“Mas Yongki jangan bercanda! Pasti sembuh!” bentak Alula sambil menangis.“Kita bawa ke rumah sakit!” Faqih ikut mendekat. “Ki, bisa berdiri?”Yongki menggeleng. “Nggak kuat, Mas. Ini tadi ngejangkau pintu aja aku ngesot.”“Alula.” Yongki menatap sang mantan sambil menitikkan air mata.“Mas, mana ponselmu? Biar aku hubungi mamamu.”Yongki kembali menggeleng. “La, aku hanya ingin kamu.”“Jangan malah melantur bucin! Ayo kita ke rumah sakit. Mas Faqih, kita papah Mas Yongki, ya?” Alula masih sempat mengambil ponsel Yongki yang tergeletak di samping pria itu dan ternyata tidak bisa dinyalakan. Ia pun memasukkannya ke tas.Dengan dibantu Faqih berdiri, Yongki dipapah. Ia diapit Alula dan Faqih. Yongki ditidurkan di kursi tengah. Ada Jannah yang menjaga. Sementara Alula dan Faqih di depan. Mereka langsung bertolak ke rumah sakit.Di jalan, Alula menyalakan ponsel Yongki, berniat menghubungi keluarga pria itu. Namun, tetap tidak bisa.“Di sini ada charger nggak, Mas?” tanya Alula kepada Faq
Beberapa saat kemudian, Faqih muncul membawa ponsel Yongki yang sudah terisi dayanya dan bisa dinyalakan.“Hubungi keluargamu, Ki. Tugas kami mengantarmu ke sini sudah selesai,” ujar Faqih.Yongki menggeleng. “Aku ingin dijaga Alula saja, Mas."“Jangan egois. Pikirkan juga Alula. Nanti dia yang bakal dimarahi atau disalahkan keluargamu kalau mereka tahu Alula yang membawamu kesini. Apalagi kalau sampai Alula menungguimu. Bisa habis Alula.”Alula mengambil ponsel dari tangan Faqih. Ponsel Yongki dikunci sandi. Wanita itu menekan angka dengan tanggal mereka bertunangan, sesuai yang dulu Yongki katakan kalau sandi ponselnya adalah hari bersejarah itu. Terbuka. Itu berarti, Yongki belum mengubah sandinya.Dari dulu, memang tidak ada rahasia di antara mereka. Alula dan Yongki menjalani hubungan dengan saling terbuka dan saling percaya.Alula membuka W*. Di sana pun masih sama. ‘Cah Ayu’ masih disematkan dalam chat teratas, yang mana, nama ‘Cah Ayu' itu adalah nama untuk nomor ponselnya. Is
“Gila jangan ngajak-ngajak orang, Mas! Kita bukan mahram! Kamu dulu sopan, nggak kayak gini, loh,” desis Alula. Ia murka sebab menilai Yongki sudah meminta hal di luar batas. Tidak biasanya Yongki bersikap kurang ajar seperti itu.“Aku memang sudah gila, La. Aku gila memikirkan semuanya,, aku–” ujar Yongki lirih.“La, ayo pergi. Sebelum keluarga Yongki datang. Nanti mereka salah paham lagi.” Faqih menengahi.“Di sinilah dulu, La. Temani aku.”Alula mengangguk ke arah Faqih, mengabaikan pinta sang mantan.“Yongki, ibu paham, sangat paham perasaanmu, juga perasaan Alula. Sudah berapa ratus kali Ibu bilang ini sudah takdir, jadi terimalah dengan ikhlas. Berdamailah dengan pernikahanmu dengan Aruni. Kalian sudah saling halal. Setidaknya jangan membiarkan pengorbanan Alula sia-sia. Biarkan hanya Alula yang terluka, dan biarkan juga dia berusaha menyembuhkannya sendiri. Alula nggak sendiri, Nak. Ada Ibu, ada teman-temannya, dan ada adik-adik panti yang setia menemaninya. Kamu nggak usah kha
Pulang dari berolah raga bersepeda dengan masih mengenakan kaus yang basah dengan keringat, Lutfan menghampiri sang ibu yang duduk di gazebo belakang rumah. Wanita itu sedang menata gaji karyawan toko bangunan milik Lutfan yang dikelolanya. Sesekali Nur melantunkan selawat sambil menyunggingkan senyum.“Kayaknya bahagia banget, Bu. Ada apa hayo?” Lutfan memijat pundak Nur.“Loh, kamu sudah pulang? Kapan datangnya? Ibu kok nggak sadar.” Nur balik tanya.“Baru. Tadi mampir dulu ke tempat teman. Makanya siang baru pulang.”“Kelihatan, ya, kalau Ibu sedang bahagia?” Nur tertawa. Ia terpejam, menikmati sentuhan pijatan sang putra di pundaknya.“Ya, begitulah.”“Agak kanan dikit, Fan. Nah, situ. Pegel banget di situ. Mau panggil tukang pijet masih belum bisa.” Sesekali wanita itu memberi instruksi.“Ibu kalau capek, istirahat. Jangan diforsir ke toko terus.”“Enggak, kok. Cuma sedikit pegel. Coba tebak, apa alasan Ibu yang katamu sedang bahagia?”Lutfan menyudahi pijatannya setelah beberapa
‘Mas Yongki, sehat-sehat, semoga lekas sembuh. Jangan sakit lagi.’ Alula membatin sambil memandang pintu IGD.Sentuhan sekilas di lengan, membuat Alula kembali memutar tubuh dan berlalu dari sana.Di tengah perjalanan pulang dari rumah sakit, Alula meminta Faqih agar berhenti di mesin ATM.Setelah uang dari mengambil di ATM berada di tangan, Alula menyerahkannya pada Jannah.“Bu, ini uangnya. Jadi, utangku lunas, ya?”“Tapi, La, kamu pakai dulu nggak apa-apa.”“Enggak, Bu. Aku masih ada. Eh, Ibu itung dulu coba. Takut salah.”“La, kamu pegang dulu aja.”“Enggak, Bu. Ibu tenang aja. Uangku masih banyak. Pliis, Ibu terima. Biar aku tenang.”“Baiklah. Ibu terima.”Bohong jika uang masih ada. Saldo Alula sudah samgat menipis.Dari dulu, ia memang tidak berani berutang lama-lama kepada orang sekalipun itu kepada orang tua asuhnya. Sebab baginya, utang itu terlalu memberatkan pikiran.Wanita itu mendesah resah secara lirih. Sebenarnya, masih ada perhiasan yang dibawa Nur, tetapi kalungnya w
Adi hanya tertawa mendengar pertanyaan yang lebih tepat sebuah todongan dari Alula.“Kemarin, aku dengar dari Aruni kalau kamu datang ke rumah buat ambil ponselmu, bener?” tanya pria itu. Ia masih bertengger di atas sepeda motor yang sudah dimatikan mesinnya.Alula diam.“Sayangnya aku kemarin masih sibuk di luar kota. Jadi, kamu pulang dengan tangan kosong, ya? Ck, ck, ck. Kasihan.”Adi mengeluarkan sesuatu dari tas selempangnya dan menunjukkan kepada Alula. “Ini, kan, yang kamu cari?”“Balikin sini!” Alula berusaha merebut ponselnya dari tangan Adi, tetapi tidak bisa.“Nggak semudah itu. Ingat, Alula. Waktumu mengambil ponsel ini hanya sehari, yaitu besok. Setelah hari itu, zonk. Ponselmu akan aku buang.”“Mas Adi! Keterlaluan kamu!”“Semua terserah padamu, aku begini adanya.” Adi malah bernyanyi, sengaja membuat Alula berang.“Aku nggak yakin kalau Mas akan benar-benar memberikannya. Karena Mas Adi itu licik.”“Aku janji. Aku akan memberikannya kalau kamu hadir. Ini janji seorang p
Minggu pagi, Alula berdandan dengan tak bersemangat. Ia mengenakan atasan berbahan tulle full furing dengan aksen selendang menjuntai ke bawah dan payet melingkar di bagian perut berwarna lavender. Bawahannya rok batik warna cokelat, sedikit corak lavender dan pasmina berwarna senada dengan warna atasan, dililit di kepala sedemikian rupa menutupi dada. Wajahnya dipoles dengan mekap tipis, tetapi tetap terlihat segar dan menawan. Ia tampak begitu cantik.Siapa pun akan terpana dan memuji kecantikannya. Apalagi nanti Yongki. Bisa-bisa pria yang gagal move on tersebut kejang.Alula mengoleskan blush on di wajah sambil menatap pantulan dirinya pada cermin di hadapan. Hari ini, ia terpaksa datang ke resepsi pernikahan mantan demi ponselnya. Ia sengaja tidak mengabari Jannah karena takut ibu asuhnya itu malah kepikiran.“Kuat nggak, ya?” gumam Alula. Ia mencoba tersenyum, tetapi tetap saja. Senyum itu terlihat kaku dan dipaksakan.Berkali-kali wanita itu mengatur napas.Sabar dan ikhlas. Du
Alula baru saja turun dari ojek online di tempat resepsi saudara tiri dan mantannya. Ia bingung harus bagaimana menghadapi situasi di dalam nanti. Wanita itu duduk sebentar di sebuah pagar, lalu membuka masker. Ia kembali mengatur napas sambil memegangi dada.“Ayo, pasti bisa. Pasti kuat.”“Cukup cari Mas Adi, minta ponsel, lalu pulang. Hanya itu. Jangan menemui pengantinnya, jangan memancing keributan. Kalau mereka cari masalah, lekas pergi. Bisa, Alula, bisa!”Alula terus menyemangati diri sendiri seraya menjinakkan debaran dalam dadanya yang berpacu cepat. Ia pun kembali menaikkan masker. Dengan masker yang masih menempel sempurna menyamarkan wajah, ia masuk dengan kaki gemetar.Tidak bisa dipungkiri, Alula tremor. Badannya panas dingin dan bergetar. Ia mencengkeram tali tas untuk menyembunyikan gugup, lalu berjalan pelan.Tiba di dekat pintu masuk, kakinya terpaku untuk sesaat. Ia menatap Yongki yang duduk di pelaminan. Begitu tampan. Di sampingnya, ada Aruni yang didandani sangat
Alula mengesot menuju pintu, lalu membuka pintu itu sedikit kesusahan.“Tolong. Perutku sakit sekali,” ujarnya sambil menangis ketika tubuhnya sudah mencapai luar. Kebetulan ada orang yang lewat. Setelah itu, Alula tidak sadarkan diri.**Alula mencoba membuka mata. Ia merasa tubuhnya sakit semua. Wanita itu mendesis.“Alhamdulillah, kamu akhirnya sadar juga, Nak. Apa yang kamu rasakan? Bentar, Ibu panggil perawat.” Nur memekik.Alula meraba perut sambil menangis.“Apa anakku masih selamat, Bu?” Alula balik tanya.“Alhamdulillah masih selamat.” Sebuah suara menyahut, membuat Alula memalingkan wajah.Alula terus menangis. Wajahnya masih melengos, enggan menatap pemilik suara itu.Sementara Nur sudah pergi dari sana, mencari perawat untuk melaporkan Alula sudah sadar.Lutfan menyentuh tangan Alula yang tidak terpasang jarum infus, mengecupnya lembut. “Jangan pergi tanpa pamit kayak gini lagi, Sayang. Mas rasanya mau ma*ti.”Alula berusaha menarik tangannya, tetapi tidak berhasil. Air ma
Kehamilan yang dijalani Alula di trisemester pertama tidaklah mudah. Wanita itu mengalami morning sickness parah hingga berkali-kali masuk rumah sakit. Lutfan dengan setia dan sabar mendampingi sang istri.“Sayang, maaf sudah membuat kamu kayak gini,” ujar Lutfan sambil menyuapi Alula di rumah sakit.Ini sudah kesekian kali Alula dirawat di rumah sakit karena tubuhnya sangat lemas. Badannya pun makin mengurus.Pria itu pulang hanya untuk mandi dan ganti pakaian. Ia menghabiskan waktunya di rumah sakit setelah mengajar.“Nggak apa-apa. Aku menikmati masa-masa ini. Bukankah Allah memberi seribu kebaikan dan menghapus seribu keburukan pada wanita hamil?”Lutfan tersenyum.“Udah, Mas, enek.”Lutfan pun menyudahi suapan.“Aku yang minta maaf karena selama beberapa waktu ini, aku nggak bisa memenuhi kebutuhan biologis Mas.”Alula tahu betul kalau suaminya itu memiliki na*su yang menurutnya tinggi. Entah memang semua pria seperti itu atau tidak, Alula juga tidak tahu. Saat belum sakit dulu,
“Kami sudah resmi bercerai. Ini keputusan terbaik. Daripada kami saling menyakiti,” jawab Yongki sendu. “Jadi pernikahanmu benar-benar tidak bisa lagi dipertahankan?” Yongki menggeleng. “Sebenarnya bisa, Bung. Kamu saja yang tidak mau berusaha. Aruni itu wanita baik. Buktinya, dia tidak meninggalkanmu saat kamu dipenjara kemarin. Dalam pernikahan itu, yang penting ridho orang tua. Orang tuamu yang kulihat sangat menyayangi Aruni. Itu awal yang baik. Jungkir balik kamu mencintai seseorang kalau orang tua nggak ridho, nggak bakal berkah.” Lutfan sedikit mengingat ke belakang. Saat ibunya sudah rida, ia langsung bisa bertemu Alula. “Kamu bisa bilang seperti ini karena kamu menikahi Alula atas dasar suka, bukan terpaksa. Berat, Bung, rasanya berusaha mencintai. Aruni beda dengan Alula. Ibaratnya siapa pun yang dijodohkan paksa dengan Alula, pasti mudah jatuh cinta. Kalau Aruni, harus sabar menghadapi sikap buruknya. Kamu mau nyoba? Ayo tukeran istri.” Lutfan terkekeh. “Gila, enggak
“A-aku alhamdulillah baik,” jawab Alula gugup.Yongki mendekat. Namun, sebelum sampai di hadapan Alula, wanita itu memilih berlalu dari sana. Alula tidak ingin suaminya salah paham jika memergokinya.Alula kembali ke ruang tamu, duduk di samping Lutfan. Yongki menyusul setelahnya.Acara di sana adalah makan bersama. Alula juga belum tahu apa maksud Jasman melakukan itu.“Aku masih bingung ini ada apa,” bisik Alula pada sang suami.“Sama. Tapi Bu Jannah kayaknya sangat bahagia,” sahut Lutfan sambil menyuapi istrinya.“Trus katanya Aruni sama Mas Yongki mau cerai, tapi kenapa masih datang berdua ke sini?”“Mungkin sudah rujuk. Kenapa memangnya? Kamu cemburu?”“Dih, sorry. Suamiku lebih menggoda dan lebih menggigit daripada mantan.”Lutfan tergelak sampai tersedak. Alula memberinya minum.“Makanya, Mas, kalo makan jangan sambil ngomong.”“Kamu yang mulai.” Lutfan kembali menyuapi istrinya.Pandangan beberapa mata bergantian menyaksikan mereka.Setelah makan-makan dan membereskan sisanya,
“Bagian ini yang harus kamu revisi, Sayang. Bolak-balik Mas ingatkan. Jangan asal tulis. Buka buku, cari referensi yang lebih segar, yang lebih bermutu. Jangan itu-itu mulu,” omel Lutfan suatu hari saat membimbing skripsi sang istri di gazebo.Setelah sekian lama skripsi mangkrak, kini Lutfan memaksa Alula menggarapnya lagi.“Udah aku revisi, Mas. Emang Mas aja yang sensi banget sama aku. Disalahin terus. Benerin sendiri, kek. Jangan marah-marah mulu.” Alula tidak mau kalah.“Benerin itu perkara mudah. Skripsi ini anggap saja sebagai senjata. Kamu harus tahu asal-usul dan seluk-beluk senjatamu sampai kamu benar-benar paham. Apa kelemahannya, apa kelebihannya, kenapa begini, kenapa begitu, kamu harus tahu. Jadi, ketika perang nanti, kamu bisa memakai senjata ini sebaik-baiknya. Ketika ada serangan tiba-tiba dalam bentuk apa pun, kamu siap karena sudah menguasainya. Kamu paham, kan, maksud Mas? Perang yang dimaksud adalah ketika sidang skripsi nanti.” Lutfan mode serius.“Bu, Mas–“Belu
Lutfan membawa Alula dalam dekapan. “Sudah, Sayang, jangan diteruskan.”“Beruntung saat itu aku nggak dibuang sama Pak Jasman, tapi dititipkan di panti Bu Jannah. Setidaknya bapak saat itu masih punya nurani. Atau mungkin sebenarnya dia sudah punya ikatan batin denganku, tapi tidak mau mengakui atau lebih tepatnya menepis perasaan itu. Mungkin beliau sudah tahu aku ini anak kandungnya, hanya saja situasinya sangat tidak tepat. Coba kalau aku dibuang, mungkin aku jadi anak jalanan.”“Sayang, sudah. Jangan dibahas hal yang sudah lalu.”“Dari Bu Jannah, baru aku mendapatkan kasih sayang. Di panti, barulah aku merasa menjadi manusia seutuhnya. Temanku banyak, kadang uangku santunan juga banyak. Uang yang tidak pernah kudapat langsung dari ibu atau budhe. Tapi bagaimanapun juga, aku tetap merasa hampa. Kasih sayang Bu Jannah nyata, tapi tetap saja kadang suka iri melihat teman di sekolah bahagia bersama keluarga kandung mereka.”Alula meraup banyak oksigen, lalu mengembuskan panjang.“Labe
Alula lantas menuju ruang Lutfan setelah membayar makanannya. Dengan langkah tergesa-gesa, ia berjalan dengan degup jantung menggila.“Assalamualaikum.” Alula masih berusaha formal. Ia mengetuk pintu sambil mengucapkan salam.“Waalaikumussalam. Masuk!” titah Lutfan.Alula pun masuk. Lutfan melihat sekilas siapa yang datang.“Kunci pintunya, Sayang.” Lutfan kembali fokus pada layar laptop.Alula mengernyit. “Kenapa?”“Udah, tutup aja.”Alula pun menurut, mengunci pintu. Ia lalu berjalan dan duduk di hadapan sang suami.“Mas dapat kabarnya kapan?”“Barusan. Ini kamu buka coba WA-nya.” Pria berkacamata itu mengeluarkan ponsel dari saku. Sementara fokusnya pada laptop belum beralih.Alula mengulurkan tangan.“Ke sini, Sayang. Nggak sampai.”“Sampai, Mas aja yang nggak serius.”“Ke sini!”Alula berdecak, lalu bangkit menghampiri Lutfan. Tiba di dekat sang suami, Lutfan memundurkan kursi, lalu menarik tubuh Alula dalam pangkuan. Pria itu meletakkan ponselnya di meja.Alula langsung memekik.
“Sayang, ayo skripsinya dilanjut,” ucap Lutfan suatu hari ketika melihat Alula asyik dengan ponsel tengah duduk di ranjang.“Ini juga lagi berusaha lanjutin, Mas.” Alula belum mengalihkan pandang dari ponsel.“Apaan? Hapean gitu.” Lutfan mendekat.“Semua naskah skripsiku emang ada di ponsel. Aku, kan, nggak punya laptop.”“Kenapa nggak bilang dari dulu? Ya udah, sana pakai punya Mas.”“Serius?”“Huum.” Lutfan mengambil paksa ponsel Alula, lalu meletakkan di nakas.“Sini biar Mas kasih sesuatu dulu yang bikin kamu semangat.” Lutfan menatap Alula nakal.“Gini amat nasibku jadi mahasiswi. Harus melayani dosennya dulu. Boleh nggak, aku nyebut Mas itu dosen c*bul?”Lutfan tertawa. “Apa saja sebutanmu, Mas terima.”“Tapi janji kalo aku lanjutin, jangan banyak revisi. Kalaupun ada revisi, tolong Mas perbaiki langsung, trus ACC biar aku lekas sidang.”“Bisa dibicarakan.”Maka terjadilah yang terjadi.“Kapan aku wisuda, Mas. Kalau mau serius dikit aja kamu tubruk,” protes Alula setelah ibadah
Jasman, Aruni, dan Adi sikapnya berubah. Tidak sebenci dulu. Mereka merasa bersalah dan jatuhnya malah malu sendiri dengan kelakuan mereka yang pernah dilakukan pada Alula.Alula merawat mereka seperti tidak ada masalah apa-apa sebelumnya. Mereka juga tidak menolak dirawat, tetapi terkesan canggung.“La, aku minta maaf,” ujar Aruni tiba-tiba saat Alula membantunya berganti pakaian di kamar mandi. Aruni mengalami luka lecet lumayan luas di punggung dan lengan. Itu membuatnya kesulitan memakai baju sendiri.“Iya, aku juga minta maaf.”“Sebenarnya, kami pas kecelakaan itu mau mengacaukan resepsi pernikahanmu. Dari pagi kami mencari informasi di mana resepsimu dan baru dapat info malamnya setelah melihat unggahan pernikahanmu yang viral. Kami ingin mengatakan pernikahanmu tidak sah karena tidak memakai wali nasab di hadapan tamu. Tapi Allah menghentikannya.”Gerakan Alula berhenti. Namun, sesaat kemudian kembali meneruskan kegiatannya.“Aku tahu kamu bakalan syok mendengar semua ini. Tapi