Yoga berkata itu bukan anaknya. Lalu, anak siapa? Anak Mas Alfa? Atau anak tetangga sebelah?
Gila! Dia pikir kehamilan seseorang bisa dibuat mainan kayak begitu, ya?Mbak Resa itu Kakakku, sekali pun aku tidak tahu apa yang dibuatnya di luar sana, tapi bukankah terlalu picik jika berpikir dia seorang perempuan yang ... ah, sudahlah!Merasa patah hati saja aku sudah cukup sulit. Sekarang, masih disuruh mikir siapa yang menghamili Kakakku? Melihat prosesnya saja enggak, ini masih disuruh menerka siapa bapaknya?Yoga, berengsek!Kuakui, aku memang sedang patah hati karena cinta matiku dikhianati, tapi aku enggak bodoh sehingga bisa-bisanya dengan mudah percaya akan perkataan dia yang meragukan.Sial! Benar-benar sial! Kenapa sih, aku harus berurusan dengan Yoga?Aku memutar sendok dengan malas di atas piring. Setelah dari rumah sakit, Mas Alfa tidak langsung membawaku ke rumah Mamah, katanya ini lebih baik untuk kesehatan jantung karena bagaimana pun kami butuh waktu menerima semua. Apalagi kabar mengatakan, di rumah Mamah lagi ada Yoga dan Mbak Resa. Bisa semaput jika aku bertemu mereka."Zela, ayo dimakan sayurnya. Kok, malah bengong?" teguran Bu Imel membuat aku sadar kalau sejak tadi, pikiranku sibuk sendiri.Padahal kami sedang makan siang di rumah keluarga Mas Alfa.Hanya ada aku, Mas Alfa, Bu Imel dan Pak Bayu di meja makan. Sepertinya, makan siang ini sengaja dibuat untuk kami."Oh, iya siap Tan, eh, Bu."Kebiasaan memanggil Tante membuatku kikuk di depan mertua, maklum kan, dulu dia bukan calon mertuaku. Merasa gugup. Kulirik lelaki di sebelahku yang tampaknya sama-sama tak minat makan.Kenapa, dia?Perasaan sejak tadi, semenjak aku duduk berdampingan dengan Mas Alfa, lelaki itu tetap tak bersuara.Apa dia mendengar obrolanku dan Yoga?Waduh! Gawat kalau begitu. Pasti sangat menyakitkan jika tahu wanita yang selama ini disayanginya ternyata sudah selingkuh dan entah dengan berapa orang. Belum jelas."Ayo, Sayang ... cobain deh, makanan ibu yang enak ini ... jangan liatin Alfa terus, bisa gugup dia nanti," ulang ibunya Mas Alfa lagi, karena melihatku malah sibuk mengamati anaknya.Ditegur kedua kalinya, tentu saja aku langsung merasa enggak enak."Eh, iya, Bu, hehehe ...," cengirku salah tingkah.Aku langsung menyendokkan sayur ke piring untuk menghormati masakan Ibu. Lalu, mulai melahap makanan dengan semangat.Benar kata orang, patah hati memang butuh tenaga, jadi aku harus makan yang banyak biar lupa sama info absurd Yoga."Jadi, gimana semalam?"Uhuk!Aku dan Mas Alfa langsung kompak terbatuk, sepertinya kami sama-sama tersedak.Benar-benar pertanyaan yang tak terduga. Kalau bisa diskip saja-lah, pertanyaan begini."Lancar, Bu," jawab Mas Alfa mewakili.Sekilas kulihat raut wajah Mas Alfa berubah bingung, tapi kemudian dia memandangku seperti memberi kode kalau kami harus berpura-pura.Iya, berpura-pura kalau aku sudah tidak perawan."Saya yakin mereka sudah melakukannya dengan baik. Iya, kan, Fa?" Tiba-tiba Pak Bayu menyela. Dia mengedipkan mata pada Mas Alfa yang masih mencoba memasang wajah baik-baik saja."Benar begitu? Wah, alhamdullilah. Ibu, gak perlu khawatir lagi sama kamu ... Fa.""Loh, kenapa khawatir, Bu?"Tak bisa kucegah mulutku nyelonong sendiri tanpa rem. Penasaran, maksud mertuaku berbicara begitu."Iya, kan, Alfa itu orangnya kaku. Dulu saja, kalau gak dipaksa mana mau dia dijodohkan. Iya, kan?" sindir ibunya membuat Mas Alfa hanya melengos tak perduli."Sudah ah, jangan dibahas Bu. Alfa tuh lagi bingung dia asistennya mengundurkan diri," ujar Pak Bayu membela anaknya."Mengundurkan diri?" Kompak aku dan Bu Imel bersuara, merasa kaget ternyata alasan Mas Alfa diam adalah masalah pekerjaan.Untunglah, bukan karena omongan Yoga."Benar begitu, Fa? Si Inces mengundurkan diri?" tanya Bu Imel kaget.Aku yang tidak mengerti masalahnya memilih untuk diam. Namun, aku tahu kalau mereka membahas klinik tempat Mas Alfa buka praktek selain di rumah sakit.Mas Alfa menarik napasnya dalam. Lalu, meminum air putihnya pelan."Iya, Bu, sekarang Alfa lagi bingung nyari penggantinya, padahal pasien sudah banyak. Gak mungkin jika Alfa ngerekap riwayat pasien dan manggil sendirian, belum lagi kalau ada tindakan yang perlu dilakukan perawat," jawab Mas Alfa dengan nada bingung."Heum ...." Bu Imel bergumam, sambil memandangku.Aku yang merasa dipandang, langsung mengerjapkan mata.Kenapa, Bu Imel memandangku? Apa salahku?"Ibu ada ide, Fa, gimana kalau Zela, aja? Bukannya Zela juga baru lulus kuliah keperawatan?"Mati aku.Aku sontak melotot. Hell no!Jadi asisten Mas Alfa? Ogah! Jika aku jadi asisten, kami akan sering bertemu dan itu enggak bagus bagi hatiku.Cukup jadi istri pengganti, tidak lebih."Lah, iya, ya, kenapa gak Zela aja? Kan, kalau jadi asisten pribadi gini gak masalah, karena klinik ini bukan di rumah sakit. Gimana, Zel? Bagus kan, kamu juga jadi ada kegiatan? Paling enggak bantu selama Alfa belum menemukan pengganti Inces, ini darurat loh ...," ujar Pak Bayu-ayah mertua yang juga seorang dokter seolah mendukungku untuk menjadi asisten Mas Alfa.Aku terdiam sejenak. Melihat ketiga orang yang sedang melihatku dengan tatapan berharap, membuatku merasa tak enak.Apalagi, saat Mas Alfa menatapku dengan tatapan yang membuat jantung ini berdetak kencang, beuh! Aku makin enggak enak."Gimana, Zel? Kamu mau bantu saya?" tanya pria itu dengan nada butuh pertolongan."Ehm ... gimana, ya? Ehm ...."Aku memutar bola mata dengan ragu. Sebenarnya, aku pun butuh pekerjaan, karena setelah insiden Yoga. Aku bahkan tidak ada energi untuk mencari pekerjaan atau melamar ke rumah sakit."Mudah kok, sebenarnya gak perlu repot. Karena di tempat praktek sendiri, kamu hanya perlu menulis dan memanggil pasien. Kalau pun ada tindakan, sepertinya masih standar kayak anamnesa, cek kondisi vital dan ....""Oke. Baiklah. Insya allah Zela mau," jawabku memotong ucapan Mas Alfa."Alhamdullilah ...," seru Bu Imel dan Pak Bayu berbarengan.Sementara, Mas Alfa hanya tersenyum simpul seraya mengucapkan terima kasih tanpa tahu aku pun masih ragu.Bisakah aku bersikap profesional jika di dekatnya?(***)Enggak di rumah sakit, enggak di klinik yayasan, pasien suamiku tetap saja banyak. Aku bahkan merasa kelelahan sekarang, melihat begitu banyaknya orang yang terus datang dan pergi.Hari pertama saja udah ngos-ngosan. Apalagi dikerjakan setiap hari?Sebenarnya di klinik Afiyat ini, bukan hanya menyediakan satu layanan karena ini merupakan klinik yang didirikan oleh beberapa dokter untuk membuka praktek secara bersama-sama. Anehnya, meski di sini ada layanan pemeriksaan umum, gigi dan yang lainnya.Kalau aku boleh menganalisis. Seharian ini hanya penyakit dalam dan obgyn saja yang pasien wanitanya banyak. Jika obgyn banyak pasien wanita, aku enggak aneh tapi kalau penyakit dalam banyak wanita itu baru meragukan. Apalagi kalau dilihat sekilas kebanyakan pasien, cuman sakit biasa. Seperti sariawan misalnya, padahal itu bisa ke dokter umum.Apa sebesar itu aura seorang Alfa?Sampai-sampai asisten pribadinya saja mengundurkan diri karena alasan Mas Alfa sudah menikah dan pasien yang datang terkadang ajaib. Seperti ibu jambul yang sedang diperiksa Mas Alfa sekarang.Dari tadi, kalau ditanya keluhan dia selalu menjawab tidak to the point, bikin yang melihatnya esmosi untung sebagai dokter Mas Alfa memang sangat ramah.Eh, ramah atau tebar pesona? Entah."Baik Bu, jadi apa ada keluhan lagi? Tadi, soal penyakit hipertensi saran saya ibu kurangin saja makanan yang mengandung penyedap rasa tinggi, berkalori tinggi dan hindari kopi," jelas Mas Alfa kembali ke protap yang harus ia jalankan.Soalnya si ibu repot banget, dalam catatan perawat sebelumnya juga bilang kalau Bu Farah atau ibu jambul itu hampir setiap minggu ke sini, alasan sakitnya macam-macam padahal cuman ingin melihat dokter idamannya.Kalau aku jadi Mas Alfa, udah aku blokir kali pasien kayak begini, tapi dasar Mas Alfa terlewat ramah dan profesional, serese apa pun pasiennya lelaki tampan itu masih sabar saja menghadapi."Masih ada Dok, saya kayaknya juga insomnia, Dok.""Loh, kenapa, Bu? Kalau Bu Farah ingin terhindar dari darah tinggi, harus tidur Bu. Terus perbanyak olahraga dan makan makanan yang sehat.""Ih, Dokter, gimana saya mau tidur, orang saya kebayang wajah Dokter terus. Eh, maksudnya stres."Bruk!Tanpa sengaja aku menjatuhkan file yang kupegang ke lantai, setelah mendengar ucapan si Ibu.Oh Tuhan ... ujian apa lagi ini? Ada ya, seorang pasien menggoda dokter di depan istrinya seperti ini? Eh, tapi emang dia tahu aku istrinya?Ah, sadar Zela!"Kenapa, Zel? Kamu gak apa-apa?" tanya Mas Alfa seraya melihatku.Aku yang masih kaget, langsung saja mengambil file dengan gugup."Enggak apa-apa, Dok. Ini gak sengaja jatuh," jawabku sambil berdiri lagi.Mas Alfa kembali mengalihkan perhatiannya ke si Ibu centil."Stres? Jadi, ibu insomnia karena stres demikian, ya?""Iya, Dok, saya stres. Saya denger Dokter baru nikah, ya?" Bu Farah berbisik agak genit, tapi matanya yang terlihat kecewa tidak bisa ia sembunyikan.Mas Alfa dan aku sontak berpandangan. Ternyata inilah pehyebab si ibu merasa pusing dan hipertensinya kambuh.Enggak heran sih, menurut Mang Oding-OB, fans Mas Alfa itu memang beragam dan berbagai umur biasanya mereka ada yang janda dan single. Jadi, enggak aneh kalau wanita janda berumur 37 tahun di depanku ini tampak sangat penasaran atas kehidupan pribadi dokter idamannya."Nikah? Ehm, kenapa Ibu bertanya demikian?" tanya Mas Alfa seraya menahan senyumnya. Mungkin dia merasa, ini pertanyaan konyol."Ya, saya penasaran. Tolong Dok, biar saya tenang! Saya bela-belain loh, Dok ke sini, biar tahu jawabannya. Ayo, jawab Dok, biar saya gak insomnia lagi," bujuk si Ibu lagi dengan suara yang dibuat sedih.Mas Alfa tidak langsung menjawab, dia melirik aku yang juga memasang wajah bingung."Tapi Bu, maaf, kalau masalah itu tidak ada hubungan dengan per--""Iya, Dok, saya tahu. Tapi, saya ingin kejelasan. Biar saya tenang. Oh iya, ini ada Suster. Sus, Suster kan baru di sini ya, kata Suster sebelumnya Dokter Alfa sudah menikah, ya? Bener gak itu, Sus?" potong si Ibu mulai memprovokasiku yang sejak tadi memang memilih diam.Namun, belum sempat aku menjawab, Mas Alfa sudah lebih dulu menyela."Benar Bu, saya sudah menikah dan wanita yang Ibu panggil Suster itu adalah istri saya. Azela namanya," kata Mas Alfa seraya mendekatiku yang kaget karena diakui di depan pasien.Mendengar kenyataan pahit, si Ibu pun terlihat syok."Apaaa? Dia? Enggak salah?" Tunjuk si Ibu langsung ke arah hidung, sementara aku hanya bisa membelalakkan mata kaget dipelototi si Ibu.'Kenapa emangnya? Kalau berani sini maju! Kalau Ibu maju aku yang mundur.' Batinku sebal.TBC***Ternyata menjadi asisten dokter itu tidak selalu menyenangkan, apalagi kalau dokternya adalah suami sendiri.Bukan karena pekerjaannya yang melelahkan, tapi karena sebagian pasien-pasiennya itu bisa dibilang ... agh, entah. Tampaknya bukan kapasitasku untuk menjustifikasi orang lain, lagi pula pasien aneh seperti Bu Farah syukurnya hanya beberapa. Aku berharap besok tidak ada lagi.Yakin? Enggak juga sih. Dengan keramahan dan kesupelan seorang Alfa, aku ragu kalau pasien wanita enggak betah.Harus diakui Mas Alfa ini tipe lelaki yang bisa membuat wanita bisa jatuh cinta hanya dalam pandangan pertama."Zel, sudah tidak ada pasien lagi, ya?" tanya Mas Alfa ketika pasien terakhir keluar.Lelaki itu menghembuskan napas lega lalu melepaskan snellinya. Kasian sekali, pasti dia sangat kelelahan.Kalau aku jadi dia, aku pasti minta pindah praktek saja. Soalnya, pertanyaan para pasien-nya itu loh, bikin naik darah."Iya, Dok, sud
Sejak kecil, aku memang terbiasa diremehkan. Aku juga sudah biasa dipandang sebelah mata oleh mereka yang seharusnya menjadi pelindungku, karena Mamah akan lebih memperhatikan Mbak Resa dengan alasan Mbak Resa lebih segalanya dari aku. Mbak Resa lebih cantik, lebih pintar dan lebih disukai banyak orang.Maka sudah nggak aneh, jika sekarang Mbak Resa mungkin berpikir aku tak pantas untuk Mas Alfa, terlepas dari dosa Mbak Resa sendiri yang menyakiti lelaki itu. Sakit tapi enggak berdarah.Nyesek banget gak, sih? Ketika seharusnya keluarga adalah tempat ternyaman bagiku untuk bersandar, fakta yang ada sungguh menyakitkan.Namun, untungnya, di antara semua kesakitan yang ada, almarhum Ayah memberikanku bahunya untuk sekedar melepas lelah sehingga meski dunia seolah tak menginginkan, aku bisa tumbuh menjadi wanita yang lebih kuat. "Eheum!" Aku berdehem untuk menetralkan sesak yang terus menyeruak.Entah ke berapa kali, tan
Sepertinya aku keracunan. Iya, keracunan sikap Mas Alfa yang terlalu banyak mengandung zat adiktif yang berbahaya bagi jantungku.Baru beberapa hari menjadi istrinya saja, jantung ini sudah dibuat kembang-kempis.Bagaimana jika setahun? Ya, ockay lah aku paham dia mengatakan kata 'Sayang' untuk sekedar membantuku yang tersudut. Tapi, kenapa harus sejauh itu?Lalu, anehnya, kenapa juga setelah pulang dari rumah Bu Imel dia sama sekali tak membahas tentang panggilan, 'Sayang' yang dia ucapkan di depan keluarga kami?Apa panggilan itu sama sekali tidak berarti untuknya?Layaknya patung manusia yang diberi nyawa, dia kembali kaku. Sedang, aku hanya bisa menatapnya dan mencoba menerka-nerka isi kepala Mas Alfa.Hal ini tentu membuatku gelisah enggak jelas dan hasilnya aku pun mengalami insomnia semalaman. Sampai-sampai aku baru bisa tidur setelah jam Cinderella selesai.Ngantuk.Sekuat tenaga aku menahan m
Kata orang, orang yang terlalu baik dan bodoh itu beda tipis. Orang terlalu baik biasanya gampang dibodohi. Mungkin itulah yang terjadi pada kasusku, mungkin bisa jadi aku terlalu berprasangka baik ketika Mbak Resa mulai mengambil apa yang kumiliki sehingga ketika kehilangan aku mulai merasa menyesal.Aku bodoh. Ya, aku merasa bodoh. Setelah mendengar pengakuan Yoga kemarin, aku menarik kesimpulan, jika saja sebelumnya aku sedikit saja berani menarik Yoga dan melarangnya untuk sering berpergian dengan Mbak Resa mungkin ini tak akan terjadi. Jika saja, aku tidak terlalu sibuk dan membiarkan Mbak Resa masuk lebih dalam, bisa jadi tidak akan ada yang tersakiti.Agh, tapi percuma. Sekali pun aku merutuki takdir, tetap saja semua tidak berubah. Yoga tetap harus menerima kesalahannya, terlepas dari apa pun alasannya. Sementara aku, hanya perlu melanjutkan hidup dengan lelaki dingin berhati baik bernama Alfa.Namun, meski dingin, sejujurnya dalam hati i
Dulu sewaktu Ayahku masih ada, almarhum selalu bilang kalau ada sesuatu yang enggak berjalan sesuai harapan, tidak perlu kita menyalahkan takdir karena bisa jadi itu yang terbaik untuk kita.Kurasa itu ada benarnya, setelah beberapa waktu berjalan kini aku mulai memahami betapa beruntungnya aku menjadi istri seorang Alfa. Ya ... walau terkadang dia itu jutek, menyebalkan, kalau ngomong pedas dan satu lagi sok tahunya itu loh, bikin istighfar.Masa Mas Alfa bilang kalau dia tahu ukuran braku? Ish, songong deh, pernah melihat juga enggak. Eh, tapi, apa mungkin dia bisa memperkirakan, ya? Haduh! Bisa gawat. Pasti ini gara-gara tragedi lingerie itu.Ah, memalukan. Namun, terlepas dari sifat minusnya, bagiku dia tetap tempat ternyaman untuk sekarang karena sikapnya yang dewasa membuatku seolah menemukan pengganti Ayah yang telah pergi.Lagi pula, semua hal tidak ada yang sempurna, bukan? Kalau mau menikah dengan yang sempurna, dijam
Mau dipikir berapa kali pun rasanya ini tidak mungkin. Bagaimana mungkin mertuaku sendiri berselingkuh dengan Mbak Resa? Sadis. Terlalu sadis. Sebab, jika apa yang kulihat itu benar tentang mereka. Berarti bukan hanya aku, Mas Alfa dan Yoga saja yang terluka tapi Mamah dan Bu Imel pun akan merasakan hal yang sama. Bisa-bisa keharmonisan tiga keluarga akan terancam.Jujur, aku tidak bisa membayangkan semarah dan sesakit apa Bu Imel jika dia tahu, Kakak ipar anaknya berselingkuh dengan suaminya sendiri dan bukan itu saja bisa jadi kekecewaan akan menjadi boomerang paling pahit bagi kami semua.Merasa dikhianati.Aku pun tidak bisa memprediksi bagaimana perasaan Mas Alfa jika nanti dia tahu bahwa ayah yang dicintainya selingkuh dengan kekasih yang selama ini dia jaga?Hancur. Ya, perasaannya pasti hancur.Agh, kenapa mereka tega? Kenapa mereka harus mengorbankan kami yang tak tahu apa-apa.
Seperti orang yang terlahir kembali. Hari ini, entah kenapa aku sangat bersemangat sekali. Setelah aku sakit dan beristirahat sehari, wajahku tampak lebih berseri-seri.Mungkinkah ini gara-gara ciuman yang tak sengaja itu? Sampai-sampai di mana pun yang kulihat hanya wajah Mas Alfa dengan bibir indah nan cipok-able tersebut.Astaghfirullah! Sudah kuduga, memiliki suami seperti Mas Alfa itu berat godaannya.Sabar Zela, sabar.Mau bagaimana pun perasaan hati ingin menghindar, ternyata aku tetap saja akan balik lagi terjebak pesona seorang Alfa.Kuakui, Mas Alfa itu memang layaknya zat adiktif level hot yang membuatku sulit berhenti memikirkannya, karena semua tentangnya telah menjadi fokus utama.Namun, meski aku sangat bahagia sekarang, tentu saja kemajuan dalam hubungan kami ini masih belum bisa membuatku lega. Bayangan tentang perselingkuhan Mbak Resa dan Pak Bayu masih menjadi pertan
Aku anak pembawa sial. Begitulah Mamah yang aku hormati menistakanku.Sakit, sangat sakit. Seolah hatiku ditumbuk oleh ribuan batu besar hingga pecah berkeping-keping. Tak pernah terbayangkan, aku akan mengalami nasib sehina ini.Kukira itu hanyalah stigma yang beredar di masyarakat, tapi nahasnya kini itu melekat padaku.Masih teringat saat dulu, Ayah memang pernah bilang kalau aku harus lebih kuat dari siapa pun karena hidup ini keras. Namun, tak kusangka akan sekeras ini.Sakit. Perih. Hancur. Seolah di dalam sini ada luka yang bernanah lalu disiram dengan air garam. Aku tak tahu harus tertawa atau menangis, karena saking kebasnya dilukai.Aku rapuh. Aku terluka dan aku sesak. Aku harus tahu kenapa keluargaku sangat membenciku.Petang ini, aku ijin pada Mas Alfa untuk pulang terlambat dan akan kembali secepatnya. Aku harus berkunjung ke rumah Nenek di mana di sana ada makam Ayahku juga. Aku yakin Nenek tahu apa yang
Sebulan kemudian."Senangnya dalam hati, kalau bersuami kaya. Oh dunia, serasa aku yang punya cikicik ... asyik-asyik Jos!""Eh, bentar! Kok aku jadi nyanyi begituan, ya?"Gue terkekeh kecil mengingat lagu apa yang sedang gue senandungkan sekarang ini. Mengingat kalau hari ini kami ada di Singapura tak ayal membuat wajah gue terus tersenyum merekah dan menyanyi tanpa henti.Seperti yang sudah dibahas tempo hari, setelah kami melakukan klarifikasi di sekolah dan membuat Alina juga Januar berurusan dengan hukum karena kelakuannya yang telah melakukan perbuatan tidak menyenangkan dan pencemaran nama baik, kami pun melakukan honeymoon untuk kesekian kali.Ohoo! Jujur, sebenarnya ini bukan kali pertama kami menginjakkan kaki di Singapura, semenjak resmi jadi pasangan sungguhan kerjaan Pak Zian bawa gue ke sini mulu. Katanya dia ingin nostalgia karena waktu kecil pernah tinggal di sini sekaligus honeymoon yang sekarang kayaknya bakal rada lama karena kami ingin merayakan berhasilnya membuat
Selepas mendengar indo dari Pak Zian kalau Alina telah memfitnahnya gue langsung mengecek kondisi sekolah, jika info tentang Pak Zian sampai di rumah sakit pastinya ke sekolah pun ada rumor tersebut. Nyatanya yang gue takutkan terjadi. Sesuai dugaan, ketika gue sampai di sekolah tiba-tiba Pak Joan dan Bu Hani yang tetap jadi sahabat gue langsung nyamperin. Mereka bilang di sekolah udah beredar kabar yang gak mengenakan yaitu katanya gue udah merebut Pak Zian dari Bu Alina dan katanya Pak Zian digosipkan mandul.Brengsek emang si Alina! Bisa-bisanya dia menyebar info yang gak berdasar itu.Saking banyaknya gosip di luaran sampai-sampai gue bisa dengan jelas semua umpatan juga sindiran yang dilayangkan ke gue. Tapi, terlepas dari semua itu gue udah tahu ini adalah salah satu resiko yang harus dihadapi. Semenjak memutuskan untuk memberi Pak Zian kesempatan kedua gue merasa udah siap apa pun yang terjadi tapi sayangnya gue gak prediksi akan separah ini. Coba bayangkan aja, masa Alina bil
Pak Zian kecewa berat. Setelah gue mengatakan kalau hari ini gak jadi 'ena-ena' dia mematung bak manekin. Bibirnya yang sejak tadi udah nyosor-nyosor aja langsung ditarik menjauh."Apa? Tsan? Kamu kenapa?" tanyanya tercekat. Wajahnya yang sudah semangat 45 mendadak memucat. "Saya mens, Mas. Menstruasi," jawab gue lebih lugas. Takutnya dia terlalu syok hingga telinganya mengalami ganteng 'gangguan telinga'."Astaghfirullah!"Tubuh Pak Zian seketika mundur dengan frustasi sampai menyentuh dinding. "Jadi, kita gak bisa bikin anak? Jadi Mas, gak bisa ibadah syurga sekarang?" selanya seolah masih tak percaya. Gue menggelengkan kepala. "Enggak Mas, maaf yak. Seminggu lagi mungkin," jawab gue sambil menepuk punggungnya menyabarkan.Rasa penyesalan langsung menelusup tapi mau gimana lagi, masa dipaksakan? Kan gak mungkin. Dosa!Pak Zian membasahi bibirnya yang terlihat kering sambil berjalan lunglai ke arah tempat tidur. "Jadi, ide beriliannya gak bisa dilakukan sekarang, ya?" tanyanya ko
"Ma-maksud Bapak apa? Kenapa saya harus menjawab? Dan kenapa--""Jawab saja Tsan, jika saya suami kamu apakah kamu akan menerima saya?" tanya Pak Zian memutus ucapan gue dengan tatapan yang tajam seolah hendak membolongi kepala gue.Entah mengapa gue merasa dia bertanya seolah-olah sedang takut kehilangan dan ini membuat kecurigaan gue sama dia kian membesar.Melihat itu, gue mengepalkan tangan kuat. "Baiklah, saya akan jawab. Jika saya memiliki suami seperti Pak Zian mungkin saya ...." Gue menarik napas dalam sejenak, "akan menerimanya," jawab gue lirih.Mendapat jawaban itu dari gue, samar mata gue menangkap Pak Zian menghembuskan napas lega dan dia pun mencondongkan badan ke depan penuh perhatian. Seulas senyum terlukis di wajahnya yang tampan. "Alhamdullilah. Kalau begitu saya gak salah memilih istri. Kamu memang beda Tsan."Deg."Istri?" Gue sontak tercengang mendengar pernyataan Pak Zian. "Maksud Bapak apa? Kenapa menyebut istri? Jujur, Pak! Sebenarnya apa yang sedang terjadi?"
Pak Zian mengepalkan tangan sampai kukunya memutih karena sekuat tenaga menahan amarah. Kerut-kerut tajam mulai muncul di sudut mulut Pak Zian dan kulit pipinya menegang.Di saat membingungkan seperti sekarang. Jujur, gue tidak tahu apa yang harus dilakukan di tengah pertikaian keduanya sebab gue sendiri juga masih syok.Gue gak nyangka Bu Ayu bisa membongkar kebusukan Alina tepat di saat kami mau memasuki rumahnya.Gue bertanya-tanya. Haruskah sekarang gue jadi wasit? Atau ikut jadi pemain juga? Tapi, dibanding kena semprot gue memilih diam saja, auranya gak bagus buat ikut campur tapi honestly gue suka keributan ini.Sangat suka!Suruh siapa si kuntilanak itu ngambil kesempatan dalam kesempitan? Udah tahu dia yang selingkuh dan zina, masih mau berlaga polos dan merebut Pak Zian kembali lagi.Sekarang, rasakan akibatnya!"Mas, Mas, Ibu bohong! Janin ini milikmu, ini anakmu Mas!""Shut your fuckin mouth up, Alina! Berhenti bikin alasan! I told you, jika kamu memang selingkuh akui saja
Selama gue jadi menantu kalau diingat-ingat gue jarang banget pergi ke rumah mertua. Mungkin kedatangan gue buat berkunjung bisa dihitung dengan jari tapi kali ini gue rasa akan lebih sering bahkan gue bakal tinggal di sana. Sejujurnya, sampai detik ini gue masih tak percaya bahwa akhirnya gue akan menjadi istri yang gak dianggap. Gue masih ingat, dulu gue pergi ke rumah Bu Ayu--mertua gue sebagai istri yang ditunggu dengan digandeng Pak Zian tapi sekarang situasinya berbeda. Lelaki yang sebelumnya ada buat gue malah berada di samping mantan istrinya.Dan gue terpaksa menginjakan kaki di rumah ibu dengan status sebagai asisten di mata Pak Zian.'Huft! Miris sekali.' Gue menghembuskan napas dalam.Sepanjang perjalanan menuju ke rumah ibu mertua. Sejujurnya, gue ingin sekali cepat sampai tapi apa daya gue harus bersabar karena jalanan macet.Alhasil, dengan sangat terpaksa gue harus menjadi kambing congek selama ada di mobil Pak Zian. Setelah Alina memergoki kami di ruang inap VIP seb
"Saya menolak tawaran Mbak! Saya tidak mau Mbak jadi madu saya!""Kenapa? Apa salahnya? Coba kamu pikirkan Tsan, jika saya jadi istri kedua Zian, kita bisa saling mengasihi selayaknya keluarga, kan? Kita berdua akan merawat Zian! Kita gak perlu berpura-pura!""Bullshit! Jangan berharap! Ingat Mbak, sebelum kejadian ini Mbak telah mengkhianatinya dan pikirkan bayi dalam perut Mbak sendiri! Paham?! Camkan! Sampai kapan pun saya gak akan membiarkan Mbak mengambil Mas Zian! Permisi!"Dan setelah mengatakan penolakan gue yang tegas pada Alina, tanpa menunggu jawaban si iblis betina itu, gue pun pergi tanpa menoleh lagi.Gue bertekad gak akan membiarkan dia mengambil kesempatan dalam sandiwara ini.Never!(***)Gue mendesah mengingat percakapan beberapa hari yang lalu dengan Alina di kantin. Jujur, gara-gara tawaran gila tersebut sampai sekarang gue masih punya amarah yang belum terlampiaskan. Akibatnya, malam ini mata gue malas terpejam. Padahal waktu sudah menunjukan pukul satu dini hari.
Gue tahu bahwa dalam setiap kehidupan itu selalu ada perjuangan. Gue juga tahu kalau gak setiap hal sesuai keinginan tapi kali ini takdir sepenuhnya udah bikin gue serasa dihempaskan ke lembah terdalam.Gue berjalan gontai di sepanjang lorong rumah sakit, usai pembicaraan panjang dengan mertua, gue pun udah punya keputusan yaitu mulai hari ini gue harus berpura-pura menjadi 'orang lain' bagi Pak Zian. Meski perih gue harus sanggup sampai suami gue mampu mengingat semuanya.Namun, masalahnya sampai kapan gue bisa bertahan? Sampai kapan? Sementara membayangkan Alina ada di samping Pak Zian aja udah bikin gue sakit apalagi mengakuinya sebagai istri. Ah, gue akuin ini emang berat, tetap aja gue gak mau menyerah. Gue mau tetap berada di samping Pak Zian seperti dia mencintai gue sebelumnya.Selepas sepuluh menit berjalan di sepanjang lorong tanpa terasa kaki gue yang lemah udah mengantarkan badan ini sampai ke depan ruangan Pak Zian.Gue menarik napas dalam dan hendak memasang wajah yang
Amnesia? Gimana bisa Pak Zian mengalami amnesia? Kenapa Mas Tsabit bilang dia gak mengenal gue?Agh, shit! Gue gak percaya. Mustahil suami gue bisa melupakan gue gitu aja.Gue mendesis lelah sepanjang perjalanan menuju ruang rawat VIP yang menjadi tempat di mana Pak Zian kini dirawat. Kata Mas Tsabit di telepon tadi, suami gue diputuskan pindah ke sana sesuai arahan dokter karena keadaannya berangsur pulih.Sampai di depan pintu, entah kenapa kaki ini jadi ragu untuk melangkah. Gue merasa ada ketakutan yang tiba-tiba menelusup dan membuat gue ingin kabur. Namun, ini bukan waktunya untuk melarikan diri karena gue ingin menemuinya.Gue senang dia sadar. Itu yang lebih penting dari apa pun. Gue rindu!"Mas Zian ...."Cklek.Gue membuka perlahan pintu yang tertutup. Di dalam ruangan terlihat seorang tengah berbaring dengan kaki yang digips, tangan dan kepala yang diperban persis mumi yang baru saja bangkit. Gue tercenung, mata kami beradu pandang pertama kali. "ADEK PENOLONG!?" Pak Zia