Okok Keang memperhatikan bahwa sebagian besar anggota rombongannya adalah perenang yang handal, namun beberapa di antaranya tidak pandai berenang. Untuk mengatasi hal ini, dia memerintahkan mereka untuk mencari kayu lempung yang bernama Korot.Kayu itu tumbuh subur di sepanjang tepi sungai, untuk dibuat menjadi rakit. Dengan begitu, anggota yang tidak bisa berenang pun bisa ikut menyusuri sungai dengan aman.Rombongan itu segera menebang, mengupas, dan merakit kayu tersebut. Setelah rakit selesai, mereka semua naik ke atasnya dan mulai berlayar menuju hilir"Kita harus tetap waspada," kata Okok Keang dengan suara tegas. "Jangan sampai ada yang tercebur. Pegang rakit dengan erat."Beberapa anggota rombongan, terutama mereka yang tidak bisa berenang, terlihat gelisah. Mereka berpegangan erat pada tali pengikat rakit, sesekali melirik ke arah arus sungai yang semakin cepat. Namun, sebagian besar dari mereka tampak percaya diri dan tenang.Tiba-tiba, seorang pria bertubuh kurus dengan ra
Rakit kayu Korot yang sangat sederhana itu melaju perlahan di atas aliran sungai yang tenang. Okok Keang dan rombongannya duduk di atasnya, sebagian bersandar pada kayu gelondongan yang menjadi dasar rakit.Mata mereka terpaku pada hilir sungai, berharap menemukan tanda-tanda kehidupan manusia. Namun, yang terlihat hanya hutan lebat dan pepohonan tinggi yang membentuk dinding alami di kedua sisi sungai.Angin sore berhembus lembut, membawa serta aroma dedaunan basah dan tanah lembab. Cahaya keemasan dari matahari yang hampir tenggelam menyelinap melalui celah dedaunan, menciptakan bayangan panjang di permukaan air. Keindahan alam ini bertolak belakang dengan kondisi rombongan yang kelelahan dan lapar."Kita sudah berjam-jam di sungai ini," keluh seorang pria kurus dengan kulit yang gelap terbakar matahari. Ia memegang perutnya yang kosong sambil menghela napas berat."Sabarlah, Mara," ujar Okok Keang, pemimpin mereka. "Kita pasti akan menemukan sesuatu."Mara menatap Okok dengan mata
Hari sudah menjelang sore, ketika rombongan Okok Keang ditemukan oleh laki-laki misterius itu. Mereka mengikutinya dengan harapan di beri makan, karena mereka sangat lapar. Desy yang matanya sangat awas tertegun ketika matanya menangkap sosok yang begitu familiar. Hatinya mencelos. Langkahnya terhenti.Tidak mungkin... Itu... Genadie?Sekejap, pikirannya berusaha mencari alasan. Mungkin hanya seseorang yang mirip. Namun, postur itu, cara berdiri itu, bahkan jaket hitam favoritnya yang dulu sering dipakainya, semua terlalu cocok untuk sekadar kebetulan.Detik berlalu seperti tetesan air yang jatuh perlahan dari ujung daun. Jantung Desy berdebar semakin kencang, dan ketika lelaki itu menoleh sedikit, memperlihatkan garis wajahnya yang lembut namun tegas, keyakinan itu menyeruak.Itu benar-benar Genadie!Jadi orang mereka mereka cari itu sudah ketemu di sini, jauh dari peradaban. Sesuatu yang terasa mustahil.Tanpa sempat berpikir panjang, tubuhnya bergerak sendiri. Kakinya melangkah ce
Di dalam pondok kayu yang sederhana, cahaya lampu minyak berpendar lembut, melemparkan bayangan samar di dinding. Di luar, malam mulai menyelimuti ladang yang luas, hanya ditemani suara jangkrik dan desir angin yang menyapu dedaunan.Di dalam ruangan kecil itu, sekelompok orang duduk bersila mengelilingi hidangan sederhana di atas tikar anyaman. Nasi yang sebenarnya hanya jatah tiga orang, tetapi sayurnya yang berlimpah.Uap hangat dari nasi yang hanya seporsi kecil melayang di udara, bercampur dengan aroma ikan asap dan sayuran ladang dan sambal cabai yang memenuhi piring-piring kayu. Meski hidangan ini tampak sederhana, setiap suapan terasa begitu memuaskan setelah seharian menempuh perjalanan panjang.“Rasanya seperti kembali ke masa kecil,” ujar Mara, seorang pria berusia empat puluhan dengan wajah lelah, tetapi matanya bersinar saat merasakan kenikmatan makanan itu. “Dulu nenek saya sering memasak seperti ini.”Hovek, sang tuan rumah, tersenyum kecil. Pria itu tampak lebih muda d
Malam itu, rombongan Okok Keang beristirahat di pondok Hovek yang rupanya terletak dekat sungai kecil. Airnya jernih, mengalir tenang, membisikkan lagu alam yang menenangkan.Namun, ketenangan itu tidak serta-merta mengusir keresahan dalam hati Okok Keang.Ia menatap Hovek, yang duduk bersandar pada salah satu tiang pondoknya yang terbuat dari kayu bulat."Kau bilang pondok ladangmu hanya dua hari perjalanan desa terdekat. Mengapa kamu malah memilih untuk tinggal jauh dari peradaban?" tanya Okok Keang, suaranya terdengar sangat penasaran.Hovek tersenyum tipis, matanya menerawang ke kejauhan. "Aku tidak suka melihat kelakuan manusia yang serakah, suka menipu dan munafik, tetapi mengatas-namakan agama."Salah satu murid, seorang pemuda bernama Yuni, mengernyitkan dahi. "Terus, kalau kamu sakit bagaimana?"Hovek tertawa pendek, suaranya seperti angin yang berdesir di antara dedaunan. "Itu jangan dipikirkan. Manusia itu suatu saat pasti mati, jadi untuk apa dijadikan beban pikiran?"Okok
Sambil tersenyum, mereka berjalan keluar dari kompleks ladang Hovek. Dia juga ikut pergi, karena selain pondok ladangnya tidak aman lagi, dia juga menjadi penunjuk jalan bagi mereka.Angin pagi berembus lembut, membawa aroma embun dan tanah basah ke serambi pondok Hovek. Di sekelilingnya, hamparan ladang yang tertata rapi tampak subur, dihiasi dengan tanaman padi yang menguning.Hovek berdiri dengan tangan di pinggang, memandang ladang kecilnya dengan ekspresi sedih karena sebentar lagi merekaa meninggalkannya.Tadi pagi-pagi sekali Okok Keang dan rombongannya bersama Ghnadie dan Hovek mulai berkemas. Okok Keang mengangkat ranselnya, sementara Desy membantu menyiapkan wadah untuk menyimpan bekal perjalanan. Mereka sudah menghabiskan tiga hari di pondok ini, dan kini tiba waktunya untuk melanjutkan perjalanan.“Aku masih tidak percaya kau memilih hidup seperti ini, Hovek,” kata Ghenadie, menyandarkan tubuhnya pada salah satu pilar kayu. “Kita semua dulu bercita-cita menjadi sesuatu yan
Langkah kaki mereka terus menyusuri jalur setapak yang tertutup dedaunan kering. Rombongan Okok Keang bergerak perlahan, menyatu dengan bayangan pepohonan hutan yang menjulang tinggi. Cahaya matahari sore menembus sela-sela kanopi, menciptakan corak keemasan yang menari di atas tanah lembap.Okok Keang berjalan paling depan, matanya tajam meneliti setiap jengkal tanah yang mereka lalui. Di belakangnya, Desy menarik napas panjang, bahunya turun naik menahan lelah.Ghenadie dan Hovek berjalan berdampingan, sesekali melontarkan gurauan untuk menghibur diri. Karmizi membawa sebilah parang di pinggangnya, siap digunakan jika semak belukar menghalangi jalan.Mara, Yudi, dan Yuni mengikuti dengan langkah berat, sedangkan beberapa anggota lain berusaha tetap terjaga meski kelelahan mendera.Mereka telah berjalan seharian penuh tanpa menemukan pondok atau tempat beristirahat yang layak. Ketika matahari mulai merunduk di balik pepohonan, Okok Keang mengangkat tangannya memberi isyarat untuk ber
Malam belum terlalu larut ketika rombongan Okok Keang tiba di kampung Hyiang. Setelah perjalanan panjang yang melelahkan, akhirnya mereka bisa merasakan tanah keras di bawah kaki mereka, bukan jalan berlumpur yang penuh tantangan.Kampung ini terpencil, tersembunyi di balik perbukitan yang seolah melindunginya dari hiruk-pikuk dunia luar.Lampu-lampu rumah panggung yang terbuat dari kayu ulin menyala redup, menggambarkan kehidupan yang sederhana namun penuh kehangatan. Beberapa penduduk desa keluar dari rumah mereka, menyambut kedatangan rombongan dengan tatapan ingin tahu.Meskipun jauh dari kota, ternyata beberapa warga sudah menggunakan internet melalui jaringan Starlink, sesuatu yang mengejutkan bagi Okok Keang."Jadi di sini nggak ada IndiHome?" tanya Bram, salah satu anggota rombongan, sambil mengusap keringat di lehernya.Seorang pria tua yang duduk di bangku kayu tersenyum. "Jaringan kabel belum sampai ke sini, Nak. Tapi kami sudah bisa internetan berkat Starlink-nya Elon Musk
Angin pagi membawa aroma aspal basah dan udara perkotaan yang baru bangun. Ghenadie berdiri di depan gerbang besi tinggi berwarna abu-abu, mengenakan kemeja putih sederhana dan celana jeans pudar. Ransel kulit yang sudah mulai usang tersampir di punggungnya. Wajahnya tenang, namun tatapannya tajam, penuh kesadaran baru akan hidup yang sempat porak-poranda.Sudah hampir satu tahun sejak Liana meninggal. Luka itu masih ada, tapi kini membentuk parut. Ia sudah tidak lagi bangun dengan mimpi buruk. Tidak lagi mengurung diri. Ia mulai kembali menjalani hidup.“Ini waktumu bangkit, Nad,” kata Pak Anton, ayahnya, dua malam lalu. “Aku akuisisi perusahaan logistik di kawasan industri timur. Aku mau kamu ke sana. Bukan hanya untuk kerja, tapi untuk belajar jadi pemimpin.”Ghenadie tak menolak. Ia tahu, ini kesempatan. Tapi juga ujian.Sekarang, ia berdiri di depan perusahaan yang dimaksud: **PT. Surya Timur Logistics**. Sebuah kompleks besar dengan halaman luas, gedung bertingkat tiga, dan lalu
Angin sore berhembus pelan, menyapu wajah pucat Ghenadie yang berdiri di depan makam Liana. Batu nisan itu masih baru, tanahnya masih merah, dan kesunyian yang melingkupi terasa menyesakkan. Di balik kacamata hitamnya, matanya tetap sembab, meski air mata tak lagi keluar. Ia telah kehabisan tangis. Batu nisan itu baru dipasang, karena kuburan Liana dia cari di dalam hutan Kalimantan tempatnya mengalami kecelakaan dulu. Dia bekerja keras untuk menemukan makam Liana, untung dia mencata koordinatnya, sehingga beberapa hari saja mereka meneemukannya. Makam itu terletak di tepi sungai, di dalam hutan yang lebat. Untung batu nisan dari kayu seadanya sebagai tanda itu makam, masih terlihat kokoh. Lebih untung lagi, ada tanah lapang berpasir di tepi sungai kecil itu, sehingga helikopter mereka bisa mendarat. Dia menggaji sekelompok orang untuk memindahkan tulang Liana ke pulau Jawa. "Aku janji... aku akan baik-baik saja, Li," bisiknya. Tapi kalimat itu terasa seperti kebohongan yang ka
Beberapa hari berlalu sejak mereka meninggalkan pondok itu. Kota tidak pernah ramah pada orang yang ingin melupakan. Setiap sudutnya memantulkan kenangan, setiap detik mengingatkan bahwa hidup tidak pernah berhenti meski hati ingin bersembunyi.Hana berdiri di depan kaca, mengenakan blus putih dan rok panjang. Ia menatap bayangannya sendiri. Wajahnya masih cantik, tapi tak lagi setenang dulu. Di tangannya ada alat uji kehamilan yang baru saja menunjukkan dua garis merah.Keheningan menguap dalam satu tarikan napas panjang.Rendra datang dari belakang, melihat ekspresinya. “Sudah kau periksa?”Hana mengangguk perlahan.“Aku… hamil, Rendra.”Lelaki itu mendekat, menatap alat kecil itu seolah tak percaya, lalu memeluk Hana dari belakang. “Terima kasih, Tuhan…” gumamnya. “Ini… ini kabar terbaik dalam hidupku.”Namun pelukan itu tak dibalas. Hana hanya diam, tubuhnya kaku, matanya menatap jauh ke depan.“Aku belum tahu harus bagaimana,” bisiknya. “Aku belum siap jadi ibu. Dan aku belum tah
Kabut masih menggantung tipis di sela-sela pepohonan, membelai pucuk dedaunan seperti bisikan sunyi. Pondok kecil dari kayu sermpngan itu berdiri di tengah kesunyian alam, menjadi saksi atas apa yang telah mereka lakukan semalam, dan pagi ini.Keheningan yang seolah menyimpan rahasia, hanya terganggu oleh kicauan burung yang terdengar jauh.Hana terbaring diam, rambutnya berantakan, matanya setengah terpejam. Tubuhnya masih hangat oleh sisa pelukan dan cumbuan. Di sampingnya, Rendra masih memeluknya erat, seakan ingin mengukir keabadian dari kebersamaan itu.Rendra membelai lembut pipi Hana. “Kau tahu,” bisiknya, “aku tak pernah membayangkan pagi bisa seindah ini.”Hana tersenyum tipis, lelah tapi bahagia. “Kau bilang begitu juga semalam.”“Tapi semalam bulan bersinar,” jawab Rendra, mencium keningnya. “Sekarang matahari menyinari kita. Dua-duanya indah. Tapi kau, Hana… kau lebih dari segalanya.”Ia tidak menjawab. Hanya menarik napas pelan, menghela rasa yang bercampur antara senang,
Hanya keheningan. Rendra mencoba membuka mulutnya untuk meminta maaf, tapi Hana lebih dulu berbicara.“Rendra...,” ucapnya pelan, hampir seperti bisikan.“Maaf, aku... tidak berniat...” Rendra tertahan, tidak tahu bagaimana menjelaskan naluri tubuhnya yang tak ia kendalikan.Namun, Hana tak menjauh. Bahkan, ia tetap berada dalam pelukan itu. Dan perlahan, ia menghela napas panjang, menundukkan wajah, dan... tersenyum.“Aku juga merasa... aneh,” katanya lirih. “Tapi aku tidak takut.”Wajah mereka bertemu, dan untuk sesaat, waktu seolah berhenti. Di balik semua rasa canggung, ada rasa penasaran, ada keingintahuan yang tumbuh. Rendra menempelkan wajahnya pada wajah Hana, mencoba membaca pikirannya.Tapi Hana menutup matanya pelan, menyerahkan dirinya pada keheningan yang kini berubah menjadi getaran halus di udara. Dia merasa dingin, dia merasa dihangatkan oleh tubuh Rendra, sehingg dia semakin menyerahkan dirinya.Tangan Rendra yang semula diam, perlahan bergerak. Ia menyentuh lengan Ha
Langit Kalimantan pagi itu membentang biru, tapi udara terasa berat bagi Ghenadie. Tubuhnya masih lemas setelah lebih seminggu berada di hutan belantara. Bau tanah basah dan daun busuk masih melekat di pakaiannya yang compang-camping."Mengapa aku sampai mengalami sesuatu yang naas sampai terjatuh ke hutan Kalimantan?" batinnya, sambil menatap keluar jendela helikopter Eurocopter EC725 milik Basarnas yang sedang membawanya menjauh."Kita butuh sekitar empat jam sampai Jawa. Coba istirahat, Pak," ujar pilot sambil mengecek instrumen penerbangan.Ghenadie mengusap keningnya yang berkeringat. "Ada air minum?"Seorang paramedis segera mengulurkan botol. "Ini, minum perlahan. Tekanan darah Anda masih rendah. Kami juga perlu memantau suhu tubuh Anda - masih 38,5 derajat."Dia mencoba menelan, tapi tenggorokannya serasa terbakar. Di luar jendela, lautan dan pulau-pulau kecil berlalu begitu cepat. Tiba-tiba, bayangan hitam melintas di penglihatannya - bayangan yang sama yang ia lihat sebelum
Liana menggenggam tangannya. Hangat. Nyata. Di tengah hutan dan gelap malam, mereka punya satu sama lain.Karenaa Hana tidak bisa dihubungi, sementar dia sekarang berama Liana, Ghenadie berpikir, adalah kehendak semesta dia bersama dengan Liana sekarang.Waktu terus berjalan. Minggu demi minggu. Liana mulai batuk. Awalnya ringan. Tapi makin hari makin parah. Ghenadie mencoba segala cara, merebus daun-daun hutan sebisanya, mencarikan air bersih lebih banyak, bahkan mencoba membuat ramuan dari tanaman liar.Tapi kondisi Liana memburuk.Suatu pagi, saat kabut belum sepenuhnya mengangkat dari tanah, Liana tergeletak lemas. Ghenadie duduk di sampingnya, memegangi tangan yang semakin dingin."Ghen..." suara Liana nyaris tak terdengar."Ya, aku di sini," Ghenadie membelai rambutnya yang kusut."Aku... menyesal," kata Liana pelan."Jangan begitu. Kamu nggak salah apa-apa.""Aku... harusnya bilang dari awal. Harusnya aku jawab waktu kamu bilang itu...""Aku tahu," Ghenadie menahan tangis. "Dan
“Aku tidak minta jawaban sekarang. Aku hanya ingin kau tahu, bahwa setiap langkahku di sini, kamu ada di dalamnya.”Kata-kata itu masih terpatri di benak Liana. Ia mengulangnya dalam pikirannya berkali-kali, seolah menjadi doa yang terucap diam-diam di antara keramaian kabin pesawat.Dua bulan telah berlalu sejak Ghenadie mengucapkan kalimat itu di café kecil di Sydney. Dua bulan penuh kebingungan, ragu, dan diam.Sekarang, takdir mempertemukan mereka lagi. Bukan di bawah langit biru Australia, tapi di ketinggian 35.000 kaki di udara. Sebuah kebetulan yang terlalu mustahil jika hanya disebut kebetulan.Ghenadie sebenarnya pulang mau mencari Hana dan memastikan keberadaan gadis itu. Juga mau bicar dengan ayahnya secara langsung tentang rencananya di Australia itu.Liana, yang bertugas sebagai pramugari di penerbangan itu, tak tahu harus bersikap seperti apa saat melihat Ghenadie masuk ke dalam kabin dengan senyum tipis."Hei..." Ghenadie menyapa pelan saat ia melihat Liana menyambut pe
Musim semi menyelimuti Sydney dengan suhu hangat yang lembut. Udara segar, langit biru bersih, dan aroma laut yang samar membuat setiap pagi terasa seperti lembaran baru dalam hidup Ghenadie.Tujuh hari bersama Liana telah menyisakan jejak yang sulit dihapuskan. Tapi semua harus kembali pada kenyataan. Liana harus kembali bertugas, dan Ghenadie… harus mulai membangun sesuatu.Ia tidak melupakan Hana, tetapi sudah beberapa kali dia menghubungi Hana, tetapi gadis itu ttidk pernah membaalasnya atau mengangkat telponnya. Ghenadie hanya curiga saja gadis itu kehilangan ponsel.Ia duduk sendiri di sebuah kafe pinggir pelabuhan Darling Harbour, menatap laptopnya dengan layar kosong. Sudah beberapa jam ia hanya menatap layar, jari-jarinya enggan bergerak.“Mau kopi lagi, sir?” tanya pelayan ramah.“Ya, satu cappuccino. Terima kasih.”Langkah awal selalu yang paling sulit. Bukan karena dia tidak tahu caranya, Ghenadie pernah membangun divisi dari nol, pernah mengelola proyek lintas negara.Tap