Ternyata menjadi asisten dokter itu tidak selalu menyenangkan, apalagi kalau dokternya adalah suami sendiri.
Bukan karena pekerjaannya yang melelahkan, tapi karena sebagian pasien-pasiennya itu bisa dibilang ... agh, entah. Tampaknya bukan kapasitasku untuk menjustifikasi orang lain, lagi pula pasien aneh seperti Bu Farah syukurnya hanya beberapa. Aku berharap besok tidak ada lagi.Yakin? Enggak juga sih. Dengan keramahan dan kesupelan seorang Alfa, aku ragu kalau pasien wanita enggak betah.Harus diakui Mas Alfa ini tipe lelaki yang bisa membuat wanita bisa jatuh cinta hanya dalam pandangan pertama."Zel, sudah tidak ada pasien lagi, ya?" tanya Mas Alfa ketika pasien terakhir keluar.Lelaki itu menghembuskan napas lega lalu melepaskan snellinya. Kasian sekali, pasti dia sangat kelelahan.Kalau aku jadi dia, aku pasti minta pindah praktek saja. Soalnya, pertanyaan para pasien-nya itu loh, bikin naik darah."Iya, Dok, sudah sepertinya. Soalnya filenya udah gak ada," jawabku sambil melihat berkas.Tak mau mengulur waktu pulang. Aku pun langsung sibuk merapikan ruangan."Zela!""Iya, Dok?" sahutku tanpa melihatnya."Panggil saya, 'Mas'. Saya 'suami'-mu ketika gak ada pasien."Deg. Aktivitas tanganku langsung berhenti ketika Mas Alfa menekankah kata 'suami', sontak aku menolehkan kepala ke arah lelaki yang kini sedang berdiri menyandarkan badan ke meja sambil melipat tangan di depan dada.Dia memiringkan bibirnya sambil memandangku lekat dan itu membuat lonjakan dalam dadaku semakin intens.Oh Tuhan! Jantungku bisa enggak sih biasa aja?"Heum, iya, maaf, Mas," jawabku gugup. Anehnya, saat ini mataku tak bisa mengalihkan fokus dari tatapan Mas Alfa.Bola matanya yang berwarna coklat gelap, kurasakan sudah membius semakin dalam.Canggung. Kami pun diam, saling bertatapan lalu sama-sama berdehem, entah kenapa.Apakah dia gugup juga sepertiku?"Kamu capek, ya?" tanyanya mengalihkan bahasan."Ehm ... lumayan, tapi aku senang kok," ujarku, melempar senyum."Maaf ya ngerepotin, sebenernya gak enak minta bantuan kamu, tapi mau gimana lagi. Jadi ... terima kasih, ya?" ucapnya terdengar tulus.Aku tak langsung menjawab, karena sibuk menetralkan debar di dada."Zela? Makasih, ya?" ulang Mas Alfa tampak bingung karena aku masih diam."Oh, iya, gak apa-apa Mas, santai ...."Deert. Deerrt.Bersamaan dengan selesainya obrolan 'awkward' kami, ponsel di saku ini tiba-tiba bergetar. Bergegas aku melihat siapa yang menelepon."Mamah?" Mataku menyipit melihat nama yang tertera di sana. Tumben Mamah menghubungiku semalam ini, padahal sudah jam 10.00 malam."Halo, Assalammu'alaikum. Mah?" sapaku pada Mamah. Berharap dia akan bertanya tentang kabarku, di mana ini adalah hari pertama anaknya bekerja juga menjadi istri."W*'alaikumsalam. Zela, Alfa ada?" Suara Mamah terdengar bergetar, seolah sedang diburu sesuatu."Ada, Mah. Kenapa?"Entah kenapa firasatku buruk, mengenai telepon Mamah kali ini."Zel, Kakakmu sesak napas. Mamah butuh kalian. Bisa ke sini sekarang?"Aku tersentak. Mbak Resa sesak napas?"Zela!" sentak Mamah. Selalu seperti ini, Mamah akan langsung berubah sangar jika berkenaan dengan kesehatan Mbak Resa."Iya, Mah, ada. Kami akan ke sana sekarang," jawabku cepat seraya reflek menutup telepon."Mas!" panggilku pada lelaki berkemeja slim fit itu."Iya, Zel?""Mbak Resa sakit."(***)Bolehkah aku cemburu pada Kakakku sendiri? Belum sembuh luka di dalam hati, karena dikhianati olehnya kini aku pun harus menyaksikan pemandangan yang memerihkan mata.Tak dapat kupungkiri, perasaan kepada Yoga belum sepenuhnya hilang. Melihatnya dia duduk di samping Mbak Resa dengan wajah cemas, melunturkan keyakinan kalau Yoga masih menyayangiku.Lalu, untuk apa dia mendatangiku tadi pagi?Perih.Aku mengatupkan kelopak mataku yang sudah basah. Rasa iri di dalam hati pada Mbak Resa, setengah mati aku tekan karena harus kuakui sejak dulu, dia sudah mendapatkan semua perhatian dari orang-orang di sekelilingku. Tapi, aku? Tidak!Bahkan, Mas Alfa pun kini tampak khusu memperhatikan pasiennya. Aku jadi penasaran, apakah hatinya baik-baik saja?"Itu karena dia lagi sakit, Zela! Kamu harus sadar! Dia lagi hamil! Wajar Alfa melakukan tugasnya ... sabar!" gumamku bermonolog.Setelah menenangkan diri sendiri, aku pun menghembuskan napas untuk membuat dadaku lebih nyaman.Aku tak tahu pasti, entah berapa lama aku hanya bisa mematung di ambang pintu kamar Mbak Resa sambil menatap ke dalam, rasanya kaki ini begitu berat untuk mendekat."Zela!" Panggilan Mbak Resa membuat semua orang sontak melihat ke arahku. Termasuk Mas Alfa, dia menatapku sekilas sebelum kembali khusu pada resep yang sedang dia tulis."Zela! Ayo, masuk sini!" tegur Mamah.Aku langsung menggelengkan kepala."Ma-maaf, Mah, aku di luar saja. Takut ganggu, tadi aku hanya khawatir sekarang aku ....""Sudah! Masuk saja Zel, gak apa-apa, Mbak sekalian ingin ngobrol sama kamu. Mbak kangen," ujar Mbak Resa sedikit memelas, membuatku tak bisa menolak."Baiklah."(***)"Kamu apa kabar? Katanya kamu sekarang jadi asisten pribadi Mas Alfa, ya?" tanya Mbak Resa dengan wajah yang memucat.Dia memandangku dengan mata penuh kesedihan, sementara tak ada yang bisa kulakukan selain duduk di pinggir ranjang dengan kepala tertunduk.Tak ada yang tahu, kalau aku setengah mati menahan diri untuk tak mengumpat pada Mbak Resa yang ternyata tak sakit apa-apa ini. Dia hanya stress, psikosomatisnya kambuh dan dia hanya ingin diperiksa Mas Alfa."Benar, ya, Zel?" ulang Mbak Resa sembari memiringkan kepalanya untuk bisa melihat wajahku, tapi aku membuang muka."Iya, Mbak. Sekarang aku kerja di poli Mas Alfa," jawabku enggan."Baguslah ... Mbak ikut senang, Mas Alfa memang lelaki yang baik. Dia tidak akan melukaimu karena dia lelaki yang penyayang.Ah, jika waktu bisa diputar pun Mbak gak akan meninggalkannya, karena Mbak masih sayang sama Alfa, tapi tampaknya Alfa sudah benci sama Mbak. Mbak memang salah, tak seharusnya khilaf," ujar Mbak Resa seraya mencuri pandang ke arah suamiku yang sedang mengobrol dengan Yoga di luar kamar sana.Menyaksikan kelakuan Mbak Resa yang tampak tak merasa bersalah, aku pun menggigit bibir dengan kuat. Rasanya dadaku panas mendengar dia memuji Mas Alfa. Bukan apa-apa, tapi dia tak punya hak untuk itu dan juga dia tak punya hak untuk sekedar menyimpan rasa pada Mas Alfa.Oh Tuhan! Tolong keluarkan aku dari situasi yang mencekik ini."Zel, maafkan Mbak ya, maaf telah mengkhianatimu juga Alfa. Tapi, tolong jaga Alfa, Mbak khawatir dia tidak bahagia sama kamu."Jleb. Seketika saja seolah ada tusukan pedang yang menembus jantung saat kudengar pertanyaan itu dari Mbak Resa.Rasanya, baru kali ini aku merasa ucapan Mbak Resa sangat-sangat keterlaluan. Bagaimana mungkin dia bisa meragukan pernikahan orang lain? Sementara pernikahan sendiri di ujung tanduk?"Maksudnya Mbak, apa?" Sontak aku menolehkan kepala dan memandang Mbak Resa tajam. Aku hanya ingin dia tahu, perkataannya melukaiku.Mbak Resa menyeka air mata yang menggenang di sudut matanya."Mbak gak ada maksud apa-apa. Mbak hanya ingin bilang, seandainya kamu tak menginginkan Alfa jangan biarkan dia tersakiti. Jadi, Mbak mau ngasih kamu tips, bagaimana menjaga Alfa. Dia itu sangat senang dimasaki nasi goreng, dia memang agak pendiam, tapi sebenarnya perhatian terus dia juga tampan jika tersenyum....""Astaghfirullah! Mbak cukup! Hentikan!"Lolos. Ya, bentakanku akhirnya lolos juga.Kali ini aku merasa Mbak Resa sudah melewati batasnya. Bagaimana dia memuji dan memberi saran seperti itu padaku? Apa dia sadar Yoga-lah yang harus dia perdulikan? Bukannya Mas Alfa.Aku paham dia lebih lama mengenal Mas Alfa, tapi itu bukan kapasitasnya lagi untuk sok tahu. Karena, dalam kasus ini dia bahkan sudah lebih menyakiti kami atas pengkhianatannya.Mbak Resa tampaknya marah, setelah aku bentak. Dia pun melayangkan pandangan tajam ke arahku."Kok, kamu bentak Mbak? Mbak, hanya ingin kalian bahagia. Mbak gak mau kamu salah dalam melayani Alfa!" sentak Mbak Resa seakan dia yang paling benar. Padahal dialah yang paling menyakiti Mas Alfa.Tanpa sadar air mataku tiba-tiba saja lolos ke permukaan. Ini yang kutakutkan atas pernikahan ini, Mbak Resa akan tetap merongrong kami sekali pun dia sudah menjadi mantan kekasih suamiku.Sakit. Bukan karena cemburu, tapi ini harga diri."Mbak! Maaf, dengar ya, sekali pun aku menikah dengan Mas Alfa hanya karena terpaksa, bagi aku dia tetap imam yang harus kuhormati. Mbak jangan khawatirkan bagaimana dengan Mas Alfa. Karena itu urusan aku! Ingat, suami Mbak adalah Yoga, sementara Mas Alfa ...." Aku mengambil napas sejenak,"dia suamiku, bagaimana cara aku melayaninya. Itu urusanku!"Seusai menegaskan apa yang kurasakan, aku pun langsung bergegas pergi dari kamar Mbak Resa dengan membawa luka.(***)Menangis. Itulah caraku untuk menetralkan sesak di dada.Aku selalu bertanya, apakah benar aku anak dari keluarga ini? Kenapa Mamah dan Mbak Resa seperti tak menyukaiku? Kenapa Mbak Resa selalu ingin mendominasi hidupku?Bisakah, aku memiliki lagi seseorang yang memahamiku seperti Ayah?Agh, Ayah! Seandainya dia masih ada."Belum tidur?" tanya Mas Alfa. Saat dia baru masuk ke dalam kamar.Sepertinya dia baru beres mandi. Malam ini kami memutuskan menginap di paviliun yang letaknya tidak jauh dari rumah Mamah karena sudah kemalaman untuk kembali ke apartemen.Aku menggeleng pelan, sambil menyeka air mata yang perlahan turun ke pipi."Kamu nangis lagi, ya? Kenapa?" tanyanya sambil duduk di pinggir ranjang menghampiriku yang sejak tadi duduk di atas ranjang dengan wajah sembab."Gak apa-apa, mungkin kelilipan debu," elakku."Heum ... debu? Masa? Karena ucapan Resa, ya?" Pertanyaan Mas Alfa sukses membuatku mengangkat kepala untuk menatapnya."Loh, Mas, tahu?" tanyaku kaget.Seulas senyum terukir di wajahnya, lalu dia menghadapkan badannya lurus ke arahku."Tahu," jawabnya singkat dengan wajah datar."Semuanya tahu? Tentang obrolan aku sama Mbak Resa?""Iya, saya dengar semuanya, karena saat itu saya masih di depan kamar."Aku mendengkus kesal melihat ekspresinya. Dia memang begitu dingin, harusnya kalau tahu dia menghiburku. Ini mah biasa saja."Kalau tahu, terus gimana? Mas, seneng ya, masih disukai mantan? Sampai aku dikasih tips pula, gimana cara melayani Mas. Ish! Emang sih, aku ini masih bocah, tapi aku ini istri Mas yang sah," cerocosku tanpa rem karena masih merasa kesal.Lihat saja! Yang dibelanya saja enggak peka.Mas Alfa hanya tersenyum tipis melihat tingkahku yang mencak-mencak enggak jelas. Tanpa kuduga dia tiba-tiba meletakkan telapak tangannya di puncak kepala dan mengusap rambutku berulang kali."Zel! Maaf, saya memang gak tahu harus bersikap gimana menanggapi perhatian Resa sama saya. Tapi, yang pasti sekarang saya tahu, siapa wanita yang akan saya jaga hatinya dan itu bukan Resa," ucap Mas Alfa seraya menatap lekat, membuat pipiku sontak menghangat.Oh Tuhan! Mendengar ucapannya Mas Alfa barusan, kok, rasanya seperti aku jadi Iron Man, ya?TBC.===Sejak kecil, aku memang terbiasa diremehkan. Aku juga sudah biasa dipandang sebelah mata oleh mereka yang seharusnya menjadi pelindungku, karena Mamah akan lebih memperhatikan Mbak Resa dengan alasan Mbak Resa lebih segalanya dari aku. Mbak Resa lebih cantik, lebih pintar dan lebih disukai banyak orang.Maka sudah nggak aneh, jika sekarang Mbak Resa mungkin berpikir aku tak pantas untuk Mas Alfa, terlepas dari dosa Mbak Resa sendiri yang menyakiti lelaki itu. Sakit tapi enggak berdarah.Nyesek banget gak, sih? Ketika seharusnya keluarga adalah tempat ternyaman bagiku untuk bersandar, fakta yang ada sungguh menyakitkan.Namun, untungnya, di antara semua kesakitan yang ada, almarhum Ayah memberikanku bahunya untuk sekedar melepas lelah sehingga meski dunia seolah tak menginginkan, aku bisa tumbuh menjadi wanita yang lebih kuat. "Eheum!" Aku berdehem untuk menetralkan sesak yang terus menyeruak.Entah ke berapa kali, tan
Sepertinya aku keracunan. Iya, keracunan sikap Mas Alfa yang terlalu banyak mengandung zat adiktif yang berbahaya bagi jantungku.Baru beberapa hari menjadi istrinya saja, jantung ini sudah dibuat kembang-kempis.Bagaimana jika setahun? Ya, ockay lah aku paham dia mengatakan kata 'Sayang' untuk sekedar membantuku yang tersudut. Tapi, kenapa harus sejauh itu?Lalu, anehnya, kenapa juga setelah pulang dari rumah Bu Imel dia sama sekali tak membahas tentang panggilan, 'Sayang' yang dia ucapkan di depan keluarga kami?Apa panggilan itu sama sekali tidak berarti untuknya?Layaknya patung manusia yang diberi nyawa, dia kembali kaku. Sedang, aku hanya bisa menatapnya dan mencoba menerka-nerka isi kepala Mas Alfa.Hal ini tentu membuatku gelisah enggak jelas dan hasilnya aku pun mengalami insomnia semalaman. Sampai-sampai aku baru bisa tidur setelah jam Cinderella selesai.Ngantuk.Sekuat tenaga aku menahan m
Kata orang, orang yang terlalu baik dan bodoh itu beda tipis. Orang terlalu baik biasanya gampang dibodohi. Mungkin itulah yang terjadi pada kasusku, mungkin bisa jadi aku terlalu berprasangka baik ketika Mbak Resa mulai mengambil apa yang kumiliki sehingga ketika kehilangan aku mulai merasa menyesal.Aku bodoh. Ya, aku merasa bodoh. Setelah mendengar pengakuan Yoga kemarin, aku menarik kesimpulan, jika saja sebelumnya aku sedikit saja berani menarik Yoga dan melarangnya untuk sering berpergian dengan Mbak Resa mungkin ini tak akan terjadi. Jika saja, aku tidak terlalu sibuk dan membiarkan Mbak Resa masuk lebih dalam, bisa jadi tidak akan ada yang tersakiti.Agh, tapi percuma. Sekali pun aku merutuki takdir, tetap saja semua tidak berubah. Yoga tetap harus menerima kesalahannya, terlepas dari apa pun alasannya. Sementara aku, hanya perlu melanjutkan hidup dengan lelaki dingin berhati baik bernama Alfa.Namun, meski dingin, sejujurnya dalam hati i
Dulu sewaktu Ayahku masih ada, almarhum selalu bilang kalau ada sesuatu yang enggak berjalan sesuai harapan, tidak perlu kita menyalahkan takdir karena bisa jadi itu yang terbaik untuk kita.Kurasa itu ada benarnya, setelah beberapa waktu berjalan kini aku mulai memahami betapa beruntungnya aku menjadi istri seorang Alfa. Ya ... walau terkadang dia itu jutek, menyebalkan, kalau ngomong pedas dan satu lagi sok tahunya itu loh, bikin istighfar.Masa Mas Alfa bilang kalau dia tahu ukuran braku? Ish, songong deh, pernah melihat juga enggak. Eh, tapi, apa mungkin dia bisa memperkirakan, ya? Haduh! Bisa gawat. Pasti ini gara-gara tragedi lingerie itu.Ah, memalukan. Namun, terlepas dari sifat minusnya, bagiku dia tetap tempat ternyaman untuk sekarang karena sikapnya yang dewasa membuatku seolah menemukan pengganti Ayah yang telah pergi.Lagi pula, semua hal tidak ada yang sempurna, bukan? Kalau mau menikah dengan yang sempurna, dijam
Mau dipikir berapa kali pun rasanya ini tidak mungkin. Bagaimana mungkin mertuaku sendiri berselingkuh dengan Mbak Resa? Sadis. Terlalu sadis. Sebab, jika apa yang kulihat itu benar tentang mereka. Berarti bukan hanya aku, Mas Alfa dan Yoga saja yang terluka tapi Mamah dan Bu Imel pun akan merasakan hal yang sama. Bisa-bisa keharmonisan tiga keluarga akan terancam.Jujur, aku tidak bisa membayangkan semarah dan sesakit apa Bu Imel jika dia tahu, Kakak ipar anaknya berselingkuh dengan suaminya sendiri dan bukan itu saja bisa jadi kekecewaan akan menjadi boomerang paling pahit bagi kami semua.Merasa dikhianati.Aku pun tidak bisa memprediksi bagaimana perasaan Mas Alfa jika nanti dia tahu bahwa ayah yang dicintainya selingkuh dengan kekasih yang selama ini dia jaga?Hancur. Ya, perasaannya pasti hancur.Agh, kenapa mereka tega? Kenapa mereka harus mengorbankan kami yang tak tahu apa-apa.
Seperti orang yang terlahir kembali. Hari ini, entah kenapa aku sangat bersemangat sekali. Setelah aku sakit dan beristirahat sehari, wajahku tampak lebih berseri-seri.Mungkinkah ini gara-gara ciuman yang tak sengaja itu? Sampai-sampai di mana pun yang kulihat hanya wajah Mas Alfa dengan bibir indah nan cipok-able tersebut.Astaghfirullah! Sudah kuduga, memiliki suami seperti Mas Alfa itu berat godaannya.Sabar Zela, sabar.Mau bagaimana pun perasaan hati ingin menghindar, ternyata aku tetap saja akan balik lagi terjebak pesona seorang Alfa.Kuakui, Mas Alfa itu memang layaknya zat adiktif level hot yang membuatku sulit berhenti memikirkannya, karena semua tentangnya telah menjadi fokus utama.Namun, meski aku sangat bahagia sekarang, tentu saja kemajuan dalam hubungan kami ini masih belum bisa membuatku lega. Bayangan tentang perselingkuhan Mbak Resa dan Pak Bayu masih menjadi pertan
Aku anak pembawa sial. Begitulah Mamah yang aku hormati menistakanku.Sakit, sangat sakit. Seolah hatiku ditumbuk oleh ribuan batu besar hingga pecah berkeping-keping. Tak pernah terbayangkan, aku akan mengalami nasib sehina ini.Kukira itu hanyalah stigma yang beredar di masyarakat, tapi nahasnya kini itu melekat padaku.Masih teringat saat dulu, Ayah memang pernah bilang kalau aku harus lebih kuat dari siapa pun karena hidup ini keras. Namun, tak kusangka akan sekeras ini.Sakit. Perih. Hancur. Seolah di dalam sini ada luka yang bernanah lalu disiram dengan air garam. Aku tak tahu harus tertawa atau menangis, karena saking kebasnya dilukai.Aku rapuh. Aku terluka dan aku sesak. Aku harus tahu kenapa keluargaku sangat membenciku.Petang ini, aku ijin pada Mas Alfa untuk pulang terlambat dan akan kembali secepatnya. Aku harus berkunjung ke rumah Nenek di mana di sana ada makam Ayahku juga. Aku yakin Nenek tahu apa yang
POV ALFA Aku tak perduli sama sekali jika ada yang berpikir kalau aku terlalu berlebihan membela Azela. Aku tak perduli jika aku dikira menikahi anak pembawa sial dari kalangan keluarga Raharja. Aku pun tidak perduli kalau aku disebut telah berubah karena kehilangan keramahanku yang biasa kutunjukkan pada pasien. Lalu, aku juga tidak perduli jika nanti akan banyak tantangan yang harus kulewati demi menggenggam tangannya erat karena aku tahu gadis ini begitu banyak mengalami luka. Jika bukan aku yang menjaganya sebagai imam, maka siapa? "Mas Alfa ...." Zela memanggil namaku lemah kala kami sudah sampai di parkiran. "Heum?" Aku menggumam menanggapi panggilannya sembari berhenti, mengecek kondisi Azela. Otakku jelas memahami gadis itu pasti sangat syok setelah pertengkaran yang terjadi antara dia dan Resa. Sesungguhnya, aku baru pertama kali melihat gadis itu membela diri karena selama ini dia hanya bungkam dan
Sebulan kemudian."Senangnya dalam hati, kalau bersuami kaya. Oh dunia, serasa aku yang punya cikicik ... asyik-asyik Jos!""Eh, bentar! Kok aku jadi nyanyi begituan, ya?"Gue terkekeh kecil mengingat lagu apa yang sedang gue senandungkan sekarang ini. Mengingat kalau hari ini kami ada di Singapura tak ayal membuat wajah gue terus tersenyum merekah dan menyanyi tanpa henti.Seperti yang sudah dibahas tempo hari, setelah kami melakukan klarifikasi di sekolah dan membuat Alina juga Januar berurusan dengan hukum karena kelakuannya yang telah melakukan perbuatan tidak menyenangkan dan pencemaran nama baik, kami pun melakukan honeymoon untuk kesekian kali.Ohoo! Jujur, sebenarnya ini bukan kali pertama kami menginjakkan kaki di Singapura, semenjak resmi jadi pasangan sungguhan kerjaan Pak Zian bawa gue ke sini mulu. Katanya dia ingin nostalgia karena waktu kecil pernah tinggal di sini sekaligus honeymoon yang sekarang kayaknya bakal rada lama karena kami ingin merayakan berhasilnya membuat
Selepas mendengar indo dari Pak Zian kalau Alina telah memfitnahnya gue langsung mengecek kondisi sekolah, jika info tentang Pak Zian sampai di rumah sakit pastinya ke sekolah pun ada rumor tersebut. Nyatanya yang gue takutkan terjadi. Sesuai dugaan, ketika gue sampai di sekolah tiba-tiba Pak Joan dan Bu Hani yang tetap jadi sahabat gue langsung nyamperin. Mereka bilang di sekolah udah beredar kabar yang gak mengenakan yaitu katanya gue udah merebut Pak Zian dari Bu Alina dan katanya Pak Zian digosipkan mandul.Brengsek emang si Alina! Bisa-bisanya dia menyebar info yang gak berdasar itu.Saking banyaknya gosip di luaran sampai-sampai gue bisa dengan jelas semua umpatan juga sindiran yang dilayangkan ke gue. Tapi, terlepas dari semua itu gue udah tahu ini adalah salah satu resiko yang harus dihadapi. Semenjak memutuskan untuk memberi Pak Zian kesempatan kedua gue merasa udah siap apa pun yang terjadi tapi sayangnya gue gak prediksi akan separah ini. Coba bayangkan aja, masa Alina bil
Pak Zian kecewa berat. Setelah gue mengatakan kalau hari ini gak jadi 'ena-ena' dia mematung bak manekin. Bibirnya yang sejak tadi udah nyosor-nyosor aja langsung ditarik menjauh."Apa? Tsan? Kamu kenapa?" tanyanya tercekat. Wajahnya yang sudah semangat 45 mendadak memucat. "Saya mens, Mas. Menstruasi," jawab gue lebih lugas. Takutnya dia terlalu syok hingga telinganya mengalami ganteng 'gangguan telinga'."Astaghfirullah!"Tubuh Pak Zian seketika mundur dengan frustasi sampai menyentuh dinding. "Jadi, kita gak bisa bikin anak? Jadi Mas, gak bisa ibadah syurga sekarang?" selanya seolah masih tak percaya. Gue menggelengkan kepala. "Enggak Mas, maaf yak. Seminggu lagi mungkin," jawab gue sambil menepuk punggungnya menyabarkan.Rasa penyesalan langsung menelusup tapi mau gimana lagi, masa dipaksakan? Kan gak mungkin. Dosa!Pak Zian membasahi bibirnya yang terlihat kering sambil berjalan lunglai ke arah tempat tidur. "Jadi, ide beriliannya gak bisa dilakukan sekarang, ya?" tanyanya ko
"Ma-maksud Bapak apa? Kenapa saya harus menjawab? Dan kenapa--""Jawab saja Tsan, jika saya suami kamu apakah kamu akan menerima saya?" tanya Pak Zian memutus ucapan gue dengan tatapan yang tajam seolah hendak membolongi kepala gue.Entah mengapa gue merasa dia bertanya seolah-olah sedang takut kehilangan dan ini membuat kecurigaan gue sama dia kian membesar.Melihat itu, gue mengepalkan tangan kuat. "Baiklah, saya akan jawab. Jika saya memiliki suami seperti Pak Zian mungkin saya ...." Gue menarik napas dalam sejenak, "akan menerimanya," jawab gue lirih.Mendapat jawaban itu dari gue, samar mata gue menangkap Pak Zian menghembuskan napas lega dan dia pun mencondongkan badan ke depan penuh perhatian. Seulas senyum terlukis di wajahnya yang tampan. "Alhamdullilah. Kalau begitu saya gak salah memilih istri. Kamu memang beda Tsan."Deg."Istri?" Gue sontak tercengang mendengar pernyataan Pak Zian. "Maksud Bapak apa? Kenapa menyebut istri? Jujur, Pak! Sebenarnya apa yang sedang terjadi?"
Pak Zian mengepalkan tangan sampai kukunya memutih karena sekuat tenaga menahan amarah. Kerut-kerut tajam mulai muncul di sudut mulut Pak Zian dan kulit pipinya menegang.Di saat membingungkan seperti sekarang. Jujur, gue tidak tahu apa yang harus dilakukan di tengah pertikaian keduanya sebab gue sendiri juga masih syok.Gue gak nyangka Bu Ayu bisa membongkar kebusukan Alina tepat di saat kami mau memasuki rumahnya.Gue bertanya-tanya. Haruskah sekarang gue jadi wasit? Atau ikut jadi pemain juga? Tapi, dibanding kena semprot gue memilih diam saja, auranya gak bagus buat ikut campur tapi honestly gue suka keributan ini.Sangat suka!Suruh siapa si kuntilanak itu ngambil kesempatan dalam kesempitan? Udah tahu dia yang selingkuh dan zina, masih mau berlaga polos dan merebut Pak Zian kembali lagi.Sekarang, rasakan akibatnya!"Mas, Mas, Ibu bohong! Janin ini milikmu, ini anakmu Mas!""Shut your fuckin mouth up, Alina! Berhenti bikin alasan! I told you, jika kamu memang selingkuh akui saja
Selama gue jadi menantu kalau diingat-ingat gue jarang banget pergi ke rumah mertua. Mungkin kedatangan gue buat berkunjung bisa dihitung dengan jari tapi kali ini gue rasa akan lebih sering bahkan gue bakal tinggal di sana. Sejujurnya, sampai detik ini gue masih tak percaya bahwa akhirnya gue akan menjadi istri yang gak dianggap. Gue masih ingat, dulu gue pergi ke rumah Bu Ayu--mertua gue sebagai istri yang ditunggu dengan digandeng Pak Zian tapi sekarang situasinya berbeda. Lelaki yang sebelumnya ada buat gue malah berada di samping mantan istrinya.Dan gue terpaksa menginjakan kaki di rumah ibu dengan status sebagai asisten di mata Pak Zian.'Huft! Miris sekali.' Gue menghembuskan napas dalam.Sepanjang perjalanan menuju ke rumah ibu mertua. Sejujurnya, gue ingin sekali cepat sampai tapi apa daya gue harus bersabar karena jalanan macet.Alhasil, dengan sangat terpaksa gue harus menjadi kambing congek selama ada di mobil Pak Zian. Setelah Alina memergoki kami di ruang inap VIP seb
"Saya menolak tawaran Mbak! Saya tidak mau Mbak jadi madu saya!""Kenapa? Apa salahnya? Coba kamu pikirkan Tsan, jika saya jadi istri kedua Zian, kita bisa saling mengasihi selayaknya keluarga, kan? Kita berdua akan merawat Zian! Kita gak perlu berpura-pura!""Bullshit! Jangan berharap! Ingat Mbak, sebelum kejadian ini Mbak telah mengkhianatinya dan pikirkan bayi dalam perut Mbak sendiri! Paham?! Camkan! Sampai kapan pun saya gak akan membiarkan Mbak mengambil Mas Zian! Permisi!"Dan setelah mengatakan penolakan gue yang tegas pada Alina, tanpa menunggu jawaban si iblis betina itu, gue pun pergi tanpa menoleh lagi.Gue bertekad gak akan membiarkan dia mengambil kesempatan dalam sandiwara ini.Never!(***)Gue mendesah mengingat percakapan beberapa hari yang lalu dengan Alina di kantin. Jujur, gara-gara tawaran gila tersebut sampai sekarang gue masih punya amarah yang belum terlampiaskan. Akibatnya, malam ini mata gue malas terpejam. Padahal waktu sudah menunjukan pukul satu dini hari.
Gue tahu bahwa dalam setiap kehidupan itu selalu ada perjuangan. Gue juga tahu kalau gak setiap hal sesuai keinginan tapi kali ini takdir sepenuhnya udah bikin gue serasa dihempaskan ke lembah terdalam.Gue berjalan gontai di sepanjang lorong rumah sakit, usai pembicaraan panjang dengan mertua, gue pun udah punya keputusan yaitu mulai hari ini gue harus berpura-pura menjadi 'orang lain' bagi Pak Zian. Meski perih gue harus sanggup sampai suami gue mampu mengingat semuanya.Namun, masalahnya sampai kapan gue bisa bertahan? Sampai kapan? Sementara membayangkan Alina ada di samping Pak Zian aja udah bikin gue sakit apalagi mengakuinya sebagai istri. Ah, gue akuin ini emang berat, tetap aja gue gak mau menyerah. Gue mau tetap berada di samping Pak Zian seperti dia mencintai gue sebelumnya.Selepas sepuluh menit berjalan di sepanjang lorong tanpa terasa kaki gue yang lemah udah mengantarkan badan ini sampai ke depan ruangan Pak Zian.Gue menarik napas dalam dan hendak memasang wajah yang
Amnesia? Gimana bisa Pak Zian mengalami amnesia? Kenapa Mas Tsabit bilang dia gak mengenal gue?Agh, shit! Gue gak percaya. Mustahil suami gue bisa melupakan gue gitu aja.Gue mendesis lelah sepanjang perjalanan menuju ruang rawat VIP yang menjadi tempat di mana Pak Zian kini dirawat. Kata Mas Tsabit di telepon tadi, suami gue diputuskan pindah ke sana sesuai arahan dokter karena keadaannya berangsur pulih.Sampai di depan pintu, entah kenapa kaki ini jadi ragu untuk melangkah. Gue merasa ada ketakutan yang tiba-tiba menelusup dan membuat gue ingin kabur. Namun, ini bukan waktunya untuk melarikan diri karena gue ingin menemuinya.Gue senang dia sadar. Itu yang lebih penting dari apa pun. Gue rindu!"Mas Zian ...."Cklek.Gue membuka perlahan pintu yang tertutup. Di dalam ruangan terlihat seorang tengah berbaring dengan kaki yang digips, tangan dan kepala yang diperban persis mumi yang baru saja bangkit. Gue tercenung, mata kami beradu pandang pertama kali. "ADEK PENOLONG!?" Pak Zia