Denis wiratama dan Evan wiratama, dua bersaudara yang memiliki perwatakan berbeda bak langit dan bumi. Denis bak bumi yang keras, sementara Evan bak langit yang siap membawaku terbang. Dan kini sudah saatnya untukku terbang bersama cinta baru yang akan membuatku tertawa.
Awal pernikahanku dengan Denis dan Evan, sungguh jauh berbeda. Bersama Denis, aku harus patuh dan menjadi istri yang penurut. Apa pun kata-katanya tidak bisa dibantah. Aku dijadikan istri yang siap melayaninya di rumah, hanya di rumah. Tidak untuk di luar rumah, bahkan untuk dikenalkan ada temannya pun hanya bisa dihitung dengan jari. Bersama Evan, aku bisa merasakan menjadi wanita paling bahagia. Bahkan tidak sedetik pun ia membiarkan aku melamun, ada saja tingkah konyolnya yang akan membuatku tertawa. Atau lebih tepatnya, menjengkelkan. Lelaki itu ada saja idenya untuk menggangguku. Dasar bocah tengil! Hari ini kami masih di hotel, usai sarapan tadi kami menghabiskan waktu bersama di kamar. Rebahan manja, tentunya dengan batas jarak dan lelaki itu tidak berani macam-macam tanpa seizinku. Iya, hanya berdua tanpa kerabat yang mengganggu momen mendebarkan ini. Evan, sih, tadi bilang kalo semua anggota keluarga yang menginap sudah pulang atau lebih tepatnya, diusir Evan agar dia bisa berdua bersamaku. Ck, dasar otak mesum. “Van ....” Aku membuka suara karena sudah satu jam berada di kamar, kami tidak terlibat obrolan. “Iya, Mbak. Kenapa? Kangen?” ucapnya asal. Lelaki itu ngakak saat aku memasang wajah masam. Dih, sok ganteng! Aku bangun dan duduk bersandar dengan selimut menutupi kaki. Biasanya lelaki itu akan nyerocos, tapi kini ia lebih banyak rebahan di sofa dan sama sekali tidak menggangguku yang rebahan di kasur. Atau jangan-jangan, dia kena sawan udang yang tadi dimakannya, jadi malah diem? Hahaha, pikiran absurd gue. Astaga. “Aku, bete. Ajak jalan-jalan napa, sih. Katanya mau nyenengin istri?” Aku menepuk jidat. Kok bisa-bisanya, sih ngomong gitu. Etapi, tunggu reaksinya. Apa dia bakalan pelit atau malah .... “Hayu, suamimu siap mengantarkan ke mana saja!” Evan bangun dan dengan wajah bersemangat membuka koper kecil miliknya, mengambil dompet lantas menyerahkan padaku. “A-apaan, sih?” Aku pura-pura tidak paham. Evan lalu duduk di tepi kasur, tangannya menggenggam kan dompetnya padaku. “Mbak sudah resmi jadi istriku. Jadi mulai sekarang, Mbak yang berhak mengatur keuanganku. Berapa pun penghasilan, aku percayakan sepenuhnya sama, Mbak.” Aku benar-benar dibuat takjub dengan pemikiran Evan. Meski dia usianya di bawah Denis dan di bawahku, tapi cara berpikirnya luas. Tidak monoton dan benar-benar tahu bagaimana kewajiban suami terhadap istrinya. Lain halnya dengan Denis, selama menjadi istrinya, aku belum pernah sekali pun diberikan izin untuk membuka dompetnya meski saat urgent sekali pun. Tentunya sudah izin terlebih dulu dan Denis tidak pernah memberikan izin. Tuhan, anugerah macam apa ini? Aku menatap Evan, pun dengan lelaki itu. Tatapannya penuh ketulusan, ya, aku bisa merasakan itu. Tangannya yang masih berada di atas pangkuanku dibiarkannya. Aku pun merasa nyaman dengan lelaki ini. Mungkin sudah saatnya aku memaafkan diriku dan berdamai dengan luka. Tidak seharusnya kenangan pahit ini terus-menerus menahan rasa ingin bahagiaku yang sudah ada di depan mata. Aku harus bisa menerima Evan dan berbakti seperti aku berbakti pada Denis dulu. Satu hal yang harus aku ingat, jangan pernah membandingkan Evan dan Denis lagi. Karena itu bisa saja melukai hati Evan. “Mbak juga boleh ngabisin duitnya buat hal apa pun yang bikin Mbak seneng.” Aku diam karena kehabisan kata-kata untuk menepis ucapannya. Dia baik dan aku tidak punya alasan untuk tidak berbuat baik padanya. Evan tersenyum tanpa melepas pandangannya dariku, membuatku salah tingkah. “Mbak ....” Evan bersuara setelah beberapa saat kami hanya diam dan saling tatap menatap. “Iya ....” “Mbak, cantik banget!” Evan bersuara parau, entah ada apa dengannya. “Makasih.” Aku tersenyum. Tersentuh dengan pujiannya. Tangannya mulai mengelus punggung tanganku, sementara dompet miliknya diletakkan di nakas. Wajahnya mendekat, semakin dekat tapi aku enggan beranjak. “Aku mau cium, Mbak. Boleh?” Tubuhku menegang, aku mematung seiring lidah yang kelu. Bisa-bisanya seorang suami meminta izin sekadar untuk meminta cium. Fix, aku akan menjadi wanita paling bodoh jika sampai menyia-nyiakan Evan. “Mbak ... aku mau cium, Mbak. Boleh?” Evan mengulang pertanyaannya karena tak kunjung mendapat jawaban. Aku mengangguk. Iya, hanya itu jawaban yang bisa aku lakukan karena mulut ini tiba-tiba kaku. Evan tersenyum lembut dan tanpa menunggu lama, lelaki itu mendekatkan wajahnya. Hangat. Evan benar-benar pandai melakukan permainan ini. Darah di tubuhku terasa memanas seiring perlakuan Evan yang berusaha semakin memasukiku. Jantungku berdebar dengan sangat kencang, sampai tanpa sadar, kedua tanganku sudah mengunci kepala Evan dengan pelukan. Aku benar-benar menikmati ini. Evan memelukku erat sampai aku pun bisa merasakan detak jantungnya yang berpacu kencang, hingga tiba-tiba sekelebat bayangan masa lalu melintas membuat jantungku kembali nyeri. Dengan refleks aku mendorong dada Evan dan menyudahi cumbuan ini. Aku berusaha mengatur nafasku yang memburu, lelaki yang duduk di hadapanku pun sama. Nafasnya terengah-engah sama sepertiku. “Maaf ....” Aku menundukkan kepala. Malu. Rasanya aku memang belum siap untuk menerima lelaki lain. “Maaf, kenapa? Mbak nggak salah. Aku yang seharusnya minta maaf sudah lancang.” Suara Evan terdengar normal, tidak seperti tadi. “Aku minta maaf, Van. Belum bisa memberikan sepenuhnya yang seharusnya kamu dapatkan sebagai seorang suami. Aku buruk!” Aku menutup wajah dengan telapak tangan, lalu tangan Evan menarik bahuku dan membawanya dalam pelukan. “Aku sudah berjanji, bukan? Akan membahagiakan, Mbak.” “Tapi aku nggak mau kamu tersiksa dengan rasa trauma aku, Van!” Aku menangis di dalam pelukannya. “Aku akan menyeimbangkan langkah, asalkan aku bisa terus bareng sama Mbak!” “Jangan, Van!” “Mbak, aku siap bantu Mbak keluar dari rasa trauma itu. Mbak nggak usah takut, aku siap sepenuh hati. Asalkan Mbak bantu aku juga.” Tangan Evan mengusap punggung, membuatku merasa semakin nyaman. “Caranya gimana?” Aku melepas pelukan, mengusap wajah yang basah dan menatap Evan. “Mbak kasih tau sama aku, hal apa yang bikin Mbak bahagia dan apa yang bikin Mbak nggak nyaman. Bisa?” ucapnya sungguh-sungguh. Aku mengangguk lalu menoleh dompet di nakas. “Aku mau shopping.” Aku mengangkat dompet miliknya sambil nyengir. Dia tersenyum dan menarik tanganku. “Siap, Nona,” ucapnya lagi. Tidak ada salahnya untuk sekadar meluangkan waktu satu detik untuk membahagiakan diri, selama tidak merugikan pihak lain. Karena sudah menjadi kewajiban dirimu untuk menciptakan momen bahagia khusus untuk dirimu sendiri.Jika ada yang menganggap Evan laki-laki bodoh, dia memang begitu. Merasa dirinya bodoh di hadapan perempuan yang amat dicintainya. Bersedia mengalah, demi terjaganya hubungan baiknya bersama pasangan. Seperti halnya pagi ini, dia masih mau menerima seperti apa keadaan layaknya orang yang memiliki status teman. Bukan pengantin baru yang seharusnya penuh kemesraan. Evan tidak membantah apalagi protes, dia menuruti semua keinginanku. Dia akan meminta ijin jika ingin menyentuhku, dan tidak menyentuh ketika aku larang.Usai mandi dan berganti pakaian, Evan membawaku ke pusat perbelanjaan di kota Jakarta. Kami memasuki Mall dengan bergandengan tangan dengan penuh mesra. Aku tidak lagi memberontak apalagi membantah keinginannya memperlakukan aku seperti apa. Aku sudah pasrah, toh disakiti akan sama rasanya meski dengan lelaki berbeda. Jadi apa pun yang akan terjadi selanjutnya, aku akan menghadapi dengan bijak. Harusnya seperti itu, bukan?Mataku terasa bersinar kala memandangi toko-toko pa
“Emang kamu bisa milih makeup buat aku?” tanyaku hati-hati. Takut juga melihat ekspresi dia seperti tadi. Takut tersinggung, malah gagal shopping. Kan nggak asik.“Bisa, Kok. Aku kan sering diajak Mama beli makeup. Eh, maksudnya nemenin Mama kalo dia mau shopping.” Evan berucap sambil tangannya memilih bedak brand lokal. Tangannya dengan terampil membuka bungkus bedak itu, lalu menyapukan di punggung tangan.“Bagus, kok, Mbak. Ini cocok buat kulit Mbak yang normal dan sedikit kering. Kalo Mbak pake ini, cocok dan pasti makin cantik.”Aku mendelik kesal. Bisa-bisanya dia di saat begini menggombal. Tapi jika dilihat dari raut wajahnya, Evan berkata jujur dan sedang tidak mengambil kesempatan untuk menggodaku.“Jadi ini bagus buat aku?” tanyaku memastikan sambil mengambil bedak yang masih segel.“Iya, percaya, deh.” Evan tersenyum manis. Entah datang dorongan dari mana, aku pun membalas senyumannya itu.“Cantik!” serunya sambil berjalan melewatiku.Aku merasakan wajahku panas dipuji begi
Aku memilih langsung pulang meski Evan memaksa untuk makan di luar. Rasa lapar menguap begitu saja saat memikirkan adegan mesra tadi, meski sebenarnya aku pun tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Entah ucapan Evan yang jujur, atau memang dia hanya sedang menutupi kesalahannya saja. Entah lah, sejak Denis mengkhianati kepercayaanku, aku sulit untuk percaya lagi. Terlebih percaya pada cinta.Tas berisi make up kulempar ke kasur. Isinya berserakan di sana. Bodo amat, aku kesal. Sepanjang perjalanan aku diam. Entah apakah ini rasa cemburu atau marah atau kesal. Aku tidak mau ambil pusing. Terserah bagaimana hidupku jadinya.“Mbak nggak percaya sama omongan aku?” tanya Evan saat melihatku masih saja diam dan mengacuhkan ucapannya, terus berjalan ke kamar mandi. Tapi langkahku terhenti saat tangannya mencekal lengan.“Apa!” bentakku. Entah kenapa aku bisa selabil ini. Yang aku rasakan saat ini hanya marah dan kesal. Ingin berteriak kencang agar rasa sesak di dadaku ini hilang.Tuhan, ken
Ketika hati sudah memutuskan siap untuk menikah, sudah seharusnya tahu apa yang akan terjadi. Bagaimana pun takdirnya, jalani dengan ikhlas. Lalu, ketika ada sebuah kesalahpahaman, runding kan dengan pasangan untuk mencari jalan keluar terbaik agar tidak terjadi perpecahan apalagi sampai terjadinya sebuah perceraian. Redam ego yang ada pada diri sendiri, niscaya semuanya akan kembali berseri.Aku bahkan masih tidak percaya ketika Evan mampu meredam emosi yang tadi sempat naik. Lelaki itu dengan santai juga lembut menenangkan amarahku yang sedang bergejolak. Dan kini, kami sedang duduk bersisian, kepalaku bersandar mesra di bahunya. Entah ada dorongan dari mana datangnya, hati kecilku sedang ingin manja pada suamiku. Iya, suamiku. Aku sudah mulai mengakui Evan sebagai suami. Laki-laki yang pantas mendapatkan segalanya dariku.Setengah berbisik, Evan mengajakku untuk salat. Katanya salat bisa meredam emosi yang ada di hati. Aku percaya itu, karena guru di sekolah pun mengatakan jika sed
Posisi tidur kami miring, tapi saling berhadapan. Mata kami beradu dalam jarak yang sangat dekat, membuat suasana menjadi canggung. Ditambah cahaya lampu yang sengaja dibuat remang-remang membuat suasananya terasa aneh. Aku merasa merinding saat tangan Evan membelai kepala juga pipi, lalu jemarinya mengusap bibir.“Mbak, cantik!” puji Evan sambil tersenyum. Aku hanya bisa membalas senyumannya tanpa bisa membalas pujiannya. Biasanya aku akan memaki Evan jika dia berani menggombal, tapi sekarang, aku justru menikmati kata-kata manisnya.“Istriku yang cantik!” Evan kembali memuji dengan suara yang terdengar parau. Sepertinya ia hanyut dalam suasana mesra ini. Dan harus aku akui, aku pun sama.“Suamiku juga ganteng!” Aku membalas pujiannya. Sikap dan perlakuan Evan membuatku kehilangan kata-kata kasar yang biasa aku lontarkan jika ia sedang menggombal.Evan hanya tersenyum mendengar aku memujinya. Tangan Evan masih saja aktif membelai area kepala dan wajahku, membuat syaraf di tubuhku lem
Aku berusaha membuang muka saat Evan mencoba untuk melihat wajahku. Entah kenapa aku bisa memiliki rasa malu seperti ini. Mengingat kejadian tadi malam saat Evan meninggalkan bekas merah di payudara sebelah kanan, aku sama sekali tidak protes. Justru membiarkannya melakukan hal itu dan meninggalkan jejak pada sebelah kiri. Aku menikmatinya? Ah, gila! “Mbak!” panggil Evan. Tapi aku pura-pura tidak mendengar panggilannya yang jelas-jelas tepat di telingaku. Tanganku terus sibuk merapikan pakaian dan melipat dan memasukkan ke dalam koper kecil. “Mbak sayang!” panggilnya lagi. Laki-laki itu sama sekali tidak menyerah dan terus mencari cara agar aku mau menoleh ke arahnya. “Mbak sayang!” serunya terus menerus. Dan aku tetap diam. Dia sepertinya tahu jika aku malu jika menatap wajahnya. Terlalu memalukan karena aku benar-benar menikmati momen intim malam tadi meski tidak terjadi hal yang lebih intim lagi. Karena Evan memegang janjinya akan menungguku sampai siap. “Mbak say ....” “Sin
“Enak!” Tatapan mata Evan menyiratkan bahagia. Tangan kanannya tak berhenti menyendokkan makanan ke mulutnya, sampai mulutnya itu penuh. “Ini akan menjadi makanan kesukaanku, Mbak!” Evan makan dengan lahapnya. Padahal yang tersaji di meja makan hanya lah sayur sop dan telur dadar, ditambah sambal tomat. Karena bahan makanan mentah yang ada di kulkas hanya itu. Entah sejak kapan Evan senang berbelanja bahan dapur, juga perintilan rumah tangga. Kapan juga laki-laki ini menyiapkan ini semua untukku? Ahh ... kenapa diri Evan selalu penuh rahasia dan kejutan? Kami makan di balkon, menggelar tikar plastik dan menata makanan yang sudah aku masak. Angin berembus pelan, menambah sejuknya cuaca pagi ini. Ditambah, di hadapanku ada laki-laki yang sedang lahapnya menyantap makanan sederhana yang aku buat. Aku hanya makan sedikit, sementara sisanya dirinya yang menyantap sampai tidak tersisa. Aku memandangi wajah tampan suamiku yang masih lahap makan. Ini adalah nasi ke tiga yang diletakkan ke
Belum sempat Evan menyelesaikan perkataannya, terdengar suara orang mengobrol di lantai bawah. Seperti suara Mama bersama perempuan, Lilis, mungkin.Aku dan Evan bergegas turun dan menemui mereka berdua. Aku mencium punggung tangan Mama, lalu menyalami Lilis. Tatapan Mama masih sama seperti terakhir kali aku melihatnya, datar tanpa ekspresi. Aku tidak mau ambil pusing dengan apa yang ada di dalam pikiran beliau.“Udah makan? Kapan sampe?” tanya Mama pada Evan.“Tadi pagi, Ma. Aku sama Mbak Ana udah makan, kok!” jawab Evan.“Kok, manggil istrinya Mbak, sih, Van?” tanya Lilis heran.“Udah biasa, Mbak Lilis. Mau ganti manggil sayang, nanti istri aku protes!” seru Evan sambil dengan sengaja menyenggol bahuku, aku bisa menebak dia akan mencoba untuk menggodaku lagi.“Oh, gitu!” seru Lilis.“Ya udah. Kalian istirahat, gih. Pasti capek!” seru Mama lagi.“Mama mau ke kamar, capek juga. Tadi di butik rame banget.” Sebelum Mama meninggalkan kami dan masuk ke kamar, aku melihatnya tersenyum seki
Caca masih terus mengoceh hingga kami tiba di meja kerja. Dea, si gadis manis dengan lesung pipinya sudah ada di sana, duduk manis di meja kerjanya menghadap laptop yang sudah menyala. Meja kerja kami berdekatan, meja Caca dan Dea berdampingan dan meja kerjaku ada di depan mereka, hanya terhalang sekat setinggi pinggang.“Duileh, penganten baru udah masuk!” Dea berkomentar saat dirinya melihatku dan Caca mendekat. “Muka lu seger banget, kayak rujak cingur yang biasa mangkal di gang rumah gue,” sambungnya lagi.Tahu ‘kan rujak cingur? Iya, rujak moncong sapi. Punya temen nggak kira-kira kalo ngomong. Suka asal jeblak. Untung, sayang.Dea dan Caca adalah sahabatku sejak masih berseragam putih abu-abu. Dea dan Caca memiliki nasib baik sampai bisa kuliah di universitas impian mereka, sementara aku justru bekerja di sebuah pabrik. Tapi takdir membawa kami kembali bertemu dan akhirnya bisa berkumpul lagi. Entah doa bapak yang mana sampai Allah membuat hidupku selalu penuh keberuntungan, mes
Aku segera menepis pikiran kotor itu. Buru-buru geleng-geleng kepala dan membalikkan badan, jangan sampai pikiran kotor itu diketahui Evan. Akan sangat memalukan dan dia pasti menggodaku sampai puas.Gegas aku menuju dapur, memasak untuk sarapan dan bekal kami ke kantor. Di kulkas semua tersedia lengkap, mulai dari frozen food, sayuran mentah juga buah-buahan. Semuanya lengkap. Aku tinggal memakai semua yang ada, karena itu semua disiapkan Evan untukku.Pukul lima, Evan sudah bangun. Laki-laki itu langsung mandi dan setelahnya mengganti baju tidur dengan pakaian kantor. Lalu duduk di meja makan menyantap sarapan, sementara aku mengganti pakaian.“Nanti pulang jam berapa, Mbak?” tanya Evan di sela-sela makannya.“Nggak tau, deh. Biasanya kan jam lima, mudah-mudahan aja nggak ada suruhan lembur mendadak!” ucapku sambil mengela napas panjang. Pengumuman lembur mendadak itu selalu benar-benar mendadak, karena diumumkan saat mepet jam pulang.“Nanti kabarin aku, ya. Biar aku jemput.”“Iya
Belum sempat Evan menyelesaikan perkataannya, terdengar suara orang mengobrol di lantai bawah. Seperti suara Mama bersama perempuan, Lilis, mungkin.Aku dan Evan bergegas turun dan menemui mereka berdua. Aku mencium punggung tangan Mama, lalu menyalami Lilis. Tatapan Mama masih sama seperti terakhir kali aku melihatnya, datar tanpa ekspresi. Aku tidak mau ambil pusing dengan apa yang ada di dalam pikiran beliau.“Udah makan? Kapan sampe?” tanya Mama pada Evan.“Tadi pagi, Ma. Aku sama Mbak Ana udah makan, kok!” jawab Evan.“Kok, manggil istrinya Mbak, sih, Van?” tanya Lilis heran.“Udah biasa, Mbak Lilis. Mau ganti manggil sayang, nanti istri aku protes!” seru Evan sambil dengan sengaja menyenggol bahuku, aku bisa menebak dia akan mencoba untuk menggodaku lagi.“Oh, gitu!” seru Lilis.“Ya udah. Kalian istirahat, gih. Pasti capek!” seru Mama lagi.“Mama mau ke kamar, capek juga. Tadi di butik rame banget.” Sebelum Mama meninggalkan kami dan masuk ke kamar, aku melihatnya tersenyum seki
“Enak!” Tatapan mata Evan menyiratkan bahagia. Tangan kanannya tak berhenti menyendokkan makanan ke mulutnya, sampai mulutnya itu penuh. “Ini akan menjadi makanan kesukaanku, Mbak!” Evan makan dengan lahapnya. Padahal yang tersaji di meja makan hanya lah sayur sop dan telur dadar, ditambah sambal tomat. Karena bahan makanan mentah yang ada di kulkas hanya itu. Entah sejak kapan Evan senang berbelanja bahan dapur, juga perintilan rumah tangga. Kapan juga laki-laki ini menyiapkan ini semua untukku? Ahh ... kenapa diri Evan selalu penuh rahasia dan kejutan? Kami makan di balkon, menggelar tikar plastik dan menata makanan yang sudah aku masak. Angin berembus pelan, menambah sejuknya cuaca pagi ini. Ditambah, di hadapanku ada laki-laki yang sedang lahapnya menyantap makanan sederhana yang aku buat. Aku hanya makan sedikit, sementara sisanya dirinya yang menyantap sampai tidak tersisa. Aku memandangi wajah tampan suamiku yang masih lahap makan. Ini adalah nasi ke tiga yang diletakkan ke
Aku berusaha membuang muka saat Evan mencoba untuk melihat wajahku. Entah kenapa aku bisa memiliki rasa malu seperti ini. Mengingat kejadian tadi malam saat Evan meninggalkan bekas merah di payudara sebelah kanan, aku sama sekali tidak protes. Justru membiarkannya melakukan hal itu dan meninggalkan jejak pada sebelah kiri. Aku menikmatinya? Ah, gila! “Mbak!” panggil Evan. Tapi aku pura-pura tidak mendengar panggilannya yang jelas-jelas tepat di telingaku. Tanganku terus sibuk merapikan pakaian dan melipat dan memasukkan ke dalam koper kecil. “Mbak sayang!” panggilnya lagi. Laki-laki itu sama sekali tidak menyerah dan terus mencari cara agar aku mau menoleh ke arahnya. “Mbak sayang!” serunya terus menerus. Dan aku tetap diam. Dia sepertinya tahu jika aku malu jika menatap wajahnya. Terlalu memalukan karena aku benar-benar menikmati momen intim malam tadi meski tidak terjadi hal yang lebih intim lagi. Karena Evan memegang janjinya akan menungguku sampai siap. “Mbak say ....” “Sin
Posisi tidur kami miring, tapi saling berhadapan. Mata kami beradu dalam jarak yang sangat dekat, membuat suasana menjadi canggung. Ditambah cahaya lampu yang sengaja dibuat remang-remang membuat suasananya terasa aneh. Aku merasa merinding saat tangan Evan membelai kepala juga pipi, lalu jemarinya mengusap bibir.“Mbak, cantik!” puji Evan sambil tersenyum. Aku hanya bisa membalas senyumannya tanpa bisa membalas pujiannya. Biasanya aku akan memaki Evan jika dia berani menggombal, tapi sekarang, aku justru menikmati kata-kata manisnya.“Istriku yang cantik!” Evan kembali memuji dengan suara yang terdengar parau. Sepertinya ia hanyut dalam suasana mesra ini. Dan harus aku akui, aku pun sama.“Suamiku juga ganteng!” Aku membalas pujiannya. Sikap dan perlakuan Evan membuatku kehilangan kata-kata kasar yang biasa aku lontarkan jika ia sedang menggombal.Evan hanya tersenyum mendengar aku memujinya. Tangan Evan masih saja aktif membelai area kepala dan wajahku, membuat syaraf di tubuhku lem
Ketika hati sudah memutuskan siap untuk menikah, sudah seharusnya tahu apa yang akan terjadi. Bagaimana pun takdirnya, jalani dengan ikhlas. Lalu, ketika ada sebuah kesalahpahaman, runding kan dengan pasangan untuk mencari jalan keluar terbaik agar tidak terjadi perpecahan apalagi sampai terjadinya sebuah perceraian. Redam ego yang ada pada diri sendiri, niscaya semuanya akan kembali berseri.Aku bahkan masih tidak percaya ketika Evan mampu meredam emosi yang tadi sempat naik. Lelaki itu dengan santai juga lembut menenangkan amarahku yang sedang bergejolak. Dan kini, kami sedang duduk bersisian, kepalaku bersandar mesra di bahunya. Entah ada dorongan dari mana datangnya, hati kecilku sedang ingin manja pada suamiku. Iya, suamiku. Aku sudah mulai mengakui Evan sebagai suami. Laki-laki yang pantas mendapatkan segalanya dariku.Setengah berbisik, Evan mengajakku untuk salat. Katanya salat bisa meredam emosi yang ada di hati. Aku percaya itu, karena guru di sekolah pun mengatakan jika sed
Aku memilih langsung pulang meski Evan memaksa untuk makan di luar. Rasa lapar menguap begitu saja saat memikirkan adegan mesra tadi, meski sebenarnya aku pun tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Entah ucapan Evan yang jujur, atau memang dia hanya sedang menutupi kesalahannya saja. Entah lah, sejak Denis mengkhianati kepercayaanku, aku sulit untuk percaya lagi. Terlebih percaya pada cinta.Tas berisi make up kulempar ke kasur. Isinya berserakan di sana. Bodo amat, aku kesal. Sepanjang perjalanan aku diam. Entah apakah ini rasa cemburu atau marah atau kesal. Aku tidak mau ambil pusing. Terserah bagaimana hidupku jadinya.“Mbak nggak percaya sama omongan aku?” tanya Evan saat melihatku masih saja diam dan mengacuhkan ucapannya, terus berjalan ke kamar mandi. Tapi langkahku terhenti saat tangannya mencekal lengan.“Apa!” bentakku. Entah kenapa aku bisa selabil ini. Yang aku rasakan saat ini hanya marah dan kesal. Ingin berteriak kencang agar rasa sesak di dadaku ini hilang.Tuhan, ken
“Emang kamu bisa milih makeup buat aku?” tanyaku hati-hati. Takut juga melihat ekspresi dia seperti tadi. Takut tersinggung, malah gagal shopping. Kan nggak asik.“Bisa, Kok. Aku kan sering diajak Mama beli makeup. Eh, maksudnya nemenin Mama kalo dia mau shopping.” Evan berucap sambil tangannya memilih bedak brand lokal. Tangannya dengan terampil membuka bungkus bedak itu, lalu menyapukan di punggung tangan.“Bagus, kok, Mbak. Ini cocok buat kulit Mbak yang normal dan sedikit kering. Kalo Mbak pake ini, cocok dan pasti makin cantik.”Aku mendelik kesal. Bisa-bisanya dia di saat begini menggombal. Tapi jika dilihat dari raut wajahnya, Evan berkata jujur dan sedang tidak mengambil kesempatan untuk menggodaku.“Jadi ini bagus buat aku?” tanyaku memastikan sambil mengambil bedak yang masih segel.“Iya, percaya, deh.” Evan tersenyum manis. Entah datang dorongan dari mana, aku pun membalas senyumannya itu.“Cantik!” serunya sambil berjalan melewatiku.Aku merasakan wajahku panas dipuji begi