Jenar berusaha untuk menghilangkan perasaan aneh ini sekarang."Kamu, benar-benar sudah melupakan aku?" Adam bertanya sembari mengulas ingatan di masa lalu. "Dulu kamu mencintaiku dengan segenap hatimu. Kamu bahkan menangis dan memohon padaku agar aku lebih memilih kamu."Jenar memandang Adam yang terkesan tidak tahu malu. Seharusnya dia tidak diberi kelonggaran seperti ini."Keadaannya sudah berbeda, Dam. Aku bukan Jenar yang dulu kamu kenal," jawab Jenar. "Aku sudah berubah dan waktu pun juga sudah mengubah hubungan di antara kita."Adam menghela napas penuh kecewa. "Kita bisa memperbaiki semuanya, Jenar.""Aku sudah belajar banyak hal di pern
Jenar tidak melakukan kesalahan apapun, tetapi dia juga tidak berani memandang Julian. Sepanjang perjalanan, mereka hanya diam. "Kamu akan terus diam begini?" Julian yang pertama kali menyela pembicaraan di antara mereka. Dia tersenyum ketika Jenar menoleh padanya. "Kalau kamu diam begini, aku jadi merasa bersalah sudah mengusir mantan kekasihmu dan berbicara seperti itu tadi." Julian menambahkan. Jenar menggeleng. "Mas Julian tidak salah apapun. Yang kamu lakukan tadi sudah benar.""Lalu kenapa kamu diam sepanjang perjalanan?" tanya Julian lagi. "Jangan bilang kalau kamu marah padaku sebab aku terlambat menjemput," tandasnya. Julian tertawa kecil. Jenar menggelengkan kepala lagi. "Aku yang merasa tidak enak atas apa yang sudah terjadi tadi, Mas Julian." "Kenapa kamu merasa tidak enak?" Julian langsung menghentikan aktivitasnya. Dia memandang Jenar yang duduk di atas sofa sembari memandang ke arahnya.Julian berjalan mendekatinya dan memilih turun dari ranjang, pembicaraan tidak
Jasmine berjalan seorang diri menyusuri gang komplek perumahannya. Di tengah perempatan jalan komplek, Jasmi melihat seorang pria berdiri di bawah tiang lampu jalan. Dia asyik memainkan sembari merokok. Tentu saja itu bukan hal yang aneh, Jasmine biasa menghadapi orang seperti itu. Lagian ini bukan kali pertamanya dia pulang malam. Jasmine melewatinya begitu saja. Namun, hanya berjalan mulus beberapa langkah. Pria itu memanggil Jasmine. "Hei! Nak!" Jasmine menoleh. Bodohnya dia malah berhenti di sana. "Bapak memanggilku?" Jasmine menunjuk pada dirinya sendiri, memastikan kalau memang pria itu memanggilnya."Namaku Hang," katanya. Hang adalah nama panggilannya, dia tidak memperkenalkan siapa nama lengkapnya. Hang juga yakin, Jasmine tidak aku mau peduli.Jasmine hanya manggut-manggut. Dia pria paling aneh yang pernah ditemui Jasmine. "Haruskah aku memperkenalkan namaku juga?" Jasmine meladeninya. Jasmine memang benar-benar tidak punya rasa takut, mirip seperti ibu kandungnya. Luce
"Sekarang katakan siapa kamu?" Jasmine memutuskan untuk ikut dengan dia ini. Dia berharap kalau dirinya akan mendapati informasi darinya. Jasmine memicingkan mata. "Sepertinya kamu sudah tidak asing dengan keluargaku. Akan tetapi, aku begitu asing denganmu."Hang menyeruput kopi yang ada di depannya. "Terima kasih untuk kopinya. Padahal aku yang mau mentraktir tadi.""Kamu mau mentraktirku?" Jasmine meremehkan. "Aku tidak yakin kamu punya uang."Hang terdiam dan mengembalikan kelas di atas meja. Dia memandang Jasmine tanpa kata-kata. Sepertinya sedang memahami siapa yang sedang duduk di depannya."Kamu tersinggung dengan kata-kataku tadi?" tanya Jasmine. "Itu adalah candaan anak muda. Kamu harus terbiasa jika ingin berbicara akrab denganku." Pria berambut sedikit ikal itu hanya mengangguk. Dia mengandalkan waktu yang tersisa untuk menjelaskan banyak hal. "Sebelum aku memperkenalkan diriku secara utuh, gimana keadaan kakakmu?" Hang fokus menata perubahan ekspresi wajah Jasmine. Sep
Julio menghampiri Jenar yang duduk di kursi dapur sembari menyantap mie rebus yang dia buat. "Di tengah malam." Julio memulai pembicaraan terlebih dahulu, sembari mengambil air putih dingin di dalam kulkas. Jenar menoleh ke arah Julio sembari menganggukkan kepalanya. "Itulah kenapa kamu masih berkeliaran di sini bukannya tidur karena besok kamu pasti ada kegiatan."Julio tersenyum tipis. Dia menutup pintu kulkas. "Dosenku izin dan kelas kosong. Aku berpikir untuk bangun lebih siang."Jenar manggut-manggut. Cukup mengerti dan dia tidak bisa membantahnya. Jenar kembali menikmati mie rebus yang dia buat.Ternyata Julio tidak langsung pergi dari sana, dia memutuskan menarik kursi di depan Jenar. "Mau mie rebusnya? Kita bagi dua kalau mau," tawar Jenar, seraya mendorong mangkuk mie. Julio menggelengkan kepalanya. "Kamu tidak takut gendut makan tengah malam? Sama perempuan pasti memikirkan itu. Mereka rela menahan lapar sampai besok pagi hanya karena tidak ingin kehilangan tubuh yang ba
Terik menyinari bumi, cahayanya merambah lewat tirai jendela yang separuh terbuka. Julio bangun dari tidurnya. Dia menatap langit-langit kamarnya dengan malas, sebelum memutuskan bangkit sembari mengusap wajahnya. "Aku sudah menunggumu dari tadi, Kak!" Suara itu mengejutkan Julio. Dia langsung menoleh ke arah sumber suara. Jasmine duduk di sana sembari tersenyum aneh padanya. "Kamu sejak kapan di situ?" tanya Julio lagi. "Jangan bilang kamu ada di sini sejak semalam? Sudah kukatakan berhentilah untuk menatapku ketika aku sedang tidur," tandas Julio.Julio turun dari ranjang, memakai sandal kaki dan berjalan malas menuju meja kecil di sudut ruangan. Dia biasa mengimplementasikan jiwa dan menyatukan raga di sana. Jasmine mendekatinya. Dia berjalan sambil melirik jam tangannya. "Sejak pukul enam?" kekehnya. "Mungkin lebih sedikit."Julio mengusap wajahnya. Dia menyambut kedatangan Jasmine. "Sekarang kenapa kamu tiba-tiba memata-matai aku begitu?""Biasanya kalau begitu kamu mau minta
Kediaman mewah Luce Wileen. Jakarta, Indonesia. Luce membukakan pintu untuk kedatangan Julian. Tentu saja sedikit mengejutkan untuknya, tetapi dia berusaha untuk menutupi itu semua. "Mau minum teh atau air dingin?" tanya Luce. "Aku punya jus alpukat kesukaanmu. Kamu mau?" Julian tak banyak berbicara, dia hanya menganggukkan kepalanya yakin. Setelah mendapat anggukan itu, Luce melenggang pergi masuk ke dalam dapur. Julian menunggu sembari memandang sekitarnya. Sejak perceraian mereka satu tahun yang lalu, ini adalah kali pertamanya dia datang ke rumah Luce Wileen. Tentu saja mewah seperti yang dia bayangkan. "Rumahku terasa asing untukmu?" Luce keluar dari ambang dapur membawa nampan berisi segelas jus alpukat dengan kue kering untuk menyambut kedatangan Julian. Julian tersenyum canggung. "Sedikit. Ini adalah kali pertamanya aku datang." Luce terkekeh. "Untuk itu seringlah datang ke sini agar kamu merasa tidak asing.""Jenar bisa salah paham juga dia tahu." Julian langsung menya
Area proyek menjadi tempat singgah Julio setelah mendapat informasi dari Jasmine tadi. Mata elang Julio menyapu setiap sudut tempat yang ada, berharap menemukan seorang pria yang wajahnya tidak familiar dengan ciri-ciri yang diberikan oleh Jasmine. "Cari seseorang, Nak?" tanya seorang pria. Julio langsung menoleh, hampir saja tersentak melihat pria berbadan lusuh penuh lumpur di belakangnya. Julio manggut-manggut ringan. Tersenyum seadanya. "Cari Pak Hang," kata Julio tak berbasa-basi."Oh, kamu anaknya Hang?" tanyanya. Julio terdiam sejenak. Ini sedikit canggung, pasalnya dia sendiri tidak yakin. Namun, apa boleh buat selain menganggukkan kepalanya? Dia tersenyum seadanya setelah itu."Hang ada di sana," katanya. "Kamu tinggal lurus aja, nanti ada pagar besi kecil kamu belok kanan, sepertinya dia beristirahat di bawah pohon."Julio tak berucap sepatah kata pun, hanya membungkukkan badannya ringan lalu pergi meninggalkannya. Dia hanya punya waktu beberapa menit sebelum harus kemb
Dua cangkir teh menemani diamnya mereka. Jenar tiba-tiba ingin berbicara serius, padahal kedatangan Julio hanya ingin melihat putranya. "Aku membelikan mainan baru," kata Julio mencoba untuk menghilangkan rasa canggung itu. "Aku tahu kalau putra kita belum bisa bermain, aku hanya ingin membelikannya saja."Julio seakan takut penolakan dari Jenar. "Aku juga merindukan putraku. Aku kebetulan lewat sini, jadi aku langsung mampir," ucapnya lagi. Jenar tersenyum. "Kamu baru datang kemarin. Bagaimana bisa merindukannya secepat itu? Kamu baru pulang dari rumah ini kemarin malam, belum ada satu hari."Julio manggut-manggut. "Rasanya sudah lama sekali tidak melihatnya," celetuknya."Julio, aku ingin ....""Aku tahu kalau aku berlebihan." Julio tiba-tiba memotong kalimat Jenar. "Aku tahu kalau tidak seharusnya aku datang setiap hari dan memberikan itu semua."Julio menghela napas. "Namun, seberapa kuat kamu menolak, itu tetap putraku.""Aku tetap punya hak untuk datang dan melihatnya. Member
Luce's N Property, Jakarta.Jenar duduk sembari memandang keadaan sekitarnya. Suasana begitu asing ketika dia memutuskan untuk masuk ke dalam tempat ini. "Jadi, kamu datang untuk apa?" Luce menyambutnya dengan sedikit aneh, tatapan mata tidak suka melihat Jenar datang tiba-tiba. "Kebetulan aku sibuk hari ini."Jenar tersenyum seadanya. Kepalanya manggut-manggut ringan. "Maaf, karena aku mengganggumu hari ini, Nyonya Luce.""Jadi?" Luce mendesak Jenar untuk segera berbicara. Jujur saja, dia juga penasaran.Jenar menundukkan pandangan mata. Keraguan menyerbu dirinya. Sekarang, Jenar menyesali keputusannya datang kemari tanpa keyakinan dalam hatinya. "Kenapa malah diam?" Luce memecah keheningan. "Sudah aku bilang kalau aku sibuk hari ini. Jika kamu memang tidak ....""Ini tentang Julio." Jenar memberanikan diri untuk menatap Luce. "Sudah sejak beberapa hari yang lalu ketika dia memutuskan untuk pulang ke Indonesia."Luce mengangguk sekali. "Lantas?""Aku yang menyuruhnya untuk pulang k
Jenar dikejutkan dengan kedatangan Jasmine pagi ini. Gadis itu membawa setumpuk buku yang tebal dan terlihat begitu berat. Jasmine meletakkannya di atas meja, lalu tersenyum pada Jenar."Kamu bisa membaca ini." Jasmine duduk di tengah sofa. Memberi perintah Jenar untuk duduk bersamanya.Jenar hendak pergi, sebenarnya. Sayang sekali, gadis ini membuatnya tertahan. Dia harus menunda kepergiannya, mungkin untuk beberapa menit hingga jam ke depan."Ayo duduk." Jasmine memberi perintah lagi sembari mengetuk meja di depannya. "Aku yakin ini akan menjawab keraguanmu."Jenar memandangnya tak mengerti. Namun, dia tidak punya pilihan lain untuk menurutinya. Jenar terpaksa duduk dan meladeni Jasmine hari ini. "Apa yang kamu maksudkan?" Jenar membuka salah satu buku di depannya. Alangkah terkejutnya Jenar, ketika dia melihat biodata Julio yang membuka halaman pertama. Jenar memandang Jasmine lagi. "Apa-apaan ini?" tanyanya. "Kenapa kamu memberi buku seperti ini padaku?""Bukan hanya satu, di ba
Jenar ingin sekali mengusirnya, tetapi dia tidak tega melakukan itu. Bukan soal Julio, tetapi bagaimana perasaan putranya? "Dia tampan sekali," gumam Julio sembari mengusap lembut pipi putranya dengan ujung jarinya. "Dia mirip denganmu."Jenar hanya berdiri di ambang pintu. Kepalanya sesekali menunduk, padahal dia tidak salah apapun. "Sudah memberi nama?" tanyanya. Julio menoleh ke arah Jenar. Jenar menggelengkan kepalanya. "Aku tidak tahu nama yang bagus untuk dia."Julio terkekeh. "Lalu selama ini kamu memanggilnya bagaimana?"Jenar lagi-lagi menggelengkan kepalanya. Sekarang dia tidak berucap sepatah kata pun. Julio menatap putranya lagi. "Bolehkah aku yang memberi nama? Aku sudah memikirkannya sejak turun dari pesawat.""Perjalanan kemari aku menyusun nama panjang untuknya," kata Julio lagi. Keduanya saling memandang.Jenar manggut-manggut. "Itu adalah putramu juga.""Bayu Kalandra Joe." Julian menoleh pada Jenar lagi. "Kita bisa memanggilnya Bayu."Jenar langsung mengembangkan
Hari demi hari berlalu begitu saja. Jenar hanya berharap keadaan jauh lebih baik. Dia hanya ingin membesarkan putranya tanpa harus memberi penderitaan pada bayi kecil tak bersalah itu. "Jenar!" Jasmine memanggilnya. Jenar yang hendak masuk ke dalam rumah, harus kembali terhenti. Dia menyambut kedatangan Jasmine dengan senyuman."Baru pulang sekolah?" Jenar menatap penampilan gadis itu. Seragam sekolah masih rapi membungkus tubuhnya. Jasmine menganggukkan kepala. "Begitulah." Sekarang dia lebih lunak pada Jenar. Toh juga tidak ada yang perlu ditutupi, dia mulai mengakui segalanya. "Aku tadi lewat toko kue, aku beli satu buat kamu." Jasmine menyodorkan kue dalam kantung plastik hitam. "Kamu suka keju kan?"Jenar mengembangkan senyum di atas bibirnya. "Makasih banyak.""Kalau kamu belum makan siang, kamu bisa makan di sini dulu." Jenar menawarkan. "Aku buat ayam tepung."Jasmine menganggukkan kepala. "Bolehkah?" "Tentu saja. Kamu boleh menghabiskan semuanya." Jenar tertawa kecil semb
"Aku tidak bisa menemui Julio." Jenar menundukkan pandangan mata. Rasa bersalah masih menguasai dirinya acap kali melihat Julian. Julian tersenyum dan menyeruput teh yang dibuatkan Jenar untuknya. Kepalanya mengangguk, bukan berarti dia menyetujui kalimat Jenar. Julian hanya berusaha memahami perasaannya. "Lebih tepatnya kamu tidak mau, kan?" tanya Julian. "Benar kata Jasmine, ternyata kamu berusaha kabur dari kesalahanmu."Jenar tidak menyangka akan mendengar kalimat seperti itu dari mulut Julian. Julian meletakkan cangkir teh di atas meja. "Katanya kamu mau pergi keluar Jakarta. Kamu tidak akan kembali dan kamu meminta Jasmine untuk membantu kepergianmu secara diam-diam."Jenar tidak bisa menjawab. Dia mengaku salah."Apa yang kamu inginkan dari keputusan itu?" tanya Julian. "Kamu menginginkan ketenangan?"Jenar menggelengkan kepalanya tak yakin. "Jangan-jangan kamu berpikir, kalau kamu akan terbebas dari dosa jika pergi dari Jakarta," kekeh Julian pelan. "Aku pikir kamu tidak s
Beberapa hari kemudian. Jenar meletakkan tas jinjing di atas meja, sedangkan Sarah sibuk menurunkan barang-barang dari taksi yang mengantar mereka pulang ke rumah. Jenar lega, akhirnya dia kembali mencium aroma rumah. Suasana rumah sakit benar-benar membosankan untuk dirinya."Aku harus kembali kerja setelah makan siang," ucap Sarah. "Aku sudah libur beberapa hari untuk menunggu kamu di rumah sakit. Aku tidak bisa libur lagi."Jenar menganggukkan kepalanya paham. "Maaf, karena aku jadi merepotkan kamu."Jenar menggelengkan kepalanya. "Kamu seharusnya bisa fokus pada pekerjaan kamu.""Tidak masalah." Sarah meliriknya. "Aku juga tidak akan bisa fokus kerja kalau meninggalkan kamu sendirian.""Sekarang aku jadi bisa lebih fokus, kamu sudah pulang." Sarah menutup kalimatnya. Dia menata barang-barang itu di sudut ruangan.Jenar tersenyum manis. "Makasih, Sar." "Sama-sama." Sarah menyelesaikan aktivitasnya. Dia berjalan mendekati Jenar. Jari jemarinya mengusap wajah tampan bayi di atas g
Rumah sakit persalinan, Jakarta.Tidak ada yang berani berbicara. Sarah melirik Jenar sesekali, kembali menunduk dan bermain dengan jari jemarinya. Helaan napas sesekali terdengar begitu berat dan penuh beban. Kenyatannya, tidak ada yang berani menghadapi keadaan yang ada. "Haruskah aku mengabari Julio?" Sarah memberanikan diri. Pandangan matanya tak lepas dari Jenar. "Aku akan ....""Bisakah besok kita pulang ke rumah?" Jenar memotongnya kalimat Sarah. Membalas tatapan temannya itu dengan sendu. "Aku ingin pulang."Sarah meraih tangan Jenar. "Jika karena biaya, kamu tidak perlu khawatir. Pak Julian memasukkan semua tagihan atas nama perusahaannya.""Dia memang pria yang bisa diandalkan." Sarah tersenyum mantap sembari mengacungkan jempolnya. Semangatnya seakan diisi ulang. Jenar memandangnya dengan begitu iba. Seakan mengetahui maksud dari perubahan raut wajah temannya, Sarah langsung menurunkan jempolnya."Sorry," gumam Sarah. Jenar menghela napas panjang. "Aku berpikir untuk kem
Malam, kediaman Julian. Jasmine melirik Julian yang baru saja turun dari lantai atas. Pakaiannya sudah diganti dengan kaos seadanya dipadukan celana panjang kain berwarna cokelat muda. "Papa nggak menunggu Jenar di rumah sakit?" Jasmine bertanya, menyela dengan memasukkan sesuap nasi ke dalam mulutnya. Julian menarik kursi di depan Jasmine. "Kamu makan jam segini, tidak takut gendut?" kekehnya. "Umumnya gadis seusia kamu menjaga pola makan di jam begini."Pria itu menatap piring yang penuh dengan nasi. "Sepertinya kamu lain.""Jangan coba-coba mengalihkan pembicaraan," jawab Jasmine. Dipandanginya Julian dengan saksama. "Papa hanya akan mengalihkan pembicaraan jika tidak suka dengan topiknya."Julian hanya tersenyum miring, sembari mengambil nasi di depannya."Aku kira Papa peduli dengannya." Jasmine berucap lagi. "Papa bahkan berlari dari luar kota kembali ke Jakarta, setelah mendengar Jenar melahirkan hari ini."Julian manggut-manggut. "Memang. Momen melahirkan hanya sekali kan?