengen debat, Van. Lagian aku udah sehat. Kamu aja yang lebay. Berlebihan tau rasa khawatir kamu, tuh!” seruku tak mau kalah. Aku tetap berganti pakaian, mengenakan rok selutut juga jas yang biasa aku kenakan di kantor.“Jangan ngeyel, Mbak. Udah, resign aja. Mbak fokus aja ngurus aku dan rumah tangga kita! Mbak nggak usah capek-capek kerja cari uang. Biar aku aja!”“Heh, Van. Kamu jangan lupa perjanjian kita sebelum menikah. Aku mau nikah sama kamu asalkan kamu tetap mengizinkan aku bekerja dengan baik dan baru ak
Sampai malam tiba, aku masih rebahan. Setelah cuci muka dan berganti pakaian aku kembali tiduran. Evan sudah memberiku Paracetamol, khawatir pusing ini akan menjadi demam jika dibiarkan berlarut-larut.Aku masih di atas ranjang, sementara Evan tadi dia ijin duduk di sofa, mengerjakan file yang harus beres besok pagi. Aku pun tidak keberatan.Aku masih memikirkan sikap Denis tadi di meja makan. Arti tatapan menakutkan itu yang hanya ditujukan untukku. Lalu apa juga maksudnya mengusap kakiku? Kenapa sekarang sikapnya seperti laki-laki nakal, padahal dia memiliki istri yang baik dan sempurna di mata Mama. Kalau Denis bisa bersikap nekat padaku, tidak menutup kemungkinan dia bisa main dengan perempuan lain di luar sana.Astaga! Kenapa aku malah suuzon sama orang, sih!Sakit kepala tadi berangsur membaik setelah minum obat, hanya saja kini aku justru tidak bisa tidur. Mataku memandang langit-langit kamar, entah apa yang sedang aku bayangkan. Hanya saja, langit-langit berwarna putih polos i
Pagi ini ada insiden sedikit. Aku berdebat dengan Evan karena laki-laki itu melarangku berangkat ke kantor.“Mbak tuh masih sakit, udah, lah. Istirahat aja. Biar aku yang kerja. Toh, Mbak itu sudah menjadi tanggung jawab aku sebagai suami. Mbak resign aja!” Begitulah ucapannya yang sukses membuatku meradang. Aku marah sekaligus kesal padanya. Bisa-bisanya dia melarangku bekerja dan mulai mengekangku dengan alasan aku adalah istri yang harus patuh pada suami.“Aku lagi nggak pengen debat, Van. Lagian aku udah sehat. Kamu aja yang lebay. Berlebihan tau rasa khawatir kamu, tuh!” seruku tak mau kalah. Aku tetap berganti pakaian, mengenakan rok selutut juga jas yang biasa aku kenakan di kantor.“Jangan ngeyel, Mbak. Udah, resign aja. Mbak fokus aja ngurus aku dan rumah tangga kita! Mbak nggak usah capek-capek kerja cari uang. Biar aku aja!”“Heh, Van. Kamu jangan lupa perjanjian kita sebelum menikah. Aku mau nikah sama kamu asalkan kamu tetap mengizinkan aku bekerja dengan baik dan baru ak
Evan membawakan semua pesananku, kini semuanya tersaji di meja makan. Evan mengambil mangkok untuk tempat bakso, juga piring untuk martabak. Aku hanya menyaksikan momen indah ini sambil duduk manis menikmati teh manis hangat buatannya. Si pemilik punggung lebar dan kekar itu masih berdiri di depan wastafel, sedang mencuci tangan.Mama, Lilis dan Denis sepertinya sudah istirahat. Aku asal tebak saja, karena aku lihat lampu di ruang tengah tidak menyala.“Kok tumben lembur sampe malem, Van? Emang di kantor lagi ada acara apa?” Aku bertanya sambil mencomot sepotong martabak lalu memakannya.“Ada proyek baru lagi nanti, tapi di luar kota. Bukan di Jakarta. Katanya nanti bakalan ada yang ditugaskan ke sana buat pengecekan, takut ada yang nggak bisa menjalankan tugas.”Evan kini duduk di hadapanku, membuka bungkus plastik bakso, dan menuangkan isinya ke dalam mangkok, lalu menggeser benda bulat itu padaku.“Siapa yang ditugasin emang?” tanyaku sambil melahap bakso kecil. Malam-malam begini,
Aku hendak memejamkan mata, karena hawa dingin kamar ini membuatku ingin segera tidur nyenyak. Tapi mataku kembali segar saat melihat Caca ke luar dari kamar mandi. Gadis bermata sipit itu terlihat manis dengan balutan bathrobe berwarna merah muda.“Buset, nyonya. Bisa lebih lama lagi, nggak, mandinya?” tanya Dea setengah emosi. Gadis itu langsung duduk di sisi ranjang saat Caca berjalan santai dan duduk di meja riasnya.Tangan Caca membuka handuk yang menutupi rambutnya yang basah, lalu mengeringkannya dengan hair dryer.“Ya ampun, Dea. Ini termasuk mandi gue yang paling cepet, tau!”“What the fu*k!” Dea sudah terlihat kesal.Bagaimana tidak, di antara kami bertiga, hanya Dea yang tidak terlalu suka membuang waktu. Dia termasuk gadis yang paling pandai memanfaatkan waktu dan selalu tepat waktu.Caca tidak menimpali ucapan Dea. Dia dengan santai mengeringkan rambutnya.“ih, udah, deh. Jangan pada berantem. Lagian hal sepele begini kan emang sering kejadian.”Tepatnya bukan sering. Ini
Tidak ada yang berubah dari rumah Caca sejak terakhir kali aku mampir di rumahnya saat masih SMA dulu. Caca adalah penyelamat isi perutku. Gadis itu selalu membawa bekal makan lebih banyak yang separuhnya diberikan padaku. Aku yang saat itu tidak mampu untuk membawa uang jajan, apalagi membawa bekal makanan karena bapak harus fokus membiayai pengobatan ibu yang sedang sakit. Aku bisa bersekolah dengan bantuan beasiswa saja sudah sangat bersyukur, karena tujuanku sekolah saat itu hanya satu. Lulus dengan baik.Tapi Alhamdulillah, Allah maha baik sehingga memberikan aku dua sahabat yang luar biasa mulia. Tidak pernah memandangku sebelah mata hanya karena aku bukan dari kalangan orang kaya, tapi Dea dan Caca benar-benar merangkulku sebagai sahabat yang baik.Rumah berlantai tiga dengan pagar pembatas yang tinggi menjulang. Orang tua Caca adalah pengusaha hebat di bidang properti dan sukses karena sudah memiliki beberapa cabang di beberapa kota. Tidak heran jika rumah orang tua Caca terli
Malam yang kami lalui masih sama. Kali ini, tanpa aku yang melakukan, Evan sudah melakukannya lebih dulu. Meletakkan bantal guling sebagai pembatas tidur kami. Sejak malam pertama di hotel waktu itu, aku sudah mengawali ini dan sekarang Evan yang melakukannya. Tapi kali ini, entah kenapa hatiku terasa sakit. Aku merasa sakit melihat kerelaan Evan menjalani rumah tangga ini. Aku sakit karena telah menyiksa batinnya selama ini. Dan aku sekarang bingung bagaimana menyudahi ini semua, aku ingin hidup sebagai pasangan suami istri yang normal. Aku ingin bebas bergelayutan manja padanya, memeluk dan menciumnya dengan semauku dan kapan pun aku mau. Aku ingin merasakan sentuhannya setiap saat dia ingin. Aku inginkan itu, sungguh!Aku menoleh ke arah Evan yang sudah terlelap, terdengar dengkuran halus lolos dari bibirnya. Bulu-bulu halus mulai tumbuh di sekitar kumis dan jambangnya karena beberapa hari belakangan ini Evan terlalu sibuk dan belum sempat bercukur. Wajahnya yang putih terlihat sed
“Hhaaahhh ....” Aku hanya bisa mengela napas panjang. Ada sedikit rasa yang mengganjal di hatiku. Setiap detik dan hari yang aku lalui, selalu dipenuhi rasa bersalah karena membiarkan Evan begitu saja. Entah bagaimana keadaan Evan saat dirinya menahan luapan biologisnya yang sudah seharusnya segera tersalurkan. Tapi ia justru kuat menahannya dan tidak menunjukkan gejala aneh atau apa lah.“Van, aku minta maaf!” seruku lirih.Aku jongkok, mengusap kotak itu. Tapi bergegas kembali berdiri lagi, takut jika aku sampai tergoda dan mengenakan baju seksi itu. Lekas aku mengambil daster selutut dan pakaian dalam.Pintu lemari aku tutup kembali, meletakkan pakaian yang sudah aku pilih di kasur. Tanganku membuka handuk dan ....“Aargghh!” Evan berdiri di ambang pintu dan berteriak. Kedua tangannya menutupi wajah. Sontak, aku yang terlambat sadar ikut berteriak kencang sambil kembali menutupi tubuh dengan handuk.“Aduh, Mbak. Aku minta maaf. Sumpah, deh, aku nggak liat apa-apa!” seru Evan sambil
Evan tidak merasa bahwa dia meminta Denis untuk menjemputku, sementara tadi Denis bilang kalau dia disuruh Evan buat jemput aku.Siapa di antara mereka yang sedang berbohong dan siapa yang berkata benar? Meski tanpa bertanya pada mereka, aku sudah pasti menemukan jawabannya. Denis yang berbohong, karena hati kecilku berkata jika Evan berbicara jujur. Lagi pula, selama ini Evan tidak pernah berbohong padaku. Dia pun tidak pernah terlihat menyembunyikan sesuatu dariku. Entah, sih. Untuk saat ini, aku bisa merasakan jika Evan adalah laki-laki jujur dan Denis tidak.Aku tidak banyak bertanya tentang kejanggalan tadi pada Evan. Yang jelas, untuk saat ini dan seterusnya, aku harus lebih hati-hati ketika berhadapan dengan Denis. Laki-laki itu terlalu licik dan berbahaya. Apa lagi status Denis adalah mantan suami, tidak menutup kemungkinan jika di hatinya masih ada perasaan yang entah apa bentuknya padaku.Yang pasti, aku harus jauh-jauh dari Denis.Sikap Lilis pada Denis sampai detik ini mas
Denis ingin menjemputku? Kenapa? Ada apa? Bisakah aku menolak ajakan itu? Sungguh aku masih takut berhadapan dengan dia. Masih membekas di ingatan sisa perlakuan kasarnya padaku dulu. Jika aku berhadapan dengannya, tubuhku bereaksi mengeluarkan keringat dingin dan jantungku berdegup kencang. Takut.[Aku pulang naik taksi aja!]Akhirnya, aku membalas chat dari Denis.[Aku disuruh Evan buat jemput kamu!][Nanti aku jemput tepat waktu.]Balas Denis.Menyerah. Aku enggan berdebat lagi. Makan siang yang masih tersisa, enggan aku habiskan. Sisa makanan itu berakhir di tempat sampah. Dea dan Caca hanya bisa beradu pandang saat menyaksikan aku kehilangan nafsu makan.Benar saja. Tepat pukul lima sore, Denis sudah berada di lobi. Dengan pedenya laki-laki itu menungguku di resepsionis.“Lo balik sama Denis, An?” tanya Caca setengah berbisik-bisik. Dea yang berdiri di sebelah Caca melihat ke arah Denis dengan tatapan tidak percaya.“Mau gimana lagi.” Aku hanya bisa mengembuskan nafas pasrah. Pas
Aku masih berdiri depan bangunan itu, beberapa langkah lagi sudah masuk dan pastinya akan bertemu resepsionis. Pikiranku mengajakku agar masuk dan mencari keberadaan Denis yang entah berada di kamar berapa. Tapi hati kecilku mengatakan agar aku secepatnya pergi dari sana, sebelum semuanya terlambat dan malah akan mendatangkan masalah baru.Aku memejamkan mata sekejap, membulatkan tekad. Lalu dengan sepenuh jiwa membalikkan badan dan kembali melangkah menuju trotoar, berharap segera ada taksi yang kosong.Dewi Fortuna sedang berada di pihakku. Tak berapa lama kemudian, datang taksi kosong. Aku lantas naik dan mengatakan pada sopir ke mana tujuannya. Yaitu, ke kantor.Aku duduk bersandar, kepalaku mendadak terasa pusing. Bayangan Denis sedang bermesraan dengan wanita yang entah siapa malah menari-nari di pikiranku. Rasanya jijik membayangkan hal itu. Ingin rasanya menepis semua hal negatif yang bisa saja belum tentu terjadi, tapi sulit. Mobil Denis terlihat terparkir di sana, entah dia
Pernikahanku dengan Evan berjalan dengan baik. Evan bukan tipe laki-laki banyak menuntut. Ia justru semakin bersikap dewasa, tidak pernah mengeluh ketika sikapku ada yang tidak berkenan baginya. Ia malah mengimbangi langkahku dan selalu mengalah di setiap kondisi, membuatku akan merasa sangat bersalah ketika hendak marah.Evan di mataku itu sempurna. Mungkin itu untuk saat ini, entah jika di masa mendatang. Tapi bagiku, Evan sudah cukup menjadi baik sebagai suami dan aku ingin berusaha menjadi istri yang baik pula untuknya.Entah karena hal apa, Evan yang beberapa waktu lalu terlihat murung dan kadang kala uring-uringan, kini kembali ceria. Tawanya yang khas sudah kembali terdengar dan tidak ada lagi raut wajah yang sendu saat bertatapan di meja makan. Aku sedikit merasa lega karena tidak perlu mencari tahu penyebab hilangnya keceriaan Evan, meski pada dasarnya, aku masih penasaran saat ekspresi Evan menunjukkan keterkejutan saat dirinya melihat nomor ponsel misterius itu.Tadi pagi M
Aku tidak bisa fokus kerja, pengirim foto misterius itu semakin mengganggu pikiranku. Siapa dia, dan ada maksud apa melakukan ini padaku. Sungguh mengganggu! Bahkan aku tidak bersemangat menimpali ucapan Dea dan Caca yang sedang menceritakan tetangga yang baru menghuni rumah di sebelah mereka.Katanya, sih, laki-laki itu masih lajang dan bekerja di sebuah instansi pemerintah. Duh, siapa, sih, yang tidak tertarik pada kumbang matang seperti itu. Tapi lagi-lagi, pikiran tentang orang misterius dan juga sikap Denis yang sudah melampaui batas membuatku tidak bisa berpikir jernih, apalagi Evan melarang keras aku ikut campur dalam urusan itu.Ck. Kenapa sih!Caca dan Dea kesal dengan sikapku yang mendadak menjadi pemurung. Mereka lantas pergi saat jam kantor usai. Aku pun tidak ada niat untuk mencegah mereka, karena aku pun sedang tidak ingin diganggu oleh orang lain. Aku butuh ketenangan dalam kesendirian.Evan datang tepat setelah Caca dan Dea pergi, sehingga kami pun langsung meluncur pu