Pak Budi dan Joko tersenyum sinis memandang Ghenadie yang terikt tidak berdaya. Keduanya saling pan dang dan memerintahkan para anak buah mereka untuk meninggalkan mereka.“Kita pergi dulu, nantilah kita urus bajingan ini,: seru pak budi sambil memasuki ruangan lain, meninggalkan Ghenadie sendiri.Sementara ruangan tempat Ghenadie itu gelap dan berbau lembap. Dinding-dindingnya terbuat dari beton kasar yang dingin saat disentuh. Ghenadie duduk terikat di kursi kayu tua yang bergoyang setiap kali ia bergerak.Napasnya tersengal, kepala masih berdenyut akibat pukulan sebelumnya. Matanya menyipit, mencoba mengenali suara di sekelilingnya.Dari balik pintu besi yang sedikit terbuka, suara dua pria terdengar samar namun cukup jelas."Sialan! Bisa-bisanya media melaporkan kita sudah ditangkap. Orang-orang tolol itu benar-benar percaya?" Suara pertama terdengar kasar, sedikit bernada geli."Itulah hebatnya uang, Nak Joko," jawab suara kedua, lebih berat dan penuh kemenangan. "Kita bayar bebe
Pak Anton melangkah cepat menuju ruangan Ghenadie. Pagi itu, perusahaannya seperti biasa sudah sibuk. Tapi ada yang janggal. Kursi di belakang meja eksekutif itu kosong.Tidak ada Ghenadie.Dahi Pak Anton mengernyit. "Kemana anak itu?" gumamnya.Mereka sekarang memang tidak serumah, karena dia mau Ghenadie itu mandiri dan manja. Aswalnya memang Ghenadie tidak mau berpisah dengan ayahnya, karena mereka baru saja bertemu kembali setelah lama terpisah.Ia mengeluarkan ponsel dan mencoba menghubungi Ghenadie. Nada sambung terdengar, tapi tidak ada jawaban. Dicoba lagi. Tetap tidak diangkat.Sekretarisnya, Dina, melangkah masuk dengan ekspresi cemas. "Pak, Ghenadie belum datang sejak pagi. Saya juga sudah mencoba menelepon, tapi nomornya tidak aktif sekarang."Pak Anton menatapnya tajam. "Tidak aktif? Tadi masih tersambung, tapi tidak diangkat."Dina menggigit bibir. "Mungkin ponselnya mati, Pak. Saya juga sudah menghubungi sopirnya, tapi katanya Ghenadie tidak minta dijemput tadi pagi."R
Ghenadie berlari secepat mungkin, napasnya memburu. Dedaunan dan ranting tajam mencambuk wajahnya, tetapi dia tidak bisa berhenti. Di kejauhan, suara langkah kaki memburu di belakangnya, semakin dekat.Ia tersandung akar pohon besar, jatuh tersungkur ke tanah basah yang berbau lumut. Rasa sakit menjalar di lututnya, tetapi ia segera bangkit, matanya terpaku pada cahaya samar di tengah kegelapan hutan.Samar-samar sebuah gubuk tua terlihat.Tanpa berpikir panjang, Ghenadie merayap mendekat, mengetuk pintunya dengan tangan gemetar. Tidak ada jawaban. Ia mencoba membuka pintu, dan terkejut saat pintu itu berderit terbuka. Gelap gulita, udara di dalamnya terasa dingin dan sunyi, seperti telah lama ditinggalkan."Siapa kau?" Suara berat dan parau terdengar dari sudut ruangan.Ghenadie tersentak. Seorang pria tua berdiri di bayangan, matanya yang tajam seperti pisau menembus gelap. Tubuhnya kokoh meski usianya terlihat lebih dari enam puluh. Dengan pisau besar di tangannya, pria itu tampak
Di tengah gelapnya hutan yang lebat, meskipun matahari telah tinggi, pertempuran antara Kazimir dan Ghenadie melawan Otong berlangsung sengit. Meskipun mereka berdua mengeroyoknya, Otong seperti monster yang tak terkalahkan.Setiap serangan Kazimir selalu berhasil ditangkis, sementara Ghenadie hanya bisa menyerang dari samping untuk mengalihkan perhatian lawan. Namun, taktik itu hampir tak membuahkan hasil, mereka berdua hanya bisa bertahan dengan susah payah, terus-menerus menghindari maut yang seakan mengintai di setiap serangan.Kazimir mulai kehabisan napas, sementara Ghenadie sudah terluka cukup parah. Otong pun tak luput dari luka, napasnya memburu dengan darah yang mulai mengalir dari tubuhnya, namun matanya masih menyala dengan amarah yang tak padam.Meskipun dia orang kampung, tetapi bela dirinya hanya pas-pasan saja. Tanah di bawah mereka telah terciprat darah, pertanda betapa lamanya pertarungan ini berlangsung.Kazimir berusaha mengatur strategi, matanya menyapu medan pert
Di tempat lain, di sebuah apartemen kecil, Desy menatap Pak Anton dengan alis berkerut. "Ghenadie menghilang, Pak?" tanyanya dengan nada tak percaya.Pak Anton mengangguk, wajahnya penuh kegelisahan. "Aku sudah mencoba mencarinya, tapi jejaknya seperti dihapus. Aku butuh bantuanmu kembali."Desy menghela napas panjang. "Bapak tahu ini bisa berbahaya, kan? Kalau dia benar-benar menghilang kali ini, artinya ada sesuatu yang lebih besar terjadi.""Aku tahu, Nak." Pak Anton menatapnya dalam-dalam. "Tapi Bapak yakin, kamu satu-satunya yang bisa menemukannya."Di sudut ruangan, Reza menyilangkan tangan di dada. "Kenapa harus Desy? Kenapa bukan orang lain?" suaranya dipenuhi kecemburuan yang tak disembunyikan.Desy menoleh dengan tatapan tajam. "Reza, ini bukan soal perasaan. Ini soal nyawa."Pak Anton mengangguk. "Aku juga sebenarnya ingin orang lain yang membantu, Reza. Tapi Desy punya koneksi yang kita butuhkan."Reza mendengus, tapi tidak membantah lagi, meskipun hatinya kesal karena ra
Okok Keang dan rombongannya, tetap berjalan hati-hati di antara akar-akar pohon yang mencuat dari tanah. Insting mereka mengingatkan jika bahaya sedang mengancam merekaa, tetpi mereka tetap tenang."Jalanannya makin sulit," gumam Desy sambil mengusap keringat di dahinya.“Tetaplah kalian hati-hati,” bisaik Okok Keang.Okok Keang, pria setengah baya dengan tubuh kekar, menoleh ke arah Desy dan berkata hati-hati. "Hutan ini memang tidak pernah bersahabat, tapi kita harus terus maju."Tawa kecil terdengar dari belakang mereka. "Aku rindu kasur empuk di rumah," keluh Yuni, salah satu murid muda yang baru pertama kali ikut perjalanan ini."Sabar, murid mudaku,” sahut Okok Keang, tidak lama lagi kita sampai pada misi kita," lanjutnya sebagai pemimpin dari rombongan itu.Namun, tanpa mereka sadari, di balik rerimbunan semak, mata-mata tajam mengintai mereka. Sekelompok Kayau, para pemburu kepala manusia, bersembunyi di antara batang pohon besar.Wajah mereka dilukis dengan cat hitam dan mera
Amai Daun memberi isyarat kepada kelompoknya untuk bergerak secara perlahan. Dari balik rimbun dedaunan, mereka mengintai rombongan Okok Keang yang perlahan menghilang di balik belukar.Beberapa saat setelah suara langkah terakhir menghilang, Amai Daun keluar dari persembunyian. Wajahnya yang penuh coretan merah dan hitam tampak tegang. Di belakangnya, para pengayau lain mengikuti, langkah mereka ringan seperti bayangan."Cepat! Kita bawa kawan kita pulang," perintahnya dengan suara rendah namun tegas.Mayat rekan mereka yang terbunuh tergeletak di tanah, tubuhnya tertutup oleh dedaunan yang mulai mengering. Sejenak, kesunyian hutan terasa menekan. Hanya suara burung hantu yang masih bertengger di pohon meranti tua, mengawasi ritual yang akan terjadi.Amai Daun melihat betapa cepatnya tembakan pistol yang dilepaaskan oleh Desy. Anak buahnya tidak sempat menghindar, padahal dia merupakan orang yang paling lincah di kelompok mereka.Salah satu anak buahnya, Binuang, berlutut dan mengusa
Okok Keang memperhatikan bahwa sebagian besar anggota rombongannya adalah perenang yang handal, namun beberapa di antaranya tidak pandai berenang. Untuk mengatasi hal ini, dia memerintahkan mereka untuk mencari kayu lempung yang bernama Korot.Kayu itu tumbuh subur di sepanjang tepi sungai, untuk dibuat menjadi rakit. Dengan begitu, anggota yang tidak bisa berenang pun bisa ikut menyusuri sungai dengan aman.Rombongan itu segera menebang, mengupas, dan merakit kayu tersebut. Setelah rakit selesai, mereka semua naik ke atasnya dan mulai berlayar menuju hilir"Kita harus tetap waspada," kata Okok Keang dengan suara tegas. "Jangan sampai ada yang tercebur. Pegang rakit dengan erat."Beberapa anggota rombongan, terutama mereka yang tidak bisa berenang, terlihat gelisah. Mereka berpegangan erat pada tali pengikat rakit, sesekali melirik ke arah arus sungai yang semakin cepat. Namun, sebagian besar dari mereka tampak percaya diri dan tenang.Tiba-tiba, seorang pria bertubuh kurus dengan ra
Angin sore berhembus pelan, menyapu wajah pucat Ghenadie yang berdiri di depan makam Liana. Batu nisan itu masih baru, tanahnya masih merah, dan kesunyian yang melingkupi terasa menyesakkan. Di balik kacamata hitamnya, matanya tetap sembab, meski air mata tak lagi keluar. Ia telah kehabisan tangis. Batu nisan itu baru dipasang, karena kuburan Liana dia cari di dalam hutan Kalimantan tempatnya mengalami kecelakaan dulu. Dia bekerja keras untuk menemukan makam Liana, untung dia mencata koordinatnya, sehingga beberapa hari saja mereka meneemukannya. Makam itu terletak di tepi sungai, di dalam hutan yang lebat. Untung batu nisan dari kayu seadanya sebagai tanda itu makam, masih terlihat kokoh. Lebih untung lagi, ada tanah lapang berpasir di tepi sungai kecil itu, sehingga helikopter mereka bisa mendarat. Dia menggaji sekelompok orang untuk memindahkan tulang Liana ke pulau Jawa. "Aku janji... aku akan baik-baik saja, Li," bisiknya. Tapi kalimat itu terasa seperti kebohongan yang ka
Beberapa hari berlalu sejak mereka meninggalkan pondok itu. Kota tidak pernah ramah pada orang yang ingin melupakan. Setiap sudutnya memantulkan kenangan, setiap detik mengingatkan bahwa hidup tidak pernah berhenti meski hati ingin bersembunyi.Hana berdiri di depan kaca, mengenakan blus putih dan rok panjang. Ia menatap bayangannya sendiri. Wajahnya masih cantik, tapi tak lagi setenang dulu. Di tangannya ada alat uji kehamilan yang baru saja menunjukkan dua garis merah.Keheningan menguap dalam satu tarikan napas panjang.Rendra datang dari belakang, melihat ekspresinya. “Sudah kau periksa?”Hana mengangguk perlahan.“Aku… hamil, Rendra.”Lelaki itu mendekat, menatap alat kecil itu seolah tak percaya, lalu memeluk Hana dari belakang. “Terima kasih, Tuhan…” gumamnya. “Ini… ini kabar terbaik dalam hidupku.”Namun pelukan itu tak dibalas. Hana hanya diam, tubuhnya kaku, matanya menatap jauh ke depan.“Aku belum tahu harus bagaimana,” bisiknya. “Aku belum siap jadi ibu. Dan aku belum tah
Kabut masih menggantung tipis di sela-sela pepohonan, membelai pucuk dedaunan seperti bisikan sunyi. Pondok kecil dari kayu sermpngan itu berdiri di tengah kesunyian alam, menjadi saksi atas apa yang telah mereka lakukan semalam, dan pagi ini.Keheningan yang seolah menyimpan rahasia, hanya terganggu oleh kicauan burung yang terdengar jauh.Hana terbaring diam, rambutnya berantakan, matanya setengah terpejam. Tubuhnya masih hangat oleh sisa pelukan dan cumbuan. Di sampingnya, Rendra masih memeluknya erat, seakan ingin mengukir keabadian dari kebersamaan itu.Rendra membelai lembut pipi Hana. “Kau tahu,” bisiknya, “aku tak pernah membayangkan pagi bisa seindah ini.”Hana tersenyum tipis, lelah tapi bahagia. “Kau bilang begitu juga semalam.”“Tapi semalam bulan bersinar,” jawab Rendra, mencium keningnya. “Sekarang matahari menyinari kita. Dua-duanya indah. Tapi kau, Hana… kau lebih dari segalanya.”Ia tidak menjawab. Hanya menarik napas pelan, menghela rasa yang bercampur antara senang,
Hanya keheningan. Rendra mencoba membuka mulutnya untuk meminta maaf, tapi Hana lebih dulu berbicara.“Rendra...,” ucapnya pelan, hampir seperti bisikan.“Maaf, aku... tidak berniat...” Rendra tertahan, tidak tahu bagaimana menjelaskan naluri tubuhnya yang tak ia kendalikan.Namun, Hana tak menjauh. Bahkan, ia tetap berada dalam pelukan itu. Dan perlahan, ia menghela napas panjang, menundukkan wajah, dan... tersenyum.“Aku juga merasa... aneh,” katanya lirih. “Tapi aku tidak takut.”Wajah mereka bertemu, dan untuk sesaat, waktu seolah berhenti. Di balik semua rasa canggung, ada rasa penasaran, ada keingintahuan yang tumbuh. Rendra menempelkan wajahnya pada wajah Hana, mencoba membaca pikirannya.Tapi Hana menutup matanya pelan, menyerahkan dirinya pada keheningan yang kini berubah menjadi getaran halus di udara. Dia merasa dingin, dia merasa dihangatkan oleh tubuh Rendra, sehingg dia semakin menyerahkan dirinya.Tangan Rendra yang semula diam, perlahan bergerak. Ia menyentuh lengan Ha
Langit Kalimantan pagi itu membentang biru, tapi udara terasa berat bagi Ghenadie. Tubuhnya masih lemas setelah lebih seminggu berada di hutan belantara. Bau tanah basah dan daun busuk masih melekat di pakaiannya yang compang-camping."Mengapa aku sampai mengalami sesuatu yang naas sampai terjatuh ke hutan Kalimantan?" batinnya, sambil menatap keluar jendela helikopter Eurocopter EC725 milik Basarnas yang sedang membawanya menjauh."Kita butuh sekitar empat jam sampai Jawa. Coba istirahat, Pak," ujar pilot sambil mengecek instrumen penerbangan.Ghenadie mengusap keningnya yang berkeringat. "Ada air minum?"Seorang paramedis segera mengulurkan botol. "Ini, minum perlahan. Tekanan darah Anda masih rendah. Kami juga perlu memantau suhu tubuh Anda - masih 38,5 derajat."Dia mencoba menelan, tapi tenggorokannya serasa terbakar. Di luar jendela, lautan dan pulau-pulau kecil berlalu begitu cepat. Tiba-tiba, bayangan hitam melintas di penglihatannya - bayangan yang sama yang ia lihat sebelum
Liana menggenggam tangannya. Hangat. Nyata. Di tengah hutan dan gelap malam, mereka punya satu sama lain.Karenaa Hana tidak bisa dihubungi, sementar dia sekarang berama Liana, Ghenadie berpikir, adalah kehendak semesta dia bersama dengan Liana sekarang.Waktu terus berjalan. Minggu demi minggu. Liana mulai batuk. Awalnya ringan. Tapi makin hari makin parah. Ghenadie mencoba segala cara, merebus daun-daun hutan sebisanya, mencarikan air bersih lebih banyak, bahkan mencoba membuat ramuan dari tanaman liar.Tapi kondisi Liana memburuk.Suatu pagi, saat kabut belum sepenuhnya mengangkat dari tanah, Liana tergeletak lemas. Ghenadie duduk di sampingnya, memegangi tangan yang semakin dingin."Ghen..." suara Liana nyaris tak terdengar."Ya, aku di sini," Ghenadie membelai rambutnya yang kusut."Aku... menyesal," kata Liana pelan."Jangan begitu. Kamu nggak salah apa-apa.""Aku... harusnya bilang dari awal. Harusnya aku jawab waktu kamu bilang itu...""Aku tahu," Ghenadie menahan tangis. "Dan
“Aku tidak minta jawaban sekarang. Aku hanya ingin kau tahu, bahwa setiap langkahku di sini, kamu ada di dalamnya.”Kata-kata itu masih terpatri di benak Liana. Ia mengulangnya dalam pikirannya berkali-kali, seolah menjadi doa yang terucap diam-diam di antara keramaian kabin pesawat.Dua bulan telah berlalu sejak Ghenadie mengucapkan kalimat itu di café kecil di Sydney. Dua bulan penuh kebingungan, ragu, dan diam.Sekarang, takdir mempertemukan mereka lagi. Bukan di bawah langit biru Australia, tapi di ketinggian 35.000 kaki di udara. Sebuah kebetulan yang terlalu mustahil jika hanya disebut kebetulan.Ghenadie sebenarnya pulang mau mencari Hana dan memastikan keberadaan gadis itu. Juga mau bicar dengan ayahnya secara langsung tentang rencananya di Australia itu.Liana, yang bertugas sebagai pramugari di penerbangan itu, tak tahu harus bersikap seperti apa saat melihat Ghenadie masuk ke dalam kabin dengan senyum tipis."Hei..." Ghenadie menyapa pelan saat ia melihat Liana menyambut pe
Musim semi menyelimuti Sydney dengan suhu hangat yang lembut. Udara segar, langit biru bersih, dan aroma laut yang samar membuat setiap pagi terasa seperti lembaran baru dalam hidup Ghenadie.Tujuh hari bersama Liana telah menyisakan jejak yang sulit dihapuskan. Tapi semua harus kembali pada kenyataan. Liana harus kembali bertugas, dan Ghenadie… harus mulai membangun sesuatu.Ia tidak melupakan Hana, tetapi sudah beberapa kali dia menghubungi Hana, tetapi gadis itu ttidk pernah membaalasnya atau mengangkat telponnya. Ghenadie hanya curiga saja gadis itu kehilangan ponsel.Ia duduk sendiri di sebuah kafe pinggir pelabuhan Darling Harbour, menatap laptopnya dengan layar kosong. Sudah beberapa jam ia hanya menatap layar, jari-jarinya enggan bergerak.“Mau kopi lagi, sir?” tanya pelayan ramah.“Ya, satu cappuccino. Terima kasih.”Langkah awal selalu yang paling sulit. Bukan karena dia tidak tahu caranya, Ghenadie pernah membangun divisi dari nol, pernah mengelola proyek lintas negara.Tap
Pesawat berbadan besar itu perlahan mengangkat tubuhnya dari landasan, menembus langit biru menuju benua jauh di selatan. Di balik jendela kecil kelas satu, Ghenadie duduk dengan pandangan kosong menatap awan yang menggumpal seperti kapas.Australia, benua yang ia pilih bukan tanpa alasan. Luas, sunyi, dan baginya, penuh kemungkinan. Ia sudah terlalu lama hidup dalam keramaian penuh kepalsuan.Dunia bisnis yang keras, hubungan kekeluargaan antara karyawan yang penuh tekanan, dan kota yang tak pernah tidur. Ia ingin menghilang atau lebih tepatnya, menemukan dirinya kembali.Namun perjalanannya bukan semata-mata pelarian. Ada sesuatu yang menuntunnya ke sana, entah mimpi, entah takdir. Ia hanya tahu, ia harus pergi.Baru saja ia hendak memejamkan mata, sebuah keributan kecil terdengar dari lorong pesawat tak jauh dari tempat duduknya."Waduh, pak …! Apa tidak bisa lihat? Barang Bapak kan terlalu besar! Ini mengganggu orang lain!"Ghenadie menoleh. Seorang pria bertubuh besar dan berwaja