Damar menyetujui cuti yang diajukan oleh kepala pelayan yang ada di depannya. Bukankah tidak manusiawi jika melarang seseorang yang ingin pulang karena mengantar neneknya ke peristirahatan terakhirnya? "Jadi itu alasanmu menangis sampai mata kamu seperti itu?" tanya Damar menunjuk ke wajah Shanaz."Benar, Tuan Besar. Karena saya merasa sangat kehilangan nenek saya," jawabnya."Baiklah kalau begitu. Kamu bisa pulang sekarang," ucap Damar. Kamu bisa minta supir untuk mengantarkan kamu pulang," lanjutnya. "Terimakasih atas izin yang Tuan berikan kepada saya. Akan tetapi saya bisa pulang sendiri Tuan," tolak Shanaz dengan halus."Aku sungguh ikhlas memberikan bantuan, tolong terimalah," ucap Damar.Shanaz menggelengkan kepalanya. "Tidak Tuan. Sekali lagi terimakasih." Ia tetap pada pendiriannya.Damar mengangguk. "Ya sudah kalau begitu. Saya harap kamu dan keluarga diberikan kesabaran ya. Dan semoga nenek kamu beristirahat dengan tenang," ucapnya."Amin Tuan. Terimakasih atas doa tulus
Nama Lorenzo tertera di layar ponsel Shanaz, ia masih bergeming dan enggan untuk mengangkatnya. Namun pertanyaan dari ibunya Nabila membuatnya terhenyak. "Hah? Iya Ibu tadi tanya apa?" tanyanya tak mengerti.Ibunya Nabila menghela napas. "Ibu tanya siapa yang menghubungimu?" Mengulangi lagi pertanyaannya.Shanaz tertawa canggung. "Oh, itu. Dari majikan Nabila, Bu," jawab Shanaz dengan jujur. "Tidak kamu angkat?" tanya ibunya Nabila menatap wajah Shanaz dengan intens. Shanaz tak kunjung mengangkat teleponnya, meski Lorenzo tak menyerah untuk menghubunginya.Shanaz menggelengkan kepalanya. "Kalau Nabila angkat dia pasti datang ke sini," jawab Shanaz.Bola mata ibunya Nabila membulat, saat mendengar jawaban yang keluar dari mulut anaknya. Majikan yang mana yang dimaksudkan? Karena yang ibunya Nabila ketahui majikan anaknya telah beristri dan akan mempunyai anak. "Majikan kamu yang mana yang dimaksud Nabila? Tuan Fernando?" Lalu Ibunya Nabila berusaha berpikiran positif bahwa yang mengh
Mata Lorenzo membulat. Terkejut dengan jawaban yang diberikan oleh pelayannya mengenai Shanaz. Rasanya seperti disambar petir di siang bolong. "Ada apa dengan gadis itu? Kemarin dia dingin dan seolah menghindariku. Sekarang malah pergi tanpa pamit. Ada masalah apa sih?" Begitu banyak pertanyaan di dalam kepalanya, membuat kepalanya terasa seperti berputar dan menjadi pusing."Dia tidak mengatakan apa-apa padaku. Pergi jam berapa Nabila? Dan ke mana? Lalu apa alasannya mengambil cuti?" Lorenzo memberondong pelayan di depannya dengan banyak pertanyaan, membuat dia bingung harus menjawabnya dari mana dulu. Dia bahkan terlihat gelagapan."Mbak Nabila bilang pulang mendadak karena neneknya meninggal dunia Tuan," jawab pelayan itu sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Shanaz tadi.Neneknya meninggal tetapi dia tidak mengatakannya padaku? Pikir Lorenzo. "Dia membangunkan aku tidak, sebelum pergi tadi?" tanya Lorenzo penasaran.Saat ini Lorenzo masih berpikiran positif bahwa tadi kepala pela
Yang punya nama langsung menoleh saat dipanggil namanya. Ada perasaan malas bersarang di dalam hatinya, saat bertanya kepada lelaki yang merupakan kakaknya tersebut. "Ada apa kak?" Lorenzo saat ini tidak memedulikan wajah adiknya yang terlihat ogah-ogahan, dan terkesan malas menanggapinya. Dia bahkan rela menurunkan egonya demi mendapatkan informasi mengenai alamat tempat tinggal ibunya Nabila.Alih-alih menjawab pertanyaan dari adiknya, Lorenzo malah mengajak adiknya bicara berdua, agar tidak terganggu oleh orang yang menurutnya tidak berkepentingan dalam hal ini. "Ikut aku sebentar ke ruangan kerjamu." "Kamu sarapan duluan saja kalau sudah lapar," ucap Fernando kepada Lita, sebelum dirinya menerima ajakan dari kakaknya.Lita mendengus, sambil memutar bola matanya, akibat kesal dengan tindakan 2 lelaki di depannya. "Kalau dia datang hanya membuat masalah saja!" Karena benar-benar lapar, ia melangkah ke ruang makan dan makan mendahului Fernando, seperti yang disuruh oleh suaminya ba
Lita menunjukkan raut wajah kecewa, namun tetap menerima keputusan Fernando. Ucapan suaminya ada benarnya, harusnya dia patut bersyukur karena suaminya menyuruhnya tak ikut. Acara pemakaman adalah acara yang membosankan. Di saat hamil besar seperti ini lebih nyaman rebahan di atas kasurnya yang empuk."Baiklah, kalau begitu. Aku tidak akan ikut," ucap Lita.Jauh di dalam hati Fernando merasa lega, karena istrinya tak jadi merengek untuk ikut dengannya. "Kalau begitu aku siap-siap dulu, ya," pamit Fernando lantas berlari ke arah kamarnya untuk mengganti baju.Beruntung tadi ia bangun lebih awal, jadi tak memerlukan waktu lama bagi fernando untuk berganti baju. Pakaian yang dikenakan oleh Fernando tak jauh beda dengan Lorenzo. Bernuansa serba hitam. Fernando menghampiri istrinya yang ternyata belum beranjak dari tempat duduknya di ruang makan. "Aku pergi dulu ya," pamit Fernando. Ia pergi setelah mengecup puncak kepala istrinya. "Iya," sahut Lita irit kata. Akan tetapi Fernando mera
"Berhentilah mengangguku dan menanyakan hal konyol itu," ucap Fernando disertai tatapan mata yang tajam.Fernando memundurkan kepalanya, tak berniat lagi untuk bertanya lagi karena takut. "Okey. Aku akan berhenti bertanya." Ia membuat gerakan zipper pada bibirnya.Hening, tak ada lagi pembicaraan antara kakak beradik itu. Hingga tanpa sadar mobilnya sudah terparkir di depan pintu gerbang mini rumah Nabila. Lorenzo dan Fernando dengan kompak mencocokan alamat serta nomor rumah yang tertera di samping pintu gerbang. Baik Fernando dan Lorenzo yakin penglihatan mereka tak salah. Alamat sudah benar. Akan tetapi yang membuat keduanya heran adalah keadaan rumah Nabila yang sepi. Yang lebih aneh lagi pintu gerbangnya digembok dengan gembok yang berukuran cukup besar."Pak, alamat yang kita cari benar di sini kan?" tanya Fernando kepada supir pribadinya.Supir pribadinya menoleh lantas mengangguk. "Benar Tuan. Saya sangat teliti dalam memastikan nomor rumahnya," jawabnya meyakinkan pendapatny
Shanaz menunjukkan raut wajah penuh kebingungan. Mau diingat sekeras apapun dia tidak akan pernah ingat, karena dia sesungguhnya bukan Nabila melainkan Shanaz. Berakting pikun menjadi andalannya.Shanaz tertawa canggung. "Si–siapa ya? Aku lupa," ucapnya.Lelaki yang memanggilnya tadi berdecap sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia yang tak tahu apa-apa menganggap Nabila sombong, padahal tidak seperti itu. "Ah, kamu sombong. Masa' bilang tidak mengenalku," ujarnya."Bukan sombong, mungkin karena kalian sudah lama tidak bertemu, jadi Nabila pangling," bela Virna. Yang merupakan ibunya lelaki itu.Virna kemudian mencoba mengingatkan Dafa kepada Shanaz. "Kalau kamu lupa, biar Tante ingatkan lagi ya. Ini Dafa, anak Tante. Dulu kalian sangat akrab sekali, suka main bersama," ucap Virna sambil memegangi kedua pundak anaknya."Oh, iya Tante." Hanya kalimat itu yang keluar dari mulut Shanaz. Ia tak mau bereaksi lebih banyak, karena malah akan terlihat aneh.Sedangkan Tami, tidak berpikir d
Santi melipat kedua tangannya di depan dada. Ia menatap tajam ke arah Shanaz. Santi kesal atas kepergian kepala pelayannya itu, sebab banyak pekerjaan menjadi kacau."Tapi saya cuti karena nenek saya meninggal, Nyonya Besar." Shanaz membela diri, meskipun berbohong.Damar menghampiri keributan yang ada di halaman rumahnya tersebut. Melihat istrinya sudah dalam mode marah, ia takut istrinya akan bertindak gegabah. "Ada apa ini?" tanya Damar melihat Shanaz dan istrinya secara bergantian. "Kamu lihat saja sendiri. Gara-gara dia izin mendadak semuanya jadi berantakan Yah," jawab Santi mengeluhkan tindakan Shanaz.Damar geleng-geleng kepala. "Astaga, Bu. Namanya meninggal dunia ya mana bisa direncanakan, pasti mendadak." Dia memang sengaja membela Shanaz karena ucapan istrinya benar-benar tidak logis, hanya karena sedang dikuasai oleh amarah.Emosi Santi semakin memuncak, ketika suaminya dinilai lebih membela pembantu ketimbang dirinya. Ia menatap suaminya dengan tatapan membunuh dan seak
"Apa kamu pikir aku adalah barang. Yang seenaknya sendiri bisa dipindah tangankan seperti ini?!" Nabila tersulut emosi mendengar pernyataan dari Fernando. Kini dia percaya dengan ucapan dari Lorenzo dan Shanaz yang mengatakan hal-hal buruk mengenai lelaki itu. Dia sekarang mengerti mengapa akhirnya Lorenzo dan Shanaz nekat menikah saat wanita itu terjebak di tubuhnya. Karena selain saling mencintai. Lorenzo pasti ingin menyelamatkan Shanaz. "Bukan seperti tapi–" Fernando mau berkilah. Namun Lita memukul lengannya dengan kencang sambil menangis. Dia tak menyangka kalau ternyata kelakuan suaminya masih tak berubah. Laki-laki yang hanya mengedepankan hawa nafsunya saja. "Keterlaluan! Kamu ceraikan saja aku kalau mau menikahi wanita lain," amuk Lita."Aku juga tidak mau menikah dengan suamimu. Jadi kamu tenang saja," sambar Nabila. Ia kemudian pergi meninggalkan tempat itu. "Permisi!" Lorenzo dan Shanaz sebenarnya kasihan. Mereka berniat mengejar Nabila. Namun terlebih dahulu berpamita
Berbagai pengobatan telah dilakukan oleh Shanaz demi bisa sembuh. Dan setelah 3 tahun usahanya membuahkan hasil. Kini dia sudah cukup sehat untuk kembali ke rumah keluarga besar Lorenzo. Keluarga Lorenzo tak pernah mengetahui cerita mengenai jiwa Shanaz yang selama ini terperangkap di dalam tubuh Nabila. Dan saat tiba-tiba Shanaz muncul di keluarga mereka, Lorenzo hanya berkata kebetulan menemukan Shanaz. "Bagaimana bisa tiba-tiba kamu bertemu dengan Shanaz? Dia kan sudah–" tanya Santi yang tak bisa melanjutkan kalimatnya. Entah mengapa perasaannya campur aduk. Ayahnya juga mempunyai pertanyaan yang sama. Namun memilih diam.Sementara Fernando dan Lita di dalam hatinya merasa cemas. Apalagi kalau bukan masalah uang asuransi jiwa yang dimiliki oleh Shanaz. Mereka takut Shanaz akan mempertanyakannya. Padahal tidak. Shanaz dan Lorenzo tak peduli mengenai masalah itu."Belum Ibu. Shanaz belum meninggal," jawab Lorenzo dengan sopan.Di sana juga ada Nabila. Dia duduk di samping Lorenzo.
Karena kesal Santi mengakhiri sambungan teleponnya secara sepihak. Nabila menjauhkan ponselnya dari telinganya. Lalu meminta penjelasan dari Lorenzo."Siapa itu Edward?" tanya Nabila dengan raut wajah yang serius."Edward adalah kami. Maksudku anakku dengan Shanaz," jawab Lorenzo.Nabila mematung. Kini tak tahu harus berbuat apa. Lorenzo memohon agar Nabila mau pulang dengannya. Ini semua dia lakukan demi anaknya."Anakku membutuhkanmu. Setidaknya pulanglah demi Edward," pinta Lorenzo."Okey. Aku mau mengurus Edward. Tapi di rumah ibuku," sahut Nabila. "Dan 1 lagi. Aku tak mau kamu ikut denganku," lanjutnya memberi syarat. Padahal Lorenzo belum menjawabnya.Lorenzo terdiam. Dia tak bisa menyalahkan Nabila dalam hal ini. Seorang gadis yang tak tahu apa-apa. Tiba-tiba bangun dengan status baru sebagai seorang istri dan anak. Dia berhak marah. Meskipun sebenarnya Lorenzo terlanjur nyaman karena terlalu lama bersama dengan Nabila. "Bagaimana?" tanya Nabila ingin memastikan.Lorenzo tak b
Lorenzo menghargai keputusan Shanaz. Hanya saja dia tak menyangka, bahwa istri yang dia nikahi. Istri yang sanggup membuatnya merasa nyaman setelah kepergian Shanaz adalah mantan adik iparnya sendiri. Yang tak lain adalah Shanaz. "Lalu bagaimana cara agar mereka bisa kembali ke tubuh mereka masing-masing?" tanya Lorenzo."Pejamkan mata. Lalu genggam erat tangannya dan katakan mari bertukar posisi lagi sebanyak 3 kali. Maka kalian akan bertukar posisi seperti semula," jawab orang misterius tadi.Shanaz yang awalnya menunduk lesu karena bimbang, menjadi menoleh ke arahnya. "Kamu mau aku kembali ke badanku?" Shanaz bertanya balik."Semua keputusan ada di tanganmu," jawab Lorenzo. Shanaz dan Lorenzo bersitatap. Lorenzo kemudian menoleh ke arah orang misterius tadi. "Apa konsekuensi jika Shanaz memilih kembali ke tubuhnya?" tanyanya."Seperti yang kamu lihat. Dia akan koma. Jika kamu mau kamu harus menunggu sampai dia sembuh," jawab orang misterius tadi. "Jika tidak kembali ke tubuh masi
Lita selalu berupaya mencelakai Shanaz dan juga bayinya. Misalnya menukar obat Shanaz. Namun tak berhasil karena salah seorang pelayan memberi tahu Shanaz. Saya itu Shanaz hanya memberi peringatan agar Lita tak lagi melakukan hal itu. Shanaz tak tega melaporkan kejadian ini karena kasihan kepada Felicia, sebab anak itu sakit-sakitan dan butuh penanganan medis khusus. Namun ternyata Lita tak juga jera. Dia menyabotase mobil Shanaz agar mengalami kecelakaan. Beruntung Fernando dapat mencegahnya. Dia mengorbankan diri dengan mengorbankan mobilnya menjadi penghalang mobil Shanaz yang akan kecelakaan. Shanaz lagi-lagi menemukan bukti bahwa Lita pelakunya. Dan berjanji akan memberi tahu soal ini pada keluarga besar Fernando. Lita mulai jera kali ini.Saat di rumah sakit. Ketika menjenguk Fernando yang sedang kecelakaan. Shanaz menabrak seseorang. Sosok itu tak asing bagi Shanaz. Dia orang yang sama dengan yang menabraknya usai dirinya kecelakaan lalu bertukar tubuh dengan Nabila."Kamu kan–
Setelah mendengar alasan Lita ingin menemui Fernando. Lorenzo yang ada di depan pintu gerbang menyuruh satpam untuk membukakan pintu. "Bukakan pintunya Pak.""Tapi Tuan Fernando melarang saya, Tuan Lorenzo," sahut satpam. "Dia tidak akan berani protes kalau aku yang menyuruhnya," ucap Lorenzo. "Baik Tuan Lorenzo. Kalau begitu akan saya bukakan pintunya," sahut satpam. Ia kemudian membukakan pintu gerbang untuk Lita.Lita tak henti menatap wajah kakak iparnya. Setelah pintu gerbang dibuka ia mengucapkan rasa terimakasihnya yang tulus. Dia begitu terharu akan kebaikan yang ditujukan oleh lelaki yang dulunya sangat ia benci."Terimakasih Kak Lorenzo. Karena telah memberikan izin Lita untuk masuk," ucap Lita dengan berlinang air mata."Aku melakukan ini bukan karenamu. Tapi karena anakmu. Dia bagian dari keluarga ini," sahut Lorenzo dengan nada dingin.Lita menghapus air matanya dengan mandiri. Tak apalah jika Lorenzo berpikiran seperti itu. Yang terpenting dia bisa masuk dan menemui Fe
Lorenzo masih mematung. Namun setelah dapat mengendalikan dirinya, tangannya yang tadi mengambang di udara mendekap erat Shanaz. Akan tetapi dia masih ragu. Apakah ini artinya Shanaz telah menerima cintanya?Lorenzo kemudian mengurai pelukannya. Ia menatap wajah Shanaz dengan intens. "Apa ini artinya kamu sudah dapat menerimaku?" tanya Lorenzo memastikan.Shanaz menangis sambil mengangguk. "Iya," jawabnya dengan singkat. Namun itu sudah cukup membuktikan semuanya. Lorenzo tersenyum. Ia kemudian kembali memeluk tubuh Shanaz dengan erat. Tangannya mengusap lembut rambutnya yang panjang."Terimakasih, karena kamu mau membuka pintu hatimu untukku," ucap Lorenzo."Seharusnya saya yang berterima kasih kepada Tuan. Karena masih mau menerimaku yang—"Lorenzo dengan cepat melepaskan kembali pelukannya. Ia kemudian menangkup kedua sisi pipi Shanaz. Lalu 1 jari telunjuknya ditempelkan pada bibir Shanaz. "Tolong jangan katakan kalimat yang melukai hatiku," sambarnya memotong pernyataan dari Shana
Shanaz terbaring lemah di atas ranjang kamar apartemen Lorenzo. Dengan leluasa Fernando membuka satu persatu pakaian Shanaz, hingga tak menyisakan sehelai benangpun menutupi tubuh wanita itu. Fernando melepas pakaiannya. Kemudian setelah menampilkan tubuh polosnya ia memagut bibir Shanaz dengan lembut. Tangannya mulai turun dan meremas puncak gundukan dada Shanaz. Karena tak dapat menahan gairahnya lagi, Fernando hendak menancapkan kepunyaannya di dalam organ inti milik Shanaz. Fernando mengalami kesulitan, saat tak dapat menembus benteng pertahanan Shanaz. Itu artinya wanita ini belum terjamah oleh laki-laki lain. Fernando semakin bernafsu. "Rupanya kamu benar-benar masih menjaga kesucianmu. Aku sangat beruntung," gumamnya.Shanaz yang mulai merasakan sakit di area sensitifnya, lalu membuka mata. Dia menangis karena shock. Sekuat tenaga ia mendorong tubuh Fernando. Akan tetapi kekuatannya kalah besar dengan tubuh kekar Fernando."Tuan Fernando jangan lakukan ini kepada saya. Saya mo
Kejadian yang tidak diinginkan terjadi. Meisya yang mendengar berita tentang Fernando datang ke rumah Fernando untuk mencari kebenaran. Dia shock saat melihat pakaian Shanaz yang compang camping."Ceritanya panjang. Kalau kamu ingin tahu ikut dengan kami," jawab Lorenzo. Tanpa berpamitan Lorenzo berjalan menuju ke mobilnya dan membuka pintu. Lorenzo memberi kode agar Shanaz duduk di belakang. Sementara ia duduk di kursi kemudi. Meisya sebenarnya masih shock. Namun karena ingin tahu apa yang terjadi dia ikut masuk ke dalam mobil. Ia duduk di samping Lorenzo.Mobil Lorenzo kemudian melaju meninggalkan rumah Fernando. Membelah jalanan yang sudah sepi menuju ke apartemennya. Di dalam mobil Lorenzo menjelaskan kronologi kejadian yang dialami oleh Shanaz. Meisya merasa iba."Kasihan sekali dia. Pasti dia menjadi sangat trauma," ucap Meisya dengan tulus."Itu sudah pasti. Maka dari itu aku mau mengamankannya sementara waktu di apartemenku," sahut Lorenzo.Meisya mengangguk. "Aku setuju."Mal