Jenar terdiam di tempatnya. Julio masuk ke dalam rumah tanpa kata-kata dan memutuskan pembicaraan mereka begitu saja. Mungkin dia mulai jengkel dan muak dengan keras kepalanya seorang Jenar.
"Coklat panas?" Tiba-tiba saja Julio kembali menghampirinya dengan cangkir coklat panas yang ada dalam genggamannya.
Jenar tersentak tidak percaya ini. "Aku kira kamu masuk untuk tidur dan beristirahat, kenapa malah keluar lagi?" tanya Jenar.
Julio mengabaikan kalimat Jenar. Dia menyodorkan secangkir coklat panas untuk Jenar. "Ambil dulu, aku tidak kuat menahan dua gelas panas."
Jenar manggut-manggut. "Terimakasih."
"Aku terbiasa begadang. Apalagi kala
Jenar tiba-tiba saja merasakan pelukan hangat pada tubuhnya. Saat dia melirik, tangan Julian sudah melingkar di atas pinggangnya. Sepertinya dia bisa merasakan kemarahan bercampur dengan kekecewaan yang dirasakan oleh Jenar pagi ini. "Aku minta maaf, Jenar." Julian berbisik di sisi telinga Jenar. "Aku tahu kalau aku salah, seharusnya aku mengabari kamu."Jenar sampai tidak bisa berkata-kata. Dia hanya terdiam seribu bahasa. Kekecewaan dan kemarahan menahan ribuan umpatan yang ada di dalam benaknya. Sebelum kepulangan Julian subuh ini, dia sudah menyiapkan ribuan pertanyaan. Dia bahkan menyiapkan umpatan demi umpatan yang akan dia berikan pada suaminya nanti, tetapi sayangnya itu semua tertahan saat melihat Julian pulang. "Kamu boleh marah padaku, asal jangan mendiamkan aku." Julian memohon. Julian menggelengkan kepalanya. "Jujur kalau aku tidak bisa didiamkan, Jenar. Aku tidak tahan jika diabaikan."Jenar tersenyum tipis. Perlahan-lahan dia melepaskan pelukan Julian. "Mas ...." Je
Jenar hanya bisa memandang kepergian suaminya. Julian harus kembali bekerja, meskipun kehadirannya pagi ini tidak benar-benar melegakan hati Jenar."Papa pulang kemarin malam atau tadi pagi?" Jasmine tiba-tiba membuyarkan lamunan Jenar.Jenar menoleh dan menatap ke arahnya. "Kamu katanya mau pergi.""Tidak usah mengubah topik pembicaraan," kekeh Jasmine. "Jawab dulu pertanyaanku yang tadi."Jenar menghela nafasnya. "Kamu mau mempengaruhi aku lagi seperti kemarin malam?" tanyanya. "Sudah aku katakan kalau itu tidak akan mempengaruhi diriku. Jangan buang-buang waktumu untuk ini."Setelah menyelesaikan kalimatnya, Jenar melenggang pergi dari hadapa
Jenar memandang Julio. "Aku mengizinkan Jasmine pergi bukan ingin diam menatapmu begini," ucapnya. "Aku meminta penjelasan dari kata-kata yang kamu katakan tadi."Julio bergeming. "Kamu bisa mengatakan apapun itu yang kamu tahu, aku akan mencoba untuk memahaminya." Jenar memohon padanya. Pemuda itu menarik nafasnya dan menghela dengan kasar. "Bisa kita tidak membicarakan ini sekarang? Aku rasa tidak ada yang perlu dibicarakan."Jenar tersenyum tipis. "Aku ingin mengetahui faktanya." Jenar mulai ragu pada dirinya sendiri, seharusnya dia tidak bertindak sejauh ini. "Aku hanya ingin tahu sebagai istri dari papamu. Apa yang kamu ketahui tentang kegiatannya kemarin?" tanya Jenar lagi. Pandangan matanya sedikit mendesak. "Jenar, aku tidak bisa mengatakannya." Julio mulai berpikir ulang. "Aku bukannya tidak mau peduli, tetapi aku tidak mau ikut campur urusan kalian.""Julio aku mohon padamu." Jenar meminta lagi. "Apa yang tidak aku ketahui di rumah ini?""Kamu tidak tahu apapun, Jenar."
Suara ketukan pintu membiarkan fokus Jenar siang ini tersita. Jenar terpaksa harus mengungkapkan pintu untuk siapa yang baru saja datang. Dia terkejut melihat kedatangan temannya."Sarah?" Jenar tak henti-hentinya memandang ke arah Sarah. "Kamu ngapain datang ke sini tiba-tiba?"Sarah tersenyum manis. "Memangnya aku tidak boleh datang ke rumah temanku sendiri?" "Kamu belakangan ini jadi lupa denganku setelah menikah dengan Julian," tandasnya. "Jadi aku yang memutuskan untuk mampir siang ini."Jenar hanya mengangguk. "Masuklah." Dia mempersilahkan Sarah untuk masuk ke dalam.Sarah mengambil tempat duduk kosong. Pandangan matanya menyapu seluruh sudut ruangan. "Pantas saja kamu betah di rumah ini, rumahnya besar dan mirip istana.""Kamu pasti tidak mau meninggalkan kenyamanan di sini," kekeh Sarah pada Jenar. Jenar mengabaikan kalimatnya. "Kamu mau minum apa?" tanyanya. "Aku akan buatkan dulu."Sarah langsung mencegah Jenar pergi. "Duduk saja. Aku juga tidak akan lama di sini." Sarah
Jenar merasa resah sepanjang hari, pikirannya tak tenang dibawa kemana-mana. Semua aktivitasnya terganggu setelah Sarah meninggalkan tempat ini. "Bu Jenar sepertinya lagi banyak pikiran?" Bi Mariani datang dari pintu dapur, berdiri di sisi Jenar sembari memandanginya.Jenar menoleh lalu diam sejenak, sebelum memutuskan untuk menggelengkan kepalanya. "Tidak, tidak ada.""Aku dengar dari Jean katanya Pak Julian tidak pulang kemarin," ucap Mariani lagi. "Katanya juga tidak ada kabar."Jenar sedikit terkejut mendengar kalimat itu. "Jean yang mengatakan itu semua?" Mariani tertawa kecil. "Meskipun dia hanya anak kecil, terkadang dia memperhatikan lingkungan sekitarnya dengan baik."Jenar hanya manggut-manggut. "Seharusnya aku tidak mengatakan keresahanku padanya kemarin. Sekarang malah jadi seperti ini.""Kalau boleh tahu memangnya kenapa Pak Julian tidak pulang dan tidak ada kabar?" Mariani mencoba untuk menggali informasi.Jenar hanya dia menatapnya. Ketimpangan luar biasa mencekram pi
Hal yang paling mengejutkan untuk Jenar sore ini adalah dia mendapatkan panggilan suara dari Luce. Katanya, Jasmine dalam bahaya. Gadis itu kembali terlibat masalah, tetapi dia tidak bisa membantunya. Luce hanya mengirimkan alamat pada Jenar mengenai keberadaan Jasmine.Jenar celingukan ke sana dan kemari, tentu saja dia mencari keberadaan Jasmine. Hingga akhirnya pandangan mata tertuju pada satu titik, Jasmine di sana bersama beberapa pria dewasa."Kembalikan uang kita kalau lo gak mau celaka!" Suara terdengar samar-samar memasuki telinga Jenar ketika dia melangkah menjauh. "Cepat!" Sekarang suara itu begitu lantang"Jasmine!" Jenar memanggil Jasmine, entah kebodohan apa yang merasuki dirinya seharusnya dia minta tolong terlebih dahulu.
Alif memandang Jasmine yang berdiri jauh dari mereka. Sesekali menoleh pada Jenar yang sedang fokus membalut lukanya sendiri. "Anak tirimu itu sama sekali tidak tahu sopan santun, Mbak," gumam Alif. Niat hati ingin berbicara sendiri, tetapi Jenar mendengar suaranya. Jenar tertawa kecil. "Begitulah dia. Entah mirip siapa," ujarnya.Alif memandang Jenar dengan teliti. Ingin membantu, tetapi Jenar mengatakan kalau dia bisa melakukan sendiri. Sudah cukup merepotkan Alif harus berlari ke minimarket di ujung jalan untuk membelikan obat merah dan plester luka, Jenar enggan menambah kerepotan lagi. "Suamimu?" tanya Alif tiba-tiba. "Maksudku, dia tahu kalau putrinya ugal-ugalan begitu?" Jenar tertawa lagi, cekikikan padahal tubuhnya merasakan nyeri akibat luka gores yang dia dapatkan. "Menurutku, Jasmine tidak sejauh itu. Dia hanya nakal, tidak ugal-ugalan.""Apa bedanya?" sambung Alif. "Dia bahkan tidak datang ke sini lalu berterima kasih."Alif mendesah panjang. "Paling tidak tanya keada
"Mau kemana?" tanya Jenar ketika Jasmine melangkah pergi dari tempatnya. Jasmine menoleh dan memandang ke arahnya dengan ragu. "Ke rumah temanku. Aku ada urusan dengannya."Jenar tidak memberi banyak jawaban, dia hanya terdiam sambil menganggukkan kepalanya. "Kalau begitu hati-hati di jalan. Jangan pulang terlalu malam."Setelah menyelesaikan kalimatnya, Jenar memutuskan untuk pergi dari sana. Akan tetapi, Jasmine mencegah kepergiannya. "Kamu langsung mau pulang?"Jenar menghentikan langkah kaki. Kembali menoleh menatap Jasmine.Jasmine gelagapan di tempatnya, seperti sedang tertangkap basah melakukan hal aneh. "Aku hanya bertanya saja. Sepertinya kamu perlu ke rumah sakit. Orang tadi sepertinya tidak bisa mengobati lukamu."Jenar perlahan mengembangkan senyum. "Dia berpengalaman tentang itu dulu ketika aku terluka di rumah, dia yang selalu membantuku." "Sepertinya kalian begitu dekat. Sampai-sampai kamu membelanya." Jasmine menyeringai tipis dan dia tidak bisa melanjutkan percakapa
Dua cangkir teh menemani diamnya mereka. Jenar tiba-tiba ingin berbicara serius, padahal kedatangan Julio hanya ingin melihat putranya. "Aku membelikan mainan baru," kata Julio mencoba untuk menghilangkan rasa canggung itu. "Aku tahu kalau putra kita belum bisa bermain, aku hanya ingin membelikannya saja."Julio seakan takut penolakan dari Jenar. "Aku juga merindukan putraku. Aku kebetulan lewat sini, jadi aku langsung mampir," ucapnya lagi. Jenar tersenyum. "Kamu baru datang kemarin. Bagaimana bisa merindukannya secepat itu? Kamu baru pulang dari rumah ini kemarin malam, belum ada satu hari."Julio manggut-manggut. "Rasanya sudah lama sekali tidak melihatnya," celetuknya."Julio, aku ingin ....""Aku tahu kalau aku berlebihan." Julio tiba-tiba memotong kalimat Jenar. "Aku tahu kalau tidak seharusnya aku datang setiap hari dan memberikan itu semua."Julio menghela napas. "Namun, seberapa kuat kamu menolak, itu tetap putraku.""Aku tetap punya hak untuk datang dan melihatnya. Member
Luce's N Property, Jakarta.Jenar duduk sembari memandang keadaan sekitarnya. Suasana begitu asing ketika dia memutuskan untuk masuk ke dalam tempat ini. "Jadi, kamu datang untuk apa?" Luce menyambutnya dengan sedikit aneh, tatapan mata tidak suka melihat Jenar datang tiba-tiba. "Kebetulan aku sibuk hari ini."Jenar tersenyum seadanya. Kepalanya manggut-manggut ringan. "Maaf, karena aku mengganggumu hari ini, Nyonya Luce.""Jadi?" Luce mendesak Jenar untuk segera berbicara. Jujur saja, dia juga penasaran.Jenar menundukkan pandangan mata. Keraguan menyerbu dirinya. Sekarang, Jenar menyesali keputusannya datang kemari tanpa keyakinan dalam hatinya. "Kenapa malah diam?" Luce memecah keheningan. "Sudah aku bilang kalau aku sibuk hari ini. Jika kamu memang tidak ....""Ini tentang Julio." Jenar memberanikan diri untuk menatap Luce. "Sudah sejak beberapa hari yang lalu ketika dia memutuskan untuk pulang ke Indonesia."Luce mengangguk sekali. "Lantas?""Aku yang menyuruhnya untuk pulang k
Jenar dikejutkan dengan kedatangan Jasmine pagi ini. Gadis itu membawa setumpuk buku yang tebal dan terlihat begitu berat. Jasmine meletakkannya di atas meja, lalu tersenyum pada Jenar."Kamu bisa membaca ini." Jasmine duduk di tengah sofa. Memberi perintah Jenar untuk duduk bersamanya.Jenar hendak pergi, sebenarnya. Sayang sekali, gadis ini membuatnya tertahan. Dia harus menunda kepergiannya, mungkin untuk beberapa menit hingga jam ke depan."Ayo duduk." Jasmine memberi perintah lagi sembari mengetuk meja di depannya. "Aku yakin ini akan menjawab keraguanmu."Jenar memandangnya tak mengerti. Namun, dia tidak punya pilihan lain untuk menurutinya. Jenar terpaksa duduk dan meladeni Jasmine hari ini. "Apa yang kamu maksudkan?" Jenar membuka salah satu buku di depannya. Alangkah terkejutnya Jenar, ketika dia melihat biodata Julio yang membuka halaman pertama. Jenar memandang Jasmine lagi. "Apa-apaan ini?" tanyanya. "Kenapa kamu memberi buku seperti ini padaku?""Bukan hanya satu, di ba
Jenar ingin sekali mengusirnya, tetapi dia tidak tega melakukan itu. Bukan soal Julio, tetapi bagaimana perasaan putranya? "Dia tampan sekali," gumam Julio sembari mengusap lembut pipi putranya dengan ujung jarinya. "Dia mirip denganmu."Jenar hanya berdiri di ambang pintu. Kepalanya sesekali menunduk, padahal dia tidak salah apapun. "Sudah memberi nama?" tanyanya. Julio menoleh ke arah Jenar. Jenar menggelengkan kepalanya. "Aku tidak tahu nama yang bagus untuk dia."Julio terkekeh. "Lalu selama ini kamu memanggilnya bagaimana?"Jenar lagi-lagi menggelengkan kepalanya. Sekarang dia tidak berucap sepatah kata pun. Julio menatap putranya lagi. "Bolehkah aku yang memberi nama? Aku sudah memikirkannya sejak turun dari pesawat.""Perjalanan kemari aku menyusun nama panjang untuknya," kata Julio lagi. Keduanya saling memandang.Jenar manggut-manggut. "Itu adalah putramu juga.""Bayu Kalandra Joe." Julian menoleh pada Jenar lagi. "Kita bisa memanggilnya Bayu."Jenar langsung mengembangkan
Hari demi hari berlalu begitu saja. Jenar hanya berharap keadaan jauh lebih baik. Dia hanya ingin membesarkan putranya tanpa harus memberi penderitaan pada bayi kecil tak bersalah itu. "Jenar!" Jasmine memanggilnya. Jenar yang hendak masuk ke dalam rumah, harus kembali terhenti. Dia menyambut kedatangan Jasmine dengan senyuman."Baru pulang sekolah?" Jenar menatap penampilan gadis itu. Seragam sekolah masih rapi membungkus tubuhnya. Jasmine menganggukkan kepala. "Begitulah." Sekarang dia lebih lunak pada Jenar. Toh juga tidak ada yang perlu ditutupi, dia mulai mengakui segalanya. "Aku tadi lewat toko kue, aku beli satu buat kamu." Jasmine menyodorkan kue dalam kantung plastik hitam. "Kamu suka keju kan?"Jenar mengembangkan senyum di atas bibirnya. "Makasih banyak.""Kalau kamu belum makan siang, kamu bisa makan di sini dulu." Jenar menawarkan. "Aku buat ayam tepung."Jasmine menganggukkan kepala. "Bolehkah?" "Tentu saja. Kamu boleh menghabiskan semuanya." Jenar tertawa kecil semb
"Aku tidak bisa menemui Julio." Jenar menundukkan pandangan mata. Rasa bersalah masih menguasai dirinya acap kali melihat Julian. Julian tersenyum dan menyeruput teh yang dibuatkan Jenar untuknya. Kepalanya mengangguk, bukan berarti dia menyetujui kalimat Jenar. Julian hanya berusaha memahami perasaannya. "Lebih tepatnya kamu tidak mau, kan?" tanya Julian. "Benar kata Jasmine, ternyata kamu berusaha kabur dari kesalahanmu."Jenar tidak menyangka akan mendengar kalimat seperti itu dari mulut Julian. Julian meletakkan cangkir teh di atas meja. "Katanya kamu mau pergi keluar Jakarta. Kamu tidak akan kembali dan kamu meminta Jasmine untuk membantu kepergianmu secara diam-diam."Jenar tidak bisa menjawab. Dia mengaku salah."Apa yang kamu inginkan dari keputusan itu?" tanya Julian. "Kamu menginginkan ketenangan?"Jenar menggelengkan kepalanya tak yakin. "Jangan-jangan kamu berpikir, kalau kamu akan terbebas dari dosa jika pergi dari Jakarta," kekeh Julian pelan. "Aku pikir kamu tidak s
Beberapa hari kemudian. Jenar meletakkan tas jinjing di atas meja, sedangkan Sarah sibuk menurunkan barang-barang dari taksi yang mengantar mereka pulang ke rumah. Jenar lega, akhirnya dia kembali mencium aroma rumah. Suasana rumah sakit benar-benar membosankan untuk dirinya."Aku harus kembali kerja setelah makan siang," ucap Sarah. "Aku sudah libur beberapa hari untuk menunggu kamu di rumah sakit. Aku tidak bisa libur lagi."Jenar menganggukkan kepalanya paham. "Maaf, karena aku jadi merepotkan kamu."Jenar menggelengkan kepalanya. "Kamu seharusnya bisa fokus pada pekerjaan kamu.""Tidak masalah." Sarah meliriknya. "Aku juga tidak akan bisa fokus kerja kalau meninggalkan kamu sendirian.""Sekarang aku jadi bisa lebih fokus, kamu sudah pulang." Sarah menutup kalimatnya. Dia menata barang-barang itu di sudut ruangan.Jenar tersenyum manis. "Makasih, Sar." "Sama-sama." Sarah menyelesaikan aktivitasnya. Dia berjalan mendekati Jenar. Jari jemarinya mengusap wajah tampan bayi di atas g
Rumah sakit persalinan, Jakarta.Tidak ada yang berani berbicara. Sarah melirik Jenar sesekali, kembali menunduk dan bermain dengan jari jemarinya. Helaan napas sesekali terdengar begitu berat dan penuh beban. Kenyatannya, tidak ada yang berani menghadapi keadaan yang ada. "Haruskah aku mengabari Julio?" Sarah memberanikan diri. Pandangan matanya tak lepas dari Jenar. "Aku akan ....""Bisakah besok kita pulang ke rumah?" Jenar memotongnya kalimat Sarah. Membalas tatapan temannya itu dengan sendu. "Aku ingin pulang."Sarah meraih tangan Jenar. "Jika karena biaya, kamu tidak perlu khawatir. Pak Julian memasukkan semua tagihan atas nama perusahaannya.""Dia memang pria yang bisa diandalkan." Sarah tersenyum mantap sembari mengacungkan jempolnya. Semangatnya seakan diisi ulang. Jenar memandangnya dengan begitu iba. Seakan mengetahui maksud dari perubahan raut wajah temannya, Sarah langsung menurunkan jempolnya."Sorry," gumam Sarah. Jenar menghela napas panjang. "Aku berpikir untuk kem
Malam, kediaman Julian. Jasmine melirik Julian yang baru saja turun dari lantai atas. Pakaiannya sudah diganti dengan kaos seadanya dipadukan celana panjang kain berwarna cokelat muda. "Papa nggak menunggu Jenar di rumah sakit?" Jasmine bertanya, menyela dengan memasukkan sesuap nasi ke dalam mulutnya. Julian menarik kursi di depan Jasmine. "Kamu makan jam segini, tidak takut gendut?" kekehnya. "Umumnya gadis seusia kamu menjaga pola makan di jam begini."Pria itu menatap piring yang penuh dengan nasi. "Sepertinya kamu lain.""Jangan coba-coba mengalihkan pembicaraan," jawab Jasmine. Dipandanginya Julian dengan saksama. "Papa hanya akan mengalihkan pembicaraan jika tidak suka dengan topiknya."Julian hanya tersenyum miring, sembari mengambil nasi di depannya."Aku kira Papa peduli dengannya." Jasmine berucap lagi. "Papa bahkan berlari dari luar kota kembali ke Jakarta, setelah mendengar Jenar melahirkan hari ini."Julian manggut-manggut. "Memang. Momen melahirkan hanya sekali kan?