Malam itu gelap gulita, hanya diterangi oleh sinar bulan pucat yang sesekali tersembunyi di balik awan tebal. Jalanan sepi, aspal basah oleh hujan yang baru saja reda, memantulkan kilauan lampu mobil yang melaju kencang.Awalnya mereka aman, tetpi tidak lama terdengar raungan beberapa mobil mengejar mereka dengan kecepatan tinggi. Pak Arif memegang kemudi dengan erat, matanya fokus menatap jalan sambil sesekali melirik kaca spion.Di sampingnya, Pak Anton menampakkan wajah tegang, sedangkan di baris kursi belakang Ghenadie dan Desy duduk bersebelahan, wajah mereka juga dipenuhi ketegangan."Masih ada berapa peluru?" tanya Pak Arif sambil matanya fokus pada keadaan di depan mobil, suaranya tegas namun terdengar sedikit gemetar."Dua magazen kurang, mungkin kurang," jawab Desy sambil memeriksa magazennya. "Mereka terlalu banyak, pak Arif. Kita tidak bisa terus begini.""Kita tidak punya pilihan!" bentak seru Anton, tangannya mencengkeram handel pintu mobil lebih erat. "Mereka akan membu
Pak Anton menatap Pak Arif dengan penuh kebingungan. “Memangnya knapa?” tanyanya, suaranya mengandung nanda curiga.Pak Arif menarik nafas dalam sebelum berbicara. “Di HP-mu ada kemungkinan ada aplikasi pelacak jaringan yang diam-diam mengirimkan aktivitasmu secara online. Musuh bisa mengetahui smeua yang kamu bicarakan.”Dada Pak Anton berdegub kencang. Ia segera merogoh saku dan mengeluarkan ponselnya. Tangannya sedikit gemeter saat ia mencoba mencari aplikasi yang dimaksud.Beberapa kali ia menyapu layar, membuka satu per satu folder dan pengaturan, namun tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan.“Tidak ada, pak Arif. Aku tidak melihat aplikasi aneh di sini,” ucap Pak Anton dengan nada gelisa.Pak Arif menyodorkan tangannya. “Biar aku periksa.”Pak Anton ragu sejenak, tapi ia tahu meskipun orang baru dia kenal, tapi tadi sudah membuktikan berada di pihak mereka. Walaupun dengan berat hati, ia menyerahkan ponselnya.Mata Pak Arif menyipit tajam saat ia mulai memeriksa setiap detail
Ghenadie mendorong gerobak baksonya dengan perlahan menyusuri jalan setapak kota yang bentuknya sudah seperti kampung, karena terletak agak ke pinggiran kota.Ghenadie berjalan dengan santainya memakai pakaian yang cukup rapi dan bersih, namun keringatnya mengalir deras di bawah terik matahari siang.Gerobaknya bergemeretak ringan, seolah mengiringi langkahnya yang mantap meskipun tubuhnya terasa lelah. Aroma bakso yang gurih bercampur dengan sambal pedas melayang di udara, menggoda siapa saja yang melewati.Ghenadie, seorang mahasiswa yang gigih, tak pernah mengeluh meski panas matahari membakar kulitnya. Setiap teriakan yang ia keluarkan saat menawarkan baksonya, membawa harapan besar untuk bisa membayar biaya kuliahnya.Sambil berjalan itu, dia ingat dengan kekasihnya, Lina, seorang gadis yang cantik, tetapi mereka belum bisa menikah karena belum cukup uang. Pikirannya juga melayang ke keluarganya di desa yang berharap besar padanya."Bakso! Bakso panas! Ayo, bakso!" serunya, suara
Hidup tidak selalu berpihak padanya, terutama setelah apa yang terjadi dengan Lina. Dulu, ia dan Lina pernah saling mencintai.Lina adalah gadis yang membuatnya bermimpi, namun impian itu hancur ketika Lina jatuh ke dalam pelukan seorang pemuda kaya raya. Pemuda itu datang dengan mobil mewah, jam tangan mahal, dan segala hal yang tak pernah bisa Ghenadie tawarkan. Cinta mereka kalah oleh harta.Momen paling menyakitkan bagi Ghenadie bukan hanya ketika Lina pergi, tapi juga saat ia mendengar hinaan yang tak terlupakan. Lina, yang pernah menjadi kekasihnya, kini telah berubah, ikut merendahkan dirinya."Sudahlah, Ghenadie. Kau hanya tukang bakso. Apa yang bisa kau tawarkan?" kata-kata Lina masih terngiang di telinganya.Tak hanya Lina, tapi juga kekasih barunya dan teman-temannya seringkali mengejek Ghenadie. "Penjaja bakso yang tidak akan pernah maju. Kau tak cocok untuk Lina, dia layak mendapatkan yang lebih baik."Penghinaan itu melukai hati Ghenadie lebih dalam dari yang ia kira. Na
Wajah pria itu tampak tenang, tetapi ada ketegasan dalam suaranya ketika ia berbicara.“Siapa kamu sekarang tidak mengubah fakta tentang siapa kamu sebenarnya,” kata pria itu dengan nada bijak. “Kamu adalah putra sulung dari direktur kami, dan keluargamu telah mencarimu selama ini.”Ghenadie mencoba memahami kata-kata itu, tapi pikirannya terasa buntu. Hidupnya yang begitu sederhana, tiba-tiba berubah dalam hitungan detik.Setiap harinya, ia hanya seorang penjual bakso keliling yang hidup dalam rutinitas. Bagaimana mungkin ia sekarang dikaitkan dengan seorang direktur kaya raya?"Putra sulung dari direktur"?Rasanya tidak masuk akal."Aku... Aku tidak mengerti," gumam Ghenadie, suaranya terdengar lemah.Pria itu mengangguk, seolah sudah mengantisipasi kebingungan yang terpancar dari Ghenadie.“Kami tidak sedang menipumu. Kami tahu ini bukan hal yang mudah. Tapi direktur kami sangat ingin bertemu denganmu. Setidaknya, berikan kesempatan bagi dirimu untuk mendengar lebih banyak.”Ghenad
Pagi itu, matahari baru saja naik ketika Ghenadie melangkah keluar dari rumahnya, pikirannya dipenuhi oleh rasa cemas dan kebingungan. Ia masih belum percaya dengan apa yang terjadi kemarin.Pertemuan tak terduga dengan seorang lelaki bernama Pak Andri ketika dirinya mau pulang dari berjualan bakso mengubah segalanya. Pak Andri, yang saat itu tampak lelah dan terluka, menyuruhnya datang ke sebuah perusahaan besar dengan janji bahwa direktur perusahaan itu mencarinya."Kalau begitu, besok kamu datanglah ke perusahaan, bertemu dengan direktur kami," kata pak Andri kemarin sambil menahan rasa sakit di rusuknya.“Baik,” jawab Ghenadie, yang saat itu juga sama-sama terluka setelah kejadian diserang orang suruhan Joko.Cuma sayangnya, karena waktu malam dan minimnya penerangan, Joko dan Lina sewaktu itu berada dari kejauhan dan cuaca mulai gelap, mereka tidak mengenal pak Andri yang terlempar jauh.Sementera meskipun masih bingung dan ragu, Ghenadie setuju. Tetapi ada satu hal yang membuat
Langit di luar jendela mulai gelap, seiring dengan suasana yang makin tegang di dalam ruangan. Ghenadie berdiri dengan tegak, namun ada sesuatu di matanya yang menunjukkan gejolak batin.Ia mengangkat kepalanya, memandang lurus ke arah Joko, meskipun ia bisa merasakan kemarahan yang mulai menggelora di dadanya."Saya di sini bukan untuk Lina," ucap Ghenadie dengan nada terkendali.Namun, di balik ketenangan itu, ada ketegangan yang jelas. "Saya di sini karena diminta bertemu oleh Pak Andri."Tawa Joko pecah dengan keras, begitu keras hingga menggema di seluruh sudut ruangan. Tatapannya menyiratkan ejekan dan rasa meremehkan."Pak Andri? Ha! Jangan bercanda," katanya dengan nada mengejek, menatap Ghenadie seolah-olah pria itu baru saja mengatakan sesuatu yang sangat konyol. "Pak Andri adalah orang kepercayaan Direktur Utama kami. Tidak mungkin dia ingin bertemu dengan seseorang gembel seperti kamu!"Di sudut ruangan, Lina tampak bingung. Mata cokelatnya menyipit, penuh pertanyaan yang
Hujan turun deras malam itu, membasahi jalanan Jakarta yang penuh dengan hiruk-pikuk kendaraan. Di salah satu gedung megah yang menjulang tinggi, Anton Prasetyo, Direktur Utama PT Prasetyo Grup, tengah duduk di kursi ruang kantornya yang berada di tingkat teratas.Pandangannya kosong, meski layar laptop di depannya menunjukkan laporan keuangan yang menumpuk. Kesehatannya memang tak lagi seperti dulu, tapi bukan itu yang memenuhi pikirannya saat ini.Sudah berhari-hari Anton merasakan kegelisahan yang luar biasa. Meskipun tubuhnya melemah karena penyakit jantung, pikirannya tetap tajam, terutama dalam hal bisnis.Ia tahu bahwa di dalam perusahaannya itu, Joko dan Budi, dua orang yang sudah lama menjadi kepercayaannya, diam-diam ingin merebut posisi kekuasaannya.Budi adalah direktur utama SDM, dan Joko adalah keponakan Budi, direktur pemasaran atas rekomendasi Budi. Tetapi gaya mereka sekarang sudah seperti pemilik perusahaan saja. Apa lagi Budi sebagai direktur SDM, dia punya kewenang
Pak Anton menatap Pak Arif dengan penuh kebingungan. “Memangnya knapa?” tanyanya, suaranya mengandung nanda curiga.Pak Arif menarik nafas dalam sebelum berbicara. “Di HP-mu ada kemungkinan ada aplikasi pelacak jaringan yang diam-diam mengirimkan aktivitasmu secara online. Musuh bisa mengetahui smeua yang kamu bicarakan.”Dada Pak Anton berdegub kencang. Ia segera merogoh saku dan mengeluarkan ponselnya. Tangannya sedikit gemeter saat ia mencoba mencari aplikasi yang dimaksud.Beberapa kali ia menyapu layar, membuka satu per satu folder dan pengaturan, namun tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan.“Tidak ada, pak Arif. Aku tidak melihat aplikasi aneh di sini,” ucap Pak Anton dengan nada gelisa.Pak Arif menyodorkan tangannya. “Biar aku periksa.”Pak Anton ragu sejenak, tapi ia tahu meskipun orang baru dia kenal, tapi tadi sudah membuktikan berada di pihak mereka. Walaupun dengan berat hati, ia menyerahkan ponselnya.Mata Pak Arif menyipit tajam saat ia mulai memeriksa setiap detail
Malam itu gelap gulita, hanya diterangi oleh sinar bulan pucat yang sesekali tersembunyi di balik awan tebal. Jalanan sepi, aspal basah oleh hujan yang baru saja reda, memantulkan kilauan lampu mobil yang melaju kencang.Awalnya mereka aman, tetpi tidak lama terdengar raungan beberapa mobil mengejar mereka dengan kecepatan tinggi. Pak Arif memegang kemudi dengan erat, matanya fokus menatap jalan sambil sesekali melirik kaca spion.Di sampingnya, Pak Anton menampakkan wajah tegang, sedangkan di baris kursi belakang Ghenadie dan Desy duduk bersebelahan, wajah mereka juga dipenuhi ketegangan."Masih ada berapa peluru?" tanya Pak Arif sambil matanya fokus pada keadaan di depan mobil, suaranya tegas namun terdengar sedikit gemetar."Dua magazen kurang, mungkin kurang," jawab Desy sambil memeriksa magazennya. "Mereka terlalu banyak, pak Arif. Kita tidak bisa terus begini.""Kita tidak punya pilihan!" bentak seru Anton, tangannya mencengkeram handel pintu mobil lebih erat. "Mereka akan membu
Selama beberapa saat, mereka berempat bingung, tidak tahu harus ke mana. Arif sebagai mantan polisi tahu, sangat sulit menghadapi aparat jika sudah berafiliasi denga kejahatan.Hukum bisa mereka atur, bahkan mereka bisa sampai menghilangkan nyawa dengan alasan yang sepertinya logis. Di saat seperti itu, pak Arif teringat dengan seorang tua yang jujur, dia juga mantan polisi.Karena sedang menyupir mobil, dia meminta pak Anton untuk menghubunginya, mengatakan bahwa mereka mau berkonsultasi dengannya. Pak Anton menyebut nomornya dan mengatakan bahwa pak Anton mewakili pak Arif ayang bicara.Setelah terhubung, pak Anton menyampaikan pesan yang di sebut oleh pak Arif. Suara tua terdengar di seberang, dia mengiyakan dan menyebutkan tempatnya. Pak arif menyimak dan dia tahu tempat itu.“Baiklah,” seru pak Arif sambil terus menyupir. “Aku tahu tempat itu.”Mereka berbelok ke arah kiri, menuju jalan bebas hambatan dan melaju selama beberapa jam. Mobil yang dikemudikan Arif berhenti di sebuah
Hari menjelang sore. Arif memandang ke luar jendela mobilnya, matanya menyipit menatap jalanan yang ramai. Desy duduk di sampingnya, tangannya erat memegang pistolnya.“Kamu punya ijin memegang pistol?” tanya pak Arif.“Punya,” jawab Desy.Dalam hati pak Arif melihat, bahwa Desy bukanlah wanita yang lemah, tetapi senbagai manusia biasa, tentu saja dia kepayahan jika berhadapan dengan sekelompok orang.“Apa Bapak yakin ini akan berhasil, Pak Arif?” tanya Desy, matanya penuh keraguan.Arif menghela napas. “Tidak ada yang pasti dalam hidup ini, Desy. Tapi satu hal yang aku tahu: kita tidak bisa diam saja. Kalau kita diam, mereka akan terus merajalela.”Desy mengangguk pelan. “Saya hanya tidak ingin pak Arif terluka karena saya.”Arif menoleh, memandangnya dengan tatapan lembut. “Jangan khawatir, Desy. Mereka yang salah. Mereka yang memilih jalan kejahatan. Kita hanya mencoba memperbaiki apa yang mereka rusak.”Sementara itu, kehangatan Desy dan pak Arif mulai tercipta, kehangatan seperti
Desy melirik ke belakang, melihat bayangan pria bertubuh tegap yang terus membuntutinya."Tidak, tidak, tidak," gumamnya dalam hati. Ia harus menemukan cara untuk menghilang.Dia bisa saja melawan, karena dia ahli bela diri, tetapi masalahnya, mereka itu rombongan dan yang dia takutkan mereka membawa senjata api.Kemudian Desy menuju area food court yang ramai, berharap bisa membaur dengan kerumunan. Suara riuh rendah orang-orang yang sedang makan, tertawa, dan berbicara memenuhi ruangan.Desy mencoba tenang, berjalan santai di antara meja-meja, tetapi matanya terus memantau sekeliling."Di mana mereka?" pikirnya, saat melihat beberapa pria berseragam gelap mulai menyebar, memblokir pintu-pintu keluar. Desy menggigit bibirnya. Ia terjebak."Harus ada cara," bisiknya pada diri sendiri. Ia memandang sekeliling, mencari celah.Tiba-tiba, matanya tertuju pada seorang pria paruh baya yang sedang berdiri di dekat gerai kopi. Pria itu mengenakan kemeja sederhana dan celana chino, tetapi ada
Hujan rintik-rintik turun membasahi aspal jalanan kota. Ghenadie mengemudikan mobil dengan tenang, sementara Desy duduk di sampingnya dengan wajah penuh kegelisahan. Di kursi belakang, ayah Ghenedie, Pak Anton, menggenggam ponselnya erat, bersiap jika keadaan memburuk."Pak, bagaimana kalau mereka sudah menyuap semua pihak berwenang?" tanya Desy, suaranya bergetar.Pak Anton menarik napas dalam. "Aku masih punya beberapa teman yang bisa dipercaya. Tapi kita harus cepat. Jika Pak Budi sudah menggerakkan aparat, maka waktu kita tidak banyak."Sambil terus menyetir, Ghenadie melirik kaca spion. Matanya menyipit curiga saat melihat sedan hitam yang melaju dengan kecepatan stabil di belakang mereka. Mobil itu sudah ada di sana sejak mereka meninggalkan kantor Pajak."Aku tidak suka ini," gumamnya.Pak Anton, yang juga memperhatikan situasi, mengangguk setuju. "Saya perhatikan, Nak. Mobil itu sudah tiga kali belok mengikuti kita. Mereka profesional."Desy merasakan bulu kuduknya meremang.
Pak Anton memasuki ruangannya dengan langkah hati-hati. Ghenadie dan Desy mengikutinya dari belakang, mata mereka waspada menyapu setiap sudut ruangan.Begitu mereka masuk, mereka terkejut melihat keadaan kantor yang telah berantakan. Laci-laci meja terbuka, lemari dokumen kosong, dan beberapa berkas berserakan di lantai.“Untung pak Budi tidak menepati kantor,” gumam pak Anton di dalam hati. Sehingga mereka bertiga bisa masuk ke sini tanpa ketahuan."Tapi sepertinya mereka sudah menggeledah tempat ini," gumam Ghenadie sambil mengepalkan tangannya. "Tapi apa mereka menemukan sesuatu yang penting?"Pak Anton menghela napas lega setelah melihat dinding tempat rahasianya masih utuh. Dengan cepat, ia berjalan ke sudut ruangan, meraba permukaan dinding kayu di dekat rak buku.Jari-jarinya menemukan sebuah tonjolan kecil yang tidak menarik, lalu ia menekannya. Sebuah panel kecil terbuka, memperlihatkan sebuah berkas tebal yang tersembunyi di dalamnya."Syukurlah, masih ada," kata Pak Anton
Pak Anton menghembuskan napas panjang, tangannya mengepal di atas meja kayu yang usianya mungkin lebih tua dari dirinya sendiri. Matanya menatap kosong ke arah Desy dan Ghenadie yang duduk di depannya.Ruangan ini masih sama seperti beberapa bulan lalu sebelum mereka semua berada di ruang bawah,sewaktu itu mereka meledakan rumah karena melihat pak Budi dan rombongannya mengintai mereka, yaitu orang yang selama ini dianggapnya sebagai tangan kanan sekaligus sahabat.Tapi sekarang, semuanya telah berubah.Besok mereka harus kembali ke perusahaan. Itu satu-satunya pilihan. Perusahaan itu adalah hasil kerja kerasnya selama puluhan tahun.Pak Anton melirik jam dinding yang berdetak pelan. Pukul dua dini hari, dan dia masih terjaga, pikirannya dipenuhi rencana.Pak Budi pasti telah melakukan banyak hal selama mereka terkurung.Ia mengepalkan tangannya lebih erat.“Besok kita ke perusahaan.” Suaranya tegas, nyaris tanpa keraguan.Desy, wanita muda berambut sebahu dengan wajah penuh ketegasan
Mobil melaju menembus kegelapan malam. Hujan yang turun sejak sore membuat jalanan licin, namun sopir yang membawa Pak Anton tetap fokus, memastikan keselamatan mereka.Di sampingnya, Pak Anton duduk diam, wajahnya terlihat tegang, pikirannya penuh dengan kejadian yang baru saja terjadi."Kemana kita?" tanya sopir itu, matanya tetap menatap lurus ke depan."Kita ke rumah persiapanku," jawab Pak Anton, suaranya dingin. Ia kemudian menyebutkan alamat, dan sopir itu mengangguk pelan, mencoba menghafalkannya.Di kursi belakang, Ghenadie—anak Pak Anton—tertidur dengan kepala bersandar pada jendela. Di sampingnya duduk Desy, body guard yang sekarang bertugas menjaga Ghenadie dari mara bahaya.Guru Desy, pak Firmus Sontoloyo, sangat terkenal. Sedangkan Desy meskipun masih muda, dia sangat berbakat sehingga menjadi murid kesayangan gurunya.Pak Anton mengepalkan tangannya. Budi. Nama itu bergema di kepalanya. Sahabatnya sendiri, orang yang selama ini ia percayai, ternyata adalah pengkhianat.