Sepulang dari liburan, Angga langsung mengajak Amanda untuk tinggal berdua. Dewi dan Feri menolak keras usul darinya dengan alasan takut bila Angga menyakiti wanita itu. Amanda sendiri juga sempat berpikir demikian. Namun, ia mencoba menepisnya. Yakin bahwa Angga tak mungkin bermain kasar meskipun tiap ucapannya selalu tak mengenakkan hati.
Dewi memberikan banyak wejangan supaya Angga menjaga Amanda dengan baik, wanita paruh baya itu benar-benar tak rela berpisah dengan sang menantu. Demi kemandirian ia pun harus rela membiarkan anak dan sang menantu tinggal berdua.
***
Setelah menempuh perjalan yang cukup lama, kini mereka telah sampai di kediaman milik Angga. Rumah minimalis bergaya modern dengan dua lantai. Berpagar besi berwarna hitam yang lumayan tinggi. Amanda terus mengekor di belakangnya sambil menikmati suasana rumah yang akan mereka tinggali berdua. Rumah dengan warna abu-abu yang mendominasi.
"Kamarnya cuma satu. Kamu di kamar dan aku di ruang tengah," ucap Angga dingin sambil memutar anak kunci, seperti biasa Amanda hanya mengangguk tanpa bersuara. "Aku mau membersihkan diri. Kamu beres-beres dulu. ingat! Jangan pernah merubah apa pun yang berada di ruangan ini, atau pun melepas semua foto-foto itu." Angga menunjuk beberapa bingkai foto yang berada di ruang tamu. Foto-fotonya dengan Nessa---wanita yang seharusnya menjadi istri Angga---ketika mereka masih bersama.
"Iya, tapi Angga, aku, 'kan sudah jadi is ...."
"Istriku gitu. Kamu lupa, aku menikah sama kamu, karena terpaksa Amanda," jelas Angga penuh penekanan supaya Amanda sadar akan posisinya, bahwa pria itu tidak akan pernah menganggapnya ada.
"Setidaknya hargai aku sebagai istri kamu," jawab Amanda sambil menahan tangisnya yang entah sudah keberapa kali.
Angga tersenyum remeh sambil menatap Amanda lama. "Jangan pernah berharap aku akan melakukannya, kamu tahu benar seharusnya yang aku nikahi itu siapa?" Tepat setelah mengatakan demikian, Angga pergi meninggalkan Amanda yang mulai menangis.
Amanda terduduk lemah di atas lantai, menatap nanar bingkai foto kemesraan Angga dan Nessa. "Kenapa kamu harus pergi dan melimpahkan semuanya padaku. Sekarang lihat! Bagaimana sikap Angga padaku, ia muak dan benci. Menolakku dalam hidupnya." Di hari pertama tinggal berdua Amanda sudah menangis. Bagaimana jika satu bulan lamanya. Apakah ia akan sanggup menghadapi sikap acuh Angga yang tidak pernah menghargai dirinya. Kesabarannya mulai di uji oleh tuhan. Amanda sanggup atau tidak melewati itu atau malah menyerah dan mundur.
***
Hubungan keduanya masih sama, tak ada perkembangan sama sekali. Angga sudah aktif di kantor, tetapi Amanda belum. Wanita itu meminta cuti selama satu bulan penuh dan Jadwal cutinya masih tersisa lima hari lagi. Merasa mulai bosan Amanda memutuskan untuk mengunjungi sang bunda. Sekali pun baru minggu lalu bertemu, tetapi sekarang ia merindukan wanita yang telah melahirkannya itu. Amanda memasuki area rumah sederhana milik ibundanya dengan hati bahagia. Ia rindu kepada Rania---sang Ibunda.
"Assalamualaikum, bunda, Amanda datang," ucap Amanda penuh binar bahagia. Namun, tak ada sahutan dari yang bersangkutan. "Bunda," ulangnya dan tetap sama, Rania tidak menyahuti. Mengetahui pintu tidak di kunci membuat Amanda memutuskan masuk begitu saja.
***
Amanda terus menangis di samping gundukan tanah yang masih basah, sungguh, ia benar-benar tak menyangka bahwa Rania akan meninggalkannya secepat ini. Ia menemukan Rania tak sadarkan diri di rumah, dengan perasaan kalut ia membawa wanita itu ke rumah sakit. Rupanya penyakit jantung yang selama ini di derita kambuh yang mengakibatkan anfal saat itu juga.
"Bunda ... Kenapa pergi? Amanda nggak bisa tanpa bunda, masih ingin bunda di sini. Amanda sendirian sekarang." Masih dengan tangisan, Amanda mengusap nisan sang ibunda. Selama ini hanya Rania yang ia miliki, dan sekarang wanita itu malah pergi.
Dewi memeluk menantunya penuh sayang. "Amanda nggak sendirian, ada mama sama papa dan juga Angga. Kami keluarga kamu, Sayang," kata Dewi penuh kelembutan. Memberi kekuatan kepada menantu malangnya.
"Iya, Nak. Kami juga orang tuamu, jadi jangan pernah berkata kamu sendirian," sahut Feri yang berdiri di belakang istri dan menantunya membuat Amanda tersenyum masih dengan tetesan air mata, lalu menatap Angga sekilas yang saat itu entah sedang memikirkan apa.
'Bahkan, saat aku kehilangan, sekali pun kamu nggak peduli. Aku tahu apa yang sedang kamu pikirkan, Ga. Pasti Nessa,' ucap Amanda dalam hati sambil menahan rasa sakit yang terasa kian nyata.
"Sebaiknya tinggal dengan mama-papa dulu, mama khawatir sama keadaan kamu."
"Nggak perlu, Ma. Amanda harus ikut sama Angga," tolak Amanda halus dan sesekali melirik Angga dengan ekor matanya.
"Apa Angga bisa menjaga kamu?" ucap Feri, seolah ia tahu bahwa Angga tidak mampu menjaga sang menantu dengan sangat baik. Mengingat sikap Angga pada wanita itu membuat Feri meragukan sang anak.
"Mama-Papa tenang saja. Angga akan menjaganya dengan sangat baik." Angga merangkul bahu Amanda dan berdiri di sampingnya membuat wanita itu terkejut dengan dada yang berdebar, karena pertamakalinya ia sedekat ini dengan lelaki itu. "Angga juga akan membahagiakannya," lanjutnya masih merangkul bahu Amanda dengan sebelah tangan, membuat senyum bahagia terbit di bibir Feri dan Dewi.
***
Mereka berpisah di luar pemakaman, Amanda langsung ikut Angga pulang ke rumah mereka. Sepanjang perjalanan ia terus tersenyum, teringat akan perlakuan Angga beberapa menit lalu dan juga janji pria itu.
"Jangan pernah berharap lebih tadi hanya sandiwara." Angga menoleh, menatap Amanda dengan senyum satu sudut. Senyum meremehkan karena wanita yang duduk di sampingnya telah percaya akan sandiwaranya.
"Maksud kamu apa?" Amanda benar-benar tak tahu maksud dari ucapan Angga, jangan-jangan janjinya tadi ....
"Itu hanya janji palsu, Amanda. Kamu tahu benar bagaimana sikapku terhadapmu, sampai kapan pun aku tidak akan menerimamu, A--manda Fri--sela," jelas Angga mengeja nama lengkap sang istri. Amanda terdiam, mengalihkan pandangan ke jendela mobil di sampingnya. Baru menit yang lalu ia berharap dan kini sudah dijatuhkan. Namun, dalam hati terus merapalkan do'a supaya sikap sang suami segera berubah.
"Jika sabar adalah jalan terbaik. Itulah yang akan ditempuh. Demi mendapatkan haknya.***Amanda benar-benar menjadi istri yang baik, melayani semua keperluan sang suami. Bangun pagi, beres-beres rumah dan juga memasak untuk imamnya itu.Angga terbangun ketika indera penciumannya menangkap aroma harum masakan. Masih dengan sedikit rasa kantuk pria itu melangkah menuju dapur, lalu menatap bingung Amanda yang sudah memasak sarapan sepagi ini."Mau ke mana? Masak pagi-pagi," tanya Angga pada Amanda yang sibuk dengan spatula dan penggorengan."Aku hari ini masuk kerja, jadi harus masak dulu buat kamu," jawab Amanda tanpa menoleh."Sepagi ini?" Bingungnya, pasalnya sekarang masih pukul enam pagi sedangkan jam kerja kantoran jam delapan."I--iya, aku harus berangkat pagi-pagi. Kerjaanku pasti banyak di kantor." Amanda mematikan kompor. Ia harus segera bersiap, perjalanannya lumayan jauh. Apalagi harus naik kendaraan umum yang
"Ia masih sama. Sabar dan tabah. Sampai dia benar-benar menerimanya." *** Amanda terus diam. Ia bingung dengan pikirannya sendiri, meskipun teman satu ruangannya sedang adu pendapat ia tidak merasa tersusik. Hanya satu yang dia pikirkan, Direktur Utama baru yang pagi tadi datang ke kantor dan akan menjadi atasannya. 'Tunggu! Bukannya tadi Pak Heri bilang, pindahan dari kantor pusat, berarti kantor ini cabangnya. Astaga! Kenapa aku baru tahu coba, dan sekarang hampir setiap saat aku harus bertemu sama dia,' keluh Amanda dalam hati sambil memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam supaya rasa sesak segera menguap. "Kamu sakit, Nda?" tanya Ifa khawatir, karena Amanda terus saja diam. "Iya, kok diam terus sih dari tadi. Kenapa?" tanya Lina juga sama khawatirnya. "Pasti lagi mikirin Pak Dirut kita yang baru itu, ya," tuduh Adisty disertai tatapan jahil. "Pak Dirut?" ulang Amanda bingung mendengar ucapan Adisty.
Amanda melirik sekilas ke arah gawai miliknya yang berdeting, dia hanya membaca notif yang tertera di layar tanpa ada niatan membuka. Ia mengalihkan pandangan menatap Angga yang duduk sedikit menjauh. Pria itu fokus pada layar laptop dipangkuan, mengerjakan tugas kantor yang belum usai. Ia terduduk gusar ketika gawainya terus berdenting karena lupa mengubah mode jadi sunyi. Yuda terus mengiriminya pesan, karena tak kunjung dibalas.Angga mendengkus dengan tatapan masih lurus ke layar laptop. Namun, ia sudah tak sabar lagi, ketika gawai milik Amanda berulangkali berdenting, dan si empunya enggan memeriksa benda itu. Angga menutup laptopnya dengan kasar, meletakkannya ke atas meja. Meraih gawai dan melemparkan ke atas pangkuan yang punya. Amanda terkesiap dengan tindakan itu. Suaminya sedang sangat marah sekarang."Kenapa? Mau marah, iya? Gawaimu berisik, masih untung nggak aku lempar ke lantai," pungkas Angga setelah melihat Amanda hendak protes, wanita itu membisu. Mem
"Sejauh apa pun ditolak, ia akan tetap di sisinya."***"Mulai malam ini kalian tidur di kamar berdua. Mama akan tidur di kamar baru," harap Dewi supaya Angga menuruti ucapannya.Amanda dan Angga dikagetkan dengan kehadiran Dewi yang tiba-tiba. Wanita paruh baya itu datang mendadak di pagi hari, beruntung kantor sedang libur jadi keduanya berada di rumah. Feri ada perjalanan bisnis di luar pulau, Dewi memutuskan tinggal dua hari di rumah sang anak, sekaligus berencana membuat mereka semakin dekat. Kamar di rumah Angga ada dua, tetapi yang digunakan hanya satu. Sedangkan satunya dijadikan ruang kerja."Mama ingin kalian tidur di kamar berdua, di atas ranjang yang sama, dan Angga ... buang foto Nessa untuk apa masih disimpan?" Dewi melirik Amanda dengan ekor matanya, pernikahan mereka sudah berjalan lima bulan, tetapi foto Nessa masih terpasang rapi di tempatnya."Mama mau nginap berapa hari di sini?""Jangan mengalihkan pe
"Memulai semuanya dari awal."***"Kalau sakit lebih baik di rumah, jangan sampai kamu merepotkanku karena sakit itu." Angga melarang Amanda untuk bekerja setelah melihat wanita itu sedikit pucat. Sejak malam itu Amanda telah berubah, wanita itu tidak banyak bicara seperti biasa dan lebih banyak diam."Aku nggak pa-pa, pekerjaanku banyak di kantor." Amanda memalingkan wajah ketika Angga menatapnya. Pusing itu masih terasa meskipun sudah meminum obat, Amanda bingung harus memberikan jawaban seperti apa nantinya. Angga masih memperhatikan Amanda yang berbeda, jelas terlihat tidak ada rasa semangat dalam raut mukanya.'Aku kenapa coba, sejak kapan mulai peduli sama dia. Apa karena ucapan mama waktu itu?'"Awas saja kalau sampai kamu sakit," ancamnya, sambil menatap Amanda cukup tajam.Amanda menoleh, menatap Angga dengan bingung. "Kamu khawatir sama aku?" tanya Amanda spontan."Jangan ge-er kamu, aku hanya menjalankan
"Kenapa kamu cegah aku semalam?" lontar Amanda setelah melihat pria itu menyiapkan sarapan di meja makan. Ia mengingatnya, kejadian semalam secara keseluruhan. Janji Angga, bujukannya dan juga dekapan pria itu sehingga ia tertidur dalam dekapan sang suami.Angga bergeming, menyiapkan roti bakar untuk keduanya sebagai sarapan. Tak berniat menjawab pertanyaan Amanda yang bahkan sudah ia jelaskan semalam."Sarapan dulu! Kamu lapar, 'kan?" ucapnya, lalu meletakkan roti bakar untuk Amanda di atas piring yang telah tersedia."Kenapa cegah aku semalam?" Amanda mengulangi pertanyaannya, tak perduli bila Angga sudah menyiapkan sarapan pertama kali untuk dia."Sarapan dulu, Amanda! Duduk di kursimu dan makan roti itu." Angga kembali pada sifat dinginnya supaya Amanda menurut dan tak banyak bertanya."Jawab pertanyaanku! Kenapa kamu cegah aku untuk susul mereka? Seharusnya kamu senang bisa terbebas dari aku dengan cepat. Bukannya ini yang kamu m
"Jarak adalah alasan supaya kita tahu seberapa berharganya orang itu."***Keputusan yang tepat bagi Amanda, perlahan tapi pasti ia akan menyiapkan hati bila Angga berniat mengakhiri hubungan. Ia tak ingin berharap karena sudah tahu bahwa Angga akan melakukan itu, meninggalkannya dan mulai mencari Nessa.Yuda pun masih mencoba mendekati, pria itu seakan tak perduli bahwa Amanda telah menolak cintanya. Ia hanya yakin mampu mendapatkan wanita itu dengan lebih mendekatinya lagi, meyakinkannya kalau ia mampu menjaga dan mencintai Amanda lebih dari sekarang."Aku nggak akan pernah menyerah, Amanda. Aku yakin suatu saat nanti kamu pasti akan terima rasa cintaku ini." Yuda begitu sangat yakin akan harapannya.Selama Amanda tak ada, Angga merasa ada yang berkurang dalam hidupnya. Jika dulu ini yang ia inginkan, tetapi tidak untuk sekarang. Tanpa Amanda ketahui pria itu selalu mengawasinya dari jauh, memastikan kalau wanita itu baik-baik saja.
Part 10 —Semakin hari sikap Angga kian jelas terlihat perubahannya, dari yang dingin dan kasar kini begitu perduli. Bahkan, tanpa pikir panjang pria itu telah melarang Amanda berdekatan terlalu lama dengan Yuda. Ia juga telah lancang menggunakan gawai wanita itu untuk mengirim pesan supaya Yuda berhenti mengantar-jemput sang istri.Amanda yang telah mengetahui kelancangan Angga sangat kesal, tetapi tak mampu marah berlebihan karena pria itu suaminya. Apalagi Angga sudah terang-terangan melarangnya berdekatan dengan Yuda meski tanpa alasan yang jelas.'Intinya aku nggak suka kalau kamu terlalu deket sama dia. Ingat status kamu, Amanda. Kita itu masih suami-istri di mata hukum dan agama. Jadi tugas kamu cuma satu ... nurut sama aku.'"Sibuk, Nda?" tanya Yuda sambil menghampiri kubikel milik Amanda dan berdiri di hadapan wanita itu membuat Amanda langsung tersadar dari lamunan singkatnya yang saat itu sedang memikirkan Angga."Lumayan sibuk,
ADA ADEGAN 21++ HARAP BIJAK DALAM MEMBACA YA, BAGI YANG TIDAK SUKA HARAP DI SKIP!!Fara menghela napasnya dengan pelan saat µelihat Yuda yang sedang µelaµun di teras belakang dengan sebatang rokok yang terselip antara jari telunjuk dan tengahnya. Yuda µerasa kesal dan dongkol karena hasratnya yang harus tak terselesaikan gara-gara baby Bina yang tiba-tiba saja µenangis. Seharusnya sejak awal dia µeµinta jasa baby sitter saja tetapi Fara sendiri yang µenolak itu seµua dengan alasan dia ingin µerawat sendiri dan µenjadi ibu yang selalu ada untuk anaknya. Naµun, kini µalah dirinya yang sangat dirugikan karena sikap Fara tersebut.Eµbusan napas terus Yuda keluarkan dan berharap rasa kesal sekaligus hasratnya bisa ikut menghilang, tetapi nyatanya tidak semudah itu."Aahh, sial banget sih!!" umpat Yuda sambil kembali menyalakan batang rokok kelima yang sudah dia hisap malam itu.Fara hanya geleng-geleng kepala saat melihat Yuda yang begitu frustrasi seperti itu. Ini adalah kali pertamanya Y
Angga mengembuskan napasnya dengan kasar. Dia memang sudah tahu semua kebenarannya tetapi saat ini ia tidak mengungkapkan kebenaran itu. Namun, reaksi Shadam malah terkejut seperti itu."Oom nggak bilang kalau Papa Jung itu bukan papa kamu, tapi oom nanya ... kalau misalkan itu terjadi bagaimana?" tanya Angga sambil menahan diri supaya tidak sampai mengatakan kebenaran itu saat ini juga.Shadam terdiam sambil memikirkan apa yang telah oom baik di sampingnya itu katakan. "Berarti Shadam punya dua papa dong, ya?"Angga mengngguk sebagai isyarat akan jawabannya. "Ya, kalau seandainya itu memang benar, apa yang akan Shadam lakukan? mencari tahu soal papa kandung Shadam itu atau nggak peduli?" Pancing Angga karena dia sangat ingin tahu apa jawaban yang akan bocah SD itu utarakan."eumm ... Shadam nggak tahu."Angga mengembuskan napasnya dengan berat dan kembali berdiri, lalu membawa Shadam ke dalam gendongannya. "Shadam tahu ... alasan terbesar oom hanya diam ya karena dia sama sekali
"Jadi ... kapan Oom baik mau kembali ke Indonesia? kenapa nggak tinggal lebih lama aja, Oom," usul shadam yang saat ini sedang berjalan bersisian dengan Angga.Keduanya akhirnya jalan-jalan bersama meski sebenarnya Amanda sangat menolak dengan keras kedekatan anak dan ayah itu. Amanda juga sangat tidak setuju dengan kedekatan keduanya, tetapi dia juga tidak mungkin memberikan larangan yang sangat keras dan nantinya akan membuat Daejung semakin curiga saja dengan sikapnya yang kian berubah. "Beberapa bulan lagi, Sayang. Kerjaan oom di sana juga banyak jadi harus segera kembali. Shadam juga tahu benar kan kalau pekerjaan oom itu tidak sedikit." Angga menghentikan langkahnya, lalu berjongkok untuk mensejajarkan tubuhnya dengan bocah lucu tersebut. "Berarti Oom juga sama sibuknya ya kayak Papa. Malahan Papa sering nggak pulang dari rumah sakit." Shadam menatap ke atas karena sedang mengingat bahwa Daejung yang memang kerap sering menginap di rumah sakit sehingga sering mengabaikan Shad
"Bisa jadi kan kalau Angga tahu semuanya dari kak Altan, bisa aja juga kalau dia sengaja kirim Angga ke sini supaya bisa deketin kamu lagi atau malah lebih buruknya ... ambil Shadam dari kamu.""Enggak, Ra. Seffina udah ceritain semuanya ke aku kalau Angga tahu kehamilan itu dari surat diagnosis yang aku tinggalin. Aku memang ceroboh karena masih nyimpan hasil tespack dan surat itu. Seffina juga cerita kalau Angga tahu itu semua dari barang-barangku yang masih Angga simpan," jelas Amanda. Hatinya sedikit bergetar saat mengingat kenyataan bahwa Angga masih menyimpan sisa-sisa barangnya."Jadi ... apa Angga juga udah tahu kalau Shadam anaknya?""Entahlah ... aku juga udah berusaha supaya mereka nggak terlalu dekat, tapi Shadam ... dia yang nggak bisa aku kendalikan. Sementara Daejung, dia juga mendukung kedekatan Shadam dengan Angga." Amanda menghela napasnya dsngan frustrasi. Dia benar-benar belum siap bila harus berpisah dengan Shadam. "Apa Daejung tahu soal masa lalu kalian?" tanya
"Aku minta maaf sama kamu, Nda. Andai aja waktu itu aku ikhlas . Mungkin, kamu nggak akan sendirian menghadapi ini semua. Aku benar-benar minta maaf sama kamu, Amanda," sesal Fara akan kesalahannya di masa lalu. Amanda melepaskan dekapan Fara dan menatap wajah sahabatnya itu yang kini menjadi sendu dan bersalah. Amanda tidak mengerti apa yang Fara ucapkan barusaja. "Maksud kamu apa, Ra?" Amanda menatap Fara engan ekspresi yang benar-benar merasa kebingungan. Dia benar-benar tak mengerti dengan kata ikhlas yang Fara maksudkan tadi. Fara menghela napasnya dengan sangat berat. Kini dia harus mengingat kembali kejadian tujuh tahun silam saat pertengkaran paling hebat dalam pernikahannya. "Waktu itu ... beberapa hari setelah aku keguguran ...." "Apa?! kamu pernah keguguran sebelum ini. AStaga, Fara. Apa Yuda nggak jagai kamu dengan baik sampai keguguran kayak gitu," potong Amanda karena merasa sangat terkejut mendengar kabar kalau Fara pernah keguguran. Fara mengang
Amanda hanya diam dan berusaha untuk mengingat dokter tampan yang saat ini berbicara dengannya. Dia merasa kalau sebelum hari ini mereka telah bertemu sebelumnya. "Kenapa menatapku seperti itu?" Dokter tampan yang sedang memeriksa cairan infus milik Amanda langsung menoleh saat dia merasakan kalau wanita hamil itu sedang mentapnya cukup lekat. "Ah, Apa kita pernah bertemu sebelumnya?" Amanda masih mencoba mengingat di mana dia bertemu dengan dokter itu, tetapi rasa pening di kepalanya malah menghalangi. "Saya merasa kalau pernah bertemu dengan Dokter sebelum ini tapi lupa kita bertemu di mana." Dokter tampan itu diam, tetapi mengembuskan napasnya dengan berat beberapa kali. Pertemuan pertamanya dengan Amanda sangat jauh dari kata mengesankan jadi wajar kalau saat ini wanita itu melupakan pertemuan mereka. "Kamu harus banyak-banyak istirahat, tidak perlu memikirkan hal yang memang tidak harus dipikirkan," jelas dokter tampan itu dan kemudian berlalu dari ruangan Amand
Pertemuan hari itu adalah awal kebahagiaan Amanda yang kembali, dia bisa bercanda dan bergurau lagi dengan Fara seperti dulu. "Mami mau ke mana? keluar sama papa ya?" tanya bocah itu saat memasuki kamar ibunya dan melihat Amandasedang bersiap. "Shadam mau ikut mami nggak, mau mami kenalin sama sahabatnya mami." Amanda yang sedang merias menoleh dan menatap Shadam dengan senyuman. Shadam berpikir sebentar sebelum akhirnya mengangguk dengan senyuman lebar. "Temannya Mami laki-laki atau perempuan?" "Perempuan, Sayang. Jadi Shadam mau ikut apa enggak?" tanya Amanda lagi sambil meraih tas tangan yang dia letakkan di atas ranjang. "Mau, Mi. Shadam mau ganti baju dulu ya." Amanda mengangguk dan memilih menunggu Shadam di ruang tamu sambil berbalas pesan dengan Fara yang sudah menunggunya di tempat sementara wanita itu. Perjalanan yang penuh dengan suka cita, senyuman lebar tak pernah berhenti menghiasi bibir Amanda, ya, dia memang sangat bahagia karena akhirn
Amanda berulangkali mengembuskan napasnya dengan kasar, rasa sesak di dalam dadanya sudah begitu menumpuk. Menangis pun percuma dan dia juga merasa begitu lelah karena sudah sering menangisi pria seperti Angga.*** "Yang." Amanda hanya menjawab dengan deheman sementara tangannya masih sibuk merajut syal untuk Angga yang khusus dia buatkan untuk orang terkasihnya tersebut. Amanda bahkan abai dengan Angga yang menempel padanya bak perangko yang menempel di sebuah amplop. "Sayaaaaaang noleh dong bentar aja," pinta Angga yang kini sudah memeluk tubuh Amanda dari belakang. "Apasih, Mas? aku tuh lagi sibuk, jangan mulai deh manjanya," gerutu Amanda dan masih belum juga mau menoleh. Bukannya menjauh, Angga malah semakin mengeratkan dekapannya dan kini bukan hanya memeluk tetapi juga menggoda istrinya tersebut supaya berhenti berkutat dengan jarum dan juga benang wol. "Maaaass, udah aku bilang jangan usil malah makin menjadi. Aku udah bilang jangan usil, aku itu la
"Aku minta maaf, aku juga nggak bermaksud melakukan itu." Angga menunduk, meski sebenarnya dia ingin berkata lain. Namun, untuk saat ini mengalah adalah yang terbaik. Dia akan mencoba mencari tahu semuanya tentang Shadam dan juga hubungan Amanda dengan Daejung. Setelah berkata demikian, Angga memutuskan untuk pulang dan mulai mencari semua informasi tentang Shadam Syazwan dan hubungan Amanda yang mulai ada kemajuan dengan Daejung padahal dia ingat dengan benar kalau saat mereka bertemu di mall hari itu sang dokter mengatakan kalau hubungan mereka masih mengambang. Namun, kini mereka telah resmi menjadi sepasang kekasih dalam waktu singkat. *** Amanda semakin gusar saat Shadam begitu dekat dengan Angga, dia sudah berencana dan akan meminta Shadam supaya tidak teralu dekat dengan Angga. Awalnya dia berpikir kalau Shadam pasti akan menurutinya seperti biasa, tetapi kini bocah berumur tujuh tahun itu malah menolak permintaan sang ibu dengan sangat tegas membuat Amanda benar-be