Home / Urban / Tukang Bakso Jadi Miliarder / 27- Kejar-Kejaran Maut

Share

27- Kejar-Kejaran Maut

last update Last Updated: 2025-03-11 05:39:20
Malam itu gelap gulita, hanya diterangi oleh sinar bulan pucat yang sesekali tersembunyi di balik awan tebal. Jalanan sepi, aspal basah oleh hujan yang baru saja reda, memantulkan kilauan lampu mobil yang melaju kencang.

Awalnya mereka aman, tetpi tidak lama terdengar raungan beberapa mobil mengejar mereka dengan kecepatan tinggi. Pak Arif memegang kemudi dengan erat, matanya fokus menatap jalan sambil sesekali melirik kaca spion.

Di sampingnya, Pak Anton menampakkan wajah tegang, sedangkan di baris kursi belakang Ghenadie dan Desy duduk bersebelahan, wajah mereka juga dipenuhi ketegangan.

"Masih ada berapa peluru?" tanya Pak Arif sambil matanya fokus pada keadaan di depan mobil, suaranya tegas namun terdengar sedikit gemetar.

"Dua magazen kurang, mungkin kurang," jawab Desy sambil memeriksa magazennya. "Mereka terlalu banyak, pak Arif. Kita tidak bisa terus begini."

"Kita tidak punya pilihan!" bentak seru Anton, tangannya mencengkeram handel pintu mobil lebih erat. "Mereka akan membu
MenujuHidupLebihBaik

Apa kekhawatiran pak Arif tentang HP pak Anton? Temukan jawabannya di bab berikutnhya. Ikuti terus ceritanya, karena akan semakin tegang.

| Like
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Related chapters

  • Tukang Bakso Jadi Miliarder   28-Lari

    Pak Anton menatap Pak Arif dengan penuh kebingungan. “Memangnya knapa?” tanyanya, suaranya mengandung nanda curiga.Pak Arif menarik nafas dalam sebelum berbicara. “Di HP-mu ada kemungkinan ada aplikasi pelacak jaringan yang diam-diam mengirimkan aktivitasmu secara online. Musuh bisa mengetahui smeua yang kamu bicarakan.”Dada Pak Anton berdegub kencang. Ia segera merogoh saku dan mengeluarkan ponselnya. Tangannya sedikit gemeter saat ia mencoba mencari aplikasi yang dimaksud.Beberapa kali ia menyapu layar, membuka satu per satu folder dan pengaturan, namun tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan.“Tidak ada, pak Arif. Aku tidak melihat aplikasi aneh di sini,” ucap Pak Anton dengan nada gelisa.Pak Arif menyodorkan tangannya. “Biar aku periksa.”Pak Anton ragu sejenak, tapi ia tahu meskipun orang baru dia kenal, tapi tadi sudah membuktikan berada di pihak mereka. Walaupun dengan berat hati, ia menyerahkan ponselnya.Mata Pak Arif menyipit tajam saat ia mulai memeriksa setiap detail

    Last Updated : 2025-03-12
  • Tukang Bakso Jadi Miliarder   29-Perjuangan Merebut Kembali

    Pak Anton teringat beberapa hari ini pantas saja layar ponselnya sangat aneh. Pesan-pesan aneh membanjiri WhatsApp-nya, beberapa di antaranya berisi ancaman samar. File-file tak dikenal pun tiba-tiba muncul di folder unduhan. Ia mengerti betul—ini bukan kebetulan."Jadi HP saya diretas," katanya lirih, menatap Ghenadie dan Desy yang duduk di hadapannya. "Mereka telh mencoba menelusuri gerakan kita."Desy, yang berpengalaman dalam keamanan siber, segera mendekati Pak Anton dan mengambil dan berbisik, “sebaiknya nomor Bapak di gant saja.”Itu bukan tawran yang mudah dan baik untuk pak Anton, karena nomor itu terhubung dengan rekan-rekan bisnisnya, tetpi tiada jalan lebih baik selain mengganti nomor.Pak Anton menarik nafas panjang, tadi dia sudah mengambil kartu SIM-nya, mematahkannya, lalu membuang ponselnya ke tempat sampah. "Aku akan beli nomor baru. Kita tidak boleh lengah."Pak Arif membawa mereka ke sebuah hotel yang tersembunyi tetapi cukup mewah, mantan polisi itu menatap mereka

    Last Updated : 2025-03-15
  • Tukang Bakso Jadi Miliarder   30-Permainan Kekuasaan

    Cahaya redup dari lampu kristal menggantung di tengah ruang pribadi mewah milik Ghenadie di PT Prasetyo Grup. Aroma kopi hitam yang mengepul dari cangkir porselen mahal bercampur dengan ketegangan yang menggantung di udara.Di kursi utama, Ghenadie Prasetyo duduk dengan anggun, mengenakan jas Armani hitam, mengamati berkas-berkas di hadapannya. Wajahnya tak menunjukkan emosi, tapi ada ketegasan dalam sorot matanya.Di seberangnya, Lina duduk dengan resah. Wanita itu masih menawan, meski ada kegelisahan yang tak bisa ia sembunyikan. Dia tidak pernah menyangka bahwa laki-laki yang dulu ia hina dan tinggalkan kini menjadi pemegang kekuasaan tertinggi dalam dunia bisnis yang paman dan suaminya coba kuasai."Lina," suara Ghenadie akhirnya terdengar, berat dan berwibawa. "Aku tak menyangka kau akan datang ke sini. Apa yang bisa kulakukan untukmu?"Lina menggigit bibirnya. Ada penyesalan yang menggerogoti, tapi harga dirinya terlalu tinggi untuk mengakuinya secara gamblang."Aku hanya ingin

    Last Updated : 2025-03-16
  • Tukang Bakso Jadi Miliarder   31- Kecemburuan Pacar Desy

    Pak Anton memang sudh berhasil merebut kembali perusahaannya. Sejumlah strategi bisnis, negosiasi, dan bahkan tekanan hukum digunakan untuk mengusir orang-orang yang pernah menjatuhkannya.Kini, Anton Group kembali ke tangan yang berhak. Keadaan sudah kembali normal, dan yang lebih penting, putranya, Ghenadie, bisa kembali bekerja seperti biasa.Namun, dengan keadaan yang sudah aman, Pak Anton merasa tak perlu lagi menyewa seorang bodyguard untuk Ghenadie. Itu berarti Desy harus pergi."Pak Anton sudah bicara denganku tadi pagi," kata Desy pelan saat duduk berhadapan dengan Ghenadie di ruang kerjanya.Ghenadie yang tengah menandatangani beberapa dokumen mendongak. "Bicara soal apa?"Desy menatapnya dengan ekspresi datar. "Kontrakku sudah selesai. Aku tidak perlu lagi melindungimu, karena ancaman sudah tidak ada."Ghenadie terdiam. Ada sesuatu yang terasa ksong di dadanya, tapi ia tak ingin menunjukkannya. "Oh... Jadi, kau akan pergi?"Desy mengangguk. "Aku akan kembali ke pekerjaanku

    Last Updated : 2025-03-17
  • Tukang Bakso Jadi Miliarder   32-Diculik di Senja Hari

    Langit sore berubah jingga keemasan, seakan menari bersama angin yang mengelus lembut dedaunan. Cahaya matahari yang hampir tenggelam menyorot bangku taman hiburan tempat Ghenadie duduk dengan tatapan kosong.Hatinya berkecamuk, pikirannya melayang jauh ke satu nama, Desy.Sejak pertama kali mengenal Desy, seorang bodyguardnya, Ghenadie tahu ada sesuatu yang istimewa dalam dirinya. Senyum gadis itu seperti cahaya yang mampu menghangatkan malam paling dingin sekalipun.Cara bicaranya, kebiasaan kecilnya, semuanya membuat Ghenadie tenggelam semakin dalam. Dan kini, setelah berbulan-bulan kebersamaan, Desy telah pergi, meninggalkan dirinya dengan bayang-bayang kenangan.Pak Anton, ayahnya Ghenadie, telah membayar gaji lebih dari satu miliar untuk Desy, sebuah angka yang cukup besar. Namun memang pikiran Ghenadie dipenuhi oleh pesoina gadis itu. Itu Desy. Hanya Desy.Namun, ada satu penghalang besar: Reza.Seorang pria pemarah dan posesif yang sudah lama menjadi pacar Desy. Ghenadie tidak

    Last Updated : 2025-03-19
  • Tukang Bakso Jadi Miliarder   33-Jeruji Palsu

    Pak Budi dan Joko tersenyum sinis memandang Ghenadie yang terikt tidak berdaya. Keduanya saling pan dang dan memerintahkan para anak buah mereka untuk meninggalkan mereka.“Kita pergi dulu, nantilah kita urus bajingan ini,: seru pak budi sambil memasuki ruangan lain, meninggalkan Ghenadie sendiri.Sementara ruangan tempat Ghenadie itu gelap dan berbau lembap. Dinding-dindingnya terbuat dari beton kasar yang dingin saat disentuh. Ghenadie duduk terikat di kursi kayu tua yang bergoyang setiap kali ia bergerak.Napasnya tersengal, kepala masih berdenyut akibat pukulan sebelumnya. Matanya menyipit, mencoba mengenali suara di sekelilingnya.Dari balik pintu besi yang sedikit terbuka, suara dua pria terdengar samar namun cukup jelas."Sialan! Bisa-bisanya media melaporkan kita sudah ditangkap. Orang-orang tolol itu benar-benar percaya?" Suara pertama terdengar kasar, sedikit bernada geli."Itulah hebatnya uang, Nak Joko," jawab suara kedua, lebih berat dan penuh kemenangan. "Kita bayar bebe

    Last Updated : 2025-03-20
  • Tukang Bakso Jadi Miliarder   34-Kehilangan Ghenadie

    Pak Anton melangkah cepat menuju ruangan Ghenadie. Pagi itu, perusahaannya seperti biasa sudah sibuk. Tapi ada yang janggal. Kursi di belakang meja eksekutif itu kosong.Tidak ada Ghenadie.Dahi Pak Anton mengernyit. "Kemana anak itu?" gumamnya.Mereka sekarang memang tidak serumah, karena dia mau Ghenadie itu mandiri dan manja. Aswalnya memang Ghenadie tidak mau berpisah dengan ayahnya, karena mereka baru saja bertemu kembali setelah lama terpisah.Ia mengeluarkan ponsel dan mencoba menghubungi Ghenadie. Nada sambung terdengar, tapi tidak ada jawaban. Dicoba lagi. Tetap tidak diangkat.Sekretarisnya, Dina, melangkah masuk dengan ekspresi cemas. "Pak, Ghenadie belum datang sejak pagi. Saya juga sudah mencoba menelepon, tapi nomornya tidak aktif sekarang."Pak Anton menatapnya tajam. "Tidak aktif? Tadi masih tersambung, tapi tidak diangkat."Dina menggigit bibir. "Mungkin ponselnya mati, Pak. Saya juga sudah menghubungi sopirnya, tapi katanya Ghenadie tidak minta dijemput tadi pagi."R

    Last Updated : 2025-03-20
  • Tukang Bakso Jadi Miliarder   35-Ditolong Orang Misterius

    Ghenadie berlari secepat mungkin, napasnya memburu. Dedaunan dan ranting tajam mencambuk wajahnya, tetapi dia tidak bisa berhenti. Di kejauhan, suara langkah kaki memburu di belakangnya, semakin dekat.Ia tersandung akar pohon besar, jatuh tersungkur ke tanah basah yang berbau lumut. Rasa sakit menjalar di lututnya, tetapi ia segera bangkit, matanya terpaku pada cahaya samar di tengah kegelapan hutan.Samar-samar sebuah gubuk tua terlihat.Tanpa berpikir panjang, Ghenadie merayap mendekat, mengetuk pintunya dengan tangan gemetar. Tidak ada jawaban. Ia mencoba membuka pintu, dan terkejut saat pintu itu berderit terbuka. Gelap gulita, udara di dalamnya terasa dingin dan sunyi, seperti telah lama ditinggalkan."Siapa kau?" Suara berat dan parau terdengar dari sudut ruangan.Ghenadie tersentak. Seorang pria tua berdiri di bayangan, matanya yang tajam seperti pisau menembus gelap. Tubuhnya kokoh meski usianya terlihat lebih dari enam puluh. Dengan pisau besar di tangannya, pria itu tampak

    Last Updated : 2025-03-21

Latest chapter

  • Tukang Bakso Jadi Miliarder   95-Antara Tiga Luka

    Angin sore berhembus pelan, menyapu wajah pucat Ghenadie yang berdiri di depan makam Liana. Batu nisan itu masih baru, tanahnya masih merah, dan kesunyian yang melingkupi terasa menyesakkan. Di balik kacamata hitamnya, matanya tetap sembab, meski air mata tak lagi keluar. Ia telah kehabisan tangis. Batu nisan itu baru dipasang, karena kuburan Liana dia cari di dalam hutan Kalimantan tempatnya mengalami kecelakaan dulu. Dia bekerja keras untuk menemukan makam Liana, untung dia mencata koordinatnya, sehingga beberapa hari saja mereka meneemukannya. Makam itu terletak di tepi sungai, di dalam hutan yang lebat. Untung batu nisan dari kayu seadanya sebagai tanda itu makam, masih terlihat kokoh. Lebih untung lagi, ada tanah lapang berpasir di tepi sungai kecil itu, sehingga helikopter mereka bisa mendarat. Dia menggaji sekelompok orang untuk memindahkan tulang Liana ke pulau Jawa. "Aku janji... aku akan baik-baik saja, Li," bisiknya. Tapi kalimat itu terasa seperti kebohongan yang ka

  • Tukang Bakso Jadi Miliarder   94-Mencoba Menata Hidup

    Beberapa hari berlalu sejak mereka meninggalkan pondok itu. Kota tidak pernah ramah pada orang yang ingin melupakan. Setiap sudutnya memantulkan kenangan, setiap detik mengingatkan bahwa hidup tidak pernah berhenti meski hati ingin bersembunyi.Hana berdiri di depan kaca, mengenakan blus putih dan rok panjang. Ia menatap bayangannya sendiri. Wajahnya masih cantik, tapi tak lagi setenang dulu. Di tangannya ada alat uji kehamilan yang baru saja menunjukkan dua garis merah.Keheningan menguap dalam satu tarikan napas panjang.Rendra datang dari belakang, melihat ekspresinya. “Sudah kau periksa?”Hana mengangguk perlahan.“Aku… hamil, Rendra.”Lelaki itu mendekat, menatap alat kecil itu seolah tak percaya, lalu memeluk Hana dari belakang. “Terima kasih, Tuhan…” gumamnya. “Ini… ini kabar terbaik dalam hidupku.”Namun pelukan itu tak dibalas. Hana hanya diam, tubuhnya kaku, matanya menatap jauh ke depan.“Aku belum tahu harus bagaimana,” bisiknya. “Aku belum siap jadi ibu. Dan aku belum tah

  • Tukang Bakso Jadi Miliarder   93-Setelah Hujan di Pegunungan

    Kabut masih menggantung tipis di sela-sela pepohonan, membelai pucuk dedaunan seperti bisikan sunyi. Pondok kecil dari kayu sermpngan itu berdiri di tengah kesunyian alam, menjadi saksi atas apa yang telah mereka lakukan semalam, dan pagi ini.Keheningan yang seolah menyimpan rahasia, hanya terganggu oleh kicauan burung yang terdengar jauh.Hana terbaring diam, rambutnya berantakan, matanya setengah terpejam. Tubuhnya masih hangat oleh sisa pelukan dan cumbuan. Di sampingnya, Rendra masih memeluknya erat, seakan ingin mengukir keabadian dari kebersamaan itu.Rendra membelai lembut pipi Hana. “Kau tahu,” bisiknya, “aku tak pernah membayangkan pagi bisa seindah ini.”Hana tersenyum tipis, lelah tapi bahagia. “Kau bilang begitu juga semalam.”“Tapi semalam bulan bersinar,” jawab Rendra, mencium keningnya. “Sekarang matahari menyinari kita. Dua-duanya indah. Tapi kau, Hana… kau lebih dari segalanya.”Ia tidak menjawab. Hanya menarik napas pelan, menghela rasa yang bercampur antara senang,

  • Tukang Bakso Jadi Miliarder   92-Menerobos

    Hanya keheningan. Rendra mencoba membuka mulutnya untuk meminta maaf, tapi Hana lebih dulu berbicara.“Rendra...,” ucapnya pelan, hampir seperti bisikan.“Maaf, aku... tidak berniat...” Rendra tertahan, tidak tahu bagaimana menjelaskan naluri tubuhnya yang tak ia kendalikan.Namun, Hana tak menjauh. Bahkan, ia tetap berada dalam pelukan itu. Dan perlahan, ia menghela napas panjang, menundukkan wajah, dan... tersenyum.“Aku juga merasa... aneh,” katanya lirih. “Tapi aku tidak takut.”Wajah mereka bertemu, dan untuk sesaat, waktu seolah berhenti. Di balik semua rasa canggung, ada rasa penasaran, ada keingintahuan yang tumbuh. Rendra menempelkan wajahnya pada wajah Hana, mencoba membaca pikirannya.Tapi Hana menutup matanya pelan, menyerahkan dirinya pada keheningan yang kini berubah menjadi getaran halus di udara. Dia merasa dingin, dia merasa dihangatkan oleh tubuh Rendra, sehingg dia semakin menyerahkan dirinya.Tangan Rendra yang semula diam, perlahan bergerak. Ia menyentuh lengan Ha

  • Tukang Bakso Jadi Miliarder   91-Di Antara Dua Daratan

    Langit Kalimantan pagi itu membentang biru, tapi udara terasa berat bagi Ghenadie. Tubuhnya masih lemas setelah lebih seminggu berada di hutan belantara. Bau tanah basah dan daun busuk masih melekat di pakaiannya yang compang-camping."Mengapa aku sampai mengalami sesuatu yang naas sampai terjatuh ke hutan Kalimantan?" batinnya, sambil menatap keluar jendela helikopter Eurocopter EC725 milik Basarnas yang sedang membawanya menjauh."Kita butuh sekitar empat jam sampai Jawa. Coba istirahat, Pak," ujar pilot sambil mengecek instrumen penerbangan.Ghenadie mengusap keningnya yang berkeringat. "Ada air minum?"Seorang paramedis segera mengulurkan botol. "Ini, minum perlahan. Tekanan darah Anda masih rendah. Kami juga perlu memantau suhu tubuh Anda - masih 38,5 derajat."Dia mencoba menelan, tapi tenggorokannya serasa terbakar. Di luar jendela, lautan dan pulau-pulau kecil berlalu begitu cepat. Tiba-tiba, bayangan hitam melintas di penglihatannya - bayangan yang sama yang ia lihat sebelum

  • Tukang Bakso Jadi Miliarder   90-Ditemukan Tim SAR

    Liana menggenggam tangannya. Hangat. Nyata. Di tengah hutan dan gelap malam, mereka punya satu sama lain.Karenaa Hana tidak bisa dihubungi, sementar dia sekarang berama Liana, Ghenadie berpikir, adalah kehendak semesta dia bersama dengan Liana sekarang.Waktu terus berjalan. Minggu demi minggu. Liana mulai batuk. Awalnya ringan. Tapi makin hari makin parah. Ghenadie mencoba segala cara, merebus daun-daun hutan sebisanya, mencarikan air bersih lebih banyak, bahkan mencoba membuat ramuan dari tanaman liar.Tapi kondisi Liana memburuk.Suatu pagi, saat kabut belum sepenuhnya mengangkat dari tanah, Liana tergeletak lemas. Ghenadie duduk di sampingnya, memegangi tangan yang semakin dingin."Ghen..." suara Liana nyaris tak terdengar."Ya, aku di sini," Ghenadie membelai rambutnya yang kusut."Aku... menyesal," kata Liana pelan."Jangan begitu. Kamu nggak salah apa-apa.""Aku... harusnya bilang dari awal. Harusnya aku jawab waktu kamu bilang itu...""Aku tahu," Ghenadie menahan tangis. "Dan

  • Tukang Bakso Jadi Miliarder   89-Gunung Tak Bernama

    “Aku tidak minta jawaban sekarang. Aku hanya ingin kau tahu, bahwa setiap langkahku di sini, kamu ada di dalamnya.”Kata-kata itu masih terpatri di benak Liana. Ia mengulangnya dalam pikirannya berkali-kali, seolah menjadi doa yang terucap diam-diam di antara keramaian kabin pesawat.Dua bulan telah berlalu sejak Ghenadie mengucapkan kalimat itu di café kecil di Sydney. Dua bulan penuh kebingungan, ragu, dan diam.Sekarang, takdir mempertemukan mereka lagi. Bukan di bawah langit biru Australia, tapi di ketinggian 35.000 kaki di udara. Sebuah kebetulan yang terlalu mustahil jika hanya disebut kebetulan.Ghenadie sebenarnya pulang mau mencari Hana dan memastikan keberadaan gadis itu. Juga mau bicar dengan ayahnya secara langsung tentang rencananya di Australia itu.Liana, yang bertugas sebagai pramugari di penerbangan itu, tak tahu harus bersikap seperti apa saat melihat Ghenadie masuk ke dalam kabin dengan senyum tipis."Hei..." Ghenadie menyapa pelan saat ia melihat Liana menyambut pe

  • Tukang Bakso Jadi Miliarder   88-Langkah Awal

    Musim semi menyelimuti Sydney dengan suhu hangat yang lembut. Udara segar, langit biru bersih, dan aroma laut yang samar membuat setiap pagi terasa seperti lembaran baru dalam hidup Ghenadie.Tujuh hari bersama Liana telah menyisakan jejak yang sulit dihapuskan. Tapi semua harus kembali pada kenyataan. Liana harus kembali bertugas, dan Ghenadie… harus mulai membangun sesuatu.Ia tidak melupakan Hana, tetapi sudah beberapa kali dia menghubungi Hana, tetapi gadis itu ttidk pernah membaalasnya atau mengangkat telponnya. Ghenadie hanya curiga saja gadis itu kehilangan ponsel.Ia duduk sendiri di sebuah kafe pinggir pelabuhan Darling Harbour, menatap laptopnya dengan layar kosong. Sudah beberapa jam ia hanya menatap layar, jari-jarinya enggan bergerak.“Mau kopi lagi, sir?” tanya pelayan ramah.“Ya, satu cappuccino. Terima kasih.”Langkah awal selalu yang paling sulit. Bukan karena dia tidak tahu caranya, Ghenadie pernah membangun divisi dari nol, pernah mengelola proyek lintas negara.Tap

  • Tukang Bakso Jadi Miliarder   87-Perjalanan yang Tak Terduga

    Pesawat berbadan besar itu perlahan mengangkat tubuhnya dari landasan, menembus langit biru menuju benua jauh di selatan. Di balik jendela kecil kelas satu, Ghenadie duduk dengan pandangan kosong menatap awan yang menggumpal seperti kapas.Australia, benua yang ia pilih bukan tanpa alasan. Luas, sunyi, dan baginya, penuh kemungkinan. Ia sudah terlalu lama hidup dalam keramaian penuh kepalsuan.Dunia bisnis yang keras, hubungan kekeluargaan antara karyawan yang penuh tekanan, dan kota yang tak pernah tidur. Ia ingin menghilang atau lebih tepatnya, menemukan dirinya kembali.Namun perjalanannya bukan semata-mata pelarian. Ada sesuatu yang menuntunnya ke sana, entah mimpi, entah takdir. Ia hanya tahu, ia harus pergi.Baru saja ia hendak memejamkan mata, sebuah keributan kecil terdengar dari lorong pesawat tak jauh dari tempat duduknya."Waduh, pak …! Apa tidak bisa lihat? Barang Bapak kan terlalu besar! Ini mengganggu orang lain!"Ghenadie menoleh. Seorang pria bertubuh besar dan berwaja

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status