"Aku khilaf Zel, aku mabuk karena terpaksa dan sebenarnya ini salahmu juga, Zel! Kamu yang buat aku kacau, maafkan aku Zel!" Lagi. Suara Yoga yang meratap juga menyalahkan terngiang di telinga. Dia bilang, ini salahku? Dia bilang, dia mabuk dan lepas kendali karena dia marah padaku? Dan aku penyebab, semua terjadi?! Jika alasan Yoga bisa dibenarkan, entah akan ada berapa orang yang selingkuh tak mau disalahkan. Bedebah! (***) Aku mematung di tempat, menatap diriku sendiri di cermin. Mata panda, hidung berair dan pipi memucat. Kurasa tidak ada pengantin seburuk ini di muka bumi. 'Azelania Putri sudah resmi menjadi istri dari Dokter Alfa Prawira.' Entah apa alasannya, otakku terus saja mengulang kenyataan mengejutkan itu. Tidak pernah terbersit sedikit pun aku akan menikahi lelaki yang dijodohkan dengan Mbak Resa dan tidak pernah juga aku bermimpi, kekasihku akan menghamili Kakakku sendiri. Ini kutukan. "Zela!" Entah dari kapan Mamah sudah berdiri di ambang pintu kamar hotel yang kubiarkan terbuka. Tapi, ketika aku menoleh, dia sudah memelukku dengan erat. "Makasih ya, Zel? Makasih, maafin kami ... maafin Mbakmu," gumam Mamah di sela isak. Sebenarnya aku benci melihat Mamah menangis, tapi perasaanku pun belum bisa pulih. Berat. Dengan pelan aku pun membalas pelukan Mamah. "Gak apa-apa Mah, mungkin ini takdir Zela,"jawabku sambil mengusap punggung Mamah. Tak terasa air mataku pun kembali mengalir, karena baru kusadari kini diri ini tak bebas lagi. "Zela ...." Mamah melonggarkan pelukannya, menatap lekat. Pelan tangan lembutnya mengusap pipiku yang juga basah dengan air mata. "Jadilah istri yang baik ya, bagi Alfa? Dia lelaki yang baik dan Mamah yakin dia juga terbaik buat kamu," nasehat Mamah sambil menyusut sudut matanya yang berair dengan tisu lecek. "Iya." Aku mengangguk terpaksa, entah kenapa aku kurang nyaman dengan permintaan Mamah. Melayani lelaki yang belum pernah kucintai? Oh, itu masih terasa mustahil. Bahkan yang ada sekarang, di dalam dadaku hanya ada marah, kecewa dan ... tak ada harapan. Tok. Tok. Tok. Obrolanku terhenti saat seseorang mengetuk pintu. Aku menggerakkan kepala untuk melihat siapa yang datang dan itu ternyata Mas Alfa. Dia menatap kami lurus dan sedikit kaku. Pandangan yang tak berubah dari sejak pertama aku melihatnya. "Eh, Alfa? Maaf, tadi Mamah hanya meriksa aja takut kalau Zela butuh sesuatu," ujar Mamah terlihat sungkan. Aku tahu Mamah pasti malu pada Mas Alfa, karena dalam situasi ini pihak keluarga Mas Alfa-lah yang paling dirugikan. Apalagi, perjodohan Mbak Resa dan Mas Alfa sudah direncanakan setahun lamanya. "Tidak apa-apa, Mah, saya mungkin yang terlalu cepat kembali," jawab Mas Alfa sopan tapi tetap memasang ekspresi datar. Lelaki itu memandangku sekilas lalu kemudian pura-pura melihat ke jendela. Canggung. Mamah menggelengkan kepala tak enak. "Oh, enggak-enggak, Mamah aja yang salah. Oke, ya, Sayang Mamah pamit. Dah, Zela, inget pesan Mamah, ya?" Sebelum pergi Mamah memelukku lama, seakan dia tidak akan melihatku lagi. Lalu, akhirnya tinggallah aku dengan lelaki asing bernama Alfa. Di kamar ini, berdua saja. (***) Entah sudah berapa lama-detik, menit atau jam yang kuhabiskan hanya untuk duduk diam di pinggir ranjang pengantin yang terlihat manis dengan bertaburan bunga. Namun, mirisnya itu hanya hiasan. Baik aku dan Mas Alfa, seakan malas menjamahnya. Kami hanya bisa duduk saling berhadapan dengan gerakan yang canggung. Seakan otak kami berada di tempat lain, sementara tubuh dipaksa berada di sini. Lama. Aku dan Mas Alfa terus saja membisu dan sibuk dengan pikiran masing-masing, sampai akhirnya aku mendengar helaan napas berat dari dokter muda itu. "Saya tidak bisa melakukan 'itu' sama kamu," ujarnya tiba-tiba. Aku mengernyitkan dahi tak mengerti. "'Itu?' tuh ... maksudnya apa?" tanyaku polos. "Kamu masih tidak mengerti?" Dokter muda itu terlihat menahan tawanya. Sial sekali bukan, kesan pertama jadi suami saja sudah menyebalkan. Mana, mata teduh yang ia tunjukkan di pelaminan tadi? Kamuflase. Hoax. "Enggak, aku gak ngerti Mas ngomong apa, jadi tolong dr. Alfa Prawira Sp.PD jelaskan padaku sekarang!" jawabku dongkol. Ternyata kekesalan sukses menghancurkan kecanggungan antara kami. Dia pun tersenyum tipis, setelah kuucapkan nama lengkapnya. "Malam pertama, Zel! Malam pertama selayaknya pengantin baru, saya tidak bisa melakukan itu. Kamu mengerti, kan? Sekali pun orang tua saya memaksa!" Mataku melebar mendengarnya. "Malam pertama? Gila!" pekikku tercekat. "Big no! Jangan harap!" Aku membuang muka kesal. Asal dia tahu saja, aku hanya akan menyerahkan keperawananku pada orang yang kucintai. Sayangnya, orang yang kucintai tersebut sudah mengambil keperawanan Kakakku sendiri. Berengsek! Ah, aku mengumpat lagi. "Ck! Siapa juga yang mau menyentuhmu! Kecuali kalau kamu ... mau." Hampir saja kulemparkan bantal ke mukanya, tapi dia langsung mengibas-ngibaskan tangannya meralat.Ternyata Dokter satu ini konyol juga tak sedingin yang kubayangkan. Aku jadi penasaran, apa alasan Mbak Resa mengkhianati pria sebaik ini? "Sorry! Saya bercanda! Tenanglah, saya bukan orang yang menyalahi janji. Kamu bisa tidur dengan tenang, saya jamin! Saya berbeda dengan Yoga dan saya juga tahu kamu beda dengan Resa," katanya sambil berdiri menghindari tatapan tajamku. Seolah sedang ingin menyembunyikan sisi lain hatinya yang tengah bergejolak. Mendengar nama Yoga, tanpa sadar aku pun kembali mematung. Sakit merajalela, di dalam sini. Dia benar, kami di sini harus berbeda dari dua pengkhianat itu. Kami bukan orang yang lepas kendali. Hening meliputi kami. "Sudahlah, Zel, jangan ingat mereka lagi! Yoga gak pantas kamu tangisi! Sekarang, lebih baik kamu cepat mandi, kopermu sudah saya ambilkan tadi," perintah Mas Alfa kembali menyadarkan. Tanpa kusadari ternyata sejak tadi dia sudah berdiri di depanku, dengan ekspresi wajah yang tak dapat kuartikan. Aku mendongakkan kepala, menatap. "Mas!" "Heum?" sahutnya "Apa mungkin Yoga dan Mbak Resa sekarang sedang berbahagia? Setelah menyakiti kita?" tanyaku parau, merasa bodoh dengan pertanyaan diri sendiri. Mas Alfa beberapa saat terlihat kaget mendengar pertanyaanku, tapi sejurus kemudian wajahnya kembali normal lalu dia pun membuka mulutnya. "Entahlah! Saya gak mau bahas itu," kata Mas Alfa seraya membalikkan badan. Kembali mendingin dan itu membuatku sadar. Kami hanyalah korban. (***) "Apa? Kok, banyak baju beginian di koper?" Mataku melotot melihat isi koper yang diberikan Mas Alfa ke padaku. Katanya ini titipan ibunya-mertuaku. "Apa ini enggak salah? Bagaimana aku bisa memakainya?" Aku terus mengacak baju mengeluarkan satu-persatu untuk mencari baju yang layak aku pakai. Nahas, 80% hanya ada lingerie. Ke mana kaus oblong dan celana trainingku? Ke mana? Ya Allah! Kenapa aku yang bukan siapa-siapa ini harus mendapat mertua yang kelewat perduli sama menantunya? "Agh! Aku pakai apa sekarang?" erangku. Berbicara sendiri. Pantas saja, dia bilang padaku untuk mempercayakan padanya tentang semua perlengkapan dan inilah hasilnya. Aku paham, ibunya Mas Alfa ingin aku tampil cantik di malam pertama aku dan anak semata wayangnya, tapi untuk kasusku itu pengecualian. Kami kan, bukan pasangan suami-istri yang 'normal'. "Ih! Jijai! Apaan pula ini?" Mulutku kembali merutuk ketika tangan ini mengambil satu lingerie hitam dengan banyak tali. Tembus pandang pula. Astaghfirullah! Bukannya, enggak bersyukur tapi kan, aku bukan model lingerie Victoria Secret gitu yang kalau pakai ini bagus. Tubuhku ini mungil dan agak kurus. Membayangkan aku memakai lingerie-nya saja geli. "Cih!" Aku melemparkan kesal lingerie itu ke atas tempat tidur tapi tak berapa lama mataku kembali menatapnya. Setelah dipikir-pikir, tidak ada salahnya jika aku mencoba sebentar. Sayang kan, tampaknya mahal mumpung Mas Alfa lagi keluar kamar. Tanpa berpikir panjang, aku pun langsung membuka baju dan mengenakkan lingerie tapi baru saja lingerie itu melekat di tubuhku tiba-tiba pintu kamar hotel pun terbuka. Cklek. "Zela?" Aku sontak menoleh ke arah pintu, beberapa saat pandangan kami bertemu. Sepersekian detik, kami terpaku. Mataku dan matanya mengerjap beberapa kali karena kaget, sampai akhirnya kami memandang ke arah yang sama. Apa? Tubuhku? Lingerie? "Aaaaaa! Mas, tutup!" Reflek mulutku berteriak dengan keras membuat lelaki itu langsung gelagapan dan menutup pintu sambil terburu-buru. Lalu, terdengar teriakannya dari luar. "Maaf, Zela! Saya gak tahu kalau kamu lagi ganti baju! Cuman kelihatan dikit kok!" Apa dikit katanya? Waaa! Aku pun langsung heboh sambil berlari ke kamar mandi. Malu. Semua gara-gara lingerie, aku kapok enggak mau mencoba lagi! Titik.
Yang pertama kali aku cek, saat aku terbangun adalah kondisi diri dan kaus yang aku pinjam dari Mas Alfa karena koper didominasi oleh lingerie. Untunglah masih ada celana yang bisa kupakai.Kaus oblong kebesaran. Cek? Aman.Celana pendek. Cek? Aman.Alhamdullilah masih perawan. Aku menghela napas lega karena lelaki itu benar-benar bisa dipercaya. Sebab, pakaianku tidak berkurang satu pun dan keadaanku tampaknya baik-baik saja sama seperti keadaan semalam sebelum tidur, hanya bantal dan guling saja yang berjatuhan.Jujur. Dalam hati ini aku sempat meragukan Mas Alfa semalam. Tak dapat kupungkiri, seusai tragedi lingerie, aku jadi lebih waspada dan takut kalau Mas Alfa khilaf. Who knows? Saat aku sedang tertidur lelap, tiba-tiba dia ... ah, tidak! Stop!Tidak semua laki-laki bersalah padaku. Bukan? Begitulah kata lagu."Hoam!"Merasa malas dan lelah. Sebelum beranjak, aku pun melihat langit-langit kamar sambil me
Yoga berkata itu bukan anaknya. Lalu, anak siapa? Anak Mas Alfa? Atau anak tetangga sebelah? Gila! Dia pikir kehamilan seseorang bisa dibuat mainan kayak begitu, ya? Mbak Resa itu Kakakku, sekali pun aku tidak tahu apa yang dibuatnya di luar sana, tapi bukankah terlalu picik jika berpikir dia seorang perempuan yang ... ah, sudahlah! Merasa patah hati saja aku sudah cukup sulit. Sekarang, masih disuruh mikir siapa yang menghamili Kakakku? Melihat prosesnya saja enggak, ini masih disuruh menerka siapa bapaknya?Yoga, berengsek!Kuakui, aku memang sedang patah hati karena cinta matiku dikhianati, tapi aku enggak bodoh sehingga bisa-bisanya dengan mudah percaya akan perkataan dia yang meragukan.Sial! Benar-benar sial! Kenapa sih, aku harus berurusan dengan Yoga?Aku memutar sendok dengan malas di atas piring. Setelah dari rumah sakit, Mas Alfa tidak langsung membawaku ke rumah Mamah, katanya ini lebih baik untuk keseha
Ternyata menjadi asisten dokter itu tidak selalu menyenangkan, apalagi kalau dokternya adalah suami sendiri.Bukan karena pekerjaannya yang melelahkan, tapi karena sebagian pasien-pasiennya itu bisa dibilang ... agh, entah. Tampaknya bukan kapasitasku untuk menjustifikasi orang lain, lagi pula pasien aneh seperti Bu Farah syukurnya hanya beberapa. Aku berharap besok tidak ada lagi.Yakin? Enggak juga sih. Dengan keramahan dan kesupelan seorang Alfa, aku ragu kalau pasien wanita enggak betah.Harus diakui Mas Alfa ini tipe lelaki yang bisa membuat wanita bisa jatuh cinta hanya dalam pandangan pertama."Zel, sudah tidak ada pasien lagi, ya?" tanya Mas Alfa ketika pasien terakhir keluar.Lelaki itu menghembuskan napas lega lalu melepaskan snellinya. Kasian sekali, pasti dia sangat kelelahan.Kalau aku jadi dia, aku pasti minta pindah praktek saja. Soalnya, pertanyaan para pasien-nya itu loh, bikin naik darah."Iya, Dok, sud
Sejak kecil, aku memang terbiasa diremehkan. Aku juga sudah biasa dipandang sebelah mata oleh mereka yang seharusnya menjadi pelindungku, karena Mamah akan lebih memperhatikan Mbak Resa dengan alasan Mbak Resa lebih segalanya dari aku. Mbak Resa lebih cantik, lebih pintar dan lebih disukai banyak orang.Maka sudah nggak aneh, jika sekarang Mbak Resa mungkin berpikir aku tak pantas untuk Mas Alfa, terlepas dari dosa Mbak Resa sendiri yang menyakiti lelaki itu. Sakit tapi enggak berdarah.Nyesek banget gak, sih? Ketika seharusnya keluarga adalah tempat ternyaman bagiku untuk bersandar, fakta yang ada sungguh menyakitkan.Namun, untungnya, di antara semua kesakitan yang ada, almarhum Ayah memberikanku bahunya untuk sekedar melepas lelah sehingga meski dunia seolah tak menginginkan, aku bisa tumbuh menjadi wanita yang lebih kuat. "Eheum!" Aku berdehem untuk menetralkan sesak yang terus menyeruak.Entah ke berapa kali, tan
Sepertinya aku keracunan. Iya, keracunan sikap Mas Alfa yang terlalu banyak mengandung zat adiktif yang berbahaya bagi jantungku.Baru beberapa hari menjadi istrinya saja, jantung ini sudah dibuat kembang-kempis.Bagaimana jika setahun? Ya, ockay lah aku paham dia mengatakan kata 'Sayang' untuk sekedar membantuku yang tersudut. Tapi, kenapa harus sejauh itu?Lalu, anehnya, kenapa juga setelah pulang dari rumah Bu Imel dia sama sekali tak membahas tentang panggilan, 'Sayang' yang dia ucapkan di depan keluarga kami?Apa panggilan itu sama sekali tidak berarti untuknya?Layaknya patung manusia yang diberi nyawa, dia kembali kaku. Sedang, aku hanya bisa menatapnya dan mencoba menerka-nerka isi kepala Mas Alfa.Hal ini tentu membuatku gelisah enggak jelas dan hasilnya aku pun mengalami insomnia semalaman. Sampai-sampai aku baru bisa tidur setelah jam Cinderella selesai.Ngantuk.Sekuat tenaga aku menahan m
Kata orang, orang yang terlalu baik dan bodoh itu beda tipis. Orang terlalu baik biasanya gampang dibodohi. Mungkin itulah yang terjadi pada kasusku, mungkin bisa jadi aku terlalu berprasangka baik ketika Mbak Resa mulai mengambil apa yang kumiliki sehingga ketika kehilangan aku mulai merasa menyesal.Aku bodoh. Ya, aku merasa bodoh. Setelah mendengar pengakuan Yoga kemarin, aku menarik kesimpulan, jika saja sebelumnya aku sedikit saja berani menarik Yoga dan melarangnya untuk sering berpergian dengan Mbak Resa mungkin ini tak akan terjadi. Jika saja, aku tidak terlalu sibuk dan membiarkan Mbak Resa masuk lebih dalam, bisa jadi tidak akan ada yang tersakiti.Agh, tapi percuma. Sekali pun aku merutuki takdir, tetap saja semua tidak berubah. Yoga tetap harus menerima kesalahannya, terlepas dari apa pun alasannya. Sementara aku, hanya perlu melanjutkan hidup dengan lelaki dingin berhati baik bernama Alfa.Namun, meski dingin, sejujurnya dalam hati i
Dulu sewaktu Ayahku masih ada, almarhum selalu bilang kalau ada sesuatu yang enggak berjalan sesuai harapan, tidak perlu kita menyalahkan takdir karena bisa jadi itu yang terbaik untuk kita.Kurasa itu ada benarnya, setelah beberapa waktu berjalan kini aku mulai memahami betapa beruntungnya aku menjadi istri seorang Alfa. Ya ... walau terkadang dia itu jutek, menyebalkan, kalau ngomong pedas dan satu lagi sok tahunya itu loh, bikin istighfar.Masa Mas Alfa bilang kalau dia tahu ukuran braku? Ish, songong deh, pernah melihat juga enggak. Eh, tapi, apa mungkin dia bisa memperkirakan, ya? Haduh! Bisa gawat. Pasti ini gara-gara tragedi lingerie itu.Ah, memalukan. Namun, terlepas dari sifat minusnya, bagiku dia tetap tempat ternyaman untuk sekarang karena sikapnya yang dewasa membuatku seolah menemukan pengganti Ayah yang telah pergi.Lagi pula, semua hal tidak ada yang sempurna, bukan? Kalau mau menikah dengan yang sempurna, dijam
Mau dipikir berapa kali pun rasanya ini tidak mungkin. Bagaimana mungkin mertuaku sendiri berselingkuh dengan Mbak Resa? Sadis. Terlalu sadis. Sebab, jika apa yang kulihat itu benar tentang mereka. Berarti bukan hanya aku, Mas Alfa dan Yoga saja yang terluka tapi Mamah dan Bu Imel pun akan merasakan hal yang sama. Bisa-bisa keharmonisan tiga keluarga akan terancam.Jujur, aku tidak bisa membayangkan semarah dan sesakit apa Bu Imel jika dia tahu, Kakak ipar anaknya berselingkuh dengan suaminya sendiri dan bukan itu saja bisa jadi kekecewaan akan menjadi boomerang paling pahit bagi kami semua.Merasa dikhianati.Aku pun tidak bisa memprediksi bagaimana perasaan Mas Alfa jika nanti dia tahu bahwa ayah yang dicintainya selingkuh dengan kekasih yang selama ini dia jaga?Hancur. Ya, perasaannya pasti hancur.Agh, kenapa mereka tega? Kenapa mereka harus mengorbankan kami yang tak tahu apa-apa.
Sebulan kemudian."Senangnya dalam hati, kalau bersuami kaya. Oh dunia, serasa aku yang punya cikicik ... asyik-asyik Jos!""Eh, bentar! Kok aku jadi nyanyi begituan, ya?"Gue terkekeh kecil mengingat lagu apa yang sedang gue senandungkan sekarang ini. Mengingat kalau hari ini kami ada di Singapura tak ayal membuat wajah gue terus tersenyum merekah dan menyanyi tanpa henti.Seperti yang sudah dibahas tempo hari, setelah kami melakukan klarifikasi di sekolah dan membuat Alina juga Januar berurusan dengan hukum karena kelakuannya yang telah melakukan perbuatan tidak menyenangkan dan pencemaran nama baik, kami pun melakukan honeymoon untuk kesekian kali.Ohoo! Jujur, sebenarnya ini bukan kali pertama kami menginjakkan kaki di Singapura, semenjak resmi jadi pasangan sungguhan kerjaan Pak Zian bawa gue ke sini mulu. Katanya dia ingin nostalgia karena waktu kecil pernah tinggal di sini sekaligus honeymoon yang sekarang kayaknya bakal rada lama karena kami ingin merayakan berhasilnya membuat
Selepas mendengar indo dari Pak Zian kalau Alina telah memfitnahnya gue langsung mengecek kondisi sekolah, jika info tentang Pak Zian sampai di rumah sakit pastinya ke sekolah pun ada rumor tersebut. Nyatanya yang gue takutkan terjadi. Sesuai dugaan, ketika gue sampai di sekolah tiba-tiba Pak Joan dan Bu Hani yang tetap jadi sahabat gue langsung nyamperin. Mereka bilang di sekolah udah beredar kabar yang gak mengenakan yaitu katanya gue udah merebut Pak Zian dari Bu Alina dan katanya Pak Zian digosipkan mandul.Brengsek emang si Alina! Bisa-bisanya dia menyebar info yang gak berdasar itu.Saking banyaknya gosip di luaran sampai-sampai gue bisa dengan jelas semua umpatan juga sindiran yang dilayangkan ke gue. Tapi, terlepas dari semua itu gue udah tahu ini adalah salah satu resiko yang harus dihadapi. Semenjak memutuskan untuk memberi Pak Zian kesempatan kedua gue merasa udah siap apa pun yang terjadi tapi sayangnya gue gak prediksi akan separah ini. Coba bayangkan aja, masa Alina bil
Pak Zian kecewa berat. Setelah gue mengatakan kalau hari ini gak jadi 'ena-ena' dia mematung bak manekin. Bibirnya yang sejak tadi udah nyosor-nyosor aja langsung ditarik menjauh."Apa? Tsan? Kamu kenapa?" tanyanya tercekat. Wajahnya yang sudah semangat 45 mendadak memucat. "Saya mens, Mas. Menstruasi," jawab gue lebih lugas. Takutnya dia terlalu syok hingga telinganya mengalami ganteng 'gangguan telinga'."Astaghfirullah!"Tubuh Pak Zian seketika mundur dengan frustasi sampai menyentuh dinding. "Jadi, kita gak bisa bikin anak? Jadi Mas, gak bisa ibadah syurga sekarang?" selanya seolah masih tak percaya. Gue menggelengkan kepala. "Enggak Mas, maaf yak. Seminggu lagi mungkin," jawab gue sambil menepuk punggungnya menyabarkan.Rasa penyesalan langsung menelusup tapi mau gimana lagi, masa dipaksakan? Kan gak mungkin. Dosa!Pak Zian membasahi bibirnya yang terlihat kering sambil berjalan lunglai ke arah tempat tidur. "Jadi, ide beriliannya gak bisa dilakukan sekarang, ya?" tanyanya ko
"Ma-maksud Bapak apa? Kenapa saya harus menjawab? Dan kenapa--""Jawab saja Tsan, jika saya suami kamu apakah kamu akan menerima saya?" tanya Pak Zian memutus ucapan gue dengan tatapan yang tajam seolah hendak membolongi kepala gue.Entah mengapa gue merasa dia bertanya seolah-olah sedang takut kehilangan dan ini membuat kecurigaan gue sama dia kian membesar.Melihat itu, gue mengepalkan tangan kuat. "Baiklah, saya akan jawab. Jika saya memiliki suami seperti Pak Zian mungkin saya ...." Gue menarik napas dalam sejenak, "akan menerimanya," jawab gue lirih.Mendapat jawaban itu dari gue, samar mata gue menangkap Pak Zian menghembuskan napas lega dan dia pun mencondongkan badan ke depan penuh perhatian. Seulas senyum terlukis di wajahnya yang tampan. "Alhamdullilah. Kalau begitu saya gak salah memilih istri. Kamu memang beda Tsan."Deg."Istri?" Gue sontak tercengang mendengar pernyataan Pak Zian. "Maksud Bapak apa? Kenapa menyebut istri? Jujur, Pak! Sebenarnya apa yang sedang terjadi?"
Pak Zian mengepalkan tangan sampai kukunya memutih karena sekuat tenaga menahan amarah. Kerut-kerut tajam mulai muncul di sudut mulut Pak Zian dan kulit pipinya menegang.Di saat membingungkan seperti sekarang. Jujur, gue tidak tahu apa yang harus dilakukan di tengah pertikaian keduanya sebab gue sendiri juga masih syok.Gue gak nyangka Bu Ayu bisa membongkar kebusukan Alina tepat di saat kami mau memasuki rumahnya.Gue bertanya-tanya. Haruskah sekarang gue jadi wasit? Atau ikut jadi pemain juga? Tapi, dibanding kena semprot gue memilih diam saja, auranya gak bagus buat ikut campur tapi honestly gue suka keributan ini.Sangat suka!Suruh siapa si kuntilanak itu ngambil kesempatan dalam kesempitan? Udah tahu dia yang selingkuh dan zina, masih mau berlaga polos dan merebut Pak Zian kembali lagi.Sekarang, rasakan akibatnya!"Mas, Mas, Ibu bohong! Janin ini milikmu, ini anakmu Mas!""Shut your fuckin mouth up, Alina! Berhenti bikin alasan! I told you, jika kamu memang selingkuh akui saja
Selama gue jadi menantu kalau diingat-ingat gue jarang banget pergi ke rumah mertua. Mungkin kedatangan gue buat berkunjung bisa dihitung dengan jari tapi kali ini gue rasa akan lebih sering bahkan gue bakal tinggal di sana. Sejujurnya, sampai detik ini gue masih tak percaya bahwa akhirnya gue akan menjadi istri yang gak dianggap. Gue masih ingat, dulu gue pergi ke rumah Bu Ayu--mertua gue sebagai istri yang ditunggu dengan digandeng Pak Zian tapi sekarang situasinya berbeda. Lelaki yang sebelumnya ada buat gue malah berada di samping mantan istrinya.Dan gue terpaksa menginjakan kaki di rumah ibu dengan status sebagai asisten di mata Pak Zian.'Huft! Miris sekali.' Gue menghembuskan napas dalam.Sepanjang perjalanan menuju ke rumah ibu mertua. Sejujurnya, gue ingin sekali cepat sampai tapi apa daya gue harus bersabar karena jalanan macet.Alhasil, dengan sangat terpaksa gue harus menjadi kambing congek selama ada di mobil Pak Zian. Setelah Alina memergoki kami di ruang inap VIP seb
"Saya menolak tawaran Mbak! Saya tidak mau Mbak jadi madu saya!""Kenapa? Apa salahnya? Coba kamu pikirkan Tsan, jika saya jadi istri kedua Zian, kita bisa saling mengasihi selayaknya keluarga, kan? Kita berdua akan merawat Zian! Kita gak perlu berpura-pura!""Bullshit! Jangan berharap! Ingat Mbak, sebelum kejadian ini Mbak telah mengkhianatinya dan pikirkan bayi dalam perut Mbak sendiri! Paham?! Camkan! Sampai kapan pun saya gak akan membiarkan Mbak mengambil Mas Zian! Permisi!"Dan setelah mengatakan penolakan gue yang tegas pada Alina, tanpa menunggu jawaban si iblis betina itu, gue pun pergi tanpa menoleh lagi.Gue bertekad gak akan membiarkan dia mengambil kesempatan dalam sandiwara ini.Never!(***)Gue mendesah mengingat percakapan beberapa hari yang lalu dengan Alina di kantin. Jujur, gara-gara tawaran gila tersebut sampai sekarang gue masih punya amarah yang belum terlampiaskan. Akibatnya, malam ini mata gue malas terpejam. Padahal waktu sudah menunjukan pukul satu dini hari.
Gue tahu bahwa dalam setiap kehidupan itu selalu ada perjuangan. Gue juga tahu kalau gak setiap hal sesuai keinginan tapi kali ini takdir sepenuhnya udah bikin gue serasa dihempaskan ke lembah terdalam.Gue berjalan gontai di sepanjang lorong rumah sakit, usai pembicaraan panjang dengan mertua, gue pun udah punya keputusan yaitu mulai hari ini gue harus berpura-pura menjadi 'orang lain' bagi Pak Zian. Meski perih gue harus sanggup sampai suami gue mampu mengingat semuanya.Namun, masalahnya sampai kapan gue bisa bertahan? Sampai kapan? Sementara membayangkan Alina ada di samping Pak Zian aja udah bikin gue sakit apalagi mengakuinya sebagai istri. Ah, gue akuin ini emang berat, tetap aja gue gak mau menyerah. Gue mau tetap berada di samping Pak Zian seperti dia mencintai gue sebelumnya.Selepas sepuluh menit berjalan di sepanjang lorong tanpa terasa kaki gue yang lemah udah mengantarkan badan ini sampai ke depan ruangan Pak Zian.Gue menarik napas dalam dan hendak memasang wajah yang
Amnesia? Gimana bisa Pak Zian mengalami amnesia? Kenapa Mas Tsabit bilang dia gak mengenal gue?Agh, shit! Gue gak percaya. Mustahil suami gue bisa melupakan gue gitu aja.Gue mendesis lelah sepanjang perjalanan menuju ruang rawat VIP yang menjadi tempat di mana Pak Zian kini dirawat. Kata Mas Tsabit di telepon tadi, suami gue diputuskan pindah ke sana sesuai arahan dokter karena keadaannya berangsur pulih.Sampai di depan pintu, entah kenapa kaki ini jadi ragu untuk melangkah. Gue merasa ada ketakutan yang tiba-tiba menelusup dan membuat gue ingin kabur. Namun, ini bukan waktunya untuk melarikan diri karena gue ingin menemuinya.Gue senang dia sadar. Itu yang lebih penting dari apa pun. Gue rindu!"Mas Zian ...."Cklek.Gue membuka perlahan pintu yang tertutup. Di dalam ruangan terlihat seorang tengah berbaring dengan kaki yang digips, tangan dan kepala yang diperban persis mumi yang baru saja bangkit. Gue tercenung, mata kami beradu pandang pertama kali. "ADEK PENOLONG!?" Pak Zia