Nama Lorenzo tertera di layar ponsel Shanaz, ia masih bergeming dan enggan untuk mengangkatnya. Namun pertanyaan dari ibunya Nabila membuatnya terhenyak. "Hah? Iya Ibu tadi tanya apa?" tanyanya tak mengerti.Ibunya Nabila menghela napas. "Ibu tanya siapa yang menghubungimu?" Mengulangi lagi pertanyaannya.Shanaz tertawa canggung. "Oh, itu. Dari majikan Nabila, Bu," jawab Shanaz dengan jujur. "Tidak kamu angkat?" tanya ibunya Nabila menatap wajah Shanaz dengan intens. Shanaz tak kunjung mengangkat teleponnya, meski Lorenzo tak menyerah untuk menghubunginya.Shanaz menggelengkan kepalanya. "Kalau Nabila angkat dia pasti datang ke sini," jawab Shanaz.Bola mata ibunya Nabila membulat, saat mendengar jawaban yang keluar dari mulut anaknya. Majikan yang mana yang dimaksudkan? Karena yang ibunya Nabila ketahui majikan anaknya telah beristri dan akan mempunyai anak. "Majikan kamu yang mana yang dimaksud Nabila? Tuan Fernando?" Lalu Ibunya Nabila berusaha berpikiran positif bahwa yang mengh
Mata Lorenzo membulat. Terkejut dengan jawaban yang diberikan oleh pelayannya mengenai Shanaz. Rasanya seperti disambar petir di siang bolong. "Ada apa dengan gadis itu? Kemarin dia dingin dan seolah menghindariku. Sekarang malah pergi tanpa pamit. Ada masalah apa sih?" Begitu banyak pertanyaan di dalam kepalanya, membuat kepalanya terasa seperti berputar dan menjadi pusing."Dia tidak mengatakan apa-apa padaku. Pergi jam berapa Nabila? Dan ke mana? Lalu apa alasannya mengambil cuti?" Lorenzo memberondong pelayan di depannya dengan banyak pertanyaan, membuat dia bingung harus menjawabnya dari mana dulu. Dia bahkan terlihat gelagapan."Mbak Nabila bilang pulang mendadak karena neneknya meninggal dunia Tuan," jawab pelayan itu sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Shanaz tadi.Neneknya meninggal tetapi dia tidak mengatakannya padaku? Pikir Lorenzo. "Dia membangunkan aku tidak, sebelum pergi tadi?" tanya Lorenzo penasaran.Saat ini Lorenzo masih berpikiran positif bahwa tadi kepala pela
Yang punya nama langsung menoleh saat dipanggil namanya. Ada perasaan malas bersarang di dalam hatinya, saat bertanya kepada lelaki yang merupakan kakaknya tersebut. "Ada apa kak?" Lorenzo saat ini tidak memedulikan wajah adiknya yang terlihat ogah-ogahan, dan terkesan malas menanggapinya. Dia bahkan rela menurunkan egonya demi mendapatkan informasi mengenai alamat tempat tinggal ibunya Nabila.Alih-alih menjawab pertanyaan dari adiknya, Lorenzo malah mengajak adiknya bicara berdua, agar tidak terganggu oleh orang yang menurutnya tidak berkepentingan dalam hal ini. "Ikut aku sebentar ke ruangan kerjamu." "Kamu sarapan duluan saja kalau sudah lapar," ucap Fernando kepada Lita, sebelum dirinya menerima ajakan dari kakaknya.Lita mendengus, sambil memutar bola matanya, akibat kesal dengan tindakan 2 lelaki di depannya. "Kalau dia datang hanya membuat masalah saja!" Karena benar-benar lapar, ia melangkah ke ruang makan dan makan mendahului Fernando, seperti yang disuruh oleh suaminya ba
Lita menunjukkan raut wajah kecewa, namun tetap menerima keputusan Fernando. Ucapan suaminya ada benarnya, harusnya dia patut bersyukur karena suaminya menyuruhnya tak ikut. Acara pemakaman adalah acara yang membosankan. Di saat hamil besar seperti ini lebih nyaman rebahan di atas kasurnya yang empuk."Baiklah, kalau begitu. Aku tidak akan ikut," ucap Lita.Jauh di dalam hati Fernando merasa lega, karena istrinya tak jadi merengek untuk ikut dengannya. "Kalau begitu aku siap-siap dulu, ya," pamit Fernando lantas berlari ke arah kamarnya untuk mengganti baju.Beruntung tadi ia bangun lebih awal, jadi tak memerlukan waktu lama bagi fernando untuk berganti baju. Pakaian yang dikenakan oleh Fernando tak jauh beda dengan Lorenzo. Bernuansa serba hitam. Fernando menghampiri istrinya yang ternyata belum beranjak dari tempat duduknya di ruang makan. "Aku pergi dulu ya," pamit Fernando. Ia pergi setelah mengecup puncak kepala istrinya. "Iya," sahut Lita irit kata. Akan tetapi Fernando mera
"Berhentilah mengangguku dan menanyakan hal konyol itu," ucap Fernando disertai tatapan mata yang tajam.Fernando memundurkan kepalanya, tak berniat lagi untuk bertanya lagi karena takut. "Okey. Aku akan berhenti bertanya." Ia membuat gerakan zipper pada bibirnya.Hening, tak ada lagi pembicaraan antara kakak beradik itu. Hingga tanpa sadar mobilnya sudah terparkir di depan pintu gerbang mini rumah Nabila. Lorenzo dan Fernando dengan kompak mencocokan alamat serta nomor rumah yang tertera di samping pintu gerbang. Baik Fernando dan Lorenzo yakin penglihatan mereka tak salah. Alamat sudah benar. Akan tetapi yang membuat keduanya heran adalah keadaan rumah Nabila yang sepi. Yang lebih aneh lagi pintu gerbangnya digembok dengan gembok yang berukuran cukup besar."Pak, alamat yang kita cari benar di sini kan?" tanya Fernando kepada supir pribadinya.Supir pribadinya menoleh lantas mengangguk. "Benar Tuan. Saya sangat teliti dalam memastikan nomor rumahnya," jawabnya meyakinkan pendapatny
Shanaz menunjukkan raut wajah penuh kebingungan. Mau diingat sekeras apapun dia tidak akan pernah ingat, karena dia sesungguhnya bukan Nabila melainkan Shanaz. Berakting pikun menjadi andalannya.Shanaz tertawa canggung. "Si–siapa ya? Aku lupa," ucapnya.Lelaki yang memanggilnya tadi berdecap sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia yang tak tahu apa-apa menganggap Nabila sombong, padahal tidak seperti itu. "Ah, kamu sombong. Masa' bilang tidak mengenalku," ujarnya."Bukan sombong, mungkin karena kalian sudah lama tidak bertemu, jadi Nabila pangling," bela Virna. Yang merupakan ibunya lelaki itu.Virna kemudian mencoba mengingatkan Dafa kepada Shanaz. "Kalau kamu lupa, biar Tante ingatkan lagi ya. Ini Dafa, anak Tante. Dulu kalian sangat akrab sekali, suka main bersama," ucap Virna sambil memegangi kedua pundak anaknya."Oh, iya Tante." Hanya kalimat itu yang keluar dari mulut Shanaz. Ia tak mau bereaksi lebih banyak, karena malah akan terlihat aneh.Sedangkan Tami, tidak berpikir d
Santi melipat kedua tangannya di depan dada. Ia menatap tajam ke arah Shanaz. Santi kesal atas kepergian kepala pelayannya itu, sebab banyak pekerjaan menjadi kacau."Tapi saya cuti karena nenek saya meninggal, Nyonya Besar." Shanaz membela diri, meskipun berbohong.Damar menghampiri keributan yang ada di halaman rumahnya tersebut. Melihat istrinya sudah dalam mode marah, ia takut istrinya akan bertindak gegabah. "Ada apa ini?" tanya Damar melihat Shanaz dan istrinya secara bergantian. "Kamu lihat saja sendiri. Gara-gara dia izin mendadak semuanya jadi berantakan Yah," jawab Santi mengeluhkan tindakan Shanaz.Damar geleng-geleng kepala. "Astaga, Bu. Namanya meninggal dunia ya mana bisa direncanakan, pasti mendadak." Dia memang sengaja membela Shanaz karena ucapan istrinya benar-benar tidak logis, hanya karena sedang dikuasai oleh amarah.Emosi Santi semakin memuncak, ketika suaminya dinilai lebih membela pembantu ketimbang dirinya. Ia menatap suaminya dengan tatapan membunuh dan seak
Nabila secepat kilat mengusap air matanya dengan menggunakan punggung tangannya. Ia kemudian berdehem untuk menormalkan kembali suaranya. "Ini Nabila," sahut Shanaz. Setelah pintu dibuka, ternyata yang ada di balik pintu toilet adalah rekan kerja Shanaz. "Maaf ya. Perutku sepertinya sedikit bermasalah, jadi terpaksa mengetuk pintu," ucapnya sambil memegangi perutnya."Oh, tidak apa-apa Mbak, kebetulan saya sudah selesai kok," sahutnya. Sambil melangkah keluar dari toilet.Temannya tadi langsung menggeser badan Shanaz yang masih berdiri di dekat pintu toilet. Lalu menerobos masuk. Shanaz melangkah meninggalkan toilet dan melanjutkan pekerjaannya.**Sore itu Lorenzo merasakan penat yang teramat sangat oleh segala rutinitasnya di perusahaan. Ia melihat Shanaz melintas, tercetus keinginan untuk kembali akrab dengan wanita itu. Kemudian ia memanggilnya. "Nabila." Lorenzo tersenyum sambil mengangkat tangannya.Berstatus sebagai seorang pelayan, membuat Shanaz harus bersikap patuh dan menu