Share

bab 5

Penulis: Ana Battosai
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-24 15:37:29

Denis wiratama dan Evan wiratama, dua bersaudara yang memiliki perwatakan berbeda bak langit dan bumi. Denis bak bumi yang keras, sementara Evan bak langit yang siap membawaku terbang. Dan kini sudah saatnya untukku terbang bersama cinta baru yang akan membuatku tertawa.

Awal pernikahanku dengan Denis dan Evan, sungguh jauh berbeda. Bersama Denis, aku harus patuh dan menjadi istri yang penurut. Apa pun kata-katanya tidak bisa dibantah. Aku dijadikan istri yang siap melayaninya di rumah, hanya di rumah. Tidak untuk di luar rumah, bahkan untuk dikenalkan ada temannya pun hanya bisa dihitung dengan jari.

 Bersama Evan, aku bisa merasakan menjadi wanita paling bahagia. Bahkan tidak sedetik pun ia membiarkan aku melamun, ada saja tingkah konyolnya yang akan membuatku tertawa. Atau lebih tepatnya, menjengkelkan. Lelaki itu ada saja idenya untuk menggangguku.

Dasar bocah tengil!

Hari ini kami masih di hotel, usai sarapan tadi kami menghabiskan waktu bersama di kamar. Rebahan manja, tentunya dengan batas jarak dan lelaki itu tidak berani macam-macam tanpa seizinku. Iya, hanya berdua tanpa kerabat yang mengganggu momen mendebarkan ini. Evan, sih, tadi bilang kalo semua anggota keluarga yang menginap sudah pulang atau lebih tepatnya, diusir Evan agar dia bisa berdua bersamaku.

Ck, dasar otak mesum.

“Van ....” Aku membuka suara karena sudah satu jam berada di kamar, kami tidak terlibat obrolan.

“Iya, Mbak. Kenapa? Kangen?” ucapnya asal. Lelaki itu ngakak saat aku memasang wajah masam. Dih, sok ganteng!

Aku bangun dan duduk bersandar dengan selimut menutupi kaki. Biasanya lelaki itu akan nyerocos, tapi kini ia lebih banyak rebahan di sofa dan sama sekali tidak menggangguku yang rebahan di kasur. Atau jangan-jangan, dia kena sawan udang yang tadi dimakannya, jadi malah diem?

Hahaha, pikiran absurd gue. Astaga.

“Aku, bete. Ajak jalan-jalan napa, sih. Katanya mau nyenengin istri?”

Aku menepuk jidat. Kok bisa-bisanya, sih ngomong gitu. Etapi, tunggu reaksinya. Apa dia bakalan pelit atau malah ....

“Hayu, suamimu siap mengantarkan ke mana saja!” Evan bangun dan dengan wajah bersemangat membuka koper kecil miliknya, mengambil dompet lantas menyerahkan padaku.

“A-apaan, sih?” Aku pura-pura tidak paham. Evan lalu duduk di tepi kasur, tangannya menggenggam kan dompetnya padaku.

“Mbak sudah resmi jadi istriku. Jadi mulai sekarang, Mbak yang berhak mengatur keuanganku. Berapa pun penghasilan, aku percayakan sepenuhnya sama, Mbak.”

Aku benar-benar dibuat takjub dengan pemikiran Evan. Meski dia usianya di bawah Denis dan di bawahku, tapi cara berpikirnya luas. Tidak monoton dan benar-benar tahu bagaimana kewajiban suami terhadap istrinya.

Lain halnya dengan Denis, selama menjadi istrinya, aku belum pernah sekali pun diberikan izin untuk membuka dompetnya meski saat urgent sekali pun. Tentunya sudah izin terlebih dulu dan Denis tidak pernah memberikan izin.

Tuhan, anugerah macam apa ini?

Aku menatap Evan, pun dengan lelaki itu. Tatapannya penuh ketulusan, ya, aku bisa merasakan itu. Tangannya yang masih berada di atas pangkuanku dibiarkannya. Aku pun merasa nyaman dengan lelaki ini.

Mungkin sudah saatnya aku memaafkan diriku dan berdamai dengan luka. Tidak seharusnya kenangan pahit ini terus-menerus menahan rasa ingin bahagiaku yang sudah ada di depan mata.

Aku harus bisa menerima Evan dan berbakti seperti aku berbakti pada Denis dulu. Satu hal yang harus aku ingat, jangan pernah membandingkan Evan dan Denis lagi. Karena itu bisa saja melukai hati Evan.

“Mbak juga boleh ngabisin duitnya buat hal apa pun yang bikin Mbak seneng.”

Aku diam karena kehabisan kata-kata untuk menepis ucapannya. Dia baik dan aku tidak punya alasan untuk tidak berbuat baik padanya.

Evan tersenyum tanpa melepas pandangannya dariku, membuatku salah tingkah.

“Mbak ....” Evan bersuara setelah beberapa saat kami hanya diam dan saling tatap menatap. 

“Iya ....”

“Mbak, cantik banget!” Evan bersuara parau, entah ada apa dengannya.

“Makasih.” Aku tersenyum. Tersentuh dengan pujiannya. Tangannya mulai mengelus punggung tanganku, sementara dompet miliknya diletakkan di nakas. Wajahnya mendekat, semakin dekat tapi aku enggan beranjak.

“Aku mau cium, Mbak. Boleh?”

Tubuhku menegang, aku mematung seiring lidah yang kelu. Bisa-bisanya seorang suami meminta izin sekadar untuk meminta cium. Fix, aku akan menjadi wanita paling bodoh jika sampai menyia-nyiakan Evan.

“Mbak ... aku mau cium, Mbak. Boleh?” Evan mengulang pertanyaannya karena tak kunjung mendapat jawaban.

Aku mengangguk. Iya, hanya itu jawaban yang bisa aku lakukan karena mulut ini tiba-tiba kaku.

Evan tersenyum lembut dan tanpa menunggu lama, lelaki itu mendekatkan wajahnya.

Hangat. Evan benar-benar pandai melakukan permainan ini. Darah di tubuhku terasa memanas seiring perlakuan Evan yang berusaha semakin memasukiku. Jantungku berdebar dengan sangat kencang, sampai tanpa sadar, kedua tanganku sudah mengunci kepala Evan dengan pelukan. Aku benar-benar menikmati ini.

Evan memelukku erat sampai aku pun bisa merasakan detak jantungnya yang berpacu kencang, hingga tiba-tiba sekelebat bayangan masa lalu melintas membuat jantungku kembali nyeri. Dengan refleks aku mendorong dada Evan dan menyudahi cumbuan ini.

Aku berusaha mengatur nafasku yang memburu, lelaki yang duduk di hadapanku pun sama. Nafasnya terengah-engah sama sepertiku.

“Maaf ....” Aku menundukkan kepala. Malu. Rasanya aku memang belum siap untuk menerima lelaki lain.

“Maaf, kenapa? Mbak nggak salah. Aku yang seharusnya minta maaf sudah lancang.” Suara Evan terdengar normal, tidak seperti tadi.

“Aku minta maaf, Van. Belum bisa memberikan sepenuhnya yang seharusnya kamu dapatkan sebagai seorang suami. Aku buruk!” Aku menutup wajah dengan telapak tangan, lalu tangan Evan menarik bahuku dan membawanya dalam pelukan.

“Aku sudah berjanji, bukan? Akan membahagiakan, Mbak.”

“Tapi aku nggak mau kamu tersiksa dengan rasa trauma aku, Van!” Aku menangis di dalam pelukannya.

“Aku akan menyeimbangkan langkah, asalkan aku bisa terus bareng sama Mbak!”

“Jangan, Van!”

“Mbak, aku siap bantu Mbak keluar dari rasa trauma itu. Mbak nggak usah takut, aku siap sepenuh hati. Asalkan Mbak bantu aku juga.” Tangan Evan mengusap punggung, membuatku merasa semakin nyaman.

“Caranya gimana?” Aku melepas pelukan, mengusap wajah yang basah dan menatap Evan.

“Mbak kasih tau sama aku, hal apa yang bikin Mbak bahagia dan apa yang bikin Mbak nggak nyaman. Bisa?” ucapnya sungguh-sungguh. Aku mengangguk lalu menoleh dompet di nakas.

“Aku mau shopping.” Aku mengangkat dompet miliknya sambil nyengir. 

Dia tersenyum dan menarik tanganku. “Siap, Nona,” ucapnya lagi.

Tidak ada salahnya untuk sekadar meluangkan waktu satu detik untuk membahagiakan diri, selama tidak merugikan pihak lain. Karena sudah menjadi kewajiban dirimu untuk menciptakan momen bahagia khusus untuk dirimu sendiri.

Bab terkait

  • Turun Ranjang: Diceraikan Abangnya, Diratukan Adiknya   bab 6

    Jika ada yang menganggap Evan laki-laki bodoh, dia memang begitu. Merasa dirinya bodoh di hadapan perempuan yang amat dicintainya. Bersedia mengalah, demi terjaganya hubungan baiknya bersama pasangan. Seperti halnya pagi ini, dia masih mau menerima seperti apa keadaan layaknya orang yang memiliki status teman. Bukan pengantin baru yang seharusnya penuh kemesraan. Evan tidak membantah apalagi protes, dia menuruti semua keinginanku. Dia akan meminta ijin jika ingin menyentuhku, dan tidak menyentuh ketika aku larang.Usai mandi dan berganti pakaian, Evan membawaku ke pusat perbelanjaan di kota Jakarta. Kami memasuki Mall dengan bergandengan tangan dengan penuh mesra. Aku tidak lagi memberontak apalagi membantah keinginannya memperlakukan aku seperti apa. Aku sudah pasrah, toh disakiti akan sama rasanya meski dengan lelaki berbeda. Jadi apa pun yang akan terjadi selanjutnya, aku akan menghadapi dengan bijak. Harusnya seperti itu, bukan?Mataku terasa bersinar kala memandangi toko-toko pa

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-14
  • Turun Ranjang: Diceraikan Abangnya, Diratukan Adiknya   bab 7

    “Emang kamu bisa milih makeup buat aku?” tanyaku hati-hati. Takut juga melihat ekspresi dia seperti tadi. Takut tersinggung, malah gagal shopping. Kan nggak asik.“Bisa, Kok. Aku kan sering diajak Mama beli makeup. Eh, maksudnya nemenin Mama kalo dia mau shopping.” Evan berucap sambil tangannya memilih bedak brand lokal. Tangannya dengan terampil membuka bungkus bedak itu, lalu menyapukan di punggung tangan.“Bagus, kok, Mbak. Ini cocok buat kulit Mbak yang normal dan sedikit kering. Kalo Mbak pake ini, cocok dan pasti makin cantik.”Aku mendelik kesal. Bisa-bisanya dia di saat begini menggombal. Tapi jika dilihat dari raut wajahnya, Evan berkata jujur dan sedang tidak mengambil kesempatan untuk menggodaku.“Jadi ini bagus buat aku?” tanyaku memastikan sambil mengambil bedak yang masih segel.“Iya, percaya, deh.” Evan tersenyum manis. Entah datang dorongan dari mana, aku pun membalas senyumannya itu.“Cantik!” serunya sambil berjalan melewatiku.Aku merasakan wajahku panas dipuji begi

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-14
  • Turun Ranjang: Diceraikan Abangnya, Diratukan Adiknya   bab 8

    Aku memilih langsung pulang meski Evan memaksa untuk makan di luar. Rasa lapar menguap begitu saja saat memikirkan adegan mesra tadi, meski sebenarnya aku pun tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Entah ucapan Evan yang jujur, atau memang dia hanya sedang menutupi kesalahannya saja. Entah lah, sejak Denis mengkhianati kepercayaanku, aku sulit untuk percaya lagi. Terlebih percaya pada cinta.Tas berisi make up kulempar ke kasur. Isinya berserakan di sana. Bodo amat, aku kesal. Sepanjang perjalanan aku diam. Entah apakah ini rasa cemburu atau marah atau kesal. Aku tidak mau ambil pusing. Terserah bagaimana hidupku jadinya.“Mbak nggak percaya sama omongan aku?” tanya Evan saat melihatku masih saja diam dan mengacuhkan ucapannya, terus berjalan ke kamar mandi. Tapi langkahku terhenti saat tangannya mencekal lengan.“Apa!” bentakku. Entah kenapa aku bisa selabil ini. Yang aku rasakan saat ini hanya marah dan kesal. Ingin berteriak kencang agar rasa sesak di dadaku ini hilang.Tuhan, ken

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-14
  • Turun Ranjang: Diceraikan Abangnya, Diratukan Adiknya   bab 9

    Ketika hati sudah memutuskan siap untuk menikah, sudah seharusnya tahu apa yang akan terjadi. Bagaimana pun takdirnya, jalani dengan ikhlas. Lalu, ketika ada sebuah kesalahpahaman, runding kan dengan pasangan untuk mencari jalan keluar terbaik agar tidak terjadi perpecahan apalagi sampai terjadinya sebuah perceraian. Redam ego yang ada pada diri sendiri, niscaya semuanya akan kembali berseri.Aku bahkan masih tidak percaya ketika Evan mampu meredam emosi yang tadi sempat naik. Lelaki itu dengan santai juga lembut menenangkan amarahku yang sedang bergejolak. Dan kini, kami sedang duduk bersisian, kepalaku bersandar mesra di bahunya. Entah ada dorongan dari mana datangnya, hati kecilku sedang ingin manja pada suamiku. Iya, suamiku. Aku sudah mulai mengakui Evan sebagai suami. Laki-laki yang pantas mendapatkan segalanya dariku.Setengah berbisik, Evan mengajakku untuk salat. Katanya salat bisa meredam emosi yang ada di hati. Aku percaya itu, karena guru di sekolah pun mengatakan jika sed

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-15
  • Turun Ranjang: Diceraikan Abangnya, Diratukan Adiknya   bab 10

    Posisi tidur kami miring, tapi saling berhadapan. Mata kami beradu dalam jarak yang sangat dekat, membuat suasana menjadi canggung. Ditambah cahaya lampu yang sengaja dibuat remang-remang membuat suasananya terasa aneh. Aku merasa merinding saat tangan Evan membelai kepala juga pipi, lalu jemarinya mengusap bibir.“Mbak, cantik!” puji Evan sambil tersenyum. Aku hanya bisa membalas senyumannya tanpa bisa membalas pujiannya. Biasanya aku akan memaki Evan jika dia berani menggombal, tapi sekarang, aku justru menikmati kata-kata manisnya.“Istriku yang cantik!” Evan kembali memuji dengan suara yang terdengar parau. Sepertinya ia hanyut dalam suasana mesra ini. Dan harus aku akui, aku pun sama.“Suamiku juga ganteng!” Aku membalas pujiannya. Sikap dan perlakuan Evan membuatku kehilangan kata-kata kasar yang biasa aku lontarkan jika ia sedang menggombal.Evan hanya tersenyum mendengar aku memujinya. Tangan Evan masih saja aktif membelai area kepala dan wajahku, membuat syaraf di tubuhku lem

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-15
  • Turun Ranjang: Diceraikan Abangnya, Diratukan Adiknya   Bab 11

    Aku berusaha membuang muka saat Evan mencoba untuk melihat wajahku. Entah kenapa aku bisa memiliki rasa malu seperti ini. Mengingat kejadian tadi malam saat Evan meninggalkan bekas merah di payudara sebelah kanan, aku sama sekali tidak protes. Justru membiarkannya melakukan hal itu dan meninggalkan jejak pada sebelah kiri. Aku menikmatinya? Ah, gila! “Mbak!” panggil Evan. Tapi aku pura-pura tidak mendengar panggilannya yang jelas-jelas tepat di telingaku. Tanganku terus sibuk merapikan pakaian dan melipat dan memasukkan ke dalam koper kecil. “Mbak sayang!” panggilnya lagi. Laki-laki itu sama sekali tidak menyerah dan terus mencari cara agar aku mau menoleh ke arahnya. “Mbak sayang!” serunya terus menerus. Dan aku tetap diam. Dia sepertinya tahu jika aku malu jika menatap wajahnya. Terlalu memalukan karena aku benar-benar menikmati momen intim malam tadi meski tidak terjadi hal yang lebih intim lagi. Karena Evan memegang janjinya akan menungguku sampai siap. “Mbak say ....” “Sin

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-17
  • Turun Ranjang: Diceraikan Abangnya, Diratukan Adiknya   Bab 12

    “Enak!” Tatapan mata Evan menyiratkan bahagia. Tangan kanannya tak berhenti menyendokkan makanan ke mulutnya, sampai mulutnya itu penuh. “Ini akan menjadi makanan kesukaanku, Mbak!” Evan makan dengan lahapnya. Padahal yang tersaji di meja makan hanya lah sayur sop dan telur dadar, ditambah sambal tomat. Karena bahan makanan mentah yang ada di kulkas hanya itu. Entah sejak kapan Evan senang berbelanja bahan dapur, juga perintilan rumah tangga. Kapan juga laki-laki ini menyiapkan ini semua untukku? Ahh ... kenapa diri Evan selalu penuh rahasia dan kejutan? Kami makan di balkon, menggelar tikar plastik dan menata makanan yang sudah aku masak. Angin berembus pelan, menambah sejuknya cuaca pagi ini. Ditambah, di hadapanku ada laki-laki yang sedang lahapnya menyantap makanan sederhana yang aku buat. Aku hanya makan sedikit, sementara sisanya dirinya yang menyantap sampai tidak tersisa. Aku memandangi wajah tampan suamiku yang masih lahap makan. Ini adalah nasi ke tiga yang diletakkan ke

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-20
  • Turun Ranjang: Diceraikan Abangnya, Diratukan Adiknya   ada apa dengan Denis?

    Belum sempat Evan menyelesaikan perkataannya, terdengar suara orang mengobrol di lantai bawah. Seperti suara Mama bersama perempuan, Lilis, mungkin.Aku dan Evan bergegas turun dan menemui mereka berdua. Aku mencium punggung tangan Mama, lalu menyalami Lilis. Tatapan Mama masih sama seperti terakhir kali aku melihatnya, datar tanpa ekspresi. Aku tidak mau ambil pusing dengan apa yang ada di dalam pikiran beliau.“Udah makan? Kapan sampe?” tanya Mama pada Evan.“Tadi pagi, Ma. Aku sama Mbak Ana udah makan, kok!” jawab Evan.“Kok, manggil istrinya Mbak, sih, Van?” tanya Lilis heran.“Udah biasa, Mbak Lilis. Mau ganti manggil sayang, nanti istri aku protes!” seru Evan sambil dengan sengaja menyenggol bahuku, aku bisa menebak dia akan mencoba untuk menggodaku lagi.“Oh, gitu!” seru Lilis.“Ya udah. Kalian istirahat, gih. Pasti capek!” seru Mama lagi.“Mama mau ke kamar, capek juga. Tadi di butik rame banget.” Sebelum Mama meninggalkan kami dan masuk ke kamar, aku melihatnya tersenyum seki

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-22

Bab terbaru

  • Turun Ranjang: Diceraikan Abangnya, Diratukan Adiknya   aneh

    Aku hendak memejamkan mata, karena hawa dingin kamar ini membuatku ingin segera tidur nyenyak. Tapi mataku kembali segar saat melihat Caca ke luar dari kamar mandi. Gadis bermata sipit itu terlihat manis dengan balutan bathrobe berwarna merah muda.“Buset, nyonya. Bisa lebih lama lagi, nggak, mandinya?” tanya Dea setengah emosi. Gadis itu langsung duduk di sisi ranjang saat Caca berjalan santai dan duduk di meja riasnya.Tangan Caca membuka handuk yang menutupi rambutnya yang basah, lalu mengeringkannya dengan hair dryer.“Ya ampun, Dea. Ini termasuk mandi gue yang paling cepet, tau!”“What the fu*k!” Dea sudah terlihat kesal.Bagaimana tidak, di antara kami bertiga, hanya Dea yang tidak terlalu suka membuang waktu. Dia termasuk gadis yang paling pandai memanfaatkan waktu dan selalu tepat waktu.Caca tidak menimpali ucapan Dea. Dia dengan santai mengeringkan rambutnya.“ih, udah, deh. Jangan pada berantem. Lagian hal sepele begini kan emang sering kejadian.”Tepatnya bukan sering. Ini

  • Turun Ranjang: Diceraikan Abangnya, Diratukan Adiknya   aku takut setan

    Tidak ada yang berubah dari rumah Caca sejak terakhir kali aku mampir di rumahnya saat masih SMA dulu. Caca adalah penyelamat isi perutku. Gadis itu selalu membawa bekal makan lebih banyak yang separuhnya diberikan padaku. Aku yang saat itu tidak mampu untuk membawa uang jajan, apalagi membawa bekal makanan karena bapak harus fokus membiayai pengobatan ibu yang sedang sakit. Aku bisa bersekolah dengan bantuan beasiswa saja sudah sangat bersyukur, karena tujuanku sekolah saat itu hanya satu. Lulus dengan baik.Tapi Alhamdulillah, Allah maha baik sehingga memberikan aku dua sahabat yang luar biasa mulia. Tidak pernah memandangku sebelah mata hanya karena aku bukan dari kalangan orang kaya, tapi Dea dan Caca benar-benar merangkulku sebagai sahabat yang baik.Rumah berlantai tiga dengan pagar pembatas yang tinggi menjulang. Orang tua Caca adalah pengusaha hebat di bidang properti dan sukses karena sudah memiliki beberapa cabang di beberapa kota. Tidak heran jika rumah orang tua Caca terli

  • Turun Ranjang: Diceraikan Abangnya, Diratukan Adiknya   nasi goreng bumbu cinta

    Malam yang kami lalui masih sama. Kali ini, tanpa aku yang melakukan, Evan sudah melakukannya lebih dulu. Meletakkan bantal guling sebagai pembatas tidur kami. Sejak malam pertama di hotel waktu itu, aku sudah mengawali ini dan sekarang Evan yang melakukannya. Tapi kali ini, entah kenapa hatiku terasa sakit. Aku merasa sakit melihat kerelaan Evan menjalani rumah tangga ini. Aku sakit karena telah menyiksa batinnya selama ini. Dan aku sekarang bingung bagaimana menyudahi ini semua, aku ingin hidup sebagai pasangan suami istri yang normal. Aku ingin bebas bergelayutan manja padanya, memeluk dan menciumnya dengan semauku dan kapan pun aku mau. Aku ingin merasakan sentuhannya setiap saat dia ingin. Aku inginkan itu, sungguh!Aku menoleh ke arah Evan yang sudah terlelap, terdengar dengkuran halus lolos dari bibirnya. Bulu-bulu halus mulai tumbuh di sekitar kumis dan jambangnya karena beberapa hari belakangan ini Evan terlalu sibuk dan belum sempat bercukur. Wajahnya yang putih terlihat sed

  • Turun Ranjang: Diceraikan Abangnya, Diratukan Adiknya   malu tapi mau

    “Hhaaahhh ....” Aku hanya bisa mengela napas panjang. Ada sedikit rasa yang mengganjal di hatiku. Setiap detik dan hari yang aku lalui, selalu dipenuhi rasa bersalah karena membiarkan Evan begitu saja. Entah bagaimana keadaan Evan saat dirinya menahan luapan biologisnya yang sudah seharusnya segera tersalurkan. Tapi ia justru kuat menahannya dan tidak menunjukkan gejala aneh atau apa lah.“Van, aku minta maaf!” seruku lirih.Aku jongkok, mengusap kotak itu. Tapi bergegas kembali berdiri lagi, takut jika aku sampai tergoda dan mengenakan baju seksi itu. Lekas aku mengambil daster selutut dan pakaian dalam.Pintu lemari aku tutup kembali, meletakkan pakaian yang sudah aku pilih di kasur. Tanganku membuka handuk dan ....“Aargghh!” Evan berdiri di ambang pintu dan berteriak. Kedua tangannya menutupi wajah. Sontak, aku yang terlambat sadar ikut berteriak kencang sambil kembali menutupi tubuh dengan handuk.“Aduh, Mbak. Aku minta maaf. Sumpah, deh, aku nggak liat apa-apa!” seru Evan sambil

  • Turun Ranjang: Diceraikan Abangnya, Diratukan Adiknya   malu

    Evan tidak merasa bahwa dia meminta Denis untuk menjemputku, sementara tadi Denis bilang kalau dia disuruh Evan buat jemput aku.Siapa di antara mereka yang sedang berbohong dan siapa yang berkata benar? Meski tanpa bertanya pada mereka, aku sudah pasti menemukan jawabannya. Denis yang berbohong, karena hati kecilku berkata jika Evan berbicara jujur. Lagi pula, selama ini Evan tidak pernah berbohong padaku. Dia pun tidak pernah terlihat menyembunyikan sesuatu dariku. Entah, sih. Untuk saat ini, aku bisa merasakan jika Evan adalah laki-laki jujur dan Denis tidak.Aku tidak banyak bertanya tentang kejanggalan tadi pada Evan. Yang jelas, untuk saat ini dan seterusnya, aku harus lebih hati-hati ketika berhadapan dengan Denis. Laki-laki itu terlalu licik dan berbahaya. Apa lagi status Denis adalah mantan suami, tidak menutup kemungkinan jika di hatinya masih ada perasaan yang entah apa bentuknya padaku.Yang pasti, aku harus jauh-jauh dari Denis.Sikap Lilis pada Denis sampai detik ini mas

  • Turun Ranjang: Diceraikan Abangnya, Diratukan Adiknya   rencana Denis

    Denis ingin menjemputku? Kenapa? Ada apa? Bisakah aku menolak ajakan itu? Sungguh aku masih takut berhadapan dengan dia. Masih membekas di ingatan sisa perlakuan kasarnya padaku dulu. Jika aku berhadapan dengannya, tubuhku bereaksi mengeluarkan keringat dingin dan jantungku berdegup kencang. Takut.[Aku pulang naik taksi aja!]Akhirnya, aku membalas chat dari Denis.[Aku disuruh Evan buat jemput kamu!][Nanti aku jemput tepat waktu.]Balas Denis.Menyerah. Aku enggan berdebat lagi. Makan siang yang masih tersisa, enggan aku habiskan. Sisa makanan itu berakhir di tempat sampah. Dea dan Caca hanya bisa beradu pandang saat menyaksikan aku kehilangan nafsu makan.Benar saja. Tepat pukul lima sore, Denis sudah berada di lobi. Dengan pedenya laki-laki itu menungguku di resepsionis.“Lo balik sama Denis, An?” tanya Caca setengah berbisik-bisik. Dea yang berdiri di sebelah Caca melihat ke arah Denis dengan tatapan tidak percaya.“Mau gimana lagi.” Aku hanya bisa mengembuskan nafas pasrah. Pas

  • Turun Ranjang: Diceraikan Abangnya, Diratukan Adiknya   Evan atau Denis?

    Aku masih berdiri depan bangunan itu, beberapa langkah lagi sudah masuk dan pastinya akan bertemu resepsionis. Pikiranku mengajakku agar masuk dan mencari keberadaan Denis yang entah berada di kamar berapa. Tapi hati kecilku mengatakan agar aku secepatnya pergi dari sana, sebelum semuanya terlambat dan malah akan mendatangkan masalah baru.Aku memejamkan mata sekejap, membulatkan tekad. Lalu dengan sepenuh jiwa membalikkan badan dan kembali melangkah menuju trotoar, berharap segera ada taksi yang kosong.Dewi Fortuna sedang berada di pihakku. Tak berapa lama kemudian, datang taksi kosong. Aku lantas naik dan mengatakan pada sopir ke mana tujuannya. Yaitu, ke kantor.Aku duduk bersandar, kepalaku mendadak terasa pusing. Bayangan Denis sedang bermesraan dengan wanita yang entah siapa malah menari-nari di pikiranku. Rasanya jijik membayangkan hal itu. Ingin rasanya menepis semua hal negatif yang bisa saja belum tentu terjadi, tapi sulit. Mobil Denis terlihat terparkir di sana, entah dia

  • Turun Ranjang: Diceraikan Abangnya, Diratukan Adiknya   ada apa dengan Denis

    Pernikahanku dengan Evan berjalan dengan baik. Evan bukan tipe laki-laki banyak menuntut. Ia justru semakin bersikap dewasa, tidak pernah mengeluh ketika sikapku ada yang tidak berkenan baginya. Ia malah mengimbangi langkahku dan selalu mengalah di setiap kondisi, membuatku akan merasa sangat bersalah ketika hendak marah.Evan di mataku itu sempurna. Mungkin itu untuk saat ini, entah jika di masa mendatang. Tapi bagiku, Evan sudah cukup menjadi baik sebagai suami dan aku ingin berusaha menjadi istri yang baik pula untuknya.Entah karena hal apa, Evan yang beberapa waktu lalu terlihat murung dan kadang kala uring-uringan, kini kembali ceria. Tawanya yang khas sudah kembali terdengar dan tidak ada lagi raut wajah yang sendu saat bertatapan di meja makan. Aku sedikit merasa lega karena tidak perlu mencari tahu penyebab hilangnya keceriaan Evan, meski pada dasarnya, aku masih penasaran saat ekspresi Evan menunjukkan keterkejutan saat dirinya melihat nomor ponsel misterius itu.Tadi pagi M

  • Turun Ranjang: Diceraikan Abangnya, Diratukan Adiknya   mencurigakan

    Aku tidak bisa fokus kerja, pengirim foto misterius itu semakin mengganggu pikiranku. Siapa dia, dan ada maksud apa melakukan ini padaku. Sungguh mengganggu! Bahkan aku tidak bersemangat menimpali ucapan Dea dan Caca yang sedang menceritakan tetangga yang baru menghuni rumah di sebelah mereka.Katanya, sih, laki-laki itu masih lajang dan bekerja di sebuah instansi pemerintah. Duh, siapa, sih, yang tidak tertarik pada kumbang matang seperti itu. Tapi lagi-lagi, pikiran tentang orang misterius dan juga sikap Denis yang sudah melampaui batas membuatku tidak bisa berpikir jernih, apalagi Evan melarang keras aku ikut campur dalam urusan itu.Ck. Kenapa sih!Caca dan Dea kesal dengan sikapku yang mendadak menjadi pemurung. Mereka lantas pergi saat jam kantor usai. Aku pun tidak ada niat untuk mencegah mereka, karena aku pun sedang tidak ingin diganggu oleh orang lain. Aku butuh ketenangan dalam kesendirian.Evan datang tepat setelah Caca dan Dea pergi, sehingga kami pun langsung meluncur pu

DMCA.com Protection Status