Aku mematut diri di depan cermin. Polesan dari MUA yang dipesan Evan benar-benar kualitas jempol. Wajahku yang biasa saja disulap menjadi bidadari kesiangan yang menjadi pusat perhatian para undangan, terutama mantan suamiku, Denis. Seharian kami menjadi pusat perhatian tamu yang datang.
Waktu seolah berlari dan menghilangkan rasa trauma, membuatku merasakan tenang dan dengan mudah menjawab ‘iya pada Evan yang memintaku menjadi istrinya. Terlebih saat ia meminta restu pada bapak dan keluarga besarku, semuanya setuju tanpa ada satu pun yang menolak. Aku curiga jika Evan memakai ilmu santet agar rencananya lancar. Astagfirullah! Dosa, Ana. Suudzon itu nggak baik! Aku menundukkan kepala, rasanya seperti Dejavu, seperti saat aku pertama kali menikah. Pikiranku mengembara saat pertama kali Denis mengucapkan kalimat ijab qobul yang disaksikan semua orang. Tapi naasnya pernikahan itu hanya bertahan dua tahun dan berakhir di meja perceraian. Satu-satunya alasan yang tidak bisa aku terima sampai saat ini adalah alasan Denis menceraikan aku hanya karena sudah tidak cinta. Dusta! Hati kecilku mengatakan jika Denis hanya berbohong supaya aku mau menerima kenyataan bahwasanya pernikahan kami sudah tidak bisa dipertahankan lagi. Seenak jidatnya dia membuangku bak kotoran dan dengan enteng menikah lagi saat masa iddahku baru berjalan. Brengsek! Hah ... ingin rasanya aku memaki lelaki itu habis-habisan. Tapi rasanya sayang jika harus membuang energi untuk sesuatu yang tidak penting. Seketika lamunanku buyar saat terdengar suara pintu kamar terbuka lalu tertutup. Lelaki dengan setelan jas hitam berdiri di sana. Lelaki berhidung mancung itu berdiri tegap dengan kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celananya. Sungguh sempurna ciptaanmu, Tuhan! Evan ganteng sempurna! “Mbak mikirin apa?” tanya Evan sambil berjalan mendekati ranjang yang berada di belakangku, lalu duduk di tepinya. Aku memutar badan agar kami saling berhadapan. Mataku tak bisa berpaling dari wajahnya yang memang harus aku akui dia, tampan. Tapi, apa ini mimpi. Kok indah banget? Eh .... “A-aku nggak mimpi, kan?” Pertanyaan bodoh dan membuat Evan malah tertawa. “Mbak nggak mimpi. Kita sudah sah menjadi pasangan suami istri!” Deg! Memang, siang tadi Evan sudah menepati janjinya dengan mempersunting diriku. Hanya dengan satu tarikan napas dia berhasil mengucapkan ikrar suci di depan penghulu juga bapak. Terlebih mama juga menyaksikan putra keduanya mengambilku agar kembali ke rumahnya. Kini hanya ada kami di kamar ini. Evan sengaja menyewa sebuah kamar hotel bintang lima untuk malam pengantin kami dan untuk anggota keluarga lainnya pun Evan menyediakan kamar untuk istirahat sebelum esok pagi pulang. Dadaku berdebar kencang saat Evan memandangku tanpa berkedip. Aku semakin takut kala lelaki itu berdiri dan mendekat ke arahku lalu berdiri dengan lututnya, seolah bersujud. “Mbak cantik. Akhirnya aku berhasil mempersunting dirimu.” “Apa yang kamu rencanakan sebenarnya?” Pertanyaan itu tiba-tiba saja terlontar dari bibir. Jujur saja, aku belum bisa menerima kehadiran lelaki mana pun. “Mbak, aku cinta dan sayang sama kamu. Apalagi yang kamu ragukan?” Evan berkata dengan lembut. “Aku nggak tau harus percaya sama kamu atau nggak.” “Aku nggak minta Mbak buat percaya sama aku. Aku cuma pengen bikin Mbak bahagia.” “Itu aja?” tanyaku sinis. “Selama ini aku berusaha keras bekerja untuk bisa sampai pada titik ini. Sukses dan menikah sama Mbak.” “Rasanya aneh, Van. Dulu aku pernah jadi kakak ipar kamu, sekarang istri kamu.” “Nggak ada yang aneh. Semua sudah Allah takdirkan.” Aku terdiam. Ucapan Evan ada benarnya. Tidak seharusnya aku bersikap seperti ini, bagaimana pun juga, lelaki ini sekarang memiliki status suami, yang harus aku hormati. “Mbak ....” “Ya ....” “Ngobrolnya di kasur aja, yuk. Kakiku kesemutan,” ucapnya sedikit meringis. Tangannya lalu bertumpu pada tanganku saat berdiri. Mungkin karena kakinya yang kesemutan membuat Evan tidak bisa berdiri dengan benar, nyaris saja ia jatuh lagi, tapi aku segera bangun dan meraih lengannya. Debar jantungku semakin tidak karuan saat wajahnya berada dekat denganku. “Eciye, Mbak. Udah bisa menerima aku, ya?” tanyanya dengan nada meledek. “Ge’er!” Aku menghempaskan tangannya yang tadi kupeluk saat membantunya agar tidak terjatuh. Buru-buru duduk sambil membuang muka. Evan terkekeh lalu duduk di sampingku. “Ini malam pengantin, Mbak.” Deg! Kenapa harus diingatkan, coba. Kan aku jadi nganu. Eh, grogi. Aku diam tak menjawab. Begitu pun dengan Evan, lelaki itu seolah ingin menyeimbangi diriku yang seolah malas berjalan menuju bahagia. Tapi ia malah dengan senang hati menuntun diriku ini. “Van ... bisa malam ini kita istirahat saja? Aku capek,” ucapku pelan lalu menoleh, lelaki itu masih menatapku dengan tatapan tenang membuatku nyaman. “Aku nggak akan maksa Mbak. Aku bakal nunggu sampai Mbak siap untuk aku sepenuhnya.” Aku seperti melihat sosok lelaki yang baik. Jika dulu saat malam pertama dengan Denis, lelaki itu justru menagih haknya, berbeda jauh dengan Evan. Lelaki ini lembut, perhatian, sabar dan ... ganteng. Ah ... ya Tuhan. Apa yang harus aku lakukan. Aku berdiri, lalu kedua tanganku menggamit gaun pengantin yang memiliki bawahan sangat lebar, membuatku sulit berjalan karena berat. Evan tidak menahanku atau pun memaksakan kehendak hatinya, ia malah dengan santai meraih ponsel yang tergeletak di meja. Aku kini berada di kamar mandi, sementara Evan tadi saat aku tinggalkan sedang merebahkan tubuhnya di kasur sambil memainkan ponsel miliknya. Gaun putih ini memiliki resleting di belakang, aku berusaha meraihnya, tapi tanganku yang pendek sulit menjangkaunya. Sial! Masa harus minta tolong sama Evan! Aduh. Nanti gimana kalo dia macam-macam. Aku kan belum siap! Etapi, aku kan bukan gadis lagi. Sudah pernah mengalami hal yang lebih intim dari pada ini. Masa sama suami sendiri malu, sih. Aduh! Aku harus bagaimana .... Niat untuk meminta tolong pada Evan aku urungkan. Aku berusaha sendiri meraih resleting itu sampai tidak terasa keringat membasahi kening. Sialan! Capek. Kesel. Mau tidak mau aku kembali membuka pintu kamar mandi dan mendapati sosok Evan yang kini berdiri di balkon sambil memandangi langit. Lelaki itu menoleh saat aku memanggilnya. “Kok belum ganti baju juga?” tanyanya seraya mendekat. “Tanganku pendek. Nggak bisa buka resleting ini.” Aku menunjuk ke arah punggung. “Mbak berbalik. Aku bukain.” Evan tetap tenang, meski yang aku rasakan Evan sedang tidak baik-baik saja. Tapi ... entahlah, aku tidak mau terlalu ambil pusing. Yang aku inginkan sekarang adalah ganti baju, mandi, lalu tidur. Aku menurut dan jemari itu membukanya perlahan, tapi tidak dengan jantungku yang terasa mau lompat. “Makasih!” Aku segera berlari tanpa menoleh pada Evan. Malu rasanya jika ia melihat wajahku yang kurasa sudah merah seperti kepiting rebus.Berendam dalam bathub dengan air hangat membuat tubuhku sedikit relax, tidak peduli jika malam sudah sedikit larut dan memang tidak baik mandi malam yang akan mengakibatkan rematik jika terlalu sering. Tapi apa boleh buat, ini demi bisa tidur nyenyak malam ini.Aku sengaja mengganti pakaian di kamar mandi, rasanya belum terbiasa jika harus di depan lelaki meski dia sudah sah dan berhak mendapatkan atas apa yang ada pada diriku. Tapi rasanya masih saja janggal.Aku keluar kamar mandi setelah mengganti baju tidur baru yang sengaja aku beli sebelum pernikahan. Aku bawa sendiri dari rumah, buat berjaga-jaga jika Evan nantinya malah menawariku baju tidur seksi yang kurang bahan. Bisa-bisa nanti aku masuk angin. Baju yang kukenakan sekarang mirip seperti daster berlengan, tapi ini sedikit lebih modern dengan bagian depan berenda dan panjang selutut.Di sana, aku melihat Evan tengah berbaring di sofa dengan mata terpejam. Kumis tipis dan janggut yang sedikit lebat itu semakin menonjolkan si
Momen pelukan yang tidak direncanakan tadi membuatku tidak bisa tidur. Masih terasa hangatnya tubuh Evan saat berada dalam jarak yang begitu dekat dengan dada ini. Astaga, kok bisa deg-degan ini nggak ilang, sih. Hidungku pun masih mencium aroma wangi sabun dari tubuh Evan.Jantungku berdebar kencang seperti genderang yang mau perang!Aaagghh ... aku menggigit ujung bedcover yang menutupi badan sampai batas leher. Aku menoleh ke arah sofa yang terletak di sebelah kiri dekat dengan jendela, Evan yang mengenakan pakaian tidur lengan pendek dan celana panjang sudah terlelap di sana. Selimut yang kupakaikan padanya tadi kembali terlipat di ujung sofa.Aku memiringkan tubuh, menatap lekat ke arah suamiku yang masih menahan nafsunya untuk tidak menyentuhku. Harus aku akui, dia baik. Hati ini pun luluh dengan sikapnya yang lembut. Tutur katanya yang pelan, membuatku merasa diperlakukan seperti seorang wanita yang paling berharga.“I love you, Mbak!” Aku mendengar Evan bersuara, tapi tubuhnya
Denis wiratama dan Evan wiratama, dua bersaudara yang memiliki perwatakan berbeda bak langit dan bumi. Denis bak bumi yang keras, sementara Evan bak langit yang siap membawaku terbang. Dan kini sudah saatnya untukku terbang bersama cinta baru yang akan membuatku tertawa.Awal pernikahanku dengan Denis dan Evan, sungguh jauh berbeda. Bersama Denis, aku harus patuh dan menjadi istri yang penurut. Apa pun kata-katanya tidak bisa dibantah. Aku dijadikan istri yang siap melayaninya di rumah, hanya di rumah. Tidak untuk di luar rumah, bahkan untuk dikenalkan ada temannya pun hanya bisa dihitung dengan jari. Bersama Evan, aku bisa merasakan menjadi wanita paling bahagia. Bahkan tidak sedetik pun ia membiarkan aku melamun, ada saja tingkah konyolnya yang akan membuatku tertawa. Atau lebih tepatnya, menjengkelkan. Lelaki itu ada saja idenya untuk menggangguku.Dasar bocah tengil!Hari ini kami masih di hotel, usai sarapan tadi kami menghabiskan waktu bersama di kamar. Rebahan manja, tentunya
Jika ada yang menganggap Evan laki-laki bodoh, dia memang begitu. Merasa dirinya bodoh di hadapan perempuan yang amat dicintainya. Bersedia mengalah, demi terjaganya hubungan baiknya bersama pasangan. Seperti halnya pagi ini, dia masih mau menerima seperti apa keadaan layaknya orang yang memiliki status teman. Bukan pengantin baru yang seharusnya penuh kemesraan. Evan tidak membantah apalagi protes, dia menuruti semua keinginanku. Dia akan meminta ijin jika ingin menyentuhku, dan tidak menyentuh ketika aku larang.Usai mandi dan berganti pakaian, Evan membawaku ke pusat perbelanjaan di kota Jakarta. Kami memasuki Mall dengan bergandengan tangan dengan penuh mesra. Aku tidak lagi memberontak apalagi membantah keinginannya memperlakukan aku seperti apa. Aku sudah pasrah, toh disakiti akan sama rasanya meski dengan lelaki berbeda. Jadi apa pun yang akan terjadi selanjutnya, aku akan menghadapi dengan bijak. Harusnya seperti itu, bukan?Mataku terasa bersinar kala memandangi toko-toko pa
“Emang kamu bisa milih makeup buat aku?” tanyaku hati-hati. Takut juga melihat ekspresi dia seperti tadi. Takut tersinggung, malah gagal shopping. Kan nggak asik.“Bisa, Kok. Aku kan sering diajak Mama beli makeup. Eh, maksudnya nemenin Mama kalo dia mau shopping.” Evan berucap sambil tangannya memilih bedak brand lokal. Tangannya dengan terampil membuka bungkus bedak itu, lalu menyapukan di punggung tangan.“Bagus, kok, Mbak. Ini cocok buat kulit Mbak yang normal dan sedikit kering. Kalo Mbak pake ini, cocok dan pasti makin cantik.”Aku mendelik kesal. Bisa-bisanya dia di saat begini menggombal. Tapi jika dilihat dari raut wajahnya, Evan berkata jujur dan sedang tidak mengambil kesempatan untuk menggodaku.“Jadi ini bagus buat aku?” tanyaku memastikan sambil mengambil bedak yang masih segel.“Iya, percaya, deh.” Evan tersenyum manis. Entah datang dorongan dari mana, aku pun membalas senyumannya itu.“Cantik!” serunya sambil berjalan melewatiku.Aku merasakan wajahku panas dipuji begi
Aku memilih langsung pulang meski Evan memaksa untuk makan di luar. Rasa lapar menguap begitu saja saat memikirkan adegan mesra tadi, meski sebenarnya aku pun tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Entah ucapan Evan yang jujur, atau memang dia hanya sedang menutupi kesalahannya saja. Entah lah, sejak Denis mengkhianati kepercayaanku, aku sulit untuk percaya lagi. Terlebih percaya pada cinta.Tas berisi make up kulempar ke kasur. Isinya berserakan di sana. Bodo amat, aku kesal. Sepanjang perjalanan aku diam. Entah apakah ini rasa cemburu atau marah atau kesal. Aku tidak mau ambil pusing. Terserah bagaimana hidupku jadinya.“Mbak nggak percaya sama omongan aku?” tanya Evan saat melihatku masih saja diam dan mengacuhkan ucapannya, terus berjalan ke kamar mandi. Tapi langkahku terhenti saat tangannya mencekal lengan.“Apa!” bentakku. Entah kenapa aku bisa selabil ini. Yang aku rasakan saat ini hanya marah dan kesal. Ingin berteriak kencang agar rasa sesak di dadaku ini hilang.Tuhan, ken
Ketika hati sudah memutuskan siap untuk menikah, sudah seharusnya tahu apa yang akan terjadi. Bagaimana pun takdirnya, jalani dengan ikhlas. Lalu, ketika ada sebuah kesalahpahaman, runding kan dengan pasangan untuk mencari jalan keluar terbaik agar tidak terjadi perpecahan apalagi sampai terjadinya sebuah perceraian. Redam ego yang ada pada diri sendiri, niscaya semuanya akan kembali berseri.Aku bahkan masih tidak percaya ketika Evan mampu meredam emosi yang tadi sempat naik. Lelaki itu dengan santai juga lembut menenangkan amarahku yang sedang bergejolak. Dan kini, kami sedang duduk bersisian, kepalaku bersandar mesra di bahunya. Entah ada dorongan dari mana datangnya, hati kecilku sedang ingin manja pada suamiku. Iya, suamiku. Aku sudah mulai mengakui Evan sebagai suami. Laki-laki yang pantas mendapatkan segalanya dariku.Setengah berbisik, Evan mengajakku untuk salat. Katanya salat bisa meredam emosi yang ada di hati. Aku percaya itu, karena guru di sekolah pun mengatakan jika sed
Posisi tidur kami miring, tapi saling berhadapan. Mata kami beradu dalam jarak yang sangat dekat, membuat suasana menjadi canggung. Ditambah cahaya lampu yang sengaja dibuat remang-remang membuat suasananya terasa aneh. Aku merasa merinding saat tangan Evan membelai kepala juga pipi, lalu jemarinya mengusap bibir.“Mbak, cantik!” puji Evan sambil tersenyum. Aku hanya bisa membalas senyumannya tanpa bisa membalas pujiannya. Biasanya aku akan memaki Evan jika dia berani menggombal, tapi sekarang, aku justru menikmati kata-kata manisnya.“Istriku yang cantik!” Evan kembali memuji dengan suara yang terdengar parau. Sepertinya ia hanyut dalam suasana mesra ini. Dan harus aku akui, aku pun sama.“Suamiku juga ganteng!” Aku membalas pujiannya. Sikap dan perlakuan Evan membuatku kehilangan kata-kata kasar yang biasa aku lontarkan jika ia sedang menggombal.Evan hanya tersenyum mendengar aku memujinya. Tangan Evan masih saja aktif membelai area kepala dan wajahku, membuat syaraf di tubuhku lem
Aku hendak memejamkan mata, karena hawa dingin kamar ini membuatku ingin segera tidur nyenyak. Tapi mataku kembali segar saat melihat Caca ke luar dari kamar mandi. Gadis bermata sipit itu terlihat manis dengan balutan bathrobe berwarna merah muda.“Buset, nyonya. Bisa lebih lama lagi, nggak, mandinya?” tanya Dea setengah emosi. Gadis itu langsung duduk di sisi ranjang saat Caca berjalan santai dan duduk di meja riasnya.Tangan Caca membuka handuk yang menutupi rambutnya yang basah, lalu mengeringkannya dengan hair dryer.“Ya ampun, Dea. Ini termasuk mandi gue yang paling cepet, tau!”“What the fu*k!” Dea sudah terlihat kesal.Bagaimana tidak, di antara kami bertiga, hanya Dea yang tidak terlalu suka membuang waktu. Dia termasuk gadis yang paling pandai memanfaatkan waktu dan selalu tepat waktu.Caca tidak menimpali ucapan Dea. Dia dengan santai mengeringkan rambutnya.“ih, udah, deh. Jangan pada berantem. Lagian hal sepele begini kan emang sering kejadian.”Tepatnya bukan sering. Ini
Tidak ada yang berubah dari rumah Caca sejak terakhir kali aku mampir di rumahnya saat masih SMA dulu. Caca adalah penyelamat isi perutku. Gadis itu selalu membawa bekal makan lebih banyak yang separuhnya diberikan padaku. Aku yang saat itu tidak mampu untuk membawa uang jajan, apalagi membawa bekal makanan karena bapak harus fokus membiayai pengobatan ibu yang sedang sakit. Aku bisa bersekolah dengan bantuan beasiswa saja sudah sangat bersyukur, karena tujuanku sekolah saat itu hanya satu. Lulus dengan baik.Tapi Alhamdulillah, Allah maha baik sehingga memberikan aku dua sahabat yang luar biasa mulia. Tidak pernah memandangku sebelah mata hanya karena aku bukan dari kalangan orang kaya, tapi Dea dan Caca benar-benar merangkulku sebagai sahabat yang baik.Rumah berlantai tiga dengan pagar pembatas yang tinggi menjulang. Orang tua Caca adalah pengusaha hebat di bidang properti dan sukses karena sudah memiliki beberapa cabang di beberapa kota. Tidak heran jika rumah orang tua Caca terli
Malam yang kami lalui masih sama. Kali ini, tanpa aku yang melakukan, Evan sudah melakukannya lebih dulu. Meletakkan bantal guling sebagai pembatas tidur kami. Sejak malam pertama di hotel waktu itu, aku sudah mengawali ini dan sekarang Evan yang melakukannya. Tapi kali ini, entah kenapa hatiku terasa sakit. Aku merasa sakit melihat kerelaan Evan menjalani rumah tangga ini. Aku sakit karena telah menyiksa batinnya selama ini. Dan aku sekarang bingung bagaimana menyudahi ini semua, aku ingin hidup sebagai pasangan suami istri yang normal. Aku ingin bebas bergelayutan manja padanya, memeluk dan menciumnya dengan semauku dan kapan pun aku mau. Aku ingin merasakan sentuhannya setiap saat dia ingin. Aku inginkan itu, sungguh!Aku menoleh ke arah Evan yang sudah terlelap, terdengar dengkuran halus lolos dari bibirnya. Bulu-bulu halus mulai tumbuh di sekitar kumis dan jambangnya karena beberapa hari belakangan ini Evan terlalu sibuk dan belum sempat bercukur. Wajahnya yang putih terlihat sed
“Hhaaahhh ....” Aku hanya bisa mengela napas panjang. Ada sedikit rasa yang mengganjal di hatiku. Setiap detik dan hari yang aku lalui, selalu dipenuhi rasa bersalah karena membiarkan Evan begitu saja. Entah bagaimana keadaan Evan saat dirinya menahan luapan biologisnya yang sudah seharusnya segera tersalurkan. Tapi ia justru kuat menahannya dan tidak menunjukkan gejala aneh atau apa lah.“Van, aku minta maaf!” seruku lirih.Aku jongkok, mengusap kotak itu. Tapi bergegas kembali berdiri lagi, takut jika aku sampai tergoda dan mengenakan baju seksi itu. Lekas aku mengambil daster selutut dan pakaian dalam.Pintu lemari aku tutup kembali, meletakkan pakaian yang sudah aku pilih di kasur. Tanganku membuka handuk dan ....“Aargghh!” Evan berdiri di ambang pintu dan berteriak. Kedua tangannya menutupi wajah. Sontak, aku yang terlambat sadar ikut berteriak kencang sambil kembali menutupi tubuh dengan handuk.“Aduh, Mbak. Aku minta maaf. Sumpah, deh, aku nggak liat apa-apa!” seru Evan sambil
Evan tidak merasa bahwa dia meminta Denis untuk menjemputku, sementara tadi Denis bilang kalau dia disuruh Evan buat jemput aku.Siapa di antara mereka yang sedang berbohong dan siapa yang berkata benar? Meski tanpa bertanya pada mereka, aku sudah pasti menemukan jawabannya. Denis yang berbohong, karena hati kecilku berkata jika Evan berbicara jujur. Lagi pula, selama ini Evan tidak pernah berbohong padaku. Dia pun tidak pernah terlihat menyembunyikan sesuatu dariku. Entah, sih. Untuk saat ini, aku bisa merasakan jika Evan adalah laki-laki jujur dan Denis tidak.Aku tidak banyak bertanya tentang kejanggalan tadi pada Evan. Yang jelas, untuk saat ini dan seterusnya, aku harus lebih hati-hati ketika berhadapan dengan Denis. Laki-laki itu terlalu licik dan berbahaya. Apa lagi status Denis adalah mantan suami, tidak menutup kemungkinan jika di hatinya masih ada perasaan yang entah apa bentuknya padaku.Yang pasti, aku harus jauh-jauh dari Denis.Sikap Lilis pada Denis sampai detik ini mas
Denis ingin menjemputku? Kenapa? Ada apa? Bisakah aku menolak ajakan itu? Sungguh aku masih takut berhadapan dengan dia. Masih membekas di ingatan sisa perlakuan kasarnya padaku dulu. Jika aku berhadapan dengannya, tubuhku bereaksi mengeluarkan keringat dingin dan jantungku berdegup kencang. Takut.[Aku pulang naik taksi aja!]Akhirnya, aku membalas chat dari Denis.[Aku disuruh Evan buat jemput kamu!][Nanti aku jemput tepat waktu.]Balas Denis.Menyerah. Aku enggan berdebat lagi. Makan siang yang masih tersisa, enggan aku habiskan. Sisa makanan itu berakhir di tempat sampah. Dea dan Caca hanya bisa beradu pandang saat menyaksikan aku kehilangan nafsu makan.Benar saja. Tepat pukul lima sore, Denis sudah berada di lobi. Dengan pedenya laki-laki itu menungguku di resepsionis.“Lo balik sama Denis, An?” tanya Caca setengah berbisik-bisik. Dea yang berdiri di sebelah Caca melihat ke arah Denis dengan tatapan tidak percaya.“Mau gimana lagi.” Aku hanya bisa mengembuskan nafas pasrah. Pas
Aku masih berdiri depan bangunan itu, beberapa langkah lagi sudah masuk dan pastinya akan bertemu resepsionis. Pikiranku mengajakku agar masuk dan mencari keberadaan Denis yang entah berada di kamar berapa. Tapi hati kecilku mengatakan agar aku secepatnya pergi dari sana, sebelum semuanya terlambat dan malah akan mendatangkan masalah baru.Aku memejamkan mata sekejap, membulatkan tekad. Lalu dengan sepenuh jiwa membalikkan badan dan kembali melangkah menuju trotoar, berharap segera ada taksi yang kosong.Dewi Fortuna sedang berada di pihakku. Tak berapa lama kemudian, datang taksi kosong. Aku lantas naik dan mengatakan pada sopir ke mana tujuannya. Yaitu, ke kantor.Aku duduk bersandar, kepalaku mendadak terasa pusing. Bayangan Denis sedang bermesraan dengan wanita yang entah siapa malah menari-nari di pikiranku. Rasanya jijik membayangkan hal itu. Ingin rasanya menepis semua hal negatif yang bisa saja belum tentu terjadi, tapi sulit. Mobil Denis terlihat terparkir di sana, entah dia
Pernikahanku dengan Evan berjalan dengan baik. Evan bukan tipe laki-laki banyak menuntut. Ia justru semakin bersikap dewasa, tidak pernah mengeluh ketika sikapku ada yang tidak berkenan baginya. Ia malah mengimbangi langkahku dan selalu mengalah di setiap kondisi, membuatku akan merasa sangat bersalah ketika hendak marah.Evan di mataku itu sempurna. Mungkin itu untuk saat ini, entah jika di masa mendatang. Tapi bagiku, Evan sudah cukup menjadi baik sebagai suami dan aku ingin berusaha menjadi istri yang baik pula untuknya.Entah karena hal apa, Evan yang beberapa waktu lalu terlihat murung dan kadang kala uring-uringan, kini kembali ceria. Tawanya yang khas sudah kembali terdengar dan tidak ada lagi raut wajah yang sendu saat bertatapan di meja makan. Aku sedikit merasa lega karena tidak perlu mencari tahu penyebab hilangnya keceriaan Evan, meski pada dasarnya, aku masih penasaran saat ekspresi Evan menunjukkan keterkejutan saat dirinya melihat nomor ponsel misterius itu.Tadi pagi M
Aku tidak bisa fokus kerja, pengirim foto misterius itu semakin mengganggu pikiranku. Siapa dia, dan ada maksud apa melakukan ini padaku. Sungguh mengganggu! Bahkan aku tidak bersemangat menimpali ucapan Dea dan Caca yang sedang menceritakan tetangga yang baru menghuni rumah di sebelah mereka.Katanya, sih, laki-laki itu masih lajang dan bekerja di sebuah instansi pemerintah. Duh, siapa, sih, yang tidak tertarik pada kumbang matang seperti itu. Tapi lagi-lagi, pikiran tentang orang misterius dan juga sikap Denis yang sudah melampaui batas membuatku tidak bisa berpikir jernih, apalagi Evan melarang keras aku ikut campur dalam urusan itu.Ck. Kenapa sih!Caca dan Dea kesal dengan sikapku yang mendadak menjadi pemurung. Mereka lantas pergi saat jam kantor usai. Aku pun tidak ada niat untuk mencegah mereka, karena aku pun sedang tidak ingin diganggu oleh orang lain. Aku butuh ketenangan dalam kesendirian.Evan datang tepat setelah Caca dan Dea pergi, sehingga kami pun langsung meluncur pu