Saat motor melaju menjauh dari rumah, Juned menoleh sedikit ke arah Lastri yang duduk di belakangnya. “Jadi, kita mau ke mana ini? Kamu yang milih tempat,” tanyanya sambil tetap fokus pada jalan.Lastri tersenyum di balik cadarnya, suaranya terdengar santai. “Ke alun-alun aja, Juned. Aku pengen makan jagung bakar. Sudah lama enggak merasakan suasana alun-alun malam-malam.”Juned tertawa kecil mendengar permintaannya. “Hah, Cuma jagung bakar? Kamu ini, aku pikir hidupmu bakal penuh kemewahan karena anak juragan pasir.”“Eh, jangan salah,” jawab Lastri, sedikit mencubit pundak Juned pelan. “Buat aku, jagung bakar di alun-alun itu punya kenangan sendiri. Sudah lama aku enggak jalan-jalan kayak gini. Jadi, anggap aja ini nostalgia.”“Oke, kalau itu maumu. Tapi jangan salahkan aku kalau nanti alun-alun rame banget. Besok tanggal merah, biasanya penuh sama pasangan pacaran,” ujar Juned dengan nada menggoda.Lastri tertawa kecil, suaranya terdengar ceria. “Biar saja. Enggak masalah rame. Yan
Juned menghela napas, menatap Lastri dengan pandangan serius. “Las, hidup itu enggak perlu terlalu dibebani sama pikiran orang lain. Yang penting kita tahu apa yang kita mau, dan kita jalani itu dengan cara kita. Enggak ada yang salah dengan jadi diri sendiri.”Lastri menoleh, menatap Juned dengan tatapan lembut. “Makasih, Juned. Kamu selalu tahu cara bikin aku merasa lebih baik.”Juned menggaruk kepalanya yang basah, sedikit salah tingkah. “Ah, sudah lah. Jangan kebanyakan drama. Fokus aja nunggu hujan reda.”Keduanya kembali terdiam, menikmati suara hujan yang jatuh ke tanah, Lastri tiba-tiba teringat sesuatu. Dengan nada setengah menggerutu, dia berkata, “Tadi kamu bilang bawa jas hujan, kan, Juned? Coba cek di jok motor.”Juned langsung mengernyit, lalu teringat ucapan itu. “Oh iya, iya! Aku tadi bawa, kok. Tunggu sebentar, aku cek dulu,” katanya sambil bangkit dan membuka jok motor.Namun, begitu jok terbuka, Juned hanya menemukan kain lap tua, sebuah obeng kecil, dan... tak ada
Setelah membayar biaya sewa, mereka diantar ke sebuah kamar sederhana. Di dalamnya hanya ada satu kasur kecil, meja kecil, dan kamar mandi. Lastri langsung melepas cadarnya, memperlihatkan wajahnya yang agak pucat.“Aku mandi dulu, ya,” kata Lastri sambil melangkah kamar mandi.Juned hanya mengangguk. Dia duduk di tepi kasur, mencoba mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil yang diberikan penjaga tadi. Sesekali dia melirik ke luar jendela, berharap hujan segera mereda.Setelah beberapa menit, Lastri keluar dari kamar mandi dengan handuk yang dililitkan ke tubuh. Rambutnya yang basah terurai membuat wajahnya terlihat lebih lembut. Juned langsung berdiri menatap tubuh Lastri yang putih bersih menggoda.“Giliran aku, ya,” ujarnya cepat, mencoba mengalihkan pandangannya. Dia masuk ke kamar mandi tanpa menunggu jawaban Lastri.Di dalam kamar, Lastri duduk di tepi kasur sambil merapikan rambutnya yang basah. Meski suasana sedikit canggung, dia merasa beruntung bisa menghangatkan badan set
Suara mereka berdua terbias oleh suara hujan dan gemuruh petir. Entah berapa lama mereka bergumul di malam yang sangat dingin itu.“Juned, aku capek. Tapi aku sangat senang sekali.” Terlihat wajah Lastri begitu kelelahan.Juned hanya tersenyum tipis memandang wajah Lastri yang ada di bawahnya.“Aku sudah 5 kali... tapi, kamu masih belum sama sekali. Rasanya tulangku akan patah kalau menghadapimu.” Kata Lastri lagi dengan nafas yang tersengal-sengal.Juned terus melanjutkan aktivitasnya meskipun Lastri sudah kelelahan. Hingga beberapa lama kemudian mereka berdua mencapai puncak kenikmatan bersama-sama.Juned tergeletak di samping tubuh Lastri yang sudah terkulai lemas.“Aku sayang kamu Lastri.” Juned mengecup kening Lastri, lalu menarik selimut ke atas menutupi mereka berdua. Lastri hanya tersenyum dan memeluk tubuh Juned hingga tertidur.Mereka berdua tidur hingga sinar matahari masuk melalui celah gorden kamar kecil penginapan, menyinari wajah Juned yang masih terbaring. Dia perlahan
Lastri hanya tertawa kecil mendengar ancaman Vivi, sementara Juned masuk ke dapur untuk mengambil segelas air.Lastri, Juned, dan Vivi duduk bersama di ruang tengah . Lastri tampak sedikit ceria saat itu karena puas dengan semalam. Vivi, yang duduk di sofa dengan tangan terlipat, menatap mereka dengan penuh rasa ingin tahu. Juned, di sisi lain, berusaha bersikap santai meskipun jelas ada rasa waspada dalam gerak-geriknya.“Jadi…” Vivi membuka pembicaraan dengan nada menyelidik. “Kalian benar-benar menginap semalam? Apa benar kalian menyewa dua kamar saja.”“Iya, Vi. Setelah pulang dari alun-alun tiba-tiba hujan parah banget. Mana enggak ada tempat berteduh yang proper di tengah jalan,” jawab Juned cepat, berusaha mengalihkan perhatian Vivi. “Jadi, kita enggak punya pilihan selain mencari penginapan.”Namun, Lastri tampak tidak bisa menahan diri. Dengan senyum menggoda, dia menyenggol lengan Juned. “Tapi yang paling seru itu waktu di penginapan, Vi. Kamu tahu, semalam itu—”“Lastri!” p
Lilis, terlihat seperti baru saja melewati hal yang buruk. Matanya sembab, pipinya bengkak, dan ada bekas luka di sudut bibirnya. Dia berjalan tertatih-tatih, lalu duduk di kursi dengan napas terengah-engah."Ada apa, Tante? Siapa yang melakukan ini?" tanya Juned dengan nada cemas, matanya menatap lebam-lebam di wajah tantenya.Lilis tidak langsung menjawab. Dia hanya menunduk, air matanya mulai mengalir. Vivi mengambil segelas air dan menyerahkannya kepada Lilis. "Minum dulu, Mbak," katanya lembut.Setelah beberapa tegukan, Lilis mulai berbicara dengan suara bergetar. "Ini... ini semua ulah Anton, semalam."Vivi terkejut, matanya membelalak. "Anton? Kenapa dia... kenapa dia melakukan ini?"Lilis menggigit bibirnya, menahan tangis. "Dia marah.... Aku dengar dia sedang berencana sesuatu terhadap klinik Juned. Dia telah mempermainkanku, saat malam ketika kamu melihatnya keluar dari sini ternyata dia merayuku hanya untuk mendapatkan dokumen klinikmu dan memanipulasinya. Saat dia tahu aku
Juned memutuskan mengarahkan motornya ke pasar. Sepanjang jalan Pria itu masih mengikuti Juned dengan hati-hati, memastikan dirinya tak terdeteksi oleh Juned.Tak lama kemudian Juned tiba di sebuah warung makan sederhana, lalu masuk ke dalamnya.“Bu, saya pesan nasi campur satu ya, lauk ayam goreng krispi.” Kata Juned.“Mas Juned, lama enggak pernah kelihatan ke sini. Mungkin karena kliniknya rame, ya?” sapa si penjual dengan ramah.“Ah, baru beberapa hari saja Bu. Aku pengen banget ke sini tapi belum sempat aja ,” jawab Juned sambil tersenyum.“Ini Cuma beli satusaja, Mas. Mbak Lilis enggak dibelikan sekalian . Biasanya kan belinya selalu dua,” ujar si penjual dengan nada bersahabat.“Ini buat jenguk teman yang sakit, mungkin dengan makan masakan ibu, dia jadi lebih baik,” jawab Juned sambil tersenyum menggoda si Penjual.“Bagus itu, Mas. Jenguk orang sakit kan ibadah juga. Ini saya tambahkan kerupuk, biar lebih enak,” ujar si penjual sambil memberikan makanan itu kepada Juned.“Teri
Di rumah Novi, Juned membantu Novi kembali ke dalam rumah setelah mereka cukup lama berbincang di teras. Juned melihat wajah Novi mulai pucat lagi.“Sudah kubilang kamu harus di dalam aja, Novi. Sudah, sekarang kamu istirahat, ya? Jangan mengeyel lagi,” ujar Juned sambil membimbing Novi duduk di sofa.Novi tersenyum tipis. “Makasih, mas Juned. Kamu baik banget sama aku.”Juned hanya mengangguk kecil. “Sudah tugas aku sebagai bos kamu. Buruan istirahat, ya. Kalau nanti butuh apa-apa, kabarin aja.”Setelah memastikan Novi dalam keadaan tenang, Juned pun berpamitan.“Mbak Rini!” panggil Juned dengan santai.Rini keluar dari ruang belakang dengan memakai daster yang agak basah membuat lekuk tubuhnya tercetak jelas.“Iya mas, maaf aku habis jemur pakaian.” Kata Rini sambil tangannya mencoba membetulkan dasternya yang tipis.Juned terperangah melihat pemandangan tersebut. Namun dirinya mencoba tenang untuk beberapa saat.“Sa... saya mau pamit pulang mbak.” Suara Juned sedikit bergetar, mata
Tania keluar dari kamar mandi dengan handuk yang masih melilit tubuhnya. Rambutnya yang basah meneteskan air ke lantai saat dia berjalan ke ruang tamu. Namun langkahnya terhenti ketika melihat pemandangan yang mengejutkan—Alisa sedang duduk sangat dekat dengan Juned, wajah mereka hanya berjarak beberapa sentimeter.“Hei! Apa yang kamu lakukan?!” suara Tania meninggi, membuat Alisa langsung menoleh dengan ekspresi terkejut.Alisa mengerjapkan mata, seolah baru saja kembali dari dunia lain. Dia masih bisa merasakan ingatan Juned yang mengalir dalam kepalanya, tetapi kini perhatian Tania sepenuhnya tertuju padanya.“Jangan bilang kamu mau ciuman sama Juned?!” lanjut Tania dengan nada curiga.Alisa terdiam sejenak sebelum akhirnya tertawa kecil. “Kakak ini mikirnya aneh-aneh saja.” Dia berdiri dan mengibaskan tangannya di udara. “Aku Cuma... ya, mencoba sesuatu.”Tania menatap adiknya dengan tajam. “Mencoba sesuatu apa?”Alisa menatap kakaknya dengan penuh kesabaran. "Kak, serius deh. Ak
Tania yang sudah memegang gagang pintu tiba-tiba terhenti saat mendengar ucapan Alisa. Matanya membelalak seketika, dan dia menoleh dengan ekspresi setengah terkejut, setengah kesal.“Al, kamu ngomong apa sih?” tanyanya dengan nada tajam.Alisa hanya tersenyum jahil dan berjalan mendekat dengan santai. “Ya, aku Cuma ngomong kenyataan aja, Kak. Aku lihat Kakak masih ragu tidur sama Mas Juned, kan? Kenapa gak menikah aja sekalian? Biar kakak bebas melakukannya dan tidak ada ketakutan jika Mas Juned direbut orang lain.”Tania mendengus, jelas-jelas merasa terganggu dengan godaan adiknya. “Al, denger ya. Aku bukan takut Juned direbut siapa-siapa. Aku cuma gak mau melakukannya jika dia dalam kondisi kayak gini.”“Hmmm… kalau gitu, Kakak pasti juga gak keberatan kalau ada wanita lain yang mau melakukannya sama Mas Juned, ya?” Alisa melipat tangan di dadanya, matanya menatap Tania penuh tantangan.Tania membuka mulut, ingin membantah, tapi tiba-tiba terdiam. Ada sesuatu di dalam dadanya yan
Namun, tepat sebelum bibirnya menyentuh wajah Juned, suara keras terdengar dari belakang.“EHEM!! Kakak ngapain?!”Tania tersentak kaget dan langsung menjauh dari Juned, wajahnya memerah seketika. Ia menoleh dan melihat Alisa berdiri di ambang pintu dengan ekspresi penuh rasa ingin tahu, tangannya menyilang di dada.“J-Jangan ngagetin gitu dong!” Tania berusaha menutupi rasa malunya.Alisa menaikkan alis, lalu tersenyum penuh arti. “Aku sih gak masalah kalau kakak mau nyium Mas Juned, tapi kok gak bilang-bilang? Kan bisa aku rekam buat kenang-kenangan!” godanya sambil terkikik.Tania menghela napas panjang, lalu berdiri dan berjalan menjauh dari Juned. “Aku gak ngapa-ngapain, Alisa! Sudahlah, kita harus siap-siap buat sarapan.”Tania berjalan menuju dapur dengan langkah cepat, berusaha mengalihkan pikirannya dari kejadian barusan. Ia membuka lemari dapur dan mengambil beberapa bungkus mi instan.“Mau rasa apa, Al?” tanyanya tanpa menoleh.“Yang pedas dong, Kak!” sahut Alisa sambil du
“Aku tidak yakin…” ujar Tania ragu.Alisa tersenyum jahil, lalu dengan nada menggoda, ia berkata, "Saat tadi aku melihat ingatan Mas Juned, tidak ada wanita yang menolak kejantanannya. Sepertinya Aku juga tidak menolak, kok."Tania langsung menatap tajam adiknya. "Jangan macam-macam, Alisa!"Alisa terkikik. "Ya sudah, kalau Kakak masih ragu, nggak usah dipaksa. Tapi ingat, kalau Mas Juned tetap seperti ini, itu artinya Kakak sendiri yang menyerah tanpa mencoba semuanya."Tania menggigit bibirnya. Dia tidak suka kalah, terutama dalam sesuatu yang berkaitan dengan pekerjaannya sebagai polisi dan antiquary.Tania menghela napas panjang sebelum akhirnya menatap adiknya dengan tegas.“Sudah malam, Alisa. Lebih baik kamu tidur,” ujarnya.Alisa masih duduk di sofa ruang tengah dengan wajah penuh rasa ingin tahu, seolah ingin melihat bagaimana kelanjutan rencana kakaknya. “Aku masih penasaran, Kak,” kata Alisa sambil tersenyum jahil. “Tapi baiklah, aku tidur dulu.”Tania melipat tangan di
Alisa mengangguk mantap. “Iya, Kak. Dari yang aku baca di pikirannya, Mas Juned punya kebiasaan ini saat masih normal. Jadi mungkin dengan melakukan sesuatu yang familiar, memorinya bisa kembali.”Tania menghela napas panjang. “Tapi ini tetap terasa aneh…”“Kakak sendiri yang bilang ini terapi, kan?” Alisa tersenyum penuh arti. “Lagipula, Kakak percaya sama aku, kan?”Tania menatap adiknya sejenak, lalu akhirnya mengangguk pelan. “Baiklah. Aku akan coba.”Ia kemudian berjalan ke kamar dan mulai mengganti pakaiannya dengan selembar handuk yang melilit tubuhnya. Setelah memastikan semuanya rapi, ia keluar dari kamar dan melihat Juned masih duduk di lantai dengan tatapan kosong.Alisa menyenggol lengan kakaknya. “Ayo, Kak. Mulai aja.”Setelah berhasil mengatur nafasnya, Tania mengibaskan tangannya memberi isyarat agar Alisa meninggalkan ruang tamu.Alisa menatap kakaknya dengan penuh rasa ingin tahu. “Kakak yakin mau aku keluar?” tanyanya, meski sudah bisa menebak jawaban Tania.Tania
Alisa menatap kakaknya dengan khawatir, tapi dia juga tahu Tania adalah orang yang tak mudah menyerah. "Baiklah... kita coba."Tania lalu menoleh ke Juned dan tersenyum lembut. "Juned... kamu masih ingat caranya memijat, kan?"Alisa kembali mendekati Juned, lalu dengan lembut menyentuh kepalanya. Matanya sedikit terpejam, mencoba meresapi ingatan yang masih tersisa dalam benak pria itu. Tania menatap mereka dengan penuh harap.Beberapa detik kemudian, Alisa membuka matanya dan menatap Tania. “Aku melihatnya.”“Apa yang kamu lihat?” tanya Tania cepat.Alisa menarik napas dalam. “Saat Mas Juned memijat seseorang, dia selalu memulainya dengan perlahan. Dia akan meraba bagian tubuh yang sakit atau pegal dengan tangannya terlebih dahulu, lalu dia menekan dengan lembut untuk mencari titik yang paling membutuhkan pijatan.”Tania mengangguk, mencatat dalam pikirannya. “Lalu?”“Setelah menemukan titik yang tepat, dia akan menggunakan ibu jari dan telapak tangannya untuk memberikan tekanan. Di
Alisa menggigit bibirnya sebelum akhirnya bercerita. “Sebelum kecelakaan itu, aku pernah menemukan jamur yang tumbuh di dekat sekolahku. Aku membawanya pulang, namun setelah aku sadar dari kecelakaan. Di hadapan Mas Juned dan Pembantunya, mereka tak sengaja melihat jamur itu di kantongku. Lalu mereka bercerita tentang jamur ajaib. Aku penasaran, terus aku nekat coba makan.”Tania semakin terkejut. “Kamu makan jamur itu?! Terus, apa yang terjadi?”Alisa terlihat ragu sebelum akhirnya berkata, “Setelah makan jamur itu... aku mulai merasa kepalaku pusing lalu kembali pingsan. Mas Juned panik lalu membawa ke rumah temannya yang kaya. Setelah sadar kepalaku menjadi ringan, kayak semua hal jadi lebih gampang dipahami. Aku jadi ngerti pelajaran tanpa perlu belajar keras, aku bisa ingat sesuatu yang cuma kulihat sekilas... Bahkan aku bisa menyelesaikan puzzle yang belum pernah aku lihat, kak.”Tania terdiam, menyusun potongan-potongan informasi di kepalanya.“Berarti jamur yang kamu makan
“Alisa?” gumam Tania pelan.Tania menatap Alisa dengan heran saat adiknya itu masih berdiri di depan pagar.Alisa mengangguk kecil, masih terlihat ragu-ragu. “Kak...”Tania menghela napas, melirik sekilas ke arah Juned. “Kamu kenapa tiba-tiba ke sini?”Alisa menunduk sebentar sebelum menatap kakaknya lagi. “Aku Cuma ingin ketemu Kakak.”Tania terdiam. Sudah lama sekali mereka tidak bertemu, sejak masalah besar yang terjadi antara dirinya dan ayah mereka.“Setelah semua yang terjadi... kamu masih mau datang ke sini?” suara Tania terdengar lebih hati-hati.“Aku tetap adikmu, Kak,” jawab Alisa. “Aku Cuma ingin tahu kabarmu, aku juga rindu... meskipun aku tahu kita sudah lama nggak seperti dulu lagi.”Tania menggigit bibirnya, lalu melirik sekilas ke dalam rumahnya yang sederhana.“Masuklah. Kita bicara di dalam.”Alisa mengangguk, melangkah masuk melewati Juned yang masih sibuk dengan dunianya sendiri. Namun, saat dia berjalan, tiba-tiba Juned meraih pergelangan tangannya.“Kamu Jamur
Tania berlari ke kamarnya, dia membongkar rak berisi buku. Tangannya dengan cepat menyibak beberapa buku yang tersusun rapi.Setelah menemukan sebuah buku yang dicari, ia membuka kembali catatan kuno yang selama ini dia teliti. Di dalamnya, tertulis hubungan unik antara empat jamur ajaib yang konon memiliki kekuatan luar biasa:“Kekuatan mengalahkan Kekayaan, Kekayaan mengalahkan Kekuasaan, Kekuasaan mengalahkan Kecerdasan, Kecerdasan mengalahkan Kekuatan.” Tania duduk di sebuah meja sambil telunjuknya dengan perlahan menyusuri setiap tulisan dalam buku.Tania mendongak menatap langit kamarnya sambil masih bergumam sendiri. “Jadi hal itu seperti Siklus yang membentuk rantai keseimbangan, seolah-olah masing-masing jamur saling mengimbangi satu sama lain.”Tania menyadari sesuatu—Juned memiliki kekuatan, sementara Marina memiliki kekayaan. Jika benar teori ini berlaku, maka seharusnya Marina akan lemah dengan Juned.Namun, ada satu masalah besar. Juned kehilangan efek jamurnya. “