Beranda / Urban / Tukang Pijat Tampan / Skors atau Dipecat?

Share

Skors atau Dipecat?

Penulis: Black Jack
last update Terakhir Diperbarui: 2025-03-29 09:51:27

Pak Rudy dan klien gadungan itu mengajak Adit ke ruang manager. Ada dua terapis lain yang ikut-ikutan.

Celina menatap heran kedatangan orang-orang itu.

“Anda manager di sini?” kata si klien sewaan itu.

“Benar. Ada apa ini?” tanya Celina mencoba tetap bersikap tenang dan profesional.

“Terapis Anda ini sungguh bodoh! Dia hampir mencelakaiku. Pijitannya membuat kakiku terasa sakit dan hampir patah!” ucapnya menggebu-gebu.

“Saya bahkan baru memijitnya, ibu...” Adit langsung menyela membela diri.

“Hei diam kau!” Pak Rudi menghardik Adit.

Keributan di ruang manajer semakin memanas. Celina duduk di belakang meja kerjanya dengan ekspresi tegang, sementara di depannya, seorang pria setengah baya dengan wajah merah padam terus mengoceh. Dialah klien yang mengaku mengalami cedera akibat pijatan Adit. Di sebelahnya, Pak Rudi berdiri dengan wajah penuh kepuasan.

"Saya tidak peduli! Saya akan menuntut klinik ini jika pemuda itu tidak dipecat!" bentak si klien, suaranya menggema di seluruh ruangan.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terkait

  • Tukang Pijat Tampan   Bos Ingin Bertemu

    Pak Rudi merasa galau. Tadinya, ia berpikir ingin mencari surat medis palsu untuk menyingkirkan Adit. Tapi setelah mendengar ucapan Celina, ia berpikir keras. Gawat juga jika sampai Adit disukai oleh bosnya.‘Brengsek. Bagaimana caranya menyingkirkan anak itu! Sial! Sebenarnya apa yang ia lakukan? Kenapa klien-klien selalu senang dan puas dengan pelayanannya?’ Pak Rudi tak habis pikir.Ia segera menemui orang sewaannya tadi, memberikan bayaran dan menyuruhnya pergi begitu saja. Tak ada kelanjutan dari sandiwara itu. Lagipula, ia juga tak mau keluar uang terlalu banyak. Tadinya ia berpikir, hanya dengan peristiwa itu saja, Adit bisa dipecat. Namun ternyata tidak juga. Celina masih berpihak kepada Adit. Ia sangat tahu hal itu.Jadi kegelisahan Pak Rudi kali ini adalah ingin mencari tahu, apa rahasia Adit; kenapa kliennya bisa puas.Sementara itu, usai berbicara dengan Pak Rudi, Celina memanggil Adit yang saat itu gelisah menunggu keputusan.Sesungguhnya ia sangat kesal. Ia tahu ia dijeb

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-30
  • Tukang Pijat Tampan   Ibu Bos Datang

    Adit sungguh malas jika ia harus kembali ke tempat istirahat. Ia tahu, di sana ada beberapa terapis cowok yang sudah pasti paham apa masalah yang menimpanya hari itu. Mungkin di sana juga ada Pak Rudi. Tapi Bu Celina meminta ia untuk menunggu di ruang istirahat. Jadilah ia ke sana.Adit melangkah malas menuju ruang istirahat, menghela napas panjang sebelum membuka pintu. Ia tahu betul siapa saja yang mungkin ada di dalam. Dan benar saja, begitu ia masuk, tatapan beberapa orang langsung tertuju padanya.Pak Rudi duduk di sudut ruangan dengan ekspresi puas, sementara Iwan dan beberapa terapis lain yang tidak menyukainya tampak saling berbisik sebelum akhirnya bersuara."Lho, kok balik lagi?" suara Iwan yang penuh sindiran langsung menyambut Adit."Bukannya tadi sudah diusir?" tambah salah satu terapis lain sambil terkekeh.Adit mengabaikan mereka dan berjalan ke salah satu kursi kosong. "Bu Celina menyuruhku menunggu. Aku nggak bisa pulang dulu."Pak Rudi yang sejak tadi diam akhirnya b

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-01
  • Tukang Pijat Tampan   Memijit Ibu Bos!

    “Silakan masuk dulu, Ibu Renata. Saya akan memanggilkan Bu Celina dan Adit,” kata Pak Rudi dengan senyum tak ikhlas mengembang di wajahnya. Ia menemanik Renata pergi ke ruang tamu khusus yang biasanya digunakan oleh sang pemilik tempat itu saat berkunjung.Dengan perasaan tak nyaman, Pak Rudi pertama-tama ingin mencari Celina. Namun ia melihat anak buahnya, Toni, sedang mengernyit kesakitan lengannya dipijit oleh Iwan.“Ada apa ini?”“E, tangan Toni terkilir, pak...” balas Iwan.“Tadi dipelintir Adit...” sambung Hendra. Ia tak sadar jika telah mengucapkan kalimat yang salah sampai Iwan dan Toni menoleh dan melotot ke arahnya.Pak Rudi mengernyitkan dahinya, “Adit? Kau berkelahi dengannya?” Pak Rudi langsung curiga.“E, maaf Pak... tadinya, saya hanya ingin memberi dia pelajaran...”“Astaga... apakah Ibu Celina tahu kalian berkelahi?”“T-tidak Pak. Tak sampai ramai kok...”Mendengar hal itu, Pak Rudi bisa langsung membayangkan apa yang terjadi, “Kau kalah, Ton?”Wajah Toni terlihat bur

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-02
  • Tukang Pijat Tampan   Makan Siang Bersama Ibu Renata

    Celina masih terlihat bengong, lalu kemudian ia tersadar. “E, tentang skors itu... adalah?”“Biar aku pikirkan nanti. Posisimu sulit saat ini, Cel. Anak-anak yang bekerja di sini juga harus merasa kamu bisa adil selama Adit pun belum bisa membuktikan jika dia tak bersalah. Tapi aku memang percaya Adit tak bersalah. Begitulah kehidupan!” kata Ibu Renata.“Oh, baik...” kata Celina. Adit hanya diam saja; bingung dengan nasibnya. Ia pun juga pasrah pada akhirnya. Terserah. Jika dipecatpun tak masalah.“Ini masih siang dan masih jam kerjamu, kan?” tanya Renata.“E, iya Bu...” kata Aditr. Bersamaan dengan itu, perut Adit berbunyi keras. Adit sangat malu dan meminta maaf.Renata tertawa, “Astaga, tadi kamu memijitku pas istirahat siang. Apakah kamu belum makan?”“Eh, belum Ibu... saya mohon maaf...” kata Adit.“Tak perlu minta maaf. Ini sudah jam dua siang. Wajar jika kamu kelaparan. Ayo ikut aku! Bawa barang-barangmu! Aku juga lapar. Temani aku makan siang!” kata Renata.“Oh, baik, Ibu...”

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-03
  • Tukang Pijat Tampan   Akan Menjadi Asisten Pribadi

    “Skorsmu dua minggu, kan?” tanya Renata.“E, benar Ibu...” balas Adit.“Selama dua minggu ini, aku ingin kamu menjadi asistenku. Tugasmu banyak, entah apa nanti. Maka kamu harus standby di rumahku nantinya. Dan mungkin kamu akan lebih banyak mengawalku karena kamu bisa beladiri. Nanti jika sudah bisa lancar menyetir, sekalian saja kamu menjadi sopirku!” kata Renata.Adit mengernyitkan keningnya, “Jadi, saya tidak lagi menjadi terapis di klinik? Atau ini hanya dalam masa skors saja?” tanya Adit.“Kita lihat nanti. Yang jelas, jika aku senang dengan pekerjaanmu, mungkin kamu akan lama menjadi asistenku sebelum aku kembalikan ke Celina!” kata Renata.Adit cukup terkejut mendengarnya. Tapi tak ada yang bisa ia lakukan kecuali pasrah saja. Yang penting ia tak dipecat.“Oke, jika maemnya sudah, kita akan pulang. Nanti kamu akan belajar menyetir langsung dari sopirku. Bayu namanya!” kata Renata.“Siap Ibu...” kata Adit.Renata mengajak Adit masuk ke dalam mobilnya setelah mereka selesai maka

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-04
  • Tukang Pijat Tampan   Dunia Malam Renata

    Adit menyalakan motornya dengan tarikan napas panjang. Suara mesin yang serak dan bergetar kasar menyambutnya, seolah motor itu ikut mengeluh karena sudah terlalu tua.Ia baru saja menjalani hari paling aneh sekaligus paling mewah dalam hidupnya, dan kini kembali ke kenyataan: sebuah motor tua dan hidup yang serba pas-pasan.Dari sudut matanya, Adit melihat seseorang berlari kecil ke arahnya.“Tunggu, Dit!”Ia menoleh. Tia datang tergesa, mengenakan tas kecil menyilang dan wajah penuh harap. Nafasnya sedikit terengah, tapi senyumnya tetap merekah.“Kamu mau pulang sekarang?” tanya Tia cepat.Adit mengangguk pelan. “Iya… motorku masih di sini, jadi ya...”“Aku nebeng ya? Aku capek banget. Tadi udah mikir mau naik ojek, tapi ngeliat kamu ada di sini…”Adit ingin menolak, tapi tak tega. Apalagi wajah Tia seperti anak kucing kehujanan, sulit untuk diabaikan.“Iya, naik aja,” ucapnya sambil bergeser sedikit ke depan.Tia langsung naik dan memeluk pinggang Adit dengan santai. “Makasih bange

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-05
  • Tukang Pijat Tampan   Hari Pertama Bekerja Dengan Renata

    Malam itu, kamar Adit terasa lebih sunyi dari biasanya. Ia duduk di lantai, menghadap lemari pakaian kecil yang catnya mulai mengelupas. Di sebelahnya terbuka sebuah tas ransel lusuh yang akan ia bawa ke rumah Renata besok pagi. Ia melipat beberapa potong pakaian secukupnya; kaus, celana, pakaian dalam, dan handuk. Semuanya biasa saja, sederhana, dan menunjukkan betapa pas-pasan hidupnya.Sesekali ia berhenti melipat dan menatap kosong ke depan, pikirannya berkelana ke segala arah.“Gila... aku tinggal di rumah bos kayak gitu,” gumamnya pelan, hampir tidak percaya; antara senang dan tidak. Yang jelas, ia pun juga tidak munafik, membayangkan setiap hari akan makan enak dan tak perlu keluar uang.Ia teringat interior mewah rumah itu, betapa harum dan bersihnya, kontras sekali dengan tempat tinggalnya yang hanya seperti itu; rumah kecil dengan dua kamar, satu dapur, satu kamar mandi, satu teras sekaligus ruang tamu dengan tembok tipis dan suara tetangga yang kadang ikut masuk tanpa permi

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-06
  • Tukang Pijat Tampan   Ke Sebuah Gudang

    Setelah makan malam di sebuah restoran Prancis dengan nuansa remang-remang dan musik klasik yang mengalun lembut, Adit merasa cukup kenyang dan sedikit mengantuk. Ia nyaris berpikir bahwa malam itu akan segera berakhir, bahwa mereka akan kembali ke rumah dan ia bisa segera rebahan di tempat tidur barunya yang empuk. Tapi ternyata tidak.Renata mengemudikan mobilnya sendiri kali ini. Ia tak menyuruh Adit menyetir, hanya memintanya duduk di kursi penumpang sambil sesekali melirik ponselnya yang tak henti bergetar.“Ada masalah?” tanya Adit, setengah mengantuk, tapi waspada.Renata mengangguk kecil. “Ada pengiriman barang yang hilang dari gudangku. Minuman keras yang seharusnya masuk ke jalur bar dan lounge, tapi lenyap. Aku sudah lama curiga sama orang-orang yang mengurusi distribusi di wilayah selatan.”“Jadi kita mau ke sana sekarang?” tanya Adit. Ia merasa sungkan karena tak menyetir. Dan ia kaget juga mendengar tentang minuman keras. Otaknya bertanya-tanya, namun ia mencoba merangka

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-07

Bab terbaru

  • Tukang Pijat Tampan   Weekend Dan Waktunya Melepas Penat

    Adit cukup gugup dan mati gaya kali ini. Semakin ia menanggapi Renata, semakin pula situasi itu tak akan sederhana. Ia tak mau Renata mengetahui jika ia adalah lelaki yang ‘lemah’; kebanggaan di dalam celananya itu tak akan berfungsi dan saat itu pun, tak ada sesuatu yang keras.Demi apa, sesungguhnya Adit cukup frustasi dengan keadaannya. Sebagai seorang lelaki muda, sebagai seorang perjaka, tentu ia tergoda. Ia ingin mencoba seperti apa rasanya kenikmatan surgawi yang membuat setiap orang ketagihan itu.Adit menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan seluruh kekuatan tekadnya. Hanya ada satu cara ia bisa lolos dalam jerat asmara yang memabukkan itu; membuat Renata menggelepar puas dan tak bertenaga setelahnya, melalui pijitan tangannya.“Ibu Renata, em… boleh saya bertanya?” tanya Adit pelan.“Tanya apa sayang? Aku mengizinkanmu berbuat jauh. Lakukanlah…” kata Renata mendesah manja.“E, itu… gampang. Sebenarnya, saya ingin tanya, apakah weekend besok, saya boleh ke rumah. Kasihan rumah

  • Tukang Pijat Tampan   Semakin Hari, Godaan Semakin Menyiksa

    Renata meletakkan gelas wine-nya di meja kaca dengan pelan. “Aku tahu kamu bukan anak kecil, Dit. Kamu pintar. Dan cepat baca situasi.”Renata berdiri perlahan, berjalan menuju jendela besar yang menghadap taman belakang rumahnya, lalu menatap ke luar. Bahunya agak merosot turun, suaranya jadi lebih tenang.“Klinik itu... cuma satu dari banyak wajah yang harus aku rawat. Di permukaan, ya, kita kasih terapi, layanan kecantikan, dan semacamnya. Tapi di balik itu, kita juga jadi pelampiasan untuk para lelaki kaya yang... lapar.”Adit masih diam di tempat duduknya. Ia mendengar tanpa menyela.“Dunia ini nggak adil buat perempuan, Dit. Dan kadang... perempuan kayak aku, atau Ayunda, nggak punya banyak pilihan. Jadi daripada kita diinjak, mending kita main di atas panggungnya, tapi dengan cara kita sendiri.”Ia menoleh ke Adit, pandangannya tajam lagi. “Yang penting, kontrolnya tetap di tangan kita. Aku nggak izinkan perempuan-perempuan di klinik itu dijadikan mainan tanpa batas. Aku jaga m

  • Tukang Pijat Tampan   Menemani Renata Mengobrol

    Begitu Adit turun dari tangga, ia langsung melihat Tia duduk di bangku kecil dekat lobi klinik. Tia pura-pura sibuk dengan ponselnya, seolah tak memperhatikan kehadiran Adit. Tapi Adit tahu, perempuan itu memang sengaja menunggu.Ia melangkah pelan lalu berdiri di depan Tia.“Mau aku antar pulang?”Tia mengangkat alis, ekspresinya sedikit cuek. “Aku udah mau order ojek tadi, tapi sinyal di sini jelek.”Adit tersenyum tipis. “Ya udah, biar aku antar. Mobilnya masih aku pegang.”Tia mengangguk singkat, lalu berdiri. “Oke.”Mereka berjalan keluar bersama, suasana sedikit canggung tapi juga tak terlalu dingin. Begitu masuk mobil, dan mesin dinyalakan, Tia menoleh sambil bertanya,“Tadi kamu nganter Ayunda ya?”Adit melirik sebentar ke arahnya, lalu kembali fokus ke jalan. “Iya. Diminta Bu Renata buat nemenin Ayunda. Dia pijet klien khusus.”Tia menyipitkan mata. “Klien khusus kayak gimana tuh?”“Yang… ya, penting lah buat Renata. Katanya kalau urusan sukses, klinik dapat keuntungan besar,

  • Tukang Pijat Tampan   Celina Buka Kartu

    Mobil hitam milik Renata berhenti perlahan di depan klinik. Adit mematikan mesin, namun tak segera keluar. Ia sempat melirik Ayunda yang masih memandangi jendela, seolah belum siap turun. Gadis itu akhirnya menoleh, menampilkan senyum kecil yang terasa lebih seperti rasa terima kasih ketimbang kebahagiaan.“Thanks, Dit…” katanya pelan.Adit hanya mengangguk. “Kapan-kapan, kalau butuh teman ngobrol… kabarin aja.”Ayunda mengangguk dan membuka pintu. Saat ia keluar, beberapa terapis wanita yang tengah duduk santai di bangku depan klinik langsung menghentikan obrolan mereka. Tatapan mereka serempak tertuju pada Ayunda dan Adit yang keluar dari mobil mewah itu.Di antara mereka, Tia berdiri paling depan, bersama seorang temannya yang hendak pulang. Matanya menajam begitu melihat Ayunda menutup pintu mobil, lalu melangkah ke arah pintu klinik tanpa terlihat gugup sedikit pun.Iwan dan Tony berdiri tak jauh di sisi kanan teras. Mereka awalnya hanya berbincang kosong, tapi suara tawa mereka

  • Tukang Pijat Tampan   Menemani Ayunda Curhat

    Mesin mobil menyala lembut. Adit menggenggam kemudi tanpa bicara. Ayunda duduk di sampingnya, memandangi jalanan lewat jendela tanpa benar-benar melihat apa-apa. Keheningan di antara mereka nyaris menyatu dengan deru pelan pendingin udara yang menyembur dari dashboard.“Langsung ke klinik?” tanya Adit, suaranya pelan, nyaris ragu.Ayunda masih menatap ke luar. Butuh beberapa detik sebelum ia menjawab, juga dengan nada yang nyaris tak terdengar.“Boleh nggak kalau muter-muter keliling kota sebentar?”Adit menoleh singkat. Pandangan Ayunda tampak… rapuh. Matanya tak bersinar seperti biasanya. Wajah yang biasanya penuh percaya diri kini justru seperti wajah gadis SMA yang kehilangan arah. Tidak ada senyum, tidak ada topeng. Hanya ada kejujuran yang diam-diam menyesakkan.Adit tak menjawab. Ia mengangguk pelan lalu mengarahkan mobil ke jalur yang lebih sepi. Melewati jalanan rindang dan gedung-gedung kota yang mulai teduh disinari mentari sore.Beberapa menit berlalu dalam diam, hingga ak

  • Tukang Pijat Tampan   Hawa Panas

    Adit sebetulnya emosi mendengar ucapan itu. Ia tak tahu kenapa ia tiba-tiba merasa marah. Namun, ia tak menunjukkannya. Ia masih kuat menahan diri dan berpikir logis.“Wah, kalau seperti itu, saya tidak bisa bang. Saya orang yang memegang janji dan tugas dari bos. Jika mau begitu, biar Pak Surya yang kembali menyewa cewek itu di luar jam kerjanya bersama bos. Nah, kalau itu bebas. Yang ini kan, yang bawa ke sini bosku sendiri...” kata Adit.“Hehehe. Benar juga. Ya, kamu benar, Dit! Hehehe!” kata Bram.Waktu terus berjalan. Adit cukup bosan menunggu dan berada dalam situasi itu, di mana ia memilih untuk mendengarkan saja Bram dan Wanto bercerita. Kadang apa yang ia katakan sama sekali tak masuk di kepalanya.Tawa Bram dan Wanto terys terdengar samar di telinga Adit, bercampur dengan suara dentingan es batu di gelas dan suara plastik bungkus makanan yang berkeresek. Tapi dari balik pintu kamar yang tertutup itu, suara lain mulai menyusup masuk… pelan, nyaris seperti bisikan.Adit menega

  • Tukang Pijat Tampan   Obrolan Anak buah Pak Surya

    Ayunda masih berdiri di tempatnya, kepala menunduk seperti sedang dihukum. Jemari tangannya saling menggenggam erat, seolah ingin mematahkan kegugupan yang mengikat leher dan bahunya. Ia tahu, saat ini ia akan memberikan layanan eksklusif dan ia sudah sangat profesional dengan hal itu. Lagi-lagi, apa yang membuatnya sungguh merasa tak nyaman hanya karena kehadiran Adit. Mendadak saja, ia kehilangan cara dan mati gaya sehingga tak bisa bersikap centil namun elegan di depan kliennya itu; lelaki tua itu mulai menunjukkan gelagat tak sabaran.Padahal, dengan bersikap manja, misalnya, bersikap menyenangkan, Ayunda sangat tahu, ia akan mendapatkan tips besar.Pak Surya menyandarkan punggungnya ke sofa besar berlapis kulit, lalu menepuk-nepuk pahanya sambil tersenyum. "Sini, cantik. Duduk sini… Jangan bikin Bapak menunggu terlalu lama."Adit menegang. Meski ia tak bergerak, matanya mencuri pandang ke arah Ayunda, yang perlahan melangkah maju. Langkahnya ringan namun berat di hati. Tubuh inda

  • Tukang Pijat Tampan   Menemani Ayunda

    Renata melangkah keluar dari ruang negosiasi dengan langkah ringan, namun Adit tahu, itu hanya kamuflase. Ada hawa dingin yang menguar dari sosoknya, semacam kekesalan yang tak diluapkan. Ia memberi isyarat kecil dengan dagunya, dan Adit segera mengikuti langkahnya menuju ruangan depan tempat Bayu menunggu.Di ruangan itu, Bayu berdiri tegak seperti patung hidup. Tatapannya lurus, tubuhnya tetap. Namun sorot matanya mengamati dua pria bersetelan hitam yang berdiri di dekat jendela yang merupakan pengawal Pak Surya. Kedua pria itu diam, tapi aura mereka jelas, dingin dan waspada. Tak ada yang saling bicara. Hanya ada keheningan yang menebal, seperti kabut yang menggantung di tengah malam.Renata duduk di sofa, menyilangkan kaki dengan elegan. Ia sibuk dengan ponselnya, mengirim lokasi kepada Celina dan juga pesan entah apa. Namun dia masih terus sibuk pula dengan ponsel itu. Jari-jarinya bergerak cepat mengetik pesan demi pesan, atau mungkin mengatur sesuatu yang tak ingin diketahui Ad

  • Tukang Pijat Tampan   Permintaan Pak Surya

    Ruangan itu tenang dan hangat, dengan sofa kulit dan pencahayaan yang temaram. Aroma parfum berat dan jejak asap cerutu menciptakan atmosfer yang khas: formal, tapi penuh tekanan tak kasat mata.Pak Surya duduk setelah mempersilakan Renata dan Adit masuk. Map cokelat tergeletak di meja kopi, dan sebotol wine tua berdiri di samping dua gelas kristal yang belum terisi.“Minum dulu, Renata? Masih pagi memang… tapi kalau kamu yang temani, saya bisa buat pengecualian,” ujarnya sambil menuang wine perlahan, tak menunggu jawaban.Renata tersenyum kecil. “Maaf, saya belum bisa. Belum sarapan.”Pak Surya tak memaksa, tapi pandangannya tetap lekat, seperti menimbang-nimbang daging mahal yang hendak dibeli. Ia menyodorkan map, menjelaskan sekilas soal izin tanah dan perpanjangan usaha yang diminta Darmawan.“Seperti yang kamu tahu… jalurnya nggak mudah. Banyak meja yang harus saya datangi. Dan, saya orangnya... cuma mau repot kalau ada sesuatu yang membuat saya niat banget bantu.”Renata tetap k

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status