“Oh, jadi kalian sudah janjian mau angkat kaki dari rumah ini?” Aku menatap penuh luka wajah Sari juga suami.
“Bu, saya mau pamit pulang, karena ternyata keberadaan saya menjadi pemicu pertengkaran Ibu sama Bapak. Saya minta maaf kalau selama ini sudah banyak membuat kesalahan sama Ibu. Terima kasih juga karena selama ini Ibu dan Bapak sudah menjadi majikan yang baik.”“Kamu tau saya baik, tapi kenapa kamu mengkhianati saya, Sari? Apa kurangnya saya selama ini sama kamu. Apa salah saya sama kamu sehingga kamu tega melakukan semua ini sama saya. Jawab!!” bentakku dengan suara meninggi.Dan seperti biasanya dia hanya diam membisu, bagai patung yang tidak bisa berbicara. Geram, kesal, kecewa juga sakit melihat pengkhianatan yang mereka berdua lakukan.“Selama ini saya tidak pernah menganggap kamu pembantu, saya selalu menganggap kalau kamu itu adik sendiri, Sari. Tapi kamu malah menusuk dari belakang. Kamu dianggap adik, malah memaksa untuk j“Habis ini kita ke tukang urut ya, Dek.” Aku hanya menjawab dengan anggukan kepala. Selesai menyusu kembali kutitipkan Viera kepada Linda, sebab diam-diam ternyata Sari sudah pergi saat aku pingsan tadi. Tapi biarlah. Nanti akan kuurus dia setelah urusanku sendiri selesai, dan sekarang lebih baik fokus dengan rumah tangga yang sering sekali di timpa badai cobaan. “Mas gendong aja, Dek!” ucap suami ketika melihat aku berjalan tertatih, sebab kepala ini masih terasa berputar juga kliyengan. Dan tanpa menunggu jawaban pria bertubuh tegap itu segera menggotong tubuhku menuju mobil, mendudukkanku di kursi sebelah kemudi lalu memasang sabuk pengaman di pinggang. Suara deru mesin kendaraan membawaku menjauh dari pekarangan rumah, bertolak ke kediaman Wa Mimi tukang urut langganan kami. Aku menjerit kesakitan ketika Wa Mimi mulai mengoles minyak ke permukaan kulit dan menggerakkan tangannya perlahan, mencengkeram kaos suami s
“Saya sedang tidak pegang uang, Ma,” jawabku sambil melipat tangan di dada. Kirain sayangnya tulus. Sudah berubah, eh, ternyata karena ada maunya.“Kamu bisa transfer sama Mama. Nggak harus uang kes. Soalnya Papa lagi butuh buat modal sama bayar hutang. Kemarin ‘kan Mama habis bantuin renovasi rumahnya Amalia, dan Mama terpaksa ngutang sama rentenir!”Duh, kebiasaan. Doyan banget ngutang ke rentenir, dan ujung-ujungnya harus aku yang bayar. Kali ini tidak akan rela sepeser saja uang aku dipakai untuk melunasi hutang mertua.Bukannya apa-apa. Sebab sebaik apa pun perlakuanku terhadap mereka, aku tetap saja tidak pernah dianggap ada. Lagian, kalau tidak punya uang, untuk apa pake acara bantu renovasi rumah anaknya. ‘Kan aneh!“Untuk saat ini kami tidak bisa meminjamkan uang sama Mama. Kebutuhan kami juga banyak. Apalagi Vani lagi hamil!” sambung suami sambil menatap ibunya dengan pindaian kesal.“Kalo besok bisa nggak,
“Sayang. Jangan dengarkan ucapan Mama. Ayo kita istirahat!” Mas Erlangga merangkul pundakku dan membimbingku masuk ke dalam kamar, menyuruhku untuk istirahat dan kembali meninggalkan kamar.Sekilas aku masih bisa mendengar keributan di luar sana, sebab Mas Erlangga memprotes semua perkataan Mama yang begitu menusuk sukma.“Bu, yang sabar, ya. Saya tau Ibu orang baik dan Allah tidak akan mendengarkan apa yang dikatakan oleh ibunya Pak Erlang!” Linda menghampiri dan mengusap bahuku.“Aamiin, Lin. Aku percaya Allah itu maha adil juga bijaksana,” jawabku mencoba menenangkan hati sendiri.“Betul, Bu.”Aku berusaha menyunggingkan bibir, tersenyum kepada Linda dan mencium pipi anak-anakku.“Ya sudah. Saya permisi pulang ya, Bu. Tadi ibu saya telepon, katanya anak saya demam. Maaf saya tidak bisa menemani Ibu sampe malam,” ucapnya lagi.“Iya, Lin. Terima kasih sudah mau direpotkan oleh saya. Salam buat ibu kamu!” A
Aku terus saja memperhatikan siapa laki-laki yang masuk ke dalam kamar Sari, apalagi dia terlihat begitu lama di kamar asisten rumah tanggaku dan keluar setelah hampir setengah jam dari dalam sana sambil mengancing kemeja.Namun sayang. Wajah si lelaki tidak bisa dikenali, karena dia mengenakan topeng. Sepertinya aku harus menyelidiki dan melaporkan kejadian ini ke polisi.Ah, andai saja kemarin tidak langsung terbakar emosi dan membiarkan Sari pergi, mungkin masalahnya tidak akan serumit ini. Aku bisa memecahkan masalah karena bisa terus menggali informasi dari perempuan itu.Krieeett ....Menoleh ke arah pintu. Aku mengernyitkan dahi ketika melihat Bang Damian masuk ke dalam kamarku, hanya mengenakan celana pendek serta kaus ketat sehingga menampakkan tubuh kekarnya."Belum tidur? Erlang ke mana?" tanya lelaki itu sambil berjalan mendekat dan menarik kursi di sebelahku untuk dia mengenyakkan bokong."Belum, Bang. Lagi liat rekaman CCTV di rumah!" jawabku agak risi ketika dia terus m
"Kalau Abang lagi ada masalah ceritakan saja sama aku. Aku siap menjadi pendengar yang baik. Abang tidak perlu melakukan hal konyol yang menyakiti diri sendiri!" omelku.Dan seperti biasanya, sang pemilik rahang tegas itu hanya diam tanpa menyahut, serta hanya menatap dengan pindaian datar."Kamu siap-siap. Kita jalan sekarang!" Bang Damian beranjak dari duduknya, lalu pergi begitu saja setelah aku obati."Memangnya kalian mau ke mana, Van?" Mami bertanya dengan mimik penasaran."Vani nggak tau, Mam. Katanya Abang mau ngajak Vani jalan dan membelikan sesuatu. Semalam dia bilang begitu," jawabku apa adanya, sebab memang Bang Damian hanya berkata seperti itu semalam saat berada di dalam kamar.Aku kemudian segera masuk ke dalam bilik, mengganti pakaian bersiap pergi dengan Bang Damian. [Assalamualaikum, Mas. Aku jalan sebentar sama Abang. Kamu hari ini ke rumah Mami nggak? Aku mau bicara penting sama Mas]Mengirim pesan kepada suami sebelum pergi, karena biar bagaimanapun seorang istri
“Berhenti, Bang! Aku lagi hamil. Abang sengaja mau bunuh aku dan anak aku? Apa Abang nggak kasian sama anak-anak aku kalau sampai ibunya meninggal? Mereka masih kecil-kecil, Bang. Mereka butuh aku!” Spontan Bang Damian banting setir ke kiri, menginjak pedal rem hingga terdengar suara decitan ban beradu dengan aspal, serta suara klakson dari kendaraan lain yang saling bersahutan.Nafasku naik turun tidak beraturan. Tubuhku menggigil dan ketakutan, sementara Bang Damian terus saja menatap dengan pindaian yang begitu menakutkan. Dia terlihat begitu marah, tetapi sepersekian detik kemudian tatapannya melunak dan penuh cinta seperti biasa.Apa jangan-jangan, kakakku ini seorang psikopat yang sifat bisa berubah-ubah dalam waktu singkat. Sebab Bang Damian itu mood-nya mudah sekali naik dan turun levelnya, dan ketika marah dia akan sangat menyeramkan.Ah, kenapa aku tidak menyadari sejak dulu.“Abang minta maaf, Sayang. Abang tadi terb
“Sudah sore, Bang. Sebentar lagi magrib!” jawabku sesantai mungkin, mencoba menutupi rasa takut karena jujur, aku begitu khawatir dia nekat menyakiti anak-anakku.“Danisa mau ‘kan jalan-jalan sama Om Dem?” Pria bertubuh tinggi besar itu berjongkok, mengusap pipi putriku seperti dia mengusap pipiku barusan.Aku tidak mau dia menyayangi putriku seperti dia menyayangi diriku. Berlebihan serta menakutkan. Aku tidak mau.“Abang, tolong jangan maksa anak-anak.”“Hanya mengajak mereka membeli es krim, Vani. Kenapa kamu takut sekali aku mencelakai mereka. Mereka itu putri-putriku. Mana ada seorang ayah yang berani melukai putrinya sendiri!”“Sudah sih, Van. Benar juga apa kata Damian. Danisa dan Mikayla itu putrinya Damian juga. Paman itu ‘kan sama dengan ayah. Masa mau diajak jalan sama pamannya saja kamu larang? ‘Kan aneh!” timpal Mami sambil menyerahkan Mikayla kepada anak sulungnya.“Tapi, Mam?”“Tidak ada tapi
“Lepas! Jangan peluk-peluk aku, Bang. Jangan buat aku semakin takut sama Abang!” Mendorong tubuh kekar Bang Damian, tetapi dia begitu erat memeluk diriku.“Biarkan seperti ini, Van. Tolong jangan siksa perasaan Abang. Jangan buat Abang semakin merindukan kamu. Abang sudah tidak sanggup lagi!” racaunya seperti orang sedang dipengaruhi minuman keras, namun aku yakin saat ini laki-laki yang tengah mendekapku tidak dalam keadaan mabuk. Sebab Bang Damian paling anti menenggak minuman haram seperti itu.“Aku mau pulang, Bang. Anak-anak nanti nyariin. Kasian Viera. Dia belum menyusu. Mikayla juga kalo bobok nyariin aku terus. Tolong Abang mengerti. Sekarang ini aku bukan lagi Vani si gadis kecil yang hanya dimiliki oleh Abang. Aku sudah punya anak dan suami. Tolong Abang ngertiin posisi aku.”Dekapan Bang Damian mengendur. Riak wajahnya berubah dan menyiratkan luka yang begitu dalam.Ah, harusnya tadi tidak usah datang kalau tahu akan menjadi sep