Yang pertama kali aku cek, saat aku terbangun adalah kondisi diri dan kaus yang aku pinjam dari Mas Alfa karena koper didominasi oleh lingerie. Untunglah masih ada celana yang bisa kupakai.
Kaus oblong kebesaran. Cek? Aman.Celana pendek. Cek? Aman.Alhamdullilah masih perawan. Aku menghela napas lega karena lelaki itu benar-benar bisa dipercaya. Sebab, pakaianku tidak berkurang satu pun dan keadaanku tampaknya baik-baik saja sama seperti keadaan semalam sebelum tidur, hanya bantal dan guling saja yang berjatuhan.Jujur. Dalam hati ini aku sempat meragukan Mas Alfa semalam. Tak dapat kupungkiri, seusai tragedi lingerie, aku jadi lebih waspada dan takut kalau Mas Alfa khilaf.Who knows? Saat aku sedang tertidur lelap, tiba-tiba dia ... ah, tidak! Stop!Tidak semua laki-laki bersalah padaku. Bukan? Begitulah kata lagu."Hoam!"Merasa malas dan lelah. Sebelum beranjak, aku pun melihat langit-langit kamar sambil menguap. Menggeliat dan streaching di atas tempat tidur dan ketika melihat ke samping, aku tak menemukan siapa pun."Loh, ke mana dia?"Aku hendak beranjak dari kasur sebelum suara pintu mengejutkanku."Kamu sudah bangun?" sapa Mas Alfa sambil tersenyum.Tampaknya dokter muda itu baru saja selesai mandi dan itu membuatnya ... HOT.'Apa? Hot? Gila! Zela! Apa yang kamu pikirkan? Oh, tidak! Ingat dia hanya mencintai Kakakmu, Zela!' batinku langsung mengingatkan."Eheum .... i-iya."Aku berdehem untuk menetralkan irama jantung yang mulai tak beraturan. Baru kali ini aku melihat otot bisep dan perut six pack seorang cowok secara live tanpa buffering.Konon katanya, seorang dokter memang harus punya standar kesehatan tersendiri mungkin itulah alasan Mas Alfa rajin fitnes."Gimana enak tidurnya?" tanya Mas Alfa. Nadanya terdengar seperti sindiran.Harus kuakui semalam, aku benar-benar menguasai kasur dan membiarkannya tidur di sofa. Mau gimana lagi, daripada terjadi hal yang diinginkan."Enak Mas, aku nyenyak," jawabku semangat."Baguslah! Kalau saya enggak.""Loh, kenapa?""Kamu bikin saya khawatir. Tidurmu terlalu heboh, berguling ke sana ke mari, saya jadi takut kamu jatuh," ujarnya sambil mengambil kemeja di lemari.Sumpah! Kali ini otakku masih lemot untuk mencerna, omongannya itu tanda perhatian atau omelan."Ya, udah maaf kalau Mas Alfa tidurnya gak nyenyak," kataku setengah hati.Malas banget, pagi-pagi udah dapat siraman rohani. Apa segini susahnya jadi pengganti Mbak Resa?Mas Alfa yang sudah memakai kemeja kerjanya langsung menoleh."Sudahlah, sekarang cepet mandi lalu makan pagi. Hari ini saya ada pasien dadakan, jadi nanti kamu tunggu saya mau buka praktek dulu.""Ke rumah sakit? Bukan ke rumah Mamah dulu?" tanyaku merasa bingung.Seingatku, kemarin Mamah bilang dia akan membuatkanku nasi goreng spesial. Nasi goreng yang memang sudah lama aku rindukan."Mamahmu tadi nelepon katanya tadi harus mengurusi Resa. Dia mengalami mual-mual yang parah. Jadi, dari pada bolak-balik kita ke rumah sakit dulu baru ambil baju ke rumah kamu," ujar Mas Alfa sambil merapikan jas dokternya.Aku tertegun setelah mendengar ucapan Mas Alfa. Kusadari sejak dulu, Mbak Resa selalu lebih diperhatikan dari pada aku.Saking seringnya, aku dibedakan. Kadang, aku berpikir, mungkinkah aku bukan anak kandung Mamah? Karena, Mamah memang lebih memperdulikan Mbak Resa.Saat aku dan Mbak Resa sakit pun, Mamah lebih memilih tidur bersama Mbak Resa. Bahkan saat aku bersama Yoga pun, Mamah selalu meminta Yoga mengantar Mbak Resa lebih dulu jika Mas Alfa sibuk sama pasien dan operasinya. Sedangkan aku dibiarkan sendiri, menunggu sampai berjamur.Apakah dari situ mereka mulai saling mendalami diri masing-masing?"Zela! Hey, Zela!" Sebuah petikan jari membuyarkan lamunanku.Aku terperangah kaget, saat kudapati wajah Mas Al sedang menatapku bingung. Baru saja aku mau menjawab panggilannya, tiba-tiba dia meletakkan telapak tangannya di puncak kepalaku sembari membacakan ayat qursi."Allahullah illaha illa ...."Sontak saja aku bereaksi, sambil menyingkirkan tangannya."Mas, aku gak kesurupan!" teriakku membahana.Alih-alih minta maaf. Mas Alfa malah tertawa merasa berhasil membodohiku."Makanya, mandi! Bengong aja! Kesambet baru tahu rasa, ya udah, saya tunggu di bawah ya, kita makan pagi lalu pergi," perintahnya cuek sambil melenggang pergi.Meninggalkanku dengan tingkat kegondokkan level tinggi.Ya Allah! Apa salah hamba bisa menikah dengan lelaki aneh macam begini?(***)Sudah jadi rahasia umum, kalau Mas Alfa memang banyak penggemarnya. Masih aku ingat, dulu saat mengantarkan Mbak Resa ke sini, Kakakku itu sampai harus menunggu berjam-jam demi melihat kekasihnya.Sebenarnya, sebagai mantan mahasiswa d3-keperawatan aku cukup paham kondisi Mas Alfa.Sebagai dokter muda yang merupakan spesialis internis, Mas Alfa memang terkenal ramah dan ganteng. Tak heran, jika pasiennya segambreng.Namun, sekarang akulah yang ada di posisi itu, sebagai pengganti Mbak Resa yang telah mengkhianati Mas Alfa.Lama. Aku bersandar dengan nyaman ke kursi kayu taman rumah sakit . Di sinilah aku harus menunggu Mas Alfa yang super sibuk di hari pertama kami sebagai suami-istri. Tidak tahu sudah berapa lama aku sendirian di sini, tapi aku tak masalah.Untungnya, taman rumah sakit tempat Mas Alfa bekerja cukup asri, sehingga aku pun betah berlama-lama duduk di kursi kayu yang tepat berada di bawah pohon akasia ini.Sayang, di tengah ketentramanku menikmati suasana taman, seorang lelaki tiba-tiba mengganggu tepat di saat aku merasa mengantuk karena kelelahan."Zela? Bisa kita bicara?"Mataku sontak terbuka karena merasa kenal dengan suaranya.Benar saja. Seolah ujian yang terus datang, kulihat Yoga telah berdiri di depanku dengan wajah yang ... kacau."Yoga? Ngapain kamu di sini?" sentakku langsung. Saking terkejutnya tubuhku sampai berdiri."Aku mencarimu Zela, aku ingin menjelaskan sesuatu," ujar Yoga. Dia menangkupkan tangannya seolah memohon.Aku meludah dengan marah. "Gak ada yang perlu dijelasin. Kamu seharusnya di rumah! Kamu tahu kan, Mbak Resa sedang hamil?""Aku gak mau di rumah sama Resa, Zel. Aku ragu kalau yang dikandung Zela itu anakku!""Yoga! Hati-hati kalau ngomong, jangan fitnah! Dia Kakakku!"Yoga menggelengkan kepala, mata elangnya yang dulu selalu kurindu jadi tampak memuakkan sekarang."Aku gak fitnah Zel, Resa berbohong! Aku gak tahu itu anak siapa? Zel, aku memang khilaf, tapi aku gak yakin kalau itu anakku!"Aku mengurut keningku yang mendadak berat. Lagi-lagi, dia berbohong.Tidak mungkin kalau Mbak Resa punya anak dari lelaki lain. Setahuku, hanya Yoga dan Mas Alfa lelaki terdekat Mbak Resa, walau harus kuakui Mbak lebih dekat dengan Yoga dibandingkan dengan aku pacarnya."Yoga! Sekali lagi kamu ngomong itu aku akan ... ah, sudahlah! Percuma berbicara dengan pecundang!" ujarku marah seraya membalikkan badan untuk menghindari Yoga.Rasanya tidak ada bagusnya, berbicara dengan seorang pengkhianat. Namun, tangan Yoga berhasil menarik tanganku."Zela! Dengar! Aku masih sayang kamu, Zel! Kamu harus dengerin aku! Aku akan cari bukti kalau anak yang dikandung Resa bukan anak aku!" sergah Yoga kasar membuat tubuh ini berbalik menghadapnya.Tanpa sengaja, mata kami kembali bertemu pandang. Rasa perih tiba-tiba menyerang saat kulihat sorot mata penyesalan juga keyakinan di mata Yoga."Zel sekali ini saja, aku minta ....""Lepaskan istri saya! Sekarang!"Tepat di saat hati ini mulai luluh, tiba-tiba suara dingin seorang lelaki kembali menyelamatkanku.Dialah Mas Alfa.Suamiku.(***)Jika itu bukan anak Yoga lalu itu anak siapa? Tidak mungkin kan, Mbak Resa berbohong?Ah, bercanda!TBC.Yoga berkata itu bukan anaknya. Lalu, anak siapa? Anak Mas Alfa? Atau anak tetangga sebelah? Gila! Dia pikir kehamilan seseorang bisa dibuat mainan kayak begitu, ya? Mbak Resa itu Kakakku, sekali pun aku tidak tahu apa yang dibuatnya di luar sana, tapi bukankah terlalu picik jika berpikir dia seorang perempuan yang ... ah, sudahlah! Merasa patah hati saja aku sudah cukup sulit. Sekarang, masih disuruh mikir siapa yang menghamili Kakakku? Melihat prosesnya saja enggak, ini masih disuruh menerka siapa bapaknya?Yoga, berengsek!Kuakui, aku memang sedang patah hati karena cinta matiku dikhianati, tapi aku enggak bodoh sehingga bisa-bisanya dengan mudah percaya akan perkataan dia yang meragukan.Sial! Benar-benar sial! Kenapa sih, aku harus berurusan dengan Yoga?Aku memutar sendok dengan malas di atas piring. Setelah dari rumah sakit, Mas Alfa tidak langsung membawaku ke rumah Mamah, katanya ini lebih baik untuk keseha
Ternyata menjadi asisten dokter itu tidak selalu menyenangkan, apalagi kalau dokternya adalah suami sendiri.Bukan karena pekerjaannya yang melelahkan, tapi karena sebagian pasien-pasiennya itu bisa dibilang ... agh, entah. Tampaknya bukan kapasitasku untuk menjustifikasi orang lain, lagi pula pasien aneh seperti Bu Farah syukurnya hanya beberapa. Aku berharap besok tidak ada lagi.Yakin? Enggak juga sih. Dengan keramahan dan kesupelan seorang Alfa, aku ragu kalau pasien wanita enggak betah.Harus diakui Mas Alfa ini tipe lelaki yang bisa membuat wanita bisa jatuh cinta hanya dalam pandangan pertama."Zel, sudah tidak ada pasien lagi, ya?" tanya Mas Alfa ketika pasien terakhir keluar.Lelaki itu menghembuskan napas lega lalu melepaskan snellinya. Kasian sekali, pasti dia sangat kelelahan.Kalau aku jadi dia, aku pasti minta pindah praktek saja. Soalnya, pertanyaan para pasien-nya itu loh, bikin naik darah."Iya, Dok, sud
Sejak kecil, aku memang terbiasa diremehkan. Aku juga sudah biasa dipandang sebelah mata oleh mereka yang seharusnya menjadi pelindungku, karena Mamah akan lebih memperhatikan Mbak Resa dengan alasan Mbak Resa lebih segalanya dari aku. Mbak Resa lebih cantik, lebih pintar dan lebih disukai banyak orang.Maka sudah nggak aneh, jika sekarang Mbak Resa mungkin berpikir aku tak pantas untuk Mas Alfa, terlepas dari dosa Mbak Resa sendiri yang menyakiti lelaki itu. Sakit tapi enggak berdarah.Nyesek banget gak, sih? Ketika seharusnya keluarga adalah tempat ternyaman bagiku untuk bersandar, fakta yang ada sungguh menyakitkan.Namun, untungnya, di antara semua kesakitan yang ada, almarhum Ayah memberikanku bahunya untuk sekedar melepas lelah sehingga meski dunia seolah tak menginginkan, aku bisa tumbuh menjadi wanita yang lebih kuat. "Eheum!" Aku berdehem untuk menetralkan sesak yang terus menyeruak.Entah ke berapa kali, tan
Sepertinya aku keracunan. Iya, keracunan sikap Mas Alfa yang terlalu banyak mengandung zat adiktif yang berbahaya bagi jantungku.Baru beberapa hari menjadi istrinya saja, jantung ini sudah dibuat kembang-kempis.Bagaimana jika setahun? Ya, ockay lah aku paham dia mengatakan kata 'Sayang' untuk sekedar membantuku yang tersudut. Tapi, kenapa harus sejauh itu?Lalu, anehnya, kenapa juga setelah pulang dari rumah Bu Imel dia sama sekali tak membahas tentang panggilan, 'Sayang' yang dia ucapkan di depan keluarga kami?Apa panggilan itu sama sekali tidak berarti untuknya?Layaknya patung manusia yang diberi nyawa, dia kembali kaku. Sedang, aku hanya bisa menatapnya dan mencoba menerka-nerka isi kepala Mas Alfa.Hal ini tentu membuatku gelisah enggak jelas dan hasilnya aku pun mengalami insomnia semalaman. Sampai-sampai aku baru bisa tidur setelah jam Cinderella selesai.Ngantuk.Sekuat tenaga aku menahan m
Kata orang, orang yang terlalu baik dan bodoh itu beda tipis. Orang terlalu baik biasanya gampang dibodohi. Mungkin itulah yang terjadi pada kasusku, mungkin bisa jadi aku terlalu berprasangka baik ketika Mbak Resa mulai mengambil apa yang kumiliki sehingga ketika kehilangan aku mulai merasa menyesal.Aku bodoh. Ya, aku merasa bodoh. Setelah mendengar pengakuan Yoga kemarin, aku menarik kesimpulan, jika saja sebelumnya aku sedikit saja berani menarik Yoga dan melarangnya untuk sering berpergian dengan Mbak Resa mungkin ini tak akan terjadi. Jika saja, aku tidak terlalu sibuk dan membiarkan Mbak Resa masuk lebih dalam, bisa jadi tidak akan ada yang tersakiti.Agh, tapi percuma. Sekali pun aku merutuki takdir, tetap saja semua tidak berubah. Yoga tetap harus menerima kesalahannya, terlepas dari apa pun alasannya. Sementara aku, hanya perlu melanjutkan hidup dengan lelaki dingin berhati baik bernama Alfa.Namun, meski dingin, sejujurnya dalam hati i
Dulu sewaktu Ayahku masih ada, almarhum selalu bilang kalau ada sesuatu yang enggak berjalan sesuai harapan, tidak perlu kita menyalahkan takdir karena bisa jadi itu yang terbaik untuk kita.Kurasa itu ada benarnya, setelah beberapa waktu berjalan kini aku mulai memahami betapa beruntungnya aku menjadi istri seorang Alfa. Ya ... walau terkadang dia itu jutek, menyebalkan, kalau ngomong pedas dan satu lagi sok tahunya itu loh, bikin istighfar.Masa Mas Alfa bilang kalau dia tahu ukuran braku? Ish, songong deh, pernah melihat juga enggak. Eh, tapi, apa mungkin dia bisa memperkirakan, ya? Haduh! Bisa gawat. Pasti ini gara-gara tragedi lingerie itu.Ah, memalukan. Namun, terlepas dari sifat minusnya, bagiku dia tetap tempat ternyaman untuk sekarang karena sikapnya yang dewasa membuatku seolah menemukan pengganti Ayah yang telah pergi.Lagi pula, semua hal tidak ada yang sempurna, bukan? Kalau mau menikah dengan yang sempurna, dijam
Mau dipikir berapa kali pun rasanya ini tidak mungkin. Bagaimana mungkin mertuaku sendiri berselingkuh dengan Mbak Resa? Sadis. Terlalu sadis. Sebab, jika apa yang kulihat itu benar tentang mereka. Berarti bukan hanya aku, Mas Alfa dan Yoga saja yang terluka tapi Mamah dan Bu Imel pun akan merasakan hal yang sama. Bisa-bisa keharmonisan tiga keluarga akan terancam.Jujur, aku tidak bisa membayangkan semarah dan sesakit apa Bu Imel jika dia tahu, Kakak ipar anaknya berselingkuh dengan suaminya sendiri dan bukan itu saja bisa jadi kekecewaan akan menjadi boomerang paling pahit bagi kami semua.Merasa dikhianati.Aku pun tidak bisa memprediksi bagaimana perasaan Mas Alfa jika nanti dia tahu bahwa ayah yang dicintainya selingkuh dengan kekasih yang selama ini dia jaga?Hancur. Ya, perasaannya pasti hancur.Agh, kenapa mereka tega? Kenapa mereka harus mengorbankan kami yang tak tahu apa-apa.
Seperti orang yang terlahir kembali. Hari ini, entah kenapa aku sangat bersemangat sekali. Setelah aku sakit dan beristirahat sehari, wajahku tampak lebih berseri-seri.Mungkinkah ini gara-gara ciuman yang tak sengaja itu? Sampai-sampai di mana pun yang kulihat hanya wajah Mas Alfa dengan bibir indah nan cipok-able tersebut.Astaghfirullah! Sudah kuduga, memiliki suami seperti Mas Alfa itu berat godaannya.Sabar Zela, sabar.Mau bagaimana pun perasaan hati ingin menghindar, ternyata aku tetap saja akan balik lagi terjebak pesona seorang Alfa.Kuakui, Mas Alfa itu memang layaknya zat adiktif level hot yang membuatku sulit berhenti memikirkannya, karena semua tentangnya telah menjadi fokus utama.Namun, meski aku sangat bahagia sekarang, tentu saja kemajuan dalam hubungan kami ini masih belum bisa membuatku lega. Bayangan tentang perselingkuhan Mbak Resa dan Pak Bayu masih menjadi pertan
Sebulan kemudian."Senangnya dalam hati, kalau bersuami kaya. Oh dunia, serasa aku yang punya cikicik ... asyik-asyik Jos!""Eh, bentar! Kok aku jadi nyanyi begituan, ya?"Gue terkekeh kecil mengingat lagu apa yang sedang gue senandungkan sekarang ini. Mengingat kalau hari ini kami ada di Singapura tak ayal membuat wajah gue terus tersenyum merekah dan menyanyi tanpa henti.Seperti yang sudah dibahas tempo hari, setelah kami melakukan klarifikasi di sekolah dan membuat Alina juga Januar berurusan dengan hukum karena kelakuannya yang telah melakukan perbuatan tidak menyenangkan dan pencemaran nama baik, kami pun melakukan honeymoon untuk kesekian kali.Ohoo! Jujur, sebenarnya ini bukan kali pertama kami menginjakkan kaki di Singapura, semenjak resmi jadi pasangan sungguhan kerjaan Pak Zian bawa gue ke sini mulu. Katanya dia ingin nostalgia karena waktu kecil pernah tinggal di sini sekaligus honeymoon yang sekarang kayaknya bakal rada lama karena kami ingin merayakan berhasilnya membuat
Selepas mendengar indo dari Pak Zian kalau Alina telah memfitnahnya gue langsung mengecek kondisi sekolah, jika info tentang Pak Zian sampai di rumah sakit pastinya ke sekolah pun ada rumor tersebut. Nyatanya yang gue takutkan terjadi. Sesuai dugaan, ketika gue sampai di sekolah tiba-tiba Pak Joan dan Bu Hani yang tetap jadi sahabat gue langsung nyamperin. Mereka bilang di sekolah udah beredar kabar yang gak mengenakan yaitu katanya gue udah merebut Pak Zian dari Bu Alina dan katanya Pak Zian digosipkan mandul.Brengsek emang si Alina! Bisa-bisanya dia menyebar info yang gak berdasar itu.Saking banyaknya gosip di luaran sampai-sampai gue bisa dengan jelas semua umpatan juga sindiran yang dilayangkan ke gue. Tapi, terlepas dari semua itu gue udah tahu ini adalah salah satu resiko yang harus dihadapi. Semenjak memutuskan untuk memberi Pak Zian kesempatan kedua gue merasa udah siap apa pun yang terjadi tapi sayangnya gue gak prediksi akan separah ini. Coba bayangkan aja, masa Alina bil
Pak Zian kecewa berat. Setelah gue mengatakan kalau hari ini gak jadi 'ena-ena' dia mematung bak manekin. Bibirnya yang sejak tadi udah nyosor-nyosor aja langsung ditarik menjauh."Apa? Tsan? Kamu kenapa?" tanyanya tercekat. Wajahnya yang sudah semangat 45 mendadak memucat. "Saya mens, Mas. Menstruasi," jawab gue lebih lugas. Takutnya dia terlalu syok hingga telinganya mengalami ganteng 'gangguan telinga'."Astaghfirullah!"Tubuh Pak Zian seketika mundur dengan frustasi sampai menyentuh dinding. "Jadi, kita gak bisa bikin anak? Jadi Mas, gak bisa ibadah syurga sekarang?" selanya seolah masih tak percaya. Gue menggelengkan kepala. "Enggak Mas, maaf yak. Seminggu lagi mungkin," jawab gue sambil menepuk punggungnya menyabarkan.Rasa penyesalan langsung menelusup tapi mau gimana lagi, masa dipaksakan? Kan gak mungkin. Dosa!Pak Zian membasahi bibirnya yang terlihat kering sambil berjalan lunglai ke arah tempat tidur. "Jadi, ide beriliannya gak bisa dilakukan sekarang, ya?" tanyanya ko
"Ma-maksud Bapak apa? Kenapa saya harus menjawab? Dan kenapa--""Jawab saja Tsan, jika saya suami kamu apakah kamu akan menerima saya?" tanya Pak Zian memutus ucapan gue dengan tatapan yang tajam seolah hendak membolongi kepala gue.Entah mengapa gue merasa dia bertanya seolah-olah sedang takut kehilangan dan ini membuat kecurigaan gue sama dia kian membesar.Melihat itu, gue mengepalkan tangan kuat. "Baiklah, saya akan jawab. Jika saya memiliki suami seperti Pak Zian mungkin saya ...." Gue menarik napas dalam sejenak, "akan menerimanya," jawab gue lirih.Mendapat jawaban itu dari gue, samar mata gue menangkap Pak Zian menghembuskan napas lega dan dia pun mencondongkan badan ke depan penuh perhatian. Seulas senyum terlukis di wajahnya yang tampan. "Alhamdullilah. Kalau begitu saya gak salah memilih istri. Kamu memang beda Tsan."Deg."Istri?" Gue sontak tercengang mendengar pernyataan Pak Zian. "Maksud Bapak apa? Kenapa menyebut istri? Jujur, Pak! Sebenarnya apa yang sedang terjadi?"
Pak Zian mengepalkan tangan sampai kukunya memutih karena sekuat tenaga menahan amarah. Kerut-kerut tajam mulai muncul di sudut mulut Pak Zian dan kulit pipinya menegang.Di saat membingungkan seperti sekarang. Jujur, gue tidak tahu apa yang harus dilakukan di tengah pertikaian keduanya sebab gue sendiri juga masih syok.Gue gak nyangka Bu Ayu bisa membongkar kebusukan Alina tepat di saat kami mau memasuki rumahnya.Gue bertanya-tanya. Haruskah sekarang gue jadi wasit? Atau ikut jadi pemain juga? Tapi, dibanding kena semprot gue memilih diam saja, auranya gak bagus buat ikut campur tapi honestly gue suka keributan ini.Sangat suka!Suruh siapa si kuntilanak itu ngambil kesempatan dalam kesempitan? Udah tahu dia yang selingkuh dan zina, masih mau berlaga polos dan merebut Pak Zian kembali lagi.Sekarang, rasakan akibatnya!"Mas, Mas, Ibu bohong! Janin ini milikmu, ini anakmu Mas!""Shut your fuckin mouth up, Alina! Berhenti bikin alasan! I told you, jika kamu memang selingkuh akui saja
Selama gue jadi menantu kalau diingat-ingat gue jarang banget pergi ke rumah mertua. Mungkin kedatangan gue buat berkunjung bisa dihitung dengan jari tapi kali ini gue rasa akan lebih sering bahkan gue bakal tinggal di sana. Sejujurnya, sampai detik ini gue masih tak percaya bahwa akhirnya gue akan menjadi istri yang gak dianggap. Gue masih ingat, dulu gue pergi ke rumah Bu Ayu--mertua gue sebagai istri yang ditunggu dengan digandeng Pak Zian tapi sekarang situasinya berbeda. Lelaki yang sebelumnya ada buat gue malah berada di samping mantan istrinya.Dan gue terpaksa menginjakan kaki di rumah ibu dengan status sebagai asisten di mata Pak Zian.'Huft! Miris sekali.' Gue menghembuskan napas dalam.Sepanjang perjalanan menuju ke rumah ibu mertua. Sejujurnya, gue ingin sekali cepat sampai tapi apa daya gue harus bersabar karena jalanan macet.Alhasil, dengan sangat terpaksa gue harus menjadi kambing congek selama ada di mobil Pak Zian. Setelah Alina memergoki kami di ruang inap VIP seb
"Saya menolak tawaran Mbak! Saya tidak mau Mbak jadi madu saya!""Kenapa? Apa salahnya? Coba kamu pikirkan Tsan, jika saya jadi istri kedua Zian, kita bisa saling mengasihi selayaknya keluarga, kan? Kita berdua akan merawat Zian! Kita gak perlu berpura-pura!""Bullshit! Jangan berharap! Ingat Mbak, sebelum kejadian ini Mbak telah mengkhianatinya dan pikirkan bayi dalam perut Mbak sendiri! Paham?! Camkan! Sampai kapan pun saya gak akan membiarkan Mbak mengambil Mas Zian! Permisi!"Dan setelah mengatakan penolakan gue yang tegas pada Alina, tanpa menunggu jawaban si iblis betina itu, gue pun pergi tanpa menoleh lagi.Gue bertekad gak akan membiarkan dia mengambil kesempatan dalam sandiwara ini.Never!(***)Gue mendesah mengingat percakapan beberapa hari yang lalu dengan Alina di kantin. Jujur, gara-gara tawaran gila tersebut sampai sekarang gue masih punya amarah yang belum terlampiaskan. Akibatnya, malam ini mata gue malas terpejam. Padahal waktu sudah menunjukan pukul satu dini hari.
Gue tahu bahwa dalam setiap kehidupan itu selalu ada perjuangan. Gue juga tahu kalau gak setiap hal sesuai keinginan tapi kali ini takdir sepenuhnya udah bikin gue serasa dihempaskan ke lembah terdalam.Gue berjalan gontai di sepanjang lorong rumah sakit, usai pembicaraan panjang dengan mertua, gue pun udah punya keputusan yaitu mulai hari ini gue harus berpura-pura menjadi 'orang lain' bagi Pak Zian. Meski perih gue harus sanggup sampai suami gue mampu mengingat semuanya.Namun, masalahnya sampai kapan gue bisa bertahan? Sampai kapan? Sementara membayangkan Alina ada di samping Pak Zian aja udah bikin gue sakit apalagi mengakuinya sebagai istri. Ah, gue akuin ini emang berat, tetap aja gue gak mau menyerah. Gue mau tetap berada di samping Pak Zian seperti dia mencintai gue sebelumnya.Selepas sepuluh menit berjalan di sepanjang lorong tanpa terasa kaki gue yang lemah udah mengantarkan badan ini sampai ke depan ruangan Pak Zian.Gue menarik napas dalam dan hendak memasang wajah yang
Amnesia? Gimana bisa Pak Zian mengalami amnesia? Kenapa Mas Tsabit bilang dia gak mengenal gue?Agh, shit! Gue gak percaya. Mustahil suami gue bisa melupakan gue gitu aja.Gue mendesis lelah sepanjang perjalanan menuju ruang rawat VIP yang menjadi tempat di mana Pak Zian kini dirawat. Kata Mas Tsabit di telepon tadi, suami gue diputuskan pindah ke sana sesuai arahan dokter karena keadaannya berangsur pulih.Sampai di depan pintu, entah kenapa kaki ini jadi ragu untuk melangkah. Gue merasa ada ketakutan yang tiba-tiba menelusup dan membuat gue ingin kabur. Namun, ini bukan waktunya untuk melarikan diri karena gue ingin menemuinya.Gue senang dia sadar. Itu yang lebih penting dari apa pun. Gue rindu!"Mas Zian ...."Cklek.Gue membuka perlahan pintu yang tertutup. Di dalam ruangan terlihat seorang tengah berbaring dengan kaki yang digips, tangan dan kepala yang diperban persis mumi yang baru saja bangkit. Gue tercenung, mata kami beradu pandang pertama kali. "ADEK PENOLONG!?" Pak Zia