Lastri mengangguk pelan. "Aku nggak tahu harus bagaimana, Jun. Aku merasa nggak ada lagi yang bisa kita percaya."
Lilis menggelengkan kepala, masih sulit menerima kenyataan ini. "Pak Samijo... selama ini dia yang selalu kelihatan mendukung kita. Tapi ternyata dia justru bermain di belakang kita."Juned berdiri dari kursinya, berjalan mondar-mandir sambil berpikir keras. "Ini berarti kita nggak bisa lagi mengandalkan siapa pun di kampung ini. Kalau Pak RT saja sudah berpihak ke Anton, berarti situasi kita jauh lebih buruk daripada yang kita kira."Lastri menatap Juned dengan penuh rasa takut. "Jun, aku takut Anton akan melakukan sesuatu yang lebih buruk. Saat di telepon, Pak RT bilang Anton nggak akan menyerah sampai dia mendapatkan apa yang dia mau."Juned menatap Lastri dengan penuh kekhawatiran. “Lastri, kamu bilang tadi dengar percakapan itu di rumah Pak Samijo? Lalu bagaimana dengan Vivi dan Novi? Mereka masih ada di sana?” tanyanya deLastri langsung berdiri dan dengan cepat menuju kamar Lilis. Lilis terlihat khawatir, namun Juned menenangkannya dengan isyarat agar tetap tenang. Juned mengambil napas dalam-dalam, mencoba mengatur ekspresi wajahnya agar tidak terlihat gugup.Ketukan keras di pintu terdengar, diikuti oleh suara Pak Samijo yang berat. “Juned, buka pintunya! Ini aku, Pak Samijo!”Juned berjalan ke pintu dan membukanya perlahan, berusaha memasang wajah bingung. “Pak RT? Ada apa kok datang kemari? Bagaimana keadaan mereka di rumah bapak?” tanyanya, seolah tidak mengetahui apa pun.Pak Samijo masuk tanpa diundang, wajahnya terlihat tegang. Ia menatap Juned dengan tajam sebelum berbicara. “Juned, aku harus kasih tahu kamu sesuatu. Vivi, Novi, dan Lastri yang bersembunyi di rumahku tadi... mereka ditangkap lagi oleh anak buah Anton.”Juned pura-pura terkejut, memasang wajah panik. “Apa? Ditangkap? Bagaimana bisa, Pak? Bukannya mereka aman di rumah Pak RT?”Pak Samijo menghela napa
Juned berjalan cepat menuju rumah Pak Samijo, mencoba menyembunyikan kegelisahan yang menggerogoti pikirannya. Dalam pikirannya, ia merancang setiap kata yang akan ia ucapkan, menyusun cerita agar terlihat meyakinkan. Ia tahu, jika ingin mendapatkan kebenaran, ia harus memainkan peran dengan sempurna."Kenapa kemarin aku menitipkan mereka di rumah Pak Samijo?" gumam Juned pada dirinya sendiri, mencoba mencari logika di tengah kekacauan pikirannya. Pak Samijo adalah orang terakhir yang bisa dipercaya, apalagi setelah Lastri mengungkap pengkhianatannya.Setelah beberapa menit berjalan, ia sampai di depan rumah Pak Samijo. Rumah itu tampak sepi, namun lampu di ruang tamu menyala, memberikan kesan seseorang sedang berada di dalam. Juned mengetuk pintu dengan sedikit ragu, memastikan dirinya tetap tenang.“Pak Samijo! Saya Juned, boleh masuk sebentar?” serunya dengan nada ramah.Pintu terbuka perlahan, dan Pak Samijo muncul dari balik pintu. Wajahnya tampa
Juned menggenggam pinggiran jendela dengan erat, hampir tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Matanya membelalak ketika melihat Pak Samijo perlahan mendekati Rini dan menuruti permintaannya.“Astaghfirullah...” bisik Juned dengan suara tertahan. Namun, ia tahu bahwa ini bukan waktu untuk berkonfrontasi. Dengan hati-hati, ia turun dari tumpukan kayu dan menjauh dari rumah itu, pikirannya penuh dengan kekecewaan dan kemarahan.Juned memperhatikan dengan penuh rasa tak percaya ketika Rini semakin mendekat ke arah Pak Samijo, dan pria tua itu dengan senyum licik menunggu gerakan Rini selanjutnya. Suasana di kamar itu terasa begitu ganjil dan membuat darah Juned mendidih. Ia tidak bisa memutuskan apakah harus langsung masuk dan mengonfrontasi mereka atau terus mengintai untuk mengetahui sejauh mana permainan yang akan dilakukan mereka.Namun, saat Juned mencoba menggeser tubuhnya untuk mendapatkan posisi lebih baik, kakinya tib
Suasana di luar rumah kosong itu mulai hening. Kedua pria itu tampak berbicara pelan dengan wanita tersebut, membuat Juned kesulitan mendengar percakapan mereka. Ia hanya bisa terus mengawasi dari balik celah, menunggu saat yang tepat untuk bergerak. Setelah beberapa waktu, salah satu pria berdiri dan berkata, “Oke, gua mau patroli lagi. Lu jaga di sini. Kalau ada tanda-tanda Juned, langsung kabarin.” Pria lainnya mengangguk sambil menyulut rokoknya. Wanita itu hanya duduk santai, tampak tidak peduli dengan percakapan mereka. Juned merangkak keluar dari persembunyiannya dengan hati-hati, memastikan langkahnya tak mengeluarkan suara yang mencurigakan. “Ini kesempatan bagiku.” Gumam Juned sambil menggenggam sebatang kayu kecil yang dia temukan di dalam rumah. Pria tersebut masih tampak lengah, sibuk menikmati rokoknya sambil memainkan ponselnya. Juned mendekat perlahan dengan langkah hati-hati. Ketika jaraknya hanya beberapa meter dari pria itu, Juned dengan gerakan cepat dal
Juned berjalan menyusuri jalan desa yang sudah sangat sepi malam itu. Dia menuju ke sebuah warung kopi tempat Sugeng biasa kongkow-kongkow setiap malam.Setelah berjalan sambil menarik gerobak, benar saja insting yang di rasakan Juned. Sugeng memang berada di warung kopi tersebut.“Kalau aku berhasil menculik Sugeng, posisi Anton akan terpojok. Pak Slamet pasti akan mendesak Anton untuk menyelamatkan anaknya, dan kalau Anton menolak, dukungan Pak Slamet kepadanya bisa runtuh.” Pikir Juned yang bersembunyi tak jauh dari warung kopi itu.Malam itu, suasana di warung kopi tampak seperti biasa. Sugeng dan beberapa pemuda duduk di kursi panjang sambil berbincang santai."Sasaran sudah di depan mata, tinggal eksekusi saja. Tapi aku enggak bisa bergerak sembarangan, kalau ketahuan, masalahnya akan jadi runyam." Gumam Juned dengan mata tajam yang terus memperhatikan Sugeng yang kala itu sedang tertawa lepas sambil menyeruput kopi dari gelas.Juned memutuskan untuk menunggu hingga Sugeng
Juned melangkah meninggalkan Sugeng, dengan mengenakan topi dan jaket untuk membuatnya sedikit tersamarkan. Dengan raut wajah tenang, dia berusaha tampil senormal mungkin. “Kalau aku terlihat cemas atau gugup, itu malah bikin curiga,” pikirnya sambil melangkah menuju tempat hiburan yang dimaksud Sugeng.Setelah beberapa menit akhirnya dia sampai di desa sebelah.Bangunan itu tampak seperti kafe biasa dari luar, dengan lampu neon yang menyala terang dan beberapa motor dan mobil terparkir di depannya. Namun, atmosfernya terasa berbeda. Beberapa pria berpakaian mencolok berkeliaran di sekitar pintu masuk, dan musik keras menggema dari dalam bangunan.Saat mendekat, Juned memposisikan topinya agar menutupi sebagian besar wajahnya. Dua pria kekar berdiri di depan pintu, seperti penjaga yang siap menghadang siapa pun yang mencurigakan. Juned mengatur napasnya, lalu berjalan ke arah pintu dengan percaya diri.“Baru pertama kali ke sini?” salah satu penjaga bertanya, matanya mengamati Jun
Juned merasa terjebak. Dia tahu bahwa jika dia menolak, Rini bisa saja langsung melaporkannya ke Anton atau anak buahnya. Namun, jika dia setuju, dia akan masuk ke permainan yang tidak bisa dia kendalikan. “Baik, apa maumu?” Tanya Juned mencoba tenang.Rini berdiri dari kursi lalu memakainya topengnya kembali. “Ikutlah denganku, di sini terlalu banyak orang.” Rini melangkah pergi menuju ke suatu tempat.Juned mengikuti langkah Rini yang ternyata menuju ke toilet pria. Setelah berada di dalam, Rini dengan cepat mengunci pintu dan berbalik menghadap Juned. Tanpa diduga, dia melingkarkan lengannya di tubuh Juned, memeluknya erat dan mencumbu bibir Juned. Juned tersentak, merasa canggung sekaligus bingung dengan apa yang sedang terjadi.“Mbak Rini, apa-apaan ini?!” bisik Juned tajam, berusaha menjauhkan dirinya, tetapi Rini justru semakin erat memeluknya.“Kau jangan banyak bertanya, turuti saja.” Kata Rini dengan suara yang menggoda dan sedikit mengancam.Rini kembali mencium
Wanita itu terus membawa Juned hingga keluar dari kafe. Setelah berada di luar Juned yang masih bingung dan mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi berdiri mematung, menatap wanita bertopeng yang telah menyelamatkannya dari kerumunan. Dalam sekejap, wanita itu membuka topengnya, memperlihatkan wajah yang sangat dikenalnya. Juned terkejut bukan main.“Tante Lilis?!” seru Juned dengan suara setengah berbisik, matanya membulat tak percaya.Lilis menatap Juned dengan ekspresi datar, seolah mencoba mengukur reaksi keponakannya. “Iya, ini aku, Juned,” jawabnya sambil melipat topeng itu dan menyelipkannya ke balik gaunnya.Juned mengernyit, kebingungan. “Kenapa Tante ada di sini? Apakah Tante juga bekerja di sini?” tanyanya, nadanya penuh curiga dan cemas.Lilis mendesah pelan, lalu mengalihkan pandangannya. “Aku nggak kerja di sini, Juned,” katanya dengan nada tenang, meski ada sedikit getaran. “Tapi, kadang aku... berkunjung ke sini. Hanya untuk... melampiaskan sesuatu.”Juned menger
Juned akhirnya menyerah. “Baiklah, Marina. Terserah kamu saja.”“Kamu gak usah memikirkan hal berat-berat, Juned. Biar aku yang urus semuanya buat kamu, ya,” balas Marina sebelum menutup telepon.Juned menghela napas panjang dan menyandarkan tubuhnya ke sofa. Ia menatap ke arah dapur, di mana Siti dan Ratih sedang bekerja. Setelah dipikir-pikir, Siti dan Ratih memang lumayan cantik juga. Tapi entah, apakah benar kalau Juned bisa meminta apa saja kepada mereka berdua.Juned memutuskan untuk keluar rumah dan menghirup udara segar. Ia melihat Pak Darma sedang duduk di bangku kecil di dekat pagar, memandangi jalanan yang mulai ramai oleh orang-orang berlalu-lalang.Juned berjalan mendekat dan menyapanya. "Pak Darma, santai di sini ya?"Pak Darma menoleh dan tersenyum. "Iya, Mas Juned. Lagi lihat-lihat suasana. Kota ini memang lebih hidup dibanding tempat-tempat lain."Juned ikut duduk di bangku kecil di sebelah Pak Darma. Mereka berbincang ringan sejenak, hingga akhirnya Juned merasa p
Setelah Marina pergi, Juned baru saja ingin duduk dan menikmati suasana rumah barunya ketika tiba-tiba terdengar ketukan di pintu. Ia membuka pintu, dan di sana berdiri dua orang wanita dengan senyuman ramah. Salah satu dari mereka menyapa, “Selamat siang, Pak Juned. Kami orang suruhan Bu Marina. Nama saya Siti, dan ini teman saya, Ratih. Kami ditugaskan untuk membantu pekerjaan di rumah ini.”Juned mengernyit sejenak, merasa sedikit bingung. “Membantu pekerjaan? Maksudnya seperti asisten rumah tangga?”Siti mengangguk. “Iya, Pak. Bu Marina bilang Bapak akan membutuhkan bantuan untuk menjaga kebersihan rumah dan mungkin memasak.”Ratih menambahkan, “Kami sudah bekerja lama dengan Bu Marina, jadi Bapak tidak perlu khawatir. Kami di sini untuk memastikan rumah ini tetap nyaman untuk Bapak.”Juned mengangguk, mencoba mencerna semuanya. “Baiklah, kalau begitu silakan masuk. Mari kita bicara di ruang tamu.”Keduanya masuk dengan sopan dan duduk di sofa. Juned pun mulai mengajukan beberapa
Saat Juned tiba di ruang makan, Marina sudah menunggunya di sana dengan senyum tenangnya. Di atas meja sudah tersedia berbagai hidangan sarapan lengkap. Namun suasana tampak agak tegang, terutama dengan ekspresi Marina yang sedikit berbeda dari biasanya.“Selamat pagi, Juned. Duduklah,” kata Marina sambil menunjuk kursi di depannya.Juned mengangguk dan duduk, mulai menikmati sarapannya.“Juned, kamu itu selalu kebiasaan tidur di sofa padahal Marina sudah menyiapkan kamar untukmu hehehe.” Celetuk Lastri sambil tertawa cekikan.“Juned selalu seperti itu sejak dulu, Lastri. Asalkan sudah mengantuk, dia bisa tidur walaupun dalam keadaan berdiri.” Sahut Lilis.Ucapan Lilis membuat tawa semua orang menggema di ruangan itu. Kecuali Juned yang hanya bisa menunduk menahan malu.Pagi itu, kehangatan menyelimuti ruang makan di rumah Marina. Lilis, Lastri, Vivi, Rini, dan Novi berkumpul di sekitar meja makan, menikmati sarapan terakhir mereka bersama Juned sebelum berpindah ke rumah baru mas
"Aku sudah memeriksa tempat ini. Lokasinya di pinggir jalan besar, mudah diakses, dan sudah memiliki izin usaha. Aku yakin ini akan cocok untuk klinik pijatmu."Juned menatap foto-foto itu dengan mata berbinar, namun juga ada keraguan yang muncul. "Marina, ini terlihat... sangat bagus. Tapi apakah aku bisa mengelola tempat seperti ini?"Marina menatapnya tajam namun penuh kepercayaan. "Juned, aku tidak memilih tempat ini tanpa alasan. Kamu punya kemampuan, dan aku percaya kamu bisa mengelolanya. Selain itu, aku akan membantumu di awal. Kamu hanya perlu fokus pada apa yang kamu kuasai, yaitu memberikan pelayanan terbaik kepada pelanggan."Juned terdiam, merenungkan kata-kata Marina. Tempat itu terlihat seperti impian, sesuatu yang tidak pernah ia bayangkan bisa ia miliki. "Tapi, Marina, ini pasti sangat mahal. Aku..."Marina mengangkat tangan, menghentikan Juned sebelum ia melanjutkan. "Biarkan itu urusanku. Anggap saja ini adalah bentuk kepercayaanku padamu. Yang perlu kamu lakukan
Marina membuka pembicaraan dengan nada tenang tetapi tegas. “Aku sudah memutuskan sesuatu untuk kalian semua. Aku ingin kalian mulai hidup baru tanpa harus takut atau khawatir tentang masa lalu. Untuk itu, aku telah menyediakan rumah untuk kalian masing-masing.”Semua orang yang mendengarnya tampak terkejut. Lilis, yang duduk paling dekat dengan Juned, langsung bertanya, “Rumah? Maksudmu Marina, kita akan tinggal di kota ini?”Marina tersenyum. “Iya. Aku sudah membeli beberapa rumah sederhana di satu kompleks perumahan. Juned, Rini, Lastri, Vivi, dan kamu, Lilis, masing-masing akan mendapatkan satu rumah dariku.”Lilis tampak tidak puas mendengar itu. “Tunggu dulu! Berarti aku tidak akan tinggal bersama keponakanku, Juned. Padahal Kami selalu hidup bersama. Kenapa kamu tak berikan satu saja untukku dan Juned, aku bisa merawatnya seperti biasanya.”Marina menggeleng lembut tetapi tetap tegas. "Aku tahu kamu peduli pada Juned, Lilis. Tapi aku ingin kalian berdua mulai hidup mandiri. J
Marina membuka semua busana Juned dengan cepat. Mereka tenggelam bersama di ranjang hotel yang empuk, menikmati setiap hembusan nafas yang saling berebut di antara bibir."Juned," kata Marina tiba-tiba sambil melepaskan ciumannya di bibir pria itu. "Aku punya tawaran untukmu."Juned menatap Marina, terlihat ragu-ragu. "Apa itu, Marina?"Marina menatap pria itu dalam-dalam, senyumnya samar namun tajam. "Aku ingin kamu tinggal di kota ini. Lupakan rumahmu di desa, lupakan semua yang pernah terjadi dengan Anton. Mulailah hidup baru di sini bersamaku."Juned mengernyit, merasa bingung dengan maksud ucapan Marina. "Apa maksudmu? Aku tidak mengerti."Marina menarik napas panjang sebelum melanjutkan. "Jadilah laki-laki simpananku, Juned! Aku akan memberimu kekayaan, kenyamanan, dan keamanan. Semua yang kamu butuhkan. Kamu hanya perlu ada untukku."Ucapan itu membuat Juned terdiam. Dia tidak tahu harus berkata apa. Tawaran Ma
Pria itu tampak sedikit bingung dengan pertanyaan itu. “Perwakilan dari Anton Perkasa memang sudah tiba pagi ini, lebih awal dari jadwal semula. Dan mereka langsung diterima oleh Ibu Ratna.”Mendengar penjelasan itu, wajah Marina berubah. Sorot matanya menunjukkan sesuatu yang mencurigakan. Sementara Juned, yang berdiri di sampingnya, hanya bisa mengerutkan dahi, tak sepenuhnya memahami situasi.Tepat saat itu, Marina dan Juned melihat Ibu Ratna keluar dari ruangannya, berjalan menuju pintu utama bersama seorang pria muda. Pria itu mengenakan setelan jas hitam yang sempurna, rambutnya tersisir rapi, dengan senyum penuh percaya diri. Sosoknya begitu kharismatik, membuat siapa pun yang melihatnya langsung terkesan.Marina memperhatikan pria itu dengan penuh perhatian. Sesaat kemudian, dia berbisik kepada Juned, “Itu perwakilan dari Anton Perkasa. Tapi... sesuatu tidak beres di sini.”“Apa maksudmu?” tanya Juned bingung.“Seharusny
Mata para wanita—Marina, Lilis, Lastri, Vivi, dan Rini—tertumbuk pada Juned. Mereka terdiam sejenak, lalu hampir serentak menunjukkan ekspresi kagum.“Ya ampun, Juned! Keponakanku Ganteng banget!” ujar Lilis dengan suara riang, tangannya menutup mulut seolah tak percaya dengan apa yang dilihatnya.Vivi mengangguk setuju. “Aku sampai nggak kenal tadi. Serius ini kamu Juned? Kayak model yang mau pergi ke gala dinner aja,” katanya sambil tersenyum lebar.Lastri menambahkan dengan nada menggoda. “Juned, kayaknya kalau ada perempuan yang lihat kamu kayak gini, mereka langsung naksir, deh.”Juned hanya tersenyum canggung, merasa sedikit kikuk dengan perhatian yang begitu besar dari mereka. “Ah, jangan bercanda kalian. Ini cuma karena pakaian yang terlihat bagus,” ucapnya merendah sambil menggaruk belakang kepalanya.Namun Marina, yang duduk di sofa dengan anggun, memberikan komentar yang berbeda. “Lihatlah, ini yang aku maksud. Penamp
Juned hanya bisa duduk terpaku, tidak ingin membuat situasi semakin buruk dengan bertindak kasar. Namun, sebelum Winda melanjutkan aksinya, tubuhnya tiba-tiba melemah, dan ia terjatuh ke samping, pingsan karena mabuk.Juned menghela napas lega, tapi matanya langsung tertuju pada Marina dan Tari yang kini juga tampak setengah sadar, mencoba bernyanyi dengan suara yang sudah tidak jelas. Tidak lama kemudian, satu per satu dari mereka mulai pingsan, termasuk Rini. Suasana yang tadi penuh dengan tawa dan nyanyian kini berubah menjadi hening.Melihat mereka semua terbaring di lantai dan sofa, Juned menyadari bahwa ia tidak bisa membiarkan mereka begitu saja. "Ya Allah, ini benar-benar malam yang melelahkan," gumamnya sambil mengusap wajahnya.Dengan hati-hati, Juned mulai memindahkan mereka satu per satu ke kamar Marina yang besar. Ia mengangkat Winda lebih dulu, lalu kembali ke ruangan karaoke untuk membawa Marina, Tari, dan akhirnya Rini. Setelah memast