Celina masih terlihat bengong, lalu kemudian ia tersadar. “E, tentang skors itu... adalah?”“Biar aku pikirkan nanti. Posisimu sulit saat ini, Cel. Anak-anak yang bekerja di sini juga harus merasa kamu bisa adil selama Adit pun belum bisa membuktikan jika dia tak bersalah. Tapi aku memang percaya Adit tak bersalah. Begitulah kehidupan!” kata Ibu Renata.“Oh, baik...” kata Celina. Adit hanya diam saja; bingung dengan nasibnya. Ia pun juga pasrah pada akhirnya. Terserah. Jika dipecatpun tak masalah.“Ini masih siang dan masih jam kerjamu, kan?” tanya Renata.“E, iya Bu...” kata Aditr. Bersamaan dengan itu, perut Adit berbunyi keras. Adit sangat malu dan meminta maaf.Renata tertawa, “Astaga, tadi kamu memijitku pas istirahat siang. Apakah kamu belum makan?”“Eh, belum Ibu... saya mohon maaf...” kata Adit.“Tak perlu minta maaf. Ini sudah jam dua siang. Wajar jika kamu kelaparan. Ayo ikut aku! Bawa barang-barangmu! Aku juga lapar. Temani aku makan siang!” kata Renata.“Oh, baik, Ibu...”
“Skorsmu dua minggu, kan?” tanya Renata.“E, benar Ibu...” balas Adit.“Selama dua minggu ini, aku ingin kamu menjadi asistenku. Tugasmu banyak, entah apa nanti. Maka kamu harus standby di rumahku nantinya. Dan mungkin kamu akan lebih banyak mengawalku karena kamu bisa beladiri. Nanti jika sudah bisa lancar menyetir, sekalian saja kamu menjadi sopirku!” kata Renata.Adit mengernyitkan keningnya, “Jadi, saya tidak lagi menjadi terapis di klinik? Atau ini hanya dalam masa skors saja?” tanya Adit.“Kita lihat nanti. Yang jelas, jika aku senang dengan pekerjaanmu, mungkin kamu akan lama menjadi asistenku sebelum aku kembalikan ke Celina!” kata Renata.Adit cukup terkejut mendengarnya. Tapi tak ada yang bisa ia lakukan kecuali pasrah saja. Yang penting ia tak dipecat.“Oke, jika maemnya sudah, kita akan pulang. Nanti kamu akan belajar menyetir langsung dari sopirku. Bayu namanya!” kata Renata.“Siap Ibu...” kata Adit.Renata mengajak Adit masuk ke dalam mobilnya setelah mereka selesai maka
Adit menyalakan motornya dengan tarikan napas panjang. Suara mesin yang serak dan bergetar kasar menyambutnya, seolah motor itu ikut mengeluh karena sudah terlalu tua.Ia baru saja menjalani hari paling aneh sekaligus paling mewah dalam hidupnya, dan kini kembali ke kenyataan: sebuah motor tua dan hidup yang serba pas-pasan.Dari sudut matanya, Adit melihat seseorang berlari kecil ke arahnya.“Tunggu, Dit!”Ia menoleh. Tia datang tergesa, mengenakan tas kecil menyilang dan wajah penuh harap. Nafasnya sedikit terengah, tapi senyumnya tetap merekah.“Kamu mau pulang sekarang?” tanya Tia cepat.Adit mengangguk pelan. “Iya… motorku masih di sini, jadi ya...”“Aku nebeng ya? Aku capek banget. Tadi udah mikir mau naik ojek, tapi ngeliat kamu ada di sini…”Adit ingin menolak, tapi tak tega. Apalagi wajah Tia seperti anak kucing kehujanan, sulit untuk diabaikan.“Iya, naik aja,” ucapnya sambil bergeser sedikit ke depan.Tia langsung naik dan memeluk pinggang Adit dengan santai. “Makasih bange
Malam itu, kamar Adit terasa lebih sunyi dari biasanya. Ia duduk di lantai, menghadap lemari pakaian kecil yang catnya mulai mengelupas. Di sebelahnya terbuka sebuah tas ransel lusuh yang akan ia bawa ke rumah Renata besok pagi. Ia melipat beberapa potong pakaian secukupnya; kaus, celana, pakaian dalam, dan handuk. Semuanya biasa saja, sederhana, dan menunjukkan betapa pas-pasan hidupnya.Sesekali ia berhenti melipat dan menatap kosong ke depan, pikirannya berkelana ke segala arah.“Gila... aku tinggal di rumah bos kayak gitu,” gumamnya pelan, hampir tidak percaya; antara senang dan tidak. Yang jelas, ia pun juga tidak munafik, membayangkan setiap hari akan makan enak dan tak perlu keluar uang.Ia teringat interior mewah rumah itu, betapa harum dan bersihnya, kontras sekali dengan tempat tinggalnya yang hanya seperti itu; rumah kecil dengan dua kamar, satu dapur, satu kamar mandi, satu teras sekaligus ruang tamu dengan tembok tipis dan suara tetangga yang kadang ikut masuk tanpa permi
Setelah makan malam di sebuah restoran Prancis dengan nuansa remang-remang dan musik klasik yang mengalun lembut, Adit merasa cukup kenyang dan sedikit mengantuk. Ia nyaris berpikir bahwa malam itu akan segera berakhir, bahwa mereka akan kembali ke rumah dan ia bisa segera rebahan di tempat tidur barunya yang empuk. Tapi ternyata tidak.Renata mengemudikan mobilnya sendiri kali ini. Ia tak menyuruh Adit menyetir, hanya memintanya duduk di kursi penumpang sambil sesekali melirik ponselnya yang tak henti bergetar.“Ada masalah?” tanya Adit, setengah mengantuk, tapi waspada.Renata mengangguk kecil. “Ada pengiriman barang yang hilang dari gudangku. Minuman keras yang seharusnya masuk ke jalur bar dan lounge, tapi lenyap. Aku sudah lama curiga sama orang-orang yang mengurusi distribusi di wilayah selatan.”“Jadi kita mau ke sana sekarang?” tanya Adit. Ia merasa sungkan karena tak menyetir. Dan ia kaget juga mendengar tentang minuman keras. Otaknya bertanya-tanya, namun ia mencoba merangka
Mobil melaju dalam senyap. Renata fokus menyetir, sementara Adit duduk di kursi depan sebelah kemudi, menyandarkan punggung dan memandang ke luar jendela. Lampu-lampu kota mulai memudar ketika mereka memasuki daerah pinggiran yang lebih sepi, dalam perjalanan kembali ke rumah.Belum ada kata yang diucapkan sejak mereka meninggalkan gudang itu. Namun di dalam kepala Adit, semua masih berdengung. Tatapan orang-orang tadi, ancaman tersembunyi di balik tawa mereka, dan… keyakinan bahwa ini belum selesai.“Bu Renata,” Adit akhirnya memecah keheningan. “Tadi Ibu serius soal kirim laporan ke Pak Darmawan? Atau hanya gertakan? Maaf, saya hanya...penasaran...”Renata menyunggingkan senyum tipis. “Sebagian besar memang hanya gertakan. Tapi aku punya sesuatu yang bisa membuat mereka kencing di celana kalau aku mau.”Adit hanya mengangguk pelan, lalu menghela napas. “Tadi mereka terlihat takut. Jadi mungkin mereka akan menuruti apa yang tadi ibu minta...”Ia belum selesai bicara ketika sebuah mob
Mobil meluncur mulus memasuki pelataran rumah Renata yang besar dan sunyi. Lampu-lampu taman menyala temaram, menciptakan bayangan panjang di sepanjang jalur batu yang mengarah ke garasi. Setelah kejadian menegangkan tadi itu, suasana kini terasa tenang, tapi di balik ketenangan itu, masih ada denyut ketegangan yang belum sepenuhnya hilang.Renata melangkah cepat ke dalam rumah tanpa banyak bicara. Ia langsung menuju ruang kerjanya, membawa tas dan dokumen, lalu menutup pintu. Adit hanya menatap punggung wanita itu sejenak sebelum menghela napas dan berbalik naik ke lantai dua.Setibanya di kamarnya, Adit langsung menanggalkan kemeja dan celana panjangnya, menggantinya dengan kaos oblong dan celana pendek. Badannya lelah, pikirannya pun masih sibuk memutar ulang adegan perkelahian tadi, bagaimana ia bisa dengan cepat mengatasi tiga pria dewasa. Ia sendiri heran, seolah tubuhnya tahu harus bergerak bagaimana. Mungkin karena latihan di masa kecil. Mungkin karena adrenalin. Atau… mungkin
Adit kembali ke kamar dan merenung lagi. Ada kelegaan setelah ia memastikan bisa mengendalikan kekuatan aneh di telapak tangannya, dan tadi ia mencobanya sekali lagi untuk menyentuh Dina tanpa intensi tertentu. Wanita itu baik-baik saja.Ya, Adit tahu, ia masih harus mengujinya lagi untuk memastikannya. Hanya satu yang tinggal menjadi keresahannya; kenapa bagian tubuh penting miliknya itu tak mau bangun? Ia memikirkan Renata yang menggeliat puas dan tampak menggoda itu, tangannya usil menelusup ke celananya sendiri, dan tak terjadi reaksi apapunDemi apa, sebagai lelaki, Adit cukup frustasi. Dengan itu, ia kehilangan kepercayaan dirinya. Adit mengambil ponselnya dan mencoba mencari penyebab impotensi dan bagaimana cara menanganinya. Hingga akhirnya, ia menyerah juga. Percuma. Tak ada gejala yang sama seperti yang dijelaskan di refrensi yang ia temukan di ponsel. Semua informasi pada akhirnya merujuk ke satu poin; harus ke dokter.‘Apakah aku harus ke dokter? Tapi ini memalukan!’ ucap
Adit cukup gugup dan mati gaya kali ini. Semakin ia menanggapi Renata, semakin pula situasi itu tak akan sederhana. Ia tak mau Renata mengetahui jika ia adalah lelaki yang ‘lemah’; kebanggaan di dalam celananya itu tak akan berfungsi dan saat itu pun, tak ada sesuatu yang keras.Demi apa, sesungguhnya Adit cukup frustasi dengan keadaannya. Sebagai seorang lelaki muda, sebagai seorang perjaka, tentu ia tergoda. Ia ingin mencoba seperti apa rasanya kenikmatan surgawi yang membuat setiap orang ketagihan itu.Adit menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan seluruh kekuatan tekadnya. Hanya ada satu cara ia bisa lolos dalam jerat asmara yang memabukkan itu; membuat Renata menggelepar puas dan tak bertenaga setelahnya, melalui pijitan tangannya.“Ibu Renata, em… boleh saya bertanya?” tanya Adit pelan.“Tanya apa sayang? Aku mengizinkanmu berbuat jauh. Lakukanlah…” kata Renata mendesah manja.“E, itu… gampang. Sebenarnya, saya ingin tanya, apakah weekend besok, saya boleh ke rumah. Kasihan rumah
Renata meletakkan gelas wine-nya di meja kaca dengan pelan. “Aku tahu kamu bukan anak kecil, Dit. Kamu pintar. Dan cepat baca situasi.”Renata berdiri perlahan, berjalan menuju jendela besar yang menghadap taman belakang rumahnya, lalu menatap ke luar. Bahunya agak merosot turun, suaranya jadi lebih tenang.“Klinik itu... cuma satu dari banyak wajah yang harus aku rawat. Di permukaan, ya, kita kasih terapi, layanan kecantikan, dan semacamnya. Tapi di balik itu, kita juga jadi pelampiasan untuk para lelaki kaya yang... lapar.”Adit masih diam di tempat duduknya. Ia mendengar tanpa menyela.“Dunia ini nggak adil buat perempuan, Dit. Dan kadang... perempuan kayak aku, atau Ayunda, nggak punya banyak pilihan. Jadi daripada kita diinjak, mending kita main di atas panggungnya, tapi dengan cara kita sendiri.”Ia menoleh ke Adit, pandangannya tajam lagi. “Yang penting, kontrolnya tetap di tangan kita. Aku nggak izinkan perempuan-perempuan di klinik itu dijadikan mainan tanpa batas. Aku jaga m
Begitu Adit turun dari tangga, ia langsung melihat Tia duduk di bangku kecil dekat lobi klinik. Tia pura-pura sibuk dengan ponselnya, seolah tak memperhatikan kehadiran Adit. Tapi Adit tahu, perempuan itu memang sengaja menunggu.Ia melangkah pelan lalu berdiri di depan Tia.“Mau aku antar pulang?”Tia mengangkat alis, ekspresinya sedikit cuek. “Aku udah mau order ojek tadi, tapi sinyal di sini jelek.”Adit tersenyum tipis. “Ya udah, biar aku antar. Mobilnya masih aku pegang.”Tia mengangguk singkat, lalu berdiri. “Oke.”Mereka berjalan keluar bersama, suasana sedikit canggung tapi juga tak terlalu dingin. Begitu masuk mobil, dan mesin dinyalakan, Tia menoleh sambil bertanya,“Tadi kamu nganter Ayunda ya?”Adit melirik sebentar ke arahnya, lalu kembali fokus ke jalan. “Iya. Diminta Bu Renata buat nemenin Ayunda. Dia pijet klien khusus.”Tia menyipitkan mata. “Klien khusus kayak gimana tuh?”“Yang… ya, penting lah buat Renata. Katanya kalau urusan sukses, klinik dapat keuntungan besar,
Mobil hitam milik Renata berhenti perlahan di depan klinik. Adit mematikan mesin, namun tak segera keluar. Ia sempat melirik Ayunda yang masih memandangi jendela, seolah belum siap turun. Gadis itu akhirnya menoleh, menampilkan senyum kecil yang terasa lebih seperti rasa terima kasih ketimbang kebahagiaan.“Thanks, Dit…” katanya pelan.Adit hanya mengangguk. “Kapan-kapan, kalau butuh teman ngobrol… kabarin aja.”Ayunda mengangguk dan membuka pintu. Saat ia keluar, beberapa terapis wanita yang tengah duduk santai di bangku depan klinik langsung menghentikan obrolan mereka. Tatapan mereka serempak tertuju pada Ayunda dan Adit yang keluar dari mobil mewah itu.Di antara mereka, Tia berdiri paling depan, bersama seorang temannya yang hendak pulang. Matanya menajam begitu melihat Ayunda menutup pintu mobil, lalu melangkah ke arah pintu klinik tanpa terlihat gugup sedikit pun.Iwan dan Tony berdiri tak jauh di sisi kanan teras. Mereka awalnya hanya berbincang kosong, tapi suara tawa mereka
Mesin mobil menyala lembut. Adit menggenggam kemudi tanpa bicara. Ayunda duduk di sampingnya, memandangi jalanan lewat jendela tanpa benar-benar melihat apa-apa. Keheningan di antara mereka nyaris menyatu dengan deru pelan pendingin udara yang menyembur dari dashboard.“Langsung ke klinik?” tanya Adit, suaranya pelan, nyaris ragu.Ayunda masih menatap ke luar. Butuh beberapa detik sebelum ia menjawab, juga dengan nada yang nyaris tak terdengar.“Boleh nggak kalau muter-muter keliling kota sebentar?”Adit menoleh singkat. Pandangan Ayunda tampak… rapuh. Matanya tak bersinar seperti biasanya. Wajah yang biasanya penuh percaya diri kini justru seperti wajah gadis SMA yang kehilangan arah. Tidak ada senyum, tidak ada topeng. Hanya ada kejujuran yang diam-diam menyesakkan.Adit tak menjawab. Ia mengangguk pelan lalu mengarahkan mobil ke jalur yang lebih sepi. Melewati jalanan rindang dan gedung-gedung kota yang mulai teduh disinari mentari sore.Beberapa menit berlalu dalam diam, hingga ak
Adit sebetulnya emosi mendengar ucapan itu. Ia tak tahu kenapa ia tiba-tiba merasa marah. Namun, ia tak menunjukkannya. Ia masih kuat menahan diri dan berpikir logis.“Wah, kalau seperti itu, saya tidak bisa bang. Saya orang yang memegang janji dan tugas dari bos. Jika mau begitu, biar Pak Surya yang kembali menyewa cewek itu di luar jam kerjanya bersama bos. Nah, kalau itu bebas. Yang ini kan, yang bawa ke sini bosku sendiri...” kata Adit.“Hehehe. Benar juga. Ya, kamu benar, Dit! Hehehe!” kata Bram.Waktu terus berjalan. Adit cukup bosan menunggu dan berada dalam situasi itu, di mana ia memilih untuk mendengarkan saja Bram dan Wanto bercerita. Kadang apa yang ia katakan sama sekali tak masuk di kepalanya.Tawa Bram dan Wanto terys terdengar samar di telinga Adit, bercampur dengan suara dentingan es batu di gelas dan suara plastik bungkus makanan yang berkeresek. Tapi dari balik pintu kamar yang tertutup itu, suara lain mulai menyusup masuk… pelan, nyaris seperti bisikan.Adit menega
Ayunda masih berdiri di tempatnya, kepala menunduk seperti sedang dihukum. Jemari tangannya saling menggenggam erat, seolah ingin mematahkan kegugupan yang mengikat leher dan bahunya. Ia tahu, saat ini ia akan memberikan layanan eksklusif dan ia sudah sangat profesional dengan hal itu. Lagi-lagi, apa yang membuatnya sungguh merasa tak nyaman hanya karena kehadiran Adit. Mendadak saja, ia kehilangan cara dan mati gaya sehingga tak bisa bersikap centil namun elegan di depan kliennya itu; lelaki tua itu mulai menunjukkan gelagat tak sabaran.Padahal, dengan bersikap manja, misalnya, bersikap menyenangkan, Ayunda sangat tahu, ia akan mendapatkan tips besar.Pak Surya menyandarkan punggungnya ke sofa besar berlapis kulit, lalu menepuk-nepuk pahanya sambil tersenyum. "Sini, cantik. Duduk sini… Jangan bikin Bapak menunggu terlalu lama."Adit menegang. Meski ia tak bergerak, matanya mencuri pandang ke arah Ayunda, yang perlahan melangkah maju. Langkahnya ringan namun berat di hati. Tubuh inda
Renata melangkah keluar dari ruang negosiasi dengan langkah ringan, namun Adit tahu, itu hanya kamuflase. Ada hawa dingin yang menguar dari sosoknya, semacam kekesalan yang tak diluapkan. Ia memberi isyarat kecil dengan dagunya, dan Adit segera mengikuti langkahnya menuju ruangan depan tempat Bayu menunggu.Di ruangan itu, Bayu berdiri tegak seperti patung hidup. Tatapannya lurus, tubuhnya tetap. Namun sorot matanya mengamati dua pria bersetelan hitam yang berdiri di dekat jendela yang merupakan pengawal Pak Surya. Kedua pria itu diam, tapi aura mereka jelas, dingin dan waspada. Tak ada yang saling bicara. Hanya ada keheningan yang menebal, seperti kabut yang menggantung di tengah malam.Renata duduk di sofa, menyilangkan kaki dengan elegan. Ia sibuk dengan ponselnya, mengirim lokasi kepada Celina dan juga pesan entah apa. Namun dia masih terus sibuk pula dengan ponsel itu. Jari-jarinya bergerak cepat mengetik pesan demi pesan, atau mungkin mengatur sesuatu yang tak ingin diketahui Ad
Ruangan itu tenang dan hangat, dengan sofa kulit dan pencahayaan yang temaram. Aroma parfum berat dan jejak asap cerutu menciptakan atmosfer yang khas: formal, tapi penuh tekanan tak kasat mata.Pak Surya duduk setelah mempersilakan Renata dan Adit masuk. Map cokelat tergeletak di meja kopi, dan sebotol wine tua berdiri di samping dua gelas kristal yang belum terisi.“Minum dulu, Renata? Masih pagi memang… tapi kalau kamu yang temani, saya bisa buat pengecualian,” ujarnya sambil menuang wine perlahan, tak menunggu jawaban.Renata tersenyum kecil. “Maaf, saya belum bisa. Belum sarapan.”Pak Surya tak memaksa, tapi pandangannya tetap lekat, seperti menimbang-nimbang daging mahal yang hendak dibeli. Ia menyodorkan map, menjelaskan sekilas soal izin tanah dan perpanjangan usaha yang diminta Darmawan.“Seperti yang kamu tahu… jalurnya nggak mudah. Banyak meja yang harus saya datangi. Dan, saya orangnya... cuma mau repot kalau ada sesuatu yang membuat saya niat banget bantu.”Renata tetap k