Sejak kecil, aku memang terbiasa diremehkan. Aku juga sudah biasa dipandang sebelah mata oleh mereka yang seharusnya menjadi pelindungku, karena Mamah akan lebih memperhatikan Mbak Resa dengan alasan Mbak Resa lebih segalanya dari aku.
Mbak Resa lebih cantik, lebih pintar dan lebih disukai banyak orang.Maka sudah nggak aneh, jika sekarang Mbak Resa mungkin berpikir aku tak pantas untuk Mas Alfa, terlepas dari dosa Mbak Resa sendiri yang menyakiti lelaki itu.Sakit tapi enggak berdarah.Nyesek banget gak, sih? Ketika seharusnya keluarga adalah tempat ternyaman bagiku untuk bersandar, fakta yang ada sungguh menyakitkan.Namun, untungnya, di antara semua kesakitan yang ada, almarhum Ayah memberikanku bahunya untuk sekedar melepas lelah sehingga meski dunia seolah tak menginginkan, aku bisa tumbuh menjadi wanita yang lebih kuat."Eheum!" Aku berdehem untuk menetralkan sesak yang terus menyeruak.Entah ke berapa kali, tangan ini mengusap air mata yang sedari tadi tak henti mengalir ke pipi sambil mengiris bawang merah.Pagi ini, kami kembali ke apartemen. Kebetulan Mas Alfa ambil cuti, aku berniat memasakkan Mas Alfa nasi goreng menu kesukaannya, seperti kata Mbak Resa.Sejujurnya, aku sengaja mengiris bawang agak banyak biar banyak yang menyangka aku menangis karena bawang, bukan karena hatiku yang sakit. Padahal, bisa dibilang aku menangis karena keduanya.Ya, bawang juga ya ... hidupku juga yang seperti anak pungut di keluarga Raharja.Di tengah kesibukanku berjibaku dengan kabinet dapur, tiba-tiba pintu kamar utama terbuka."Zela!" panggil Mas Alfa. Pasti dia baru selesai menerima konsultasi online via daring.Heran. Waktu cuti saja ia masih sibuk dengan pekerjaannya."Iya, Mas?" tanyaku sambil menoleh ke arah Mas Alfa.Degh! Aku mengerjapkan mata beberapa kali, memastikan kalau aku sedang tidak berhalusinasi.Astaghfirullah! Nikmat mana lagi yang aku dustakan? Baru saja mengeluh tentang takdir, aku diberikan hadiah pemandangan seindah ini.Sekarang aku tahu, apa pesona lelaki ini. Pertama dia memiliki bola mata yang indah dan terang. Kedua, model rambut berponinya yang terkadang terlihat acak-acakan saat sedang bekerja membuatnya sangat menarik dan ketiga ... rahangnya yang lancip juga kokoh membuat para kaum hawa klepek-klepek.Ini sebenarnya siapa, sih? Yang lagi berdiri di depan pintu kamar.Mas Alfa, kan? Suamiku? Seriously?"Zel, kamu liat stetoskop saya, gak?"Aku diam, masih terpesona."Zel!" Mas Alfa mengulang panggilannya lagi dan aku baru sadar kalau telah menatapnya terlalu lama."Eh, anu, di mana, ya?" Bergegas aku memalingkan muka, salah tingkah sampai tanpa sadar aku sedang mengiris bawang."Aww!" pekikku sakit. Ketika menyadari kalau tanganku-lah yang teriris bukan bawang.Kok, bisa sih?"Ya Allah, Zel! Tanganmu berdarah!" Mas Alfa yang berdiri di depan pintu kamar langsung bergegas mendekat.Dengan secepat kilat, dia menarik tanganku dan mengemut jari yang berdarah tanpa rasa jijik.Aku yang kaget atas perlakuannya, hanya bisa mematung karena sibuk menormalkan irama jantung yang sudah berlompatan bagaikan disetrum listrik berkekuatan tinggi."MM-Mas, aku gak apa-apa kok, ini hanya keiris sedikit," jawabku sambil menarik tangan kemudian menyembunyikannya di belakang punggung.Dag-dig-dug.Ya Allah! Tolonglah hambamu ini yang tak bisa mengendalikan hati.Mas Alfa tak berkomentar apa-apa, lelaki itu bergegas mengambil kotak P3K di atas bufet. Lalu, kembali ke depanku dengan wajah cemas."Gak apa-apa, gimana? Sini, Mas, lihat! Kalau kamu masih capek, istirahat saja dulu, gak usah masak begini, kita bisa beli kok. Untuk apa ada rumah makan, kalau semua orang diwajibkan masak?" omel Mas Alfa yang sibuk memberiku obat antiseptik.Aku tersenyum mendapati Mas Alfa yang begitu perhatian, ternyata lelaki ini bisa bawel juga. Tak bisa kuhindari, sekarang bukan hanya dadaku yang bergetar tapi tubuhku juga karena Mas Alfa menangani tanganku dengan gerakan yang lembut.Ah, bodohnya aku! Kenapa aku jatuh dalam pesona seorang Alfa sebegitunya?Kejadian ini mengingatkanku akan cerita Nabi Yusuf as. Di mana saat Sang Nabi lewat di depan para wanita Mesir, mereka pun sangat terpesona hingga tanpa sadar mengiris jarinya.Untungnya, Mas Alfa suamiku bukan suami orang. Jadi jika pun aku teriris aku tidakberdosa karena tak menjaga mata."Alhamdullilah, sudah. Sekarang, udah gak usah masak dulu, soalnya hari ini kan, ulang tahun Ayah. Kamu gak lupa, kan?""Ulang tahun?"Aku mencoba mencerna info yang baru saja kudengar tapi tak lama mataku pun membulat sempurna."Astaghfirullah! Benar! Ya Allah, Mas! Aku lupa, gimana dong? Aku belum beli kado, gimana ya, Mas?" ujarku panik seraya merutuki diri kenapa lupa akan hal sepenting ini.Padahal semalam Ibu mertuaku sudah mewanti-wanti via chat, tapi karena aku terlalu lelah dan sedih jadi otakku lambat mengingat.Parah nih, bisa-bisa aku dipecat jadi menantu.Aduh, jangan dong!"Mas, gimana dong? Apa kita harus ke supermarket atau mall gitu? Sebelum ketemu Ibu, kata Mas gimana? Ayah suka apa, Mas? Biar aku masakin, gimana?" cerocosku heboh."Gimana, ya?"Alih-alih menenangkanku yang cemas, Mas Alfa malah bertindak sebaliknya. Dia malah bertanya balik sembari menatapku lekat dan lama, membuatku risi sendiri."Loh, kok, Mas malah liatin aku? Aku salah, ya?""Enggak." Mas Alfa menggelengkan kepalanya sambil mengulum senyum."Lalu?""Kamu cantik kalau lagi panik," ujarnya lirih sembari membuang muka ke arah lain untuk menyamarkan senyum. Sementara, aku menggigit bibir dengan kuat, mencoba menahan diri untuk tak tersenyum.Kok, berasa kayak ada manis-manisnya, ya?(***)Mbak Resa ada di acara syukuran Pak Bayu. Itu sudah aku perkirakan tapi yang tidak aku kira adalah caranya yang mencari perhatian mertuaku yang terlampau norak.Bagaimana tidak, saat kami sedang menunggu hidangan makan malam tiba-tiba dia nyeletuk kalau dia sesungguhnya sangat menyukai keluarga Prawira.Dia tak hentinya memuji betapa sempurnanya ibu dan bapak mertuaku. Tak lupa dia juga membahas tentang penyesalannya yang tak bisa menjadi bagian keluarga ini karena kekhilafannya.Apakah Bu Imel dan Pak Bayu merespon baik? Jawabannya ... ya. Mereka memang merespon dengan baik, karena setahuku keluarga ini memang sangat menjaga perasaan orang lain apalagi nasi sudah menjadi bubur.Selain itu, Mbak Resa datang ke sini bukan dengan tangan kosong. Ada banyak bingkisan yang dia hadiahkan untuk merayakan hari kelahiran Pak Bayu, katanya dia dapat rezeki lebih jadi mau berbagi padahal aku tahu dia dapat uang itu dari Mamah yang baru menang arisan siang tadi.Heum ... Mamah dan Mbak Resa sama saja.Sejujurnya, semula aku berpikir dia melakukan itu karena ingin memperbaiki hubungan dengan keluarga Mas Alfa karena kesalahannya, tapi semakin ke sini dia semakin mendominasi dengan bersikap berlebihan seolah dialah yang menantu rumah ini bukan aku.Jujur. Aku yang sedang sibuk membantu menghidangkan makanan pun akhirnya merasa terganggu, sekali pun suamiku sama sekali tak tertarik dengan obrolan Mbak Resa, tapi tetap saja gondok. Apalagi ketika Yoga yang duduk di dekat Mbak Resa malah terlihat tak perduli pada kelakuan istrinya, padahal dia seharusnya bisa mengingatkan.Agh, Yoga memang selalu begitu. Dia akan bertindak cuek jika dia tidak suka."Zela, dari tadi sore ya, di sini? Ikut masak, juga?" tanya Mbak Resa ketika aku baru saja meletakkan sop di meja makan.Aku mengangguk enggan, sambil duduk di kursi yang ada di sebelah Mas Alfa."Iya, Mbak. Tadi bantu Bibi dan Ibu di sini biar gak telat," jawabku senormal mungkin. Walau gunung lava di hati hampir saja meletus."Oh, iya, wah bagus dong. Ternyata kamu sudah ada kemajuan sekarang ya, Zel?""Kemajuan?" Aku mengernyitkan dahi tak mengerti arah pembicaraan Mbak Resa."Iya, kemajuan. Dulu kan, kamu jarang masak. Malas gitu kalau disuruh. Makanya kalau gak Mamah ya aku. Iya, kan?"Ya Allah!Rasanya hatiku mencelos disindir begitu sama Mbak Resa di depan mertua. Bukan apa-apa, aku memang jarang masak karena mereka biasa menyuruh aku mencuci baju dan mengerjakan pekerjaan rumah. Semua kan, sudah dibagi sesuai porsinya.Tadinya aku mau membela diri tapi melihat kode dari Mamah agar aku menahan diri, membuatku hanya bisa tersenyum seraya menundukkan kepala tanpa berkata apa pun."Semoga selama kamu di keluarga Prawira, kamu jadi makin rajin, ya?" nasehat Mbak Resa lagi yang langsung aku jawab dengan senyuman miris."Insya Allah, Mbak."Biarlah! Orang hamil harap dimaklum.Sabar.Tak ingin berdebat, aku pun kembali melanjutkan makan agar tidak merusak suasana karena ini adalah acara bapak mertuaku. Namun, ternyata tak berselang lama Mbak Resa kembali menyerangku."Oh, iya, Zel, gimana setelah jadi istri? Apa kamu masih bangun kesiangan? Kasian kan, Mas Alfa kalau kamu kesiangan karena dia praktek pagi."Allahu Akbar! Seketika itu juga aktivitas makanku berhenti begitu juga yang lainnya, seolah waktu mendadak membeku dan semua orang berpandangan.Siapa pun tahu, rasanya tak elok dia membahas hal itu di sini.Apa sih maksudnya? Itu urusan pribadiku? Apa belum cukup dia mempermalukanku?Ini tidak bisa dibiarkan lagi. Kali ini, aku harus membela diri agar tidak dianggap menantu yang tak layak."Loh, kok, diam? Apa pertanyaan Mbak salah, ya?" tanya Mbak Resa lagi. Dia tersenyum sinis, merasa berhasil menjatuhkanku di hadapan semua orang."Mbak, maaf, Mbak memang gak salah tapi it--""Itu urusan kami. Selain itu, bagi saya Zela sudah melakukan tugasnya sebagai seorang istri dengan baik. Kami tidak perlu laporan padamu, bukan? Apa yang sudah kami lakukan?" potong Mas Alfa cepat membuat semua orang tercengang. Terlebih Mbak Resa, wanita itu memucat karena si pendiam sudah mengeluarkan taringnya."Bu-bukan begitu Fa, saya hanya khawatir kamu ....""Stop! Silahkan urus suamimu saja! Jangan urus kami! Karena kami bahagia, tanpa kalian. Iya, kan, Sayang?"Deg. Sayang?Sontak aku menolehkan kepala ke arah Mas Alfa dengan pandangan kaget, sementara lelaki dingin itu hanya menyeringai kepadaku."Kenapa, Sayang? Apa ada yang salah?" tanyanya semakin menggoda dan itu sukses membuat hatiku kebat-kebit enggak karuan.Duh ... jantungku! Apa kamu baik-baik saja?TBC==Sepertinya aku keracunan. Iya, keracunan sikap Mas Alfa yang terlalu banyak mengandung zat adiktif yang berbahaya bagi jantungku.Baru beberapa hari menjadi istrinya saja, jantung ini sudah dibuat kembang-kempis.Bagaimana jika setahun? Ya, ockay lah aku paham dia mengatakan kata 'Sayang' untuk sekedar membantuku yang tersudut. Tapi, kenapa harus sejauh itu?Lalu, anehnya, kenapa juga setelah pulang dari rumah Bu Imel dia sama sekali tak membahas tentang panggilan, 'Sayang' yang dia ucapkan di depan keluarga kami?Apa panggilan itu sama sekali tidak berarti untuknya?Layaknya patung manusia yang diberi nyawa, dia kembali kaku. Sedang, aku hanya bisa menatapnya dan mencoba menerka-nerka isi kepala Mas Alfa.Hal ini tentu membuatku gelisah enggak jelas dan hasilnya aku pun mengalami insomnia semalaman. Sampai-sampai aku baru bisa tidur setelah jam Cinderella selesai.Ngantuk.Sekuat tenaga aku menahan m
Kata orang, orang yang terlalu baik dan bodoh itu beda tipis. Orang terlalu baik biasanya gampang dibodohi. Mungkin itulah yang terjadi pada kasusku, mungkin bisa jadi aku terlalu berprasangka baik ketika Mbak Resa mulai mengambil apa yang kumiliki sehingga ketika kehilangan aku mulai merasa menyesal.Aku bodoh. Ya, aku merasa bodoh. Setelah mendengar pengakuan Yoga kemarin, aku menarik kesimpulan, jika saja sebelumnya aku sedikit saja berani menarik Yoga dan melarangnya untuk sering berpergian dengan Mbak Resa mungkin ini tak akan terjadi. Jika saja, aku tidak terlalu sibuk dan membiarkan Mbak Resa masuk lebih dalam, bisa jadi tidak akan ada yang tersakiti.Agh, tapi percuma. Sekali pun aku merutuki takdir, tetap saja semua tidak berubah. Yoga tetap harus menerima kesalahannya, terlepas dari apa pun alasannya. Sementara aku, hanya perlu melanjutkan hidup dengan lelaki dingin berhati baik bernama Alfa.Namun, meski dingin, sejujurnya dalam hati i
Dulu sewaktu Ayahku masih ada, almarhum selalu bilang kalau ada sesuatu yang enggak berjalan sesuai harapan, tidak perlu kita menyalahkan takdir karena bisa jadi itu yang terbaik untuk kita.Kurasa itu ada benarnya, setelah beberapa waktu berjalan kini aku mulai memahami betapa beruntungnya aku menjadi istri seorang Alfa. Ya ... walau terkadang dia itu jutek, menyebalkan, kalau ngomong pedas dan satu lagi sok tahunya itu loh, bikin istighfar.Masa Mas Alfa bilang kalau dia tahu ukuran braku? Ish, songong deh, pernah melihat juga enggak. Eh, tapi, apa mungkin dia bisa memperkirakan, ya? Haduh! Bisa gawat. Pasti ini gara-gara tragedi lingerie itu.Ah, memalukan. Namun, terlepas dari sifat minusnya, bagiku dia tetap tempat ternyaman untuk sekarang karena sikapnya yang dewasa membuatku seolah menemukan pengganti Ayah yang telah pergi.Lagi pula, semua hal tidak ada yang sempurna, bukan? Kalau mau menikah dengan yang sempurna, dijam
Mau dipikir berapa kali pun rasanya ini tidak mungkin. Bagaimana mungkin mertuaku sendiri berselingkuh dengan Mbak Resa? Sadis. Terlalu sadis. Sebab, jika apa yang kulihat itu benar tentang mereka. Berarti bukan hanya aku, Mas Alfa dan Yoga saja yang terluka tapi Mamah dan Bu Imel pun akan merasakan hal yang sama. Bisa-bisa keharmonisan tiga keluarga akan terancam.Jujur, aku tidak bisa membayangkan semarah dan sesakit apa Bu Imel jika dia tahu, Kakak ipar anaknya berselingkuh dengan suaminya sendiri dan bukan itu saja bisa jadi kekecewaan akan menjadi boomerang paling pahit bagi kami semua.Merasa dikhianati.Aku pun tidak bisa memprediksi bagaimana perasaan Mas Alfa jika nanti dia tahu bahwa ayah yang dicintainya selingkuh dengan kekasih yang selama ini dia jaga?Hancur. Ya, perasaannya pasti hancur.Agh, kenapa mereka tega? Kenapa mereka harus mengorbankan kami yang tak tahu apa-apa.
Seperti orang yang terlahir kembali. Hari ini, entah kenapa aku sangat bersemangat sekali. Setelah aku sakit dan beristirahat sehari, wajahku tampak lebih berseri-seri.Mungkinkah ini gara-gara ciuman yang tak sengaja itu? Sampai-sampai di mana pun yang kulihat hanya wajah Mas Alfa dengan bibir indah nan cipok-able tersebut.Astaghfirullah! Sudah kuduga, memiliki suami seperti Mas Alfa itu berat godaannya.Sabar Zela, sabar.Mau bagaimana pun perasaan hati ingin menghindar, ternyata aku tetap saja akan balik lagi terjebak pesona seorang Alfa.Kuakui, Mas Alfa itu memang layaknya zat adiktif level hot yang membuatku sulit berhenti memikirkannya, karena semua tentangnya telah menjadi fokus utama.Namun, meski aku sangat bahagia sekarang, tentu saja kemajuan dalam hubungan kami ini masih belum bisa membuatku lega. Bayangan tentang perselingkuhan Mbak Resa dan Pak Bayu masih menjadi pertan
Aku anak pembawa sial. Begitulah Mamah yang aku hormati menistakanku.Sakit, sangat sakit. Seolah hatiku ditumbuk oleh ribuan batu besar hingga pecah berkeping-keping. Tak pernah terbayangkan, aku akan mengalami nasib sehina ini.Kukira itu hanyalah stigma yang beredar di masyarakat, tapi nahasnya kini itu melekat padaku.Masih teringat saat dulu, Ayah memang pernah bilang kalau aku harus lebih kuat dari siapa pun karena hidup ini keras. Namun, tak kusangka akan sekeras ini.Sakit. Perih. Hancur. Seolah di dalam sini ada luka yang bernanah lalu disiram dengan air garam. Aku tak tahu harus tertawa atau menangis, karena saking kebasnya dilukai.Aku rapuh. Aku terluka dan aku sesak. Aku harus tahu kenapa keluargaku sangat membenciku.Petang ini, aku ijin pada Mas Alfa untuk pulang terlambat dan akan kembali secepatnya. Aku harus berkunjung ke rumah Nenek di mana di sana ada makam Ayahku juga. Aku yakin Nenek tahu apa yang
POV ALFA Aku tak perduli sama sekali jika ada yang berpikir kalau aku terlalu berlebihan membela Azela. Aku tak perduli jika aku dikira menikahi anak pembawa sial dari kalangan keluarga Raharja. Aku pun tidak perduli kalau aku disebut telah berubah karena kehilangan keramahanku yang biasa kutunjukkan pada pasien. Lalu, aku juga tidak perduli jika nanti akan banyak tantangan yang harus kulewati demi menggenggam tangannya erat karena aku tahu gadis ini begitu banyak mengalami luka. Jika bukan aku yang menjaganya sebagai imam, maka siapa? "Mas Alfa ...." Zela memanggil namaku lemah kala kami sudah sampai di parkiran. "Heum?" Aku menggumam menanggapi panggilannya sembari berhenti, mengecek kondisi Azela. Otakku jelas memahami gadis itu pasti sangat syok setelah pertengkaran yang terjadi antara dia dan Resa. Sesungguhnya, aku baru pertama kali melihat gadis itu membela diri karena selama ini dia hanya bungkam dan
Jika kebanyakan perempuan biasanya menikahi lelaki yang mereka cintai, maka aku adalah sebaliknya. Bisa jadi aku harus mencintai lelaki yang aku nikahi. Sayangnya, lelaki itu masih belum bisa aku miliki sepenuhnya. Karena selain dia itu spesies lelaki yang kadang ramah, perhatian, tapi enggak peka. Mas Alfa juga salah satu lelaki yang masih belum jelas status hatinya.Rumit.Semenjak, aku memergoki perselingkuhan bapak mertuaku dan Mbak Resa, kurasa hidupku layaknya Zombi di abad-21. Aku bergerak tapi tak merasakan apa-apa. Hari-hariku benar-benar terlihat sangat kaku dan waktu terasa berjalan lambat. Aku bingung bagaimana harus menghadapi setiap detiknya bersama Mas Alfa, dia terlalu baik untuk dikhianati tapi aku pun tak bisa pergi, karena setiap di dekatnya aku nyaman dan merasa ada perlindungan.Gamang. Seperti sekarang.Selayaknya wanita, harusnya aku bahagia ketika mendengar seorang suami m
Sebulan kemudian."Senangnya dalam hati, kalau bersuami kaya. Oh dunia, serasa aku yang punya cikicik ... asyik-asyik Jos!""Eh, bentar! Kok aku jadi nyanyi begituan, ya?"Gue terkekeh kecil mengingat lagu apa yang sedang gue senandungkan sekarang ini. Mengingat kalau hari ini kami ada di Singapura tak ayal membuat wajah gue terus tersenyum merekah dan menyanyi tanpa henti.Seperti yang sudah dibahas tempo hari, setelah kami melakukan klarifikasi di sekolah dan membuat Alina juga Januar berurusan dengan hukum karena kelakuannya yang telah melakukan perbuatan tidak menyenangkan dan pencemaran nama baik, kami pun melakukan honeymoon untuk kesekian kali.Ohoo! Jujur, sebenarnya ini bukan kali pertama kami menginjakkan kaki di Singapura, semenjak resmi jadi pasangan sungguhan kerjaan Pak Zian bawa gue ke sini mulu. Katanya dia ingin nostalgia karena waktu kecil pernah tinggal di sini sekaligus honeymoon yang sekarang kayaknya bakal rada lama karena kami ingin merayakan berhasilnya membuat
Selepas mendengar indo dari Pak Zian kalau Alina telah memfitnahnya gue langsung mengecek kondisi sekolah, jika info tentang Pak Zian sampai di rumah sakit pastinya ke sekolah pun ada rumor tersebut. Nyatanya yang gue takutkan terjadi. Sesuai dugaan, ketika gue sampai di sekolah tiba-tiba Pak Joan dan Bu Hani yang tetap jadi sahabat gue langsung nyamperin. Mereka bilang di sekolah udah beredar kabar yang gak mengenakan yaitu katanya gue udah merebut Pak Zian dari Bu Alina dan katanya Pak Zian digosipkan mandul.Brengsek emang si Alina! Bisa-bisanya dia menyebar info yang gak berdasar itu.Saking banyaknya gosip di luaran sampai-sampai gue bisa dengan jelas semua umpatan juga sindiran yang dilayangkan ke gue. Tapi, terlepas dari semua itu gue udah tahu ini adalah salah satu resiko yang harus dihadapi. Semenjak memutuskan untuk memberi Pak Zian kesempatan kedua gue merasa udah siap apa pun yang terjadi tapi sayangnya gue gak prediksi akan separah ini. Coba bayangkan aja, masa Alina bil
Pak Zian kecewa berat. Setelah gue mengatakan kalau hari ini gak jadi 'ena-ena' dia mematung bak manekin. Bibirnya yang sejak tadi udah nyosor-nyosor aja langsung ditarik menjauh."Apa? Tsan? Kamu kenapa?" tanyanya tercekat. Wajahnya yang sudah semangat 45 mendadak memucat. "Saya mens, Mas. Menstruasi," jawab gue lebih lugas. Takutnya dia terlalu syok hingga telinganya mengalami ganteng 'gangguan telinga'."Astaghfirullah!"Tubuh Pak Zian seketika mundur dengan frustasi sampai menyentuh dinding. "Jadi, kita gak bisa bikin anak? Jadi Mas, gak bisa ibadah syurga sekarang?" selanya seolah masih tak percaya. Gue menggelengkan kepala. "Enggak Mas, maaf yak. Seminggu lagi mungkin," jawab gue sambil menepuk punggungnya menyabarkan.Rasa penyesalan langsung menelusup tapi mau gimana lagi, masa dipaksakan? Kan gak mungkin. Dosa!Pak Zian membasahi bibirnya yang terlihat kering sambil berjalan lunglai ke arah tempat tidur. "Jadi, ide beriliannya gak bisa dilakukan sekarang, ya?" tanyanya ko
"Ma-maksud Bapak apa? Kenapa saya harus menjawab? Dan kenapa--""Jawab saja Tsan, jika saya suami kamu apakah kamu akan menerima saya?" tanya Pak Zian memutus ucapan gue dengan tatapan yang tajam seolah hendak membolongi kepala gue.Entah mengapa gue merasa dia bertanya seolah-olah sedang takut kehilangan dan ini membuat kecurigaan gue sama dia kian membesar.Melihat itu, gue mengepalkan tangan kuat. "Baiklah, saya akan jawab. Jika saya memiliki suami seperti Pak Zian mungkin saya ...." Gue menarik napas dalam sejenak, "akan menerimanya," jawab gue lirih.Mendapat jawaban itu dari gue, samar mata gue menangkap Pak Zian menghembuskan napas lega dan dia pun mencondongkan badan ke depan penuh perhatian. Seulas senyum terlukis di wajahnya yang tampan. "Alhamdullilah. Kalau begitu saya gak salah memilih istri. Kamu memang beda Tsan."Deg."Istri?" Gue sontak tercengang mendengar pernyataan Pak Zian. "Maksud Bapak apa? Kenapa menyebut istri? Jujur, Pak! Sebenarnya apa yang sedang terjadi?"
Pak Zian mengepalkan tangan sampai kukunya memutih karena sekuat tenaga menahan amarah. Kerut-kerut tajam mulai muncul di sudut mulut Pak Zian dan kulit pipinya menegang.Di saat membingungkan seperti sekarang. Jujur, gue tidak tahu apa yang harus dilakukan di tengah pertikaian keduanya sebab gue sendiri juga masih syok.Gue gak nyangka Bu Ayu bisa membongkar kebusukan Alina tepat di saat kami mau memasuki rumahnya.Gue bertanya-tanya. Haruskah sekarang gue jadi wasit? Atau ikut jadi pemain juga? Tapi, dibanding kena semprot gue memilih diam saja, auranya gak bagus buat ikut campur tapi honestly gue suka keributan ini.Sangat suka!Suruh siapa si kuntilanak itu ngambil kesempatan dalam kesempitan? Udah tahu dia yang selingkuh dan zina, masih mau berlaga polos dan merebut Pak Zian kembali lagi.Sekarang, rasakan akibatnya!"Mas, Mas, Ibu bohong! Janin ini milikmu, ini anakmu Mas!""Shut your fuckin mouth up, Alina! Berhenti bikin alasan! I told you, jika kamu memang selingkuh akui saja
Selama gue jadi menantu kalau diingat-ingat gue jarang banget pergi ke rumah mertua. Mungkin kedatangan gue buat berkunjung bisa dihitung dengan jari tapi kali ini gue rasa akan lebih sering bahkan gue bakal tinggal di sana. Sejujurnya, sampai detik ini gue masih tak percaya bahwa akhirnya gue akan menjadi istri yang gak dianggap. Gue masih ingat, dulu gue pergi ke rumah Bu Ayu--mertua gue sebagai istri yang ditunggu dengan digandeng Pak Zian tapi sekarang situasinya berbeda. Lelaki yang sebelumnya ada buat gue malah berada di samping mantan istrinya.Dan gue terpaksa menginjakan kaki di rumah ibu dengan status sebagai asisten di mata Pak Zian.'Huft! Miris sekali.' Gue menghembuskan napas dalam.Sepanjang perjalanan menuju ke rumah ibu mertua. Sejujurnya, gue ingin sekali cepat sampai tapi apa daya gue harus bersabar karena jalanan macet.Alhasil, dengan sangat terpaksa gue harus menjadi kambing congek selama ada di mobil Pak Zian. Setelah Alina memergoki kami di ruang inap VIP seb
"Saya menolak tawaran Mbak! Saya tidak mau Mbak jadi madu saya!""Kenapa? Apa salahnya? Coba kamu pikirkan Tsan, jika saya jadi istri kedua Zian, kita bisa saling mengasihi selayaknya keluarga, kan? Kita berdua akan merawat Zian! Kita gak perlu berpura-pura!""Bullshit! Jangan berharap! Ingat Mbak, sebelum kejadian ini Mbak telah mengkhianatinya dan pikirkan bayi dalam perut Mbak sendiri! Paham?! Camkan! Sampai kapan pun saya gak akan membiarkan Mbak mengambil Mas Zian! Permisi!"Dan setelah mengatakan penolakan gue yang tegas pada Alina, tanpa menunggu jawaban si iblis betina itu, gue pun pergi tanpa menoleh lagi.Gue bertekad gak akan membiarkan dia mengambil kesempatan dalam sandiwara ini.Never!(***)Gue mendesah mengingat percakapan beberapa hari yang lalu dengan Alina di kantin. Jujur, gara-gara tawaran gila tersebut sampai sekarang gue masih punya amarah yang belum terlampiaskan. Akibatnya, malam ini mata gue malas terpejam. Padahal waktu sudah menunjukan pukul satu dini hari.
Gue tahu bahwa dalam setiap kehidupan itu selalu ada perjuangan. Gue juga tahu kalau gak setiap hal sesuai keinginan tapi kali ini takdir sepenuhnya udah bikin gue serasa dihempaskan ke lembah terdalam.Gue berjalan gontai di sepanjang lorong rumah sakit, usai pembicaraan panjang dengan mertua, gue pun udah punya keputusan yaitu mulai hari ini gue harus berpura-pura menjadi 'orang lain' bagi Pak Zian. Meski perih gue harus sanggup sampai suami gue mampu mengingat semuanya.Namun, masalahnya sampai kapan gue bisa bertahan? Sampai kapan? Sementara membayangkan Alina ada di samping Pak Zian aja udah bikin gue sakit apalagi mengakuinya sebagai istri. Ah, gue akuin ini emang berat, tetap aja gue gak mau menyerah. Gue mau tetap berada di samping Pak Zian seperti dia mencintai gue sebelumnya.Selepas sepuluh menit berjalan di sepanjang lorong tanpa terasa kaki gue yang lemah udah mengantarkan badan ini sampai ke depan ruangan Pak Zian.Gue menarik napas dalam dan hendak memasang wajah yang
Amnesia? Gimana bisa Pak Zian mengalami amnesia? Kenapa Mas Tsabit bilang dia gak mengenal gue?Agh, shit! Gue gak percaya. Mustahil suami gue bisa melupakan gue gitu aja.Gue mendesis lelah sepanjang perjalanan menuju ruang rawat VIP yang menjadi tempat di mana Pak Zian kini dirawat. Kata Mas Tsabit di telepon tadi, suami gue diputuskan pindah ke sana sesuai arahan dokter karena keadaannya berangsur pulih.Sampai di depan pintu, entah kenapa kaki ini jadi ragu untuk melangkah. Gue merasa ada ketakutan yang tiba-tiba menelusup dan membuat gue ingin kabur. Namun, ini bukan waktunya untuk melarikan diri karena gue ingin menemuinya.Gue senang dia sadar. Itu yang lebih penting dari apa pun. Gue rindu!"Mas Zian ...."Cklek.Gue membuka perlahan pintu yang tertutup. Di dalam ruangan terlihat seorang tengah berbaring dengan kaki yang digips, tangan dan kepala yang diperban persis mumi yang baru saja bangkit. Gue tercenung, mata kami beradu pandang pertama kali. "ADEK PENOLONG!?" Pak Zia