Hal yang paling mengejutkan untuk Jenar sore ini adalah dia mendapatkan panggilan suara dari Luce. Katanya, Jasmine dalam bahaya. Gadis itu kembali terlibat masalah, tetapi dia tidak bisa membantunya. Luce hanya mengirimkan alamat pada Jenar mengenai keberadaan Jasmine.Jenar celingukan ke sana dan kemari, tentu saja dia mencari keberadaan Jasmine. Hingga akhirnya pandangan mata tertuju pada satu titik, Jasmine di sana bersama beberapa pria dewasa."Kembalikan uang kita kalau lo gak mau celaka!" Suara terdengar samar-samar memasuki telinga Jenar ketika dia melangkah menjauh. "Cepat!" Sekarang suara itu begitu lantang"Jasmine!" Jenar memanggil Jasmine, entah kebodohan apa yang merasuki dirinya seharusnya dia minta tolong terlebih dahulu.
Alif memandang Jasmine yang berdiri jauh dari mereka. Sesekali menoleh pada Jenar yang sedang fokus membalut lukanya sendiri. "Anak tirimu itu sama sekali tidak tahu sopan santun, Mbak," gumam Alif. Niat hati ingin berbicara sendiri, tetapi Jenar mendengar suaranya. Jenar tertawa kecil. "Begitulah dia. Entah mirip siapa," ujarnya.Alif memandang Jenar dengan teliti. Ingin membantu, tetapi Jenar mengatakan kalau dia bisa melakukan sendiri. Sudah cukup merepotkan Alif harus berlari ke minimarket di ujung jalan untuk membelikan obat merah dan plester luka, Jenar enggan menambah kerepotan lagi. "Suamimu?" tanya Alif tiba-tiba. "Maksudku, dia tahu kalau putrinya ugal-ugalan begitu?" Jenar tertawa lagi, cekikikan padahal tubuhnya merasakan nyeri akibat luka gores yang dia dapatkan. "Menurutku, Jasmine tidak sejauh itu. Dia hanya nakal, tidak ugal-ugalan.""Apa bedanya?" sambung Alif. "Dia bahkan tidak datang ke sini lalu berterima kasih."Alif mendesah panjang. "Paling tidak tanya keada
"Mau kemana?" tanya Jenar ketika Jasmine melangkah pergi dari tempatnya. Jasmine menoleh dan memandang ke arahnya dengan ragu. "Ke rumah temanku. Aku ada urusan dengannya."Jenar tidak memberi banyak jawaban, dia hanya terdiam sambil menganggukkan kepalanya. "Kalau begitu hati-hati di jalan. Jangan pulang terlalu malam."Setelah menyelesaikan kalimatnya, Jenar memutuskan untuk pergi dari sana. Akan tetapi, Jasmine mencegah kepergiannya. "Kamu langsung mau pulang?"Jenar menghentikan langkah kaki. Kembali menoleh menatap Jasmine.Jasmine gelagapan di tempatnya, seperti sedang tertangkap basah melakukan hal aneh. "Aku hanya bertanya saja. Sepertinya kamu perlu ke rumah sakit. Orang tadi sepertinya tidak bisa mengobati lukamu."Jenar perlahan mengembangkan senyum. "Dia berpengalaman tentang itu dulu ketika aku terluka di rumah, dia yang selalu membantuku." "Sepertinya kalian begitu dekat. Sampai-sampai kamu membelanya." Jasmine menyeringai tipis dan dia tidak bisa melanjutkan percakapa
Sepasang bola mata Jenar menatap teliti bangunan mewah di depannya. Sebenarnya terlalu berlebihan, kalau dikata bangunan ini hanya ditempati oleh seorang wanita yang bahkan jarang pulang ke rumahnya sendiri. Luce Wileen. "Kenapa aku harus datang ke sini?" Jenar bergumam pada dirinya sendiri, Setelah dia menyadari kebodohannya. Jenar melirik kertas yang ada dalam genggamannya. Alamat di dalam kertas itulah yang membuatnya bisa sampai di tempat ini. "Harusnya aku pergi saja, bodohnya aku." Jenar berbalik setelah dia mendapatkan kembali kesadarannya. Namun, hampir melangkahkan kakinya, sebuah suara datang menghadang kepergian Jenar."Aku penasaran siapa yang mencariku dan meminta alamat rumahku." Luce adalah wanita yang baru saja berbicara. Kedatangannya sedikit mengejutkan untuk Jenar, padahal seharusnya Jenar bisa memprediksi hal ini akan terjadi."Kenapa menatapku begitu?" Luce tertawa kecil. "Seakan adalah hal yang salah ketika aku pulang ke rumah aku sendiri."Jenar menggelengka
"Malam itu kamu bersama suamiku?" Jenar tidak benar-benar kuat seperti kelihatannya. Kenyataannya dia berusaha untuk tidak meneteskan air mata.Luce memandang Jenar. "Kenapa kamu tidak langsung tanyakan itu pada suamimu?""Tentu saja aku akan menanyakan juga padanya. Karena aku tidak bisa mempercayai salah satu dari kalian jika sudah begini," ujar Jenar. Jenar tersenyum tipis. "Aku hanya tidak mau dibodohi.""Kamu berpikir suamimu akan membodohimu?" tanya Luce. Dia tertawa kecil kepada Jenar. "Bukankah kepercayaan pada suami jauh lebih penting di atas segalanya?" tanyanya lagi.Jenar tak menjawab."Sebelum kamu datang ke sini dan menanyaik
Jenar berdiri di depan ambang pintu. Raut wajahnya tak senang setelah kembali dari rumah Luce. Luce tidak memberi informasi lebih lagi kepadanya. Luce mengingkari janji yang dia buat. Pada kenyataannya, dia tidak mau mengatakan apapun. Informasi sepenggal malah membuat Jenar tak karuan sekarang. "Jenar?" Suara Julian membuyarkan lamunannya. Jenar menoleh ketika suaminya datang padanya. "Kamu ngapain malah berdiri di situ bukannya masuk ke dalam? Gerimis sangat dingin," kata Julian lagi. Dia merangkul Jenar, memberikan pelukan hangat untuk istrinya. Jenar bahkan tidak bisa tersenyum, raut wajahnya tidak menampilkan apa-apa menyambut kedatangan suaminya senja ini. Julian melepaskan pelukannya. Pandangan mata Julian memandang Jenar dengan begitu fokus. "Ada masalah?" Julian mendeteksi ketidakbiasaan pada Jenar.Jenar memaksakan senyum. "Tidak ada masalah apapun. Aku hanya sedang lelah saja. Aku juga sepertinya sedikit tidak enak badan, jadi aku memerlukan istirahat.""Emangnya kamu
Julian berjalan mendekatinya. Senyuman mengembang di atas bibirnya, ketika Jenar terdiam karena kata-katanya."Aku tidak memaksamu jika memang belum ingin punya anak." Julian meraih bahu Jenar. "Aku tahu kalau hamil itu bukan masa yang mudah, jadi aku memberi kebebasan untukmu tentang itu."Jenar menundukkan pandangan mata. "Aku hanya terkejut karena kamu tiba-tiba membahasnya," ucap Jenar. "Bukannya aku tidak mau punya anak darimu, aku hanya belum siap." Jenar memandang Julian. "Aku masih belajar untuk mengurus tiga anak yang kamu tinggalkan dari pernikahanmu sebelumnya," imbuh Jenar. Dia tidak mau membahas hal ini sebenarnya, tetapi dia terpaksa melakukannya. "Jean masih perlu diriku untuk memperhatikannya." Jenar kembali mengimbuhkan. "Bukannya aku banyak alasan, tetapi memang itulah yang aku rasakan sekarang."Julian mencoba untuk menganggukkan kepala dan memahami Jenar. "Katakan padaku jika kamu sudah siap. Kita akan melakukan program untuk itu."Jenar tersenyum seadanya. "S
Kehidupan Jenar terus berjalan seiring berjalannya waktu, dia melalui status barunya sebagai seorang ibu sekaligus istri dengan penuh perjuangan. Merasakan kehidupan sebagai ibu sambung, ternyata bukan hal mudah untuk Jenar. Melawan banyak hal termasuk keegoisannya sendiri adalah perjuangan yang harus ia lakukan. "Mau berangkat?" Jenar menyapa Julio yang baru saja keluar dari kamarnya. Julio menoleh dan menganggukkan kepalanya ringan."Ada kelas siang?" Jenar kembali mengimbuhkan, dia berjalan mendekati Julio. "Jika langsung pulang, bisa tolong jemput Jasmine sekalian?"Julio tidak langsung memberikan jawaban. Dia terdiam sembari memandang Jenar tidak percaya. "Jasmine sepertinya tadi tidak enak badan, " ucap Jenar menginformasikan. "Dia memang tidak menyuruhku untuk menjemputnya, tetapi aku khawatir jika dia pulang sendiri dalam keadaan sakit."Julio menghela nafasnya. "Kenapa kamu terus perhatian pada Jasmine, padahal dia saja tidak bisa menghargaimu?" tanya Julio. "Kamu tidak pe
Dua cangkir teh menemani diamnya mereka. Jenar tiba-tiba ingin berbicara serius, padahal kedatangan Julio hanya ingin melihat putranya. "Aku membelikan mainan baru," kata Julio mencoba untuk menghilangkan rasa canggung itu. "Aku tahu kalau putra kita belum bisa bermain, aku hanya ingin membelikannya saja."Julio seakan takut penolakan dari Jenar. "Aku juga merindukan putraku. Aku kebetulan lewat sini, jadi aku langsung mampir," ucapnya lagi. Jenar tersenyum. "Kamu baru datang kemarin. Bagaimana bisa merindukannya secepat itu? Kamu baru pulang dari rumah ini kemarin malam, belum ada satu hari."Julio manggut-manggut. "Rasanya sudah lama sekali tidak melihatnya," celetuknya."Julio, aku ingin ....""Aku tahu kalau aku berlebihan." Julio tiba-tiba memotong kalimat Jenar. "Aku tahu kalau tidak seharusnya aku datang setiap hari dan memberikan itu semua."Julio menghela napas. "Namun, seberapa kuat kamu menolak, itu tetap putraku.""Aku tetap punya hak untuk datang dan melihatnya. Member
Luce's N Property, Jakarta.Jenar duduk sembari memandang keadaan sekitarnya. Suasana begitu asing ketika dia memutuskan untuk masuk ke dalam tempat ini. "Jadi, kamu datang untuk apa?" Luce menyambutnya dengan sedikit aneh, tatapan mata tidak suka melihat Jenar datang tiba-tiba. "Kebetulan aku sibuk hari ini."Jenar tersenyum seadanya. Kepalanya manggut-manggut ringan. "Maaf, karena aku mengganggumu hari ini, Nyonya Luce.""Jadi?" Luce mendesak Jenar untuk segera berbicara. Jujur saja, dia juga penasaran.Jenar menundukkan pandangan mata. Keraguan menyerbu dirinya. Sekarang, Jenar menyesali keputusannya datang kemari tanpa keyakinan dalam hatinya. "Kenapa malah diam?" Luce memecah keheningan. "Sudah aku bilang kalau aku sibuk hari ini. Jika kamu memang tidak ....""Ini tentang Julio." Jenar memberanikan diri untuk menatap Luce. "Sudah sejak beberapa hari yang lalu ketika dia memutuskan untuk pulang ke Indonesia."Luce mengangguk sekali. "Lantas?""Aku yang menyuruhnya untuk pulang k
Jenar dikejutkan dengan kedatangan Jasmine pagi ini. Gadis itu membawa setumpuk buku yang tebal dan terlihat begitu berat. Jasmine meletakkannya di atas meja, lalu tersenyum pada Jenar."Kamu bisa membaca ini." Jasmine duduk di tengah sofa. Memberi perintah Jenar untuk duduk bersamanya.Jenar hendak pergi, sebenarnya. Sayang sekali, gadis ini membuatnya tertahan. Dia harus menunda kepergiannya, mungkin untuk beberapa menit hingga jam ke depan."Ayo duduk." Jasmine memberi perintah lagi sembari mengetuk meja di depannya. "Aku yakin ini akan menjawab keraguanmu."Jenar memandangnya tak mengerti. Namun, dia tidak punya pilihan lain untuk menurutinya. Jenar terpaksa duduk dan meladeni Jasmine hari ini. "Apa yang kamu maksudkan?" Jenar membuka salah satu buku di depannya. Alangkah terkejutnya Jenar, ketika dia melihat biodata Julio yang membuka halaman pertama. Jenar memandang Jasmine lagi. "Apa-apaan ini?" tanyanya. "Kenapa kamu memberi buku seperti ini padaku?""Bukan hanya satu, di ba
Jenar ingin sekali mengusirnya, tetapi dia tidak tega melakukan itu. Bukan soal Julio, tetapi bagaimana perasaan putranya? "Dia tampan sekali," gumam Julio sembari mengusap lembut pipi putranya dengan ujung jarinya. "Dia mirip denganmu."Jenar hanya berdiri di ambang pintu. Kepalanya sesekali menunduk, padahal dia tidak salah apapun. "Sudah memberi nama?" tanyanya. Julio menoleh ke arah Jenar. Jenar menggelengkan kepalanya. "Aku tidak tahu nama yang bagus untuk dia."Julio terkekeh. "Lalu selama ini kamu memanggilnya bagaimana?"Jenar lagi-lagi menggelengkan kepalanya. Sekarang dia tidak berucap sepatah kata pun. Julio menatap putranya lagi. "Bolehkah aku yang memberi nama? Aku sudah memikirkannya sejak turun dari pesawat.""Perjalanan kemari aku menyusun nama panjang untuknya," kata Julio lagi. Keduanya saling memandang.Jenar manggut-manggut. "Itu adalah putramu juga.""Bayu Kalandra Joe." Julian menoleh pada Jenar lagi. "Kita bisa memanggilnya Bayu."Jenar langsung mengembangkan
Hari demi hari berlalu begitu saja. Jenar hanya berharap keadaan jauh lebih baik. Dia hanya ingin membesarkan putranya tanpa harus memberi penderitaan pada bayi kecil tak bersalah itu. "Jenar!" Jasmine memanggilnya. Jenar yang hendak masuk ke dalam rumah, harus kembali terhenti. Dia menyambut kedatangan Jasmine dengan senyuman."Baru pulang sekolah?" Jenar menatap penampilan gadis itu. Seragam sekolah masih rapi membungkus tubuhnya. Jasmine menganggukkan kepala. "Begitulah." Sekarang dia lebih lunak pada Jenar. Toh juga tidak ada yang perlu ditutupi, dia mulai mengakui segalanya. "Aku tadi lewat toko kue, aku beli satu buat kamu." Jasmine menyodorkan kue dalam kantung plastik hitam. "Kamu suka keju kan?"Jenar mengembangkan senyum di atas bibirnya. "Makasih banyak.""Kalau kamu belum makan siang, kamu bisa makan di sini dulu." Jenar menawarkan. "Aku buat ayam tepung."Jasmine menganggukkan kepala. "Bolehkah?" "Tentu saja. Kamu boleh menghabiskan semuanya." Jenar tertawa kecil semb
"Aku tidak bisa menemui Julio." Jenar menundukkan pandangan mata. Rasa bersalah masih menguasai dirinya acap kali melihat Julian. Julian tersenyum dan menyeruput teh yang dibuatkan Jenar untuknya. Kepalanya mengangguk, bukan berarti dia menyetujui kalimat Jenar. Julian hanya berusaha memahami perasaannya. "Lebih tepatnya kamu tidak mau, kan?" tanya Julian. "Benar kata Jasmine, ternyata kamu berusaha kabur dari kesalahanmu."Jenar tidak menyangka akan mendengar kalimat seperti itu dari mulut Julian. Julian meletakkan cangkir teh di atas meja. "Katanya kamu mau pergi keluar Jakarta. Kamu tidak akan kembali dan kamu meminta Jasmine untuk membantu kepergianmu secara diam-diam."Jenar tidak bisa menjawab. Dia mengaku salah."Apa yang kamu inginkan dari keputusan itu?" tanya Julian. "Kamu menginginkan ketenangan?"Jenar menggelengkan kepalanya tak yakin. "Jangan-jangan kamu berpikir, kalau kamu akan terbebas dari dosa jika pergi dari Jakarta," kekeh Julian pelan. "Aku pikir kamu tidak s
Beberapa hari kemudian. Jenar meletakkan tas jinjing di atas meja, sedangkan Sarah sibuk menurunkan barang-barang dari taksi yang mengantar mereka pulang ke rumah. Jenar lega, akhirnya dia kembali mencium aroma rumah. Suasana rumah sakit benar-benar membosankan untuk dirinya."Aku harus kembali kerja setelah makan siang," ucap Sarah. "Aku sudah libur beberapa hari untuk menunggu kamu di rumah sakit. Aku tidak bisa libur lagi."Jenar menganggukkan kepalanya paham. "Maaf, karena aku jadi merepotkan kamu."Jenar menggelengkan kepalanya. "Kamu seharusnya bisa fokus pada pekerjaan kamu.""Tidak masalah." Sarah meliriknya. "Aku juga tidak akan bisa fokus kerja kalau meninggalkan kamu sendirian.""Sekarang aku jadi bisa lebih fokus, kamu sudah pulang." Sarah menutup kalimatnya. Dia menata barang-barang itu di sudut ruangan.Jenar tersenyum manis. "Makasih, Sar." "Sama-sama." Sarah menyelesaikan aktivitasnya. Dia berjalan mendekati Jenar. Jari jemarinya mengusap wajah tampan bayi di atas g
Rumah sakit persalinan, Jakarta.Tidak ada yang berani berbicara. Sarah melirik Jenar sesekali, kembali menunduk dan bermain dengan jari jemarinya. Helaan napas sesekali terdengar begitu berat dan penuh beban. Kenyatannya, tidak ada yang berani menghadapi keadaan yang ada. "Haruskah aku mengabari Julio?" Sarah memberanikan diri. Pandangan matanya tak lepas dari Jenar. "Aku akan ....""Bisakah besok kita pulang ke rumah?" Jenar memotongnya kalimat Sarah. Membalas tatapan temannya itu dengan sendu. "Aku ingin pulang."Sarah meraih tangan Jenar. "Jika karena biaya, kamu tidak perlu khawatir. Pak Julian memasukkan semua tagihan atas nama perusahaannya.""Dia memang pria yang bisa diandalkan." Sarah tersenyum mantap sembari mengacungkan jempolnya. Semangatnya seakan diisi ulang. Jenar memandangnya dengan begitu iba. Seakan mengetahui maksud dari perubahan raut wajah temannya, Sarah langsung menurunkan jempolnya."Sorry," gumam Sarah. Jenar menghela napas panjang. "Aku berpikir untuk kem
Malam, kediaman Julian. Jasmine melirik Julian yang baru saja turun dari lantai atas. Pakaiannya sudah diganti dengan kaos seadanya dipadukan celana panjang kain berwarna cokelat muda. "Papa nggak menunggu Jenar di rumah sakit?" Jasmine bertanya, menyela dengan memasukkan sesuap nasi ke dalam mulutnya. Julian menarik kursi di depan Jasmine. "Kamu makan jam segini, tidak takut gendut?" kekehnya. "Umumnya gadis seusia kamu menjaga pola makan di jam begini."Pria itu menatap piring yang penuh dengan nasi. "Sepertinya kamu lain.""Jangan coba-coba mengalihkan pembicaraan," jawab Jasmine. Dipandanginya Julian dengan saksama. "Papa hanya akan mengalihkan pembicaraan jika tidak suka dengan topiknya."Julian hanya tersenyum miring, sembari mengambil nasi di depannya."Aku kira Papa peduli dengannya." Jasmine berucap lagi. "Papa bahkan berlari dari luar kota kembali ke Jakarta, setelah mendengar Jenar melahirkan hari ini."Julian manggut-manggut. "Memang. Momen melahirkan hanya sekali kan?