"Ia masih sama. Sabar dan tabah. Sampai dia benar-benar menerimanya."
***
Amanda terus diam. Ia bingung dengan pikirannya sendiri, meskipun teman satu ruangannya sedang adu pendapat ia tidak merasa tersusik. Hanya satu yang dia pikirkan, Direktur Utama baru yang pagi tadi datang ke kantor dan akan menjadi atasannya.
'Tunggu! Bukannya tadi Pak Heri bilang, pindahan dari kantor pusat, berarti kantor ini cabangnya. Astaga! Kenapa aku baru tahu coba, dan sekarang hampir setiap saat aku harus bertemu sama dia,' keluh Amanda dalam hati sambil memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam supaya rasa sesak segera menguap.
"Kamu sakit, Nda?" tanya Ifa khawatir, karena Amanda terus saja diam.
"Iya, kok diam terus sih dari tadi. Kenapa?" tanya Lina juga sama khawatirnya.
"Pasti lagi mikirin Pak Dirut kita yang baru itu, ya," tuduh Adisty disertai tatapan jahil.
"Pak Dirut?" ulang Amanda bingung mendengar ucapan Adisty.
"Direktur Utama, Amanda. Kita memutuskan memberikan panggilan khusus untuk atasan kita yang baru itu, supaya mudah manggilnya," jelas Adisty panjang lebar supaya Amanda segera paham.
"Jadi ... lagi mikirin Pak Dirut, ya," tuduh Ifa lagi membuat Amanda terbelalak.
"Apa'an sih, kalian. Sudah sana lanjut kerjanya! Jangan ngobrol terus." Amanda mengalihkan perbincangan, supaya teman satu ruangannya berhenti menginterogasi. Ia sudah pusing karena kehadiran Dirut baru itu dan tak mau semakin pusing karena teman satu ruangannya.
***
"Ngapain kamu di situ?" tanya Amanda saat melihat Yuda yang terus menatapnya dari bibir pintu dengan senyuman. Pria itu selalu muncul bila jam makan siang sudah tiba.
"Mau makan siang bareng nggak?" ajak Yuda seperti biasa dan masih di tempatnya semula membuat ketiga teman Amanda menyoraki wanita itu.
"Biasanya juga langsung tarik, tumben tanya dulu," sindir Lina mengundang kekehan dari Ifa.
"Amanda pasti langsung terima. Mana mungkin ditolak, asal kamu bayarin, Yud," imbuh Adisty membuat Lina dan Ifa terkikik.
Amanda terdiam sejenak. Ia bingung harus menjawab apa? Menerima, tetapi ia takut ada yang akan marah bila mengetahuinya. Namun, setelah dipikirkan lagi untuk apa ada yang marah. Bukannya, ia dianggap tak ada. Jadi pastinya tidak akan terjadi masalah.
"Ada Direktur baru, ya ? Muda dan tampan," kata Yuda membuka percakapan. Memecah kesunyian yang menyergap keduanya---mereka telah berada di kantin kantor---sambil menyantap menu makan siang masing-masing.
"Aku sudah tahu, tadi ke ruanganku juga," jawab Amanda tanpa sadar dan mengingat pertemuannya dengan Direktur Utama yang baru.
"Hebat, ya, masih muda sudah jadi Direktur Utama." Yuda memuji sang atasan karena itu memang benar adanya.
"Berarti dia memang pintar makanya sudah jadi Direktur Utama meskipun usianya masih muda," jelas Amanda dengan senyuman tipis.
Yuda mengernyit bingung melihat senyuman Amanda. Mulai menebak bila sang sahabat tertarik kepada Direktur baru itu karena ekspresi Amanda yang bahagia setelah membahas hal demikian.
Amanda terbelalak, mendongak dan menatap Yuda dengan bingung. "Apa'an, sih, kamu, ngaco deh. Ketemu saja baru tadi, masa iya langsung suka." Amanda mencoba mengelak dan menyembunyikan rasa bahagianya.
"Ya, mungkin saja. Bukannya ada tuh pepatah. Cinta pada pandangan pertama, mungkin saja kamu---"
"Sudah makan! Jangan bicara terus. Aku harus kembali ke ruangan," sanggah Amanda supaya Yuda diam.
***
Amanda menghempaskan tubuhnya ke sofa. Mengembuskan napasnya berulang kali, berdesakan di dalam metromini sambil berdiri membuat kakinya menjadi kram. Ia mengembuskan napasnya lagi setelah melihat jam dinding di ruangan itu. Beranjak dari duduknya dan harus menyiapkan makanan untuk Angga. Rasanya Amanda belum siap menerima banyak pertanyaan dari Angga. Mulai sekarang dan seterusnya dia akan sering bertemu dengan pria itu dan yang pasti, sering mendengar pujian para karyawan lain untuk suaminya.
"Dia sembunyikan statusnya jadi aku akan melakukan hal yang sama," gerutunya sambil melangkah menuju dapur untuk memasak makan malam. Sekali pun Angga membencinya, tetapi pria itu tetap mau memakan masakan buatannya. Sebenarnya Angga muak. Namun, dia tak ada pilihan lain.
Usai makan bersama dengan keheningan. Angga dan Amanda memutuskan bersantai di ruang tengah, masih dengan jarak aman dan jauh.
"Mulai besok, ke kantor sama aku," ucap Angga tiba-tiba membuat Amanda terkejut. Ia bingung harus apa? Bahagia atau tidak.
"Nggak perlu, Ga. Aku bisa, kok, ke kantor sendiri," tolak Amanda setelah ia sadar bahwa Angga tak mungkin sudi satu mobil dengannya.
"Menghabiskan gaji hanya untuk pulang-pergi. Berdiri terus dan berdesakan di dalam metromini. Itu yang kamu mau?" cecar Angga membuat Amanda membisu, Angga tahu semuanya. Apa itu artinya selama ini ....
"Jangan geer dulu, aku tahu semuanya dari mama. Bahkan, aku melakukan ini juga demi mama. Beliau tahu kalau selama ini kamu naik angkutan umum, dia marah ke aku dan nuduh nggak tepati janji." Angga menatap Amanda dengan tajam dan tatapan marah membuat wanita itu merasa sangat bersalah.
"Maaf. Gara-gara aku, kamu dimarahi mama." Amanda menunduk. Takut akan tatapan membenci dari Angga.
"Bagus kalau kamu sadar, seharusnya, kamu sadar lebih awal, Amanda." Amanda mendongak. Terpaksa menatap netra Angga yang masih memandangnya dengan tajam.
"Maksud kamu apa?"
"Harusnya kamu sadar. Terima pernikahan ini adalah keputusan yang buruk. Kamu bukannya bahagia, tetapi tersiksa." Angga seolah tahu bila selama ini wanita itu selalu menderita.
"Aku bahagia jadi istri kamu," bantah Amanda karena tuduhannya keliru. Meskipun Angga kasar secara ucapan, ia bahagia menjadi bagian dari hidup pria itu.
Angga tersenyum lebar, mendekati Amanda yang sedari tadi duduk sedikit jauh darinya. "Aku tegaskan sekali lagi! Jangan bermimpi terlalu tinggi, Amanda. Kalau jatuh pasti sakit ...," bisik Angga dengan ucapan yang tetap tajam dan menusuk. "Kita memang suami-istri, tapi di rumah dan di pikiran kamu, bagiku kamu tetap orang lain. Ingat itu dan camkan baik-baik!"
Amanda kembali menunduk. "Sedikit saja, hargai perasaan aku sebagai istri. Apa kamu nggak bisa?" ucapnya sendu. Mengutarakan isi hati yang terpendam beberapa bulan terakhir.
"Harga, kamu mau aku hargai berapa?" tanya Angga tanpa perasaan. "Butuh uang berapa kamu, sebutkan! Kuberikan sekarang juga lalu segera pergi dari hidupku, bagaimana?" lanjutnya sambil menegakkan tubuh. Berdiri di samping Amanda yang masih menunduk.
Amanda menggeleng tak percaya. "Maksud kamu apa?" tanyanya. Berharap apa yang dia pikirkan keliru.
Angga tergelak. Menertawakan pertanyaan konyol Amanda. "Jangan pura-pura. Aku tahu, kamu mengerti apa maksudku." Angga melangkah menjauhi Amanda dan kembali duduk di tempatnya. Di atas sofa, tepat di depan Amanda duduk. "Cukup sebutkan, berapa nominal yang kamu inginkan. Aku berikan sekarang juga dan segera akhiri pernikahan konyol ini," ucapnya tanpa perasaan.
Amanda terdiam dengan hati teriris pilu. Ia menerima pernikahan ini karena cinta. Namun, Angga menganggap ia matrealistis. Amanda mencintainya, itulah sebabnya ia menerima permintaan Dewi. Amanda menarik napas dalam dan mengembuskannya perlahan. Ia sudah berjanji ketika Angga mengikrarkan Ijab Qabul, ia akan terus disisi. Sekali pun pria itu menolak kehadirannya.
"Aku nggak butuh uang kamu."
Angga berdecih lalu tertawa. Ia tak percaya bahwa Amanda tulus menerima pernikahan terpaksa ini. Mereka tak saling menyukai, tetapi Amanda, Wanita itu malah ingin mempertahankan.
"Kenapa? Malu mau sebutkan nominalnya." Angga terus mendesak supaya Amanda menyebutkan nominal berapa yang diinginkan. Namun, wanita itu bersikukuh bahwa ia tak butuh. Angga masih tak percaya bahwa Amanda menolak uang darinya. Ia percaya, Amanda menerima pernikahan ini karena uang. Ia juga yakin, bila ia memberikan uang yang banyak. Amanda akan hengkang dari hidupnya. Ia bisa leluasa mencari keberadaan Nessa yang menghilang tiba-tiba. Cintanya masih untuk Nessa. Mungkin, hanya untuk wanita itu
***
Amanda menjalankan rutinitasnya seperti biasa. Bangun pagi, bersih-bersih dan memasak. Hari ini, untuk pertama kalinya mereka berangkat bersama ke kantor. Andai Dewi tak melihat Amanda di dalam angkutan umum. Mungkin, ini tak akan terjadi. Ia tahu Angga begitu muak atau malah, jijik padanya.
"Angga," panggil Amanda. Mereka sedang sarapan berdua dalam keheningan. Angga mengangkat wajah. Memasang ekspresi bertanya tanpa berkata. Amanda menelan salivanya kasar, mulut serasa terkunci untuk berucap. Namun, harus tetap diutarakan. Ia meminta supaya berangkat seorang diri saja, karena tak ingin merepotkan pria itu, ia tahu bahwa suaminya enggan satu tempat dengannya. Bukannya jawaban mengenakan, justru ucapan kasar yang Amanda dapat.
"Sudah kubilang, sebaiknya menurut padaku. Senang sekali membuat masalah!" seru Angga yang mulai kembali emosi mendengar ucapan Amanda.
"Aku tahu, kamu terpaksa. Makanya aku---"
"Cepat, makan! Kita berangkat." Angga beranjak dari kursinya. Melangkah awal menuju pintu. Menunggu Amanda di dalam mobil.
Amanda mengembuskan napas berat. Dadanya sesak dan perih. Entah kapan Angga akan bersikap manis. Ia ingin merasakan rasa disayang oleh suami, lelaki yang ia cintai. Namun, ia kembali sadar. Angga tak akan pernah melakukan itu. Hatinya telah tertutup, terkunci, hanya menyimpan nama Nessa bukan namanya.
"Aku mohon, Tuhan! Berilah seribu kesabaran. Supaya aku mampu menerima ini semua," mohon Amanda, lalu mendongak seraya berdoa kepada Yang Maha Esa.
***
Sejak hari itu keduanya selalu berangkat bersama ke kantor. Namun, Angga selalu menurunkan Amanda sedikit jauh dari area kantor. Ia hanya tak ingin ada yang melihat kebersamaan mereka, Angga ingin menyembunyikan statusnya.
"Sebaiknya mulai besok aku berangkat sendiri. Janji nggak akan naik angkutan umum," kata Amanda sebelum keluar dari mobil Angga. Mencoba bernegosiasi dengan pria itu.
"Nggak perlu. Gajimu nggak akan cukup untuk bayar taksi selama satu bulan." Angga menolaknya mentah-mentah dengan tatapan lurus ke depan.
"Aku punya tabungan, Aku bisa pergunakan itu." Amanda bersikukuh dengan keinginannya. Ia tahu Angga tak ingin di dekatnya terus. Ia juga takut, ada orang lain yang melihatnya keluar dari mobil lelaki itu.
"Sekalipun kamu ada tabungan. Aku menolak," sanggah Angga tetap pada keputusannya.
"Kenapa?"
"Cukup, Amanda! Berhenti mengajak berdebat. Tinggal turuti ucapanku. Apa susahnya, sih?" Angga geram, Amanda selalu berhasil memancing emosi. Mengacaukan mood dan segalanya. Amanda menunduk dalam.
Angga berdecak lalu membatin, 'Wanita ini benar-benar lemah, dibentak sedikit langsung menangis tidak seperti Nessa. Tegar dan berani.'
Rasa rindu kembali membelenggu, bingung harus mencari keberadaan sang kekasih yang entah di mana. Ditambah statusnya yang kini jadi suami Amanda, semakin menjadi jarak bagi pria itu.
"Cepat keluar! Kamu harus sampai lebih dulu di kantor." Angga mengusir Amanda tanpa perasaan. Hatinya berubah jadi batu, karena sakit hati. Amanda menurut tanpa berkata. Air mata sudah mengalir membasahi pipi. Ia terluka, hatinya sakit dan sesak. Namun, harus bertahan demi janji kepada seseorang. Amanda menengadah ketika Angga dengan kasar melempar tas jinjingnya. Ia lupa membawanya keluar, hingga pria itu melemparkannya tanpa perasaan.
"Cepat, jalan! Jangan sampai ada yang tahu kalau kamu berangkat denganku."
Amanda melangkah. Mengusap mata yang telah basah oleh air mata. Ia harus kuat, tegar dan sabar. Angga semakin menunjukkan sikap tak sukanya itu. Ia masih menolak dan tak akan mungkin menerimanya.
'Aku cinta sama kamu. Sekuat apa pun kamu mengusir. Aku akan tetap tinggal. Pernikahan kita sah dan suci. Nggak akan pernah aku nodai dengan kata ... cerai. Sekali pun aku harus terus menangis, karena penolakan,' gumam Amanda sambil terus melangkah menuju kantor. Sedangkan Angga masih di tempat. Menunggu Amanda memasuki gerbang masuk kantornya.
Amanda melirik sekilas ke arah gawai miliknya yang berdeting, dia hanya membaca notif yang tertera di layar tanpa ada niatan membuka. Ia mengalihkan pandangan menatap Angga yang duduk sedikit menjauh. Pria itu fokus pada layar laptop dipangkuan, mengerjakan tugas kantor yang belum usai. Ia terduduk gusar ketika gawainya terus berdenting karena lupa mengubah mode jadi sunyi. Yuda terus mengiriminya pesan, karena tak kunjung dibalas.Angga mendengkus dengan tatapan masih lurus ke layar laptop. Namun, ia sudah tak sabar lagi, ketika gawai milik Amanda berulangkali berdenting, dan si empunya enggan memeriksa benda itu. Angga menutup laptopnya dengan kasar, meletakkannya ke atas meja. Meraih gawai dan melemparkan ke atas pangkuan yang punya. Amanda terkesiap dengan tindakan itu. Suaminya sedang sangat marah sekarang."Kenapa? Mau marah, iya? Gawaimu berisik, masih untung nggak aku lempar ke lantai," pungkas Angga setelah melihat Amanda hendak protes, wanita itu membisu. Mem
"Sejauh apa pun ditolak, ia akan tetap di sisinya."***"Mulai malam ini kalian tidur di kamar berdua. Mama akan tidur di kamar baru," harap Dewi supaya Angga menuruti ucapannya.Amanda dan Angga dikagetkan dengan kehadiran Dewi yang tiba-tiba. Wanita paruh baya itu datang mendadak di pagi hari, beruntung kantor sedang libur jadi keduanya berada di rumah. Feri ada perjalanan bisnis di luar pulau, Dewi memutuskan tinggal dua hari di rumah sang anak, sekaligus berencana membuat mereka semakin dekat. Kamar di rumah Angga ada dua, tetapi yang digunakan hanya satu. Sedangkan satunya dijadikan ruang kerja."Mama ingin kalian tidur di kamar berdua, di atas ranjang yang sama, dan Angga ... buang foto Nessa untuk apa masih disimpan?" Dewi melirik Amanda dengan ekor matanya, pernikahan mereka sudah berjalan lima bulan, tetapi foto Nessa masih terpasang rapi di tempatnya."Mama mau nginap berapa hari di sini?""Jangan mengalihkan pe
"Memulai semuanya dari awal."***"Kalau sakit lebih baik di rumah, jangan sampai kamu merepotkanku karena sakit itu." Angga melarang Amanda untuk bekerja setelah melihat wanita itu sedikit pucat. Sejak malam itu Amanda telah berubah, wanita itu tidak banyak bicara seperti biasa dan lebih banyak diam."Aku nggak pa-pa, pekerjaanku banyak di kantor." Amanda memalingkan wajah ketika Angga menatapnya. Pusing itu masih terasa meskipun sudah meminum obat, Amanda bingung harus memberikan jawaban seperti apa nantinya. Angga masih memperhatikan Amanda yang berbeda, jelas terlihat tidak ada rasa semangat dalam raut mukanya.'Aku kenapa coba, sejak kapan mulai peduli sama dia. Apa karena ucapan mama waktu itu?'"Awas saja kalau sampai kamu sakit," ancamnya, sambil menatap Amanda cukup tajam.Amanda menoleh, menatap Angga dengan bingung. "Kamu khawatir sama aku?" tanya Amanda spontan."Jangan ge-er kamu, aku hanya menjalankan
"Kenapa kamu cegah aku semalam?" lontar Amanda setelah melihat pria itu menyiapkan sarapan di meja makan. Ia mengingatnya, kejadian semalam secara keseluruhan. Janji Angga, bujukannya dan juga dekapan pria itu sehingga ia tertidur dalam dekapan sang suami.Angga bergeming, menyiapkan roti bakar untuk keduanya sebagai sarapan. Tak berniat menjawab pertanyaan Amanda yang bahkan sudah ia jelaskan semalam."Sarapan dulu! Kamu lapar, 'kan?" ucapnya, lalu meletakkan roti bakar untuk Amanda di atas piring yang telah tersedia."Kenapa cegah aku semalam?" Amanda mengulangi pertanyaannya, tak perduli bila Angga sudah menyiapkan sarapan pertama kali untuk dia."Sarapan dulu, Amanda! Duduk di kursimu dan makan roti itu." Angga kembali pada sifat dinginnya supaya Amanda menurut dan tak banyak bertanya."Jawab pertanyaanku! Kenapa kamu cegah aku untuk susul mereka? Seharusnya kamu senang bisa terbebas dari aku dengan cepat. Bukannya ini yang kamu m
"Jarak adalah alasan supaya kita tahu seberapa berharganya orang itu."***Keputusan yang tepat bagi Amanda, perlahan tapi pasti ia akan menyiapkan hati bila Angga berniat mengakhiri hubungan. Ia tak ingin berharap karena sudah tahu bahwa Angga akan melakukan itu, meninggalkannya dan mulai mencari Nessa.Yuda pun masih mencoba mendekati, pria itu seakan tak perduli bahwa Amanda telah menolak cintanya. Ia hanya yakin mampu mendapatkan wanita itu dengan lebih mendekatinya lagi, meyakinkannya kalau ia mampu menjaga dan mencintai Amanda lebih dari sekarang."Aku nggak akan pernah menyerah, Amanda. Aku yakin suatu saat nanti kamu pasti akan terima rasa cintaku ini." Yuda begitu sangat yakin akan harapannya.Selama Amanda tak ada, Angga merasa ada yang berkurang dalam hidupnya. Jika dulu ini yang ia inginkan, tetapi tidak untuk sekarang. Tanpa Amanda ketahui pria itu selalu mengawasinya dari jauh, memastikan kalau wanita itu baik-baik saja.
Part 10 —Semakin hari sikap Angga kian jelas terlihat perubahannya, dari yang dingin dan kasar kini begitu perduli. Bahkan, tanpa pikir panjang pria itu telah melarang Amanda berdekatan terlalu lama dengan Yuda. Ia juga telah lancang menggunakan gawai wanita itu untuk mengirim pesan supaya Yuda berhenti mengantar-jemput sang istri.Amanda yang telah mengetahui kelancangan Angga sangat kesal, tetapi tak mampu marah berlebihan karena pria itu suaminya. Apalagi Angga sudah terang-terangan melarangnya berdekatan dengan Yuda meski tanpa alasan yang jelas.'Intinya aku nggak suka kalau kamu terlalu deket sama dia. Ingat status kamu, Amanda. Kita itu masih suami-istri di mata hukum dan agama. Jadi tugas kamu cuma satu ... nurut sama aku.'"Sibuk, Nda?" tanya Yuda sambil menghampiri kubikel milik Amanda dan berdiri di hadapan wanita itu membuat Amanda langsung tersadar dari lamunan singkatnya yang saat itu sedang memikirkan Angga."Lumayan sibuk,
"Amanda!" panggil Lina."Ada apa, Lin?""Kamu lagi pdkt, ya, sama Pak Angga?" tebak perempuan itu sambil menatap Amanda cukup lama.Amanda mengerutkan keningnya bingung, dalam hati dia sudah merasa was-was. "Kenapa kmu mikir kayak gitu?""Soalnya aku sering mergokin kalian makan bareng dan pulang bareng. Itu bukan cuma sekali tapi berkali-kali," lanjut Lina dengan tatapan menyelidik."Kapan? Jangan ngaco, deh! Aku mau antar berkas dulu."Amanda menghindari topik supaya teman satu ruangannya itu sampai tidak curiga kepadanya dan segera berjalan menuju ruangan Angga demi menghantarkan sebuah berkas."Ada apa?" tanya Angga saat Amanda sudah berada di depannya."Ini berkas yang Pak Angga minta." Amanda meletakkan map berwarna biru di tangannya ke atas meja sambil menunduk. Saat hendak melangkah pergi, Angga malah memanggil namanya."Amanda, tunggu!"Amanda berbalik dan masih menunduk. Dia tak berani mena
Amanda terkejut saat Angga tiba-tiba memeluknya dari belakang yang sedang membuat sup ayam pesanan pria itu semalam."Astagfirullah," pekik Amanda, karena belum terbiasa dengan tindakan sang suami. "Aku lagi masak, Angga, jangan ganggu!"Angga bergeming dan tak mengindahkan larangan Amanda sedikitpun, justru dia malah kian mengeratkan pelukannya."Angga, lepas, deh! Aku mau masak dulu.""Gak mau!" serunya sambil meletakkan kepala di atas pundak Amanda dan mengecup sekilas pipi istrinya itu, lalu menatap tangan Amanda yang masih asyik memotong bawang dan sayuran."Awas, Angga! Aku susah yang mau masak," protes Amanda saat pria itu malah begitu asyik bermain di area lehernya."Gak mau, Amanda!"Bukannya melepas pelukan, Angga makin mengeratkannya, mengabaikan larangan dan juga reaksi tubuh Amanda yang berlebihan atas sikapnya. Amanda terus meminta Angga untuk menjauh. Namun, pria itu bersikukuh dengan tindakannya. Memeluk sang istri dari belaka
ADA ADEGAN 21++ HARAP BIJAK DALAM MEMBACA YA, BAGI YANG TIDAK SUKA HARAP DI SKIP!!Fara menghela napasnya dengan pelan saat µelihat Yuda yang sedang µelaµun di teras belakang dengan sebatang rokok yang terselip antara jari telunjuk dan tengahnya. Yuda µerasa kesal dan dongkol karena hasratnya yang harus tak terselesaikan gara-gara baby Bina yang tiba-tiba saja µenangis. Seharusnya sejak awal dia µeµinta jasa baby sitter saja tetapi Fara sendiri yang µenolak itu seµua dengan alasan dia ingin µerawat sendiri dan µenjadi ibu yang selalu ada untuk anaknya. Naµun, kini µalah dirinya yang sangat dirugikan karena sikap Fara tersebut.Eµbusan napas terus Yuda keluarkan dan berharap rasa kesal sekaligus hasratnya bisa ikut menghilang, tetapi nyatanya tidak semudah itu."Aahh, sial banget sih!!" umpat Yuda sambil kembali menyalakan batang rokok kelima yang sudah dia hisap malam itu.Fara hanya geleng-geleng kepala saat melihat Yuda yang begitu frustrasi seperti itu. Ini adalah kali pertamanya Y
Angga mengembuskan napasnya dengan kasar. Dia memang sudah tahu semua kebenarannya tetapi saat ini ia tidak mengungkapkan kebenaran itu. Namun, reaksi Shadam malah terkejut seperti itu."Oom nggak bilang kalau Papa Jung itu bukan papa kamu, tapi oom nanya ... kalau misalkan itu terjadi bagaimana?" tanya Angga sambil menahan diri supaya tidak sampai mengatakan kebenaran itu saat ini juga.Shadam terdiam sambil memikirkan apa yang telah oom baik di sampingnya itu katakan. "Berarti Shadam punya dua papa dong, ya?"Angga mengngguk sebagai isyarat akan jawabannya. "Ya, kalau seandainya itu memang benar, apa yang akan Shadam lakukan? mencari tahu soal papa kandung Shadam itu atau nggak peduli?" Pancing Angga karena dia sangat ingin tahu apa jawaban yang akan bocah SD itu utarakan."eumm ... Shadam nggak tahu."Angga mengembuskan napasnya dengan berat dan kembali berdiri, lalu membawa Shadam ke dalam gendongannya. "Shadam tahu ... alasan terbesar oom hanya diam ya karena dia sama sekali
"Jadi ... kapan Oom baik mau kembali ke Indonesia? kenapa nggak tinggal lebih lama aja, Oom," usul shadam yang saat ini sedang berjalan bersisian dengan Angga.Keduanya akhirnya jalan-jalan bersama meski sebenarnya Amanda sangat menolak dengan keras kedekatan anak dan ayah itu. Amanda juga sangat tidak setuju dengan kedekatan keduanya, tetapi dia juga tidak mungkin memberikan larangan yang sangat keras dan nantinya akan membuat Daejung semakin curiga saja dengan sikapnya yang kian berubah. "Beberapa bulan lagi, Sayang. Kerjaan oom di sana juga banyak jadi harus segera kembali. Shadam juga tahu benar kan kalau pekerjaan oom itu tidak sedikit." Angga menghentikan langkahnya, lalu berjongkok untuk mensejajarkan tubuhnya dengan bocah lucu tersebut. "Berarti Oom juga sama sibuknya ya kayak Papa. Malahan Papa sering nggak pulang dari rumah sakit." Shadam menatap ke atas karena sedang mengingat bahwa Daejung yang memang kerap sering menginap di rumah sakit sehingga sering mengabaikan Shad
"Bisa jadi kan kalau Angga tahu semuanya dari kak Altan, bisa aja juga kalau dia sengaja kirim Angga ke sini supaya bisa deketin kamu lagi atau malah lebih buruknya ... ambil Shadam dari kamu.""Enggak, Ra. Seffina udah ceritain semuanya ke aku kalau Angga tahu kehamilan itu dari surat diagnosis yang aku tinggalin. Aku memang ceroboh karena masih nyimpan hasil tespack dan surat itu. Seffina juga cerita kalau Angga tahu itu semua dari barang-barangku yang masih Angga simpan," jelas Amanda. Hatinya sedikit bergetar saat mengingat kenyataan bahwa Angga masih menyimpan sisa-sisa barangnya."Jadi ... apa Angga juga udah tahu kalau Shadam anaknya?""Entahlah ... aku juga udah berusaha supaya mereka nggak terlalu dekat, tapi Shadam ... dia yang nggak bisa aku kendalikan. Sementara Daejung, dia juga mendukung kedekatan Shadam dengan Angga." Amanda menghela napasnya dsngan frustrasi. Dia benar-benar belum siap bila harus berpisah dengan Shadam. "Apa Daejung tahu soal masa lalu kalian?" tanya
"Aku minta maaf sama kamu, Nda. Andai aja waktu itu aku ikhlas . Mungkin, kamu nggak akan sendirian menghadapi ini semua. Aku benar-benar minta maaf sama kamu, Amanda," sesal Fara akan kesalahannya di masa lalu. Amanda melepaskan dekapan Fara dan menatap wajah sahabatnya itu yang kini menjadi sendu dan bersalah. Amanda tidak mengerti apa yang Fara ucapkan barusaja. "Maksud kamu apa, Ra?" Amanda menatap Fara engan ekspresi yang benar-benar merasa kebingungan. Dia benar-benar tak mengerti dengan kata ikhlas yang Fara maksudkan tadi. Fara menghela napasnya dengan sangat berat. Kini dia harus mengingat kembali kejadian tujuh tahun silam saat pertengkaran paling hebat dalam pernikahannya. "Waktu itu ... beberapa hari setelah aku keguguran ...." "Apa?! kamu pernah keguguran sebelum ini. AStaga, Fara. Apa Yuda nggak jagai kamu dengan baik sampai keguguran kayak gitu," potong Amanda karena merasa sangat terkejut mendengar kabar kalau Fara pernah keguguran. Fara mengang
Amanda hanya diam dan berusaha untuk mengingat dokter tampan yang saat ini berbicara dengannya. Dia merasa kalau sebelum hari ini mereka telah bertemu sebelumnya. "Kenapa menatapku seperti itu?" Dokter tampan yang sedang memeriksa cairan infus milik Amanda langsung menoleh saat dia merasakan kalau wanita hamil itu sedang mentapnya cukup lekat. "Ah, Apa kita pernah bertemu sebelumnya?" Amanda masih mencoba mengingat di mana dia bertemu dengan dokter itu, tetapi rasa pening di kepalanya malah menghalangi. "Saya merasa kalau pernah bertemu dengan Dokter sebelum ini tapi lupa kita bertemu di mana." Dokter tampan itu diam, tetapi mengembuskan napasnya dengan berat beberapa kali. Pertemuan pertamanya dengan Amanda sangat jauh dari kata mengesankan jadi wajar kalau saat ini wanita itu melupakan pertemuan mereka. "Kamu harus banyak-banyak istirahat, tidak perlu memikirkan hal yang memang tidak harus dipikirkan," jelas dokter tampan itu dan kemudian berlalu dari ruangan Amand
Pertemuan hari itu adalah awal kebahagiaan Amanda yang kembali, dia bisa bercanda dan bergurau lagi dengan Fara seperti dulu. "Mami mau ke mana? keluar sama papa ya?" tanya bocah itu saat memasuki kamar ibunya dan melihat Amandasedang bersiap. "Shadam mau ikut mami nggak, mau mami kenalin sama sahabatnya mami." Amanda yang sedang merias menoleh dan menatap Shadam dengan senyuman. Shadam berpikir sebentar sebelum akhirnya mengangguk dengan senyuman lebar. "Temannya Mami laki-laki atau perempuan?" "Perempuan, Sayang. Jadi Shadam mau ikut apa enggak?" tanya Amanda lagi sambil meraih tas tangan yang dia letakkan di atas ranjang. "Mau, Mi. Shadam mau ganti baju dulu ya." Amanda mengangguk dan memilih menunggu Shadam di ruang tamu sambil berbalas pesan dengan Fara yang sudah menunggunya di tempat sementara wanita itu. Perjalanan yang penuh dengan suka cita, senyuman lebar tak pernah berhenti menghiasi bibir Amanda, ya, dia memang sangat bahagia karena akhirn
Amanda berulangkali mengembuskan napasnya dengan kasar, rasa sesak di dalam dadanya sudah begitu menumpuk. Menangis pun percuma dan dia juga merasa begitu lelah karena sudah sering menangisi pria seperti Angga.*** "Yang." Amanda hanya menjawab dengan deheman sementara tangannya masih sibuk merajut syal untuk Angga yang khusus dia buatkan untuk orang terkasihnya tersebut. Amanda bahkan abai dengan Angga yang menempel padanya bak perangko yang menempel di sebuah amplop. "Sayaaaaaang noleh dong bentar aja," pinta Angga yang kini sudah memeluk tubuh Amanda dari belakang. "Apasih, Mas? aku tuh lagi sibuk, jangan mulai deh manjanya," gerutu Amanda dan masih belum juga mau menoleh. Bukannya menjauh, Angga malah semakin mengeratkan dekapannya dan kini bukan hanya memeluk tetapi juga menggoda istrinya tersebut supaya berhenti berkutat dengan jarum dan juga benang wol. "Maaaass, udah aku bilang jangan usil malah makin menjadi. Aku udah bilang jangan usil, aku itu la
"Aku minta maaf, aku juga nggak bermaksud melakukan itu." Angga menunduk, meski sebenarnya dia ingin berkata lain. Namun, untuk saat ini mengalah adalah yang terbaik. Dia akan mencoba mencari tahu semuanya tentang Shadam dan juga hubungan Amanda dengan Daejung. Setelah berkata demikian, Angga memutuskan untuk pulang dan mulai mencari semua informasi tentang Shadam Syazwan dan hubungan Amanda yang mulai ada kemajuan dengan Daejung padahal dia ingat dengan benar kalau saat mereka bertemu di mall hari itu sang dokter mengatakan kalau hubungan mereka masih mengambang. Namun, kini mereka telah resmi menjadi sepasang kekasih dalam waktu singkat. *** Amanda semakin gusar saat Shadam begitu dekat dengan Angga, dia sudah berencana dan akan meminta Shadam supaya tidak teralu dekat dengan Angga. Awalnya dia berpikir kalau Shadam pasti akan menurutinya seperti biasa, tetapi kini bocah berumur tujuh tahun itu malah menolak permintaan sang ibu dengan sangat tegas membuat Amanda benar-be