“Habis ini kita ke tukang urut ya, Dek.”
Aku hanya menjawab dengan anggukan kepala.Selesai menyusu kembali kutitipkan Viera kepada Linda, sebab diam-diam ternyata Sari sudah pergi saat aku pingsan tadi. Tapi biarlah. Nanti akan kuurus dia setelah urusanku sendiri selesai, dan sekarang lebih baik fokus dengan rumah tangga yang sering sekali di timpa badai cobaan.“Mas gendong aja, Dek!” ucap suami ketika melihat aku berjalan tertatih, sebab kepala ini masih terasa berputar juga kliyengan.Dan tanpa menunggu jawaban pria bertubuh tegap itu segera menggotong tubuhku menuju mobil, mendudukkanku di kursi sebelah kemudi lalu memasang sabuk pengaman di pinggang.Suara deru mesin kendaraan membawaku menjauh dari pekarangan rumah, bertolak ke kediaman Wa Mimi tukang urut langganan kami.Aku menjerit kesakitan ketika Wa Mimi mulai mengoles minyak ke permukaan kulit dan menggerakkan tangannya perlahan, mencengkeram kaos suami s“Saya sedang tidak pegang uang, Ma,” jawabku sambil melipat tangan di dada. Kirain sayangnya tulus. Sudah berubah, eh, ternyata karena ada maunya.“Kamu bisa transfer sama Mama. Nggak harus uang kes. Soalnya Papa lagi butuh buat modal sama bayar hutang. Kemarin ‘kan Mama habis bantuin renovasi rumahnya Amalia, dan Mama terpaksa ngutang sama rentenir!”Duh, kebiasaan. Doyan banget ngutang ke rentenir, dan ujung-ujungnya harus aku yang bayar. Kali ini tidak akan rela sepeser saja uang aku dipakai untuk melunasi hutang mertua.Bukannya apa-apa. Sebab sebaik apa pun perlakuanku terhadap mereka, aku tetap saja tidak pernah dianggap ada. Lagian, kalau tidak punya uang, untuk apa pake acara bantu renovasi rumah anaknya. ‘Kan aneh!“Untuk saat ini kami tidak bisa meminjamkan uang sama Mama. Kebutuhan kami juga banyak. Apalagi Vani lagi hamil!” sambung suami sambil menatap ibunya dengan pindaian kesal.“Kalo besok bisa nggak,
“Sayang. Jangan dengarkan ucapan Mama. Ayo kita istirahat!” Mas Erlangga merangkul pundakku dan membimbingku masuk ke dalam kamar, menyuruhku untuk istirahat dan kembali meninggalkan kamar.Sekilas aku masih bisa mendengar keributan di luar sana, sebab Mas Erlangga memprotes semua perkataan Mama yang begitu menusuk sukma.“Bu, yang sabar, ya. Saya tau Ibu orang baik dan Allah tidak akan mendengarkan apa yang dikatakan oleh ibunya Pak Erlang!” Linda menghampiri dan mengusap bahuku.“Aamiin, Lin. Aku percaya Allah itu maha adil juga bijaksana,” jawabku mencoba menenangkan hati sendiri.“Betul, Bu.”Aku berusaha menyunggingkan bibir, tersenyum kepada Linda dan mencium pipi anak-anakku.“Ya sudah. Saya permisi pulang ya, Bu. Tadi ibu saya telepon, katanya anak saya demam. Maaf saya tidak bisa menemani Ibu sampe malam,” ucapnya lagi.“Iya, Lin. Terima kasih sudah mau direpotkan oleh saya. Salam buat ibu kamu!” A
Aku terus saja memperhatikan siapa laki-laki yang masuk ke dalam kamar Sari, apalagi dia terlihat begitu lama di kamar asisten rumah tanggaku dan keluar setelah hampir setengah jam dari dalam sana sambil mengancing kemeja.Namun sayang. Wajah si lelaki tidak bisa dikenali, karena dia mengenakan topeng. Sepertinya aku harus menyelidiki dan melaporkan kejadian ini ke polisi.Ah, andai saja kemarin tidak langsung terbakar emosi dan membiarkan Sari pergi, mungkin masalahnya tidak akan serumit ini. Aku bisa memecahkan masalah karena bisa terus menggali informasi dari perempuan itu.Krieeett ....Menoleh ke arah pintu. Aku mengernyitkan dahi ketika melihat Bang Damian masuk ke dalam kamarku, hanya mengenakan celana pendek serta kaus ketat sehingga menampakkan tubuh kekarnya."Belum tidur? Erlang ke mana?" tanya lelaki itu sambil berjalan mendekat dan menarik kursi di sebelahku untuk dia mengenyakkan bokong."Belum, Bang. Lagi liat rekaman CCTV di rumah!" jawabku agak risi ketika dia terus m
"Kalau Abang lagi ada masalah ceritakan saja sama aku. Aku siap menjadi pendengar yang baik. Abang tidak perlu melakukan hal konyol yang menyakiti diri sendiri!" omelku.Dan seperti biasanya, sang pemilik rahang tegas itu hanya diam tanpa menyahut, serta hanya menatap dengan pindaian datar."Kamu siap-siap. Kita jalan sekarang!" Bang Damian beranjak dari duduknya, lalu pergi begitu saja setelah aku obati."Memangnya kalian mau ke mana, Van?" Mami bertanya dengan mimik penasaran."Vani nggak tau, Mam. Katanya Abang mau ngajak Vani jalan dan membelikan sesuatu. Semalam dia bilang begitu," jawabku apa adanya, sebab memang Bang Damian hanya berkata seperti itu semalam saat berada di dalam kamar.Aku kemudian segera masuk ke dalam bilik, mengganti pakaian bersiap pergi dengan Bang Damian. [Assalamualaikum, Mas. Aku jalan sebentar sama Abang. Kamu hari ini ke rumah Mami nggak? Aku mau bicara penting sama Mas]Mengirim pesan kepada suami sebelum pergi, karena biar bagaimanapun seorang istri
“Berhenti, Bang! Aku lagi hamil. Abang sengaja mau bunuh aku dan anak aku? Apa Abang nggak kasian sama anak-anak aku kalau sampai ibunya meninggal? Mereka masih kecil-kecil, Bang. Mereka butuh aku!” Spontan Bang Damian banting setir ke kiri, menginjak pedal rem hingga terdengar suara decitan ban beradu dengan aspal, serta suara klakson dari kendaraan lain yang saling bersahutan.Nafasku naik turun tidak beraturan. Tubuhku menggigil dan ketakutan, sementara Bang Damian terus saja menatap dengan pindaian yang begitu menakutkan. Dia terlihat begitu marah, tetapi sepersekian detik kemudian tatapannya melunak dan penuh cinta seperti biasa.Apa jangan-jangan, kakakku ini seorang psikopat yang sifat bisa berubah-ubah dalam waktu singkat. Sebab Bang Damian itu mood-nya mudah sekali naik dan turun levelnya, dan ketika marah dia akan sangat menyeramkan.Ah, kenapa aku tidak menyadari sejak dulu.“Abang minta maaf, Sayang. Abang tadi terb
“Sudah sore, Bang. Sebentar lagi magrib!” jawabku sesantai mungkin, mencoba menutupi rasa takut karena jujur, aku begitu khawatir dia nekat menyakiti anak-anakku.“Danisa mau ‘kan jalan-jalan sama Om Dem?” Pria bertubuh tinggi besar itu berjongkok, mengusap pipi putriku seperti dia mengusap pipiku barusan.Aku tidak mau dia menyayangi putriku seperti dia menyayangi diriku. Berlebihan serta menakutkan. Aku tidak mau.“Abang, tolong jangan maksa anak-anak.”“Hanya mengajak mereka membeli es krim, Vani. Kenapa kamu takut sekali aku mencelakai mereka. Mereka itu putri-putriku. Mana ada seorang ayah yang berani melukai putrinya sendiri!”“Sudah sih, Van. Benar juga apa kata Damian. Danisa dan Mikayla itu putrinya Damian juga. Paman itu ‘kan sama dengan ayah. Masa mau diajak jalan sama pamannya saja kamu larang? ‘Kan aneh!” timpal Mami sambil menyerahkan Mikayla kepada anak sulungnya.“Tapi, Mam?”“Tidak ada tapi
“Lepas! Jangan peluk-peluk aku, Bang. Jangan buat aku semakin takut sama Abang!” Mendorong tubuh kekar Bang Damian, tetapi dia begitu erat memeluk diriku.“Biarkan seperti ini, Van. Tolong jangan siksa perasaan Abang. Jangan buat Abang semakin merindukan kamu. Abang sudah tidak sanggup lagi!” racaunya seperti orang sedang dipengaruhi minuman keras, namun aku yakin saat ini laki-laki yang tengah mendekapku tidak dalam keadaan mabuk. Sebab Bang Damian paling anti menenggak minuman haram seperti itu.“Aku mau pulang, Bang. Anak-anak nanti nyariin. Kasian Viera. Dia belum menyusu. Mikayla juga kalo bobok nyariin aku terus. Tolong Abang mengerti. Sekarang ini aku bukan lagi Vani si gadis kecil yang hanya dimiliki oleh Abang. Aku sudah punya anak dan suami. Tolong Abang ngertiin posisi aku.”Dekapan Bang Damian mengendur. Riak wajahnya berubah dan menyiratkan luka yang begitu dalam.Ah, harusnya tadi tidak usah datang kalau tahu akan menjadi sep
“Dia kenapa, Mam? Mas Erlang baik-baik saja kan? Mam, Mami tau nggak? Bang Damian menjadikan suami aku joki tinjunya. Suami aku itu sering banget pulang dengan keadaan babak belur dan setiap ditanya dia tidak mau berbicara. Pasti Abang juga yang mengancam dia. Sekarang, selama aku tinggal di rumah Mami, Mas Erlang sama sekali tidak bisa dihubungi. Nomernya selalu tida aktif dan aku liat rekaman CCTV rumah juga ternyata dia tidak pulang, Mam!” Wajah Mami terlihat syok mendengar apa yang aku ceritakan. Sebenarnya tidak mau membeberkan rahasia ini tapi, aku juga tidak kuat harus menanggung beban sendiri. Biasanya Mami selalu memberikan solusi atas segala masalah yang tengah dihadapi. “Nanti biar Mami ceritakan ke Papi kamu. Kamu tenang saja. Setelah ini pasti Demian tidak akan mengganggu kalian!” “Lagian Abang itu kenapa sih? Selalu saja ngelarang aku dekat-dekat dengan orang lain. Mas Erlang itu kan suami aku, masa iya dia tega ingin menghabisi adik ip
Mungkin ini saatnya aku mengalah dan pergi. Membiarkan dia hidup dengan kekasih hatinya, tanpa lagi mengganggu apalagi berusaha merebut dia dari pelukan Erlangga. Semoga saja setelah ini aku bisa kembali menata hidup seperti sebelumnya, melupakan semua kenangan dan mengubur duka yang tengah bertahta dalam dada.***"Pak Damian bukan?" sapa seorang laki-laki berkoko putih saat aku sedang duduk di sebuah rumah makan."Iya, betul. Kamu siapa ya?" tanyaku penasaran, karena merasa tidak mengenal lelaki tersebut."Saya Rian, Pak. Dulu Bapak pernah menolong saya waktu saya dikejar warga gara-gara dikira copet!"Aku mengernyitkan dahi, lalu tersenyum saat mengingat kejadian beberapa tahun yang lalu. Seorang pemuda berpenampilan lusuh berlari ketakutan karena ada beberapa orang yang sedang mengejarnya, lalu aku menarik pemuda itu dan membawanya masuk ke dalam mobil.''Kenapa kamu dikejar-kejar warga?" tanyaku saat itu.
POV Damian.Membuka mata perlahan, memegangi dada yang kadang masih terasa sakit akibat luka bekas tembakan yang diberondongkan kepadaku. Untung saja tidak mengenai jantung, sehingga aku masih memiliki kesempatan untuk hidup. Meskipun hidup tapi terasa mati, karena harus berpisah dengan separuh jiwaku.Andai saja Mami tidak mengancam akan mengakhiri hidupnya jika aku terus mengejar Rivani, 'kan kuperjuangkan cintaku sampai titik darah penghabisan, hingga akhirnya Tuhan berkenan mempersatukan kami berdua dalam ikatan suci pernikahan.Tapi ketika aku sekarat dan mengalami koma selama berhari-hari, Mami malah memanipulasinya kematianku. Dia membuat diri ini seolah-olah sudah mati, lalu membawaku terbang ke Kalimantan, dan setelah aku sehat dia terus mendesakku untuk menjauhi putrinya."Mami mohon, Dem. Jangan terus menerus mengganggu adik kamu. Dia sudah bahagia bersama pasangannya. Vani sudah bahagia bersama keempat anaknya juga. Jangan ganggu
Sari duduk di bibir ranjang dengan riasan menempel di wajah,serta kebaya putih melekat di tubuh rampingnya. Tangannya terus saja meremas ujung kebaya, menahan rasa grogi luar biasa karena hari ini Andika akan mengucap janji suci di depan penghulu serta saksi, menjadikan dia sebagai seorang istri yang sah baik menurut hukum maupun agama.Rasanya bagai mimpi, karena setelah melewati titian takdir yang begitu menyakitkan akhirnya Allah meniupkan kebahagiaan di dalam hidupnya. Dinikahi oleh pengacara yang membantu menangani kasusnya, menemukan keluarga baru yang mau menerima dia apa adanya.Melalui pengeras suara, sang pembawa acara mulai membacakan susunan acara, dilanjutkan oleh pembacaan ayat suci Al-Quran lalu disusul khutbah nikah. Mata Sari mulai terlihat berkaca-kaca ketika acara inti dimulai, apalagi setelah mendengar suara ayahnya di pengeras suara."Ayah kamu datang, Sar. Dia mau jadi wali nikah kamu!" bisik Rivani sambil mengusap air mata bahagia.
"Maaf, Pak. Kedatangan kami ke sini hanya untuk meminta restu sama Bapak, karena saya akan menikahi Sari secepatnya!" ucap Andika sambil merangkul pundak Sari, menatap tanpa takut secuil pun laki-laki yang sedang berkacak pinggang di hadapannya.Baginya, apa pun keputusan ayah Sari nanti, tidak akan menyurutkan sedikit pun niatnya untuk meminang sang pujaan hati. Dia hanya berusaha meminta restu karena Sari masih memiliki keluarga. Tidak sopan rasanya kalau tiba-tiba menikahi sang calon istri tanpa restu dari orang tuanya, karena biar bagaimanapun Sari masih punya wali."Ya sudah. Nikahi saja dia, asalkan jangan pernah dibawa pulang ke rumah ini. Sudah cukup malu saya dengan kelakuannya yang tidak bisa menjaga diri. Menjijikkan. Hamil sama mertua majikannya. Aib. Jadah!" maki laki-laki berusia setengah abad tersebut sambil menatap mencemooh ke arah putrinya sendiri."Harusnya sebagai orang tua bapak mendukung Sari, bukan malah ikut membenci seperti ini. Ka
"Ada apa, Pak?" tanya Sari sambil menatap Andika yang terus saja menundukkan kepala, dengan pipi sudah memerah seperti tomat matang."Emm...begini, Mbak Sari. Kedatangan saya ke sini, sebenarnya...emmm..."Perempuan berambut hitam panjang itu terus menyimak dengan tidak sabar, sambil terus memindai Andika yang terlihat semakin gemetar. Padahal dia biasa menghadapi beberapa kasus berat dan tidak jarang memenangkannya. Akan tetapi ketika hendak berbicara dengan Sari, mendadak bibirnya kelu. Kata-kata yang sudah dia susun sedemikan rupa hilang seketika."Ada apa, Pak? Apa Bapak mau meminta bayaran kepada saya?" Sari menatap tajam wajah lawan bicaranya, merasa sedikit takut jika tiba-tiba pengacara yang ditunjuk keluarga Erlangga untuk membantu menyelesaikan kasus yang dia hadapi tiba-tiba meminta bayaran."Bu--bukan, Mbak Sari. Kedatangan saya ke sini, mau anu..."Bu Irmawati, ibundanya Andika menyikut pinggang anaknya gemas. "Begi
Kesal, merasa bodoh dan terhina. Itu yang selalu dia rasakan. Bahkan beberapa kali berniat mengakhiri hidup, akan tetapi akal sehat serta hati kecilnya selalu berbisik, melarang dia untuk melakukan hal tersebut.Melihat kedua majikannya terus saja bersiteru dan Rivani terus saja menuduh Erlangga telah berselingkuh dengannya, Sari akhirnya memutuskan untuk meninggalkan rumah tempat dia mengadukan nasib serta merasa menemukan keluarga, juga tempat dimana dia dinodai oleh Ayah mertua dari sang majikan.Namun, kepergiannya dari rumah Rivani ternyata justru membuat dia harus menjadi pelampiasan seksual Ilman. Sari tidak sengaja bertemu dengan pria bajingan itu saat hendak pergi meninggalkan kediaman Erlangga, disekap oleh Ilman dalam sebuah rumah dan harus berkali-kali melayaninya.Sari juga pernah mengalami pendarahan dan dibawa ke rumah sakit oleh pria yang menghamilinya, lalu berhasil melarikan diri ketika Ilman sedang menebus obat di apotek kemudi
"Sar, anak kamu nangis. Kayaknya kepengen nyusu!" ucap Rivani kepada sang asisten rumah tangga yang sedang sibuk menjemur pakaian di pekarangan belakang."Iya, Bu." Sari segera menyudahi aktivitasnya dan lekas menghampiri jagoan kecilnya yang sedang menangis di atas ranjang bayi di dekat pintu."ASI kamu masih belum keluar juga?""Keluar tapi sedikit. Biasanya Arief nggak sabar kalau menyusu. Dikasih susu formula juga pup-nya suka keras!"Rivani menghela napas lalu membuangnya secara perlahan. Dia merasa tidak tega melihat anaknya Sari yang tubuhnya terlihat begitu kurus, bahkan berat badannya hampir sama dengan anaknya yang masih berusia dua bulan."Sini saya susui saja, Sar. Kebetulan ASI saya banyak. Nanti saya pompa juga biar kalau malam Arief bisa nyusu. Saya nggak tega liat dia nangis terus!" ucap perempuan berusia dua puluh delapan tahun itu seraya mengangkat putra asisten rumah tangganya, memangkunya dengan hati-hati kemudian memb
#POV AuthorErlangga duduk memaku di teras rumah sembari menatap rintik gerimis yang mengecup dedaunan. Diuasapnya tengkuk yang sering terasa sakit, apalagai semenjak kejadian pengeroyokan yang dilakukan oleh sang ayah serta adik ipar, yang hampir saja merenggut nyawanya dulu. Saat itu dia baru saja pulang dari basecamp Damian, setelah menerima tantangan kakak iparnya yang terdengar sedikit konyol. Melawan beberapa orang algojonya dengan taruhan Rivani sang istri. Awalnya pria berhidung mancung itu menolak tantangan konyol Damian, namun, si kakak ipar malah mengancam akan memisahkan dirinya dengan wanita yang teramat dicintainya itu. Karena tidak mau kehilangan orang-orang yang dicinta akhirnya dia menerima tantangan tersebut dan harus mengalakan anak buah Damian.Demi cinta Erlangga melakukan semuanya. Menahan sakit karena pukulan demi pukulan yang dilayangkan, hingga akhirnya memenangkan beberapa pertandingan walaupun harus mengalami luka-luka di sekujur badan, terutama bagian waj
Semua alat yang menempel di tubuh lelaki bertato ular naga itu satu per satu mulai dilepas. Tubuh kekarnya ditutup menggunakan kain hingga ke kepala, dan kami segera mengurus surat kematiannya."Mami akan menguburkan Damian di Kalimantan. Sesuai permintaan dia sebelum pergi," ucap Mami sambil mengusap air mata yang terus saja mengalir dari kelopaknya."Aku ikut, Mam. Aku ingin mengantarkan Bang Damian ke tempat peristirahatannya yang terakhir!""Tidak usah, Sayang. Kamu lagi hamil dan Abang juga berpesan supaya kamu tidak menghadiri pemakamannya. Itu wasiat Abang sama Mami kemarin, sebelum dia akhirnya mengalami koma!"Aku mengernyitkan dahi mendengar ucapan Mami. Apa iya Abang tidak mengizinkan aku untuk menghadiri pemakamannya, sementara dia begitu mencintai aku?Sepertinya tidak masuk akal. Apa jangan-jangan, Abang juga tidak memaafkan semua kesalahanku?"Mam, apa Abang tidak memaafkan aku?""Bahkan Abang me