"Aku ingin menitipkan Jean untuk satu hari. Aku harap kamu mengerti kesibukanku, Jenar."Jenar berdiam diri. Fokusnya hanya untuk Jean. Gadis kecil yang malang, bukan tentang harta tetapi tentang kasih sayang. "Papa akan pulang larut malam, biarkan Jean tidur di sini." Jasmine membuat suara di sisi Jenar. "Aku tidak bisa membawanya pulang malam ini."Jenar menoleh. Ditatapnya Jasmine dalam diam. Senyumnya juga terpaksa diberikan, mencoba membangun kenyamanan di antara mereka berdua. "Kamu gak pulang?" Jenar menyahut ketika tidak ada suara dari Jasmine lagi. "Kamu perlu mandi dan membersihkan dirimu," ucapnya. Jasmine menggelengkan kepalanya. "Aku malas pulang." Dia membuka isi tasnya. "Aku mau bawa baju dan perlengkapan mandi."Dia terdiam ketika Jenar memandangnya dengan aneh. Ada banyak pertanyaan di dalam kepala Jenar sekarang. "Sepertinya aku mandi di rumah ini," kata Jasmine pada akhirnya. "Aku juga akan bermalam di sini." Dia menunduk, entah malu atau takut Jenar menolaknya.
"Kenapa gak masuk?" Jenar menoleh karena pertanyaan itu. Jasmine berdiri di ambang pintu dapur memandang ke arahnya. Jasmine perlahan-lahan berjalan mendekatinya. "Nggak nyaman karena aku ada di sini?" tanyanya dengan lembut. Jasmine duduk di samping Jenar, sedikit bercelah.Jenar menggelengkan kepalanya sembari menghela nafas seadanya. "Kamu nggak belajar? Papamu bilang ini adalah musim ujian, seharusnya kamu lebih banyak belajar."Bahkan, cara Jenar menasehati dirinya pun sudah berubah. Terkesan acuh tak acuh. Mau mengabaikan, rupanya Jenar tidak tega. "Aku sudah pintar. Nggak perlu belajar keras seperti yang lainnya." Jasmine tertawa di penghujung kalimat. "Papa juga mengakui kemampuan itu."Jenar tersenyum miring. Itu sedikit menghibur keresahannya. "Ada yang ingin aku katakan, Jenar." Jasmine memutar tubuhnya serong untuk menatap ke arah Jenar. Tentu saja keraguan menyerbu dirinya."Aku tahu ini terdengar basa-basi, tetapi kamu tidak berniat untuk kembali ke rumah?" tanya Jas
Swalayan kota. Jakarta."Tolong anggurnya satu kilo, pilihkan yang segar." Jenar memamerkan senyumnya. Menunggu penjual buah mengemas pesanannya, dia celingukan ke sana dan kemari. Kiranya mencari apapun yang bisa dia beli sebelum kembali ke rumah pagi ini. "35.000, Bu." Pejual menyodorkan satu plastik anggur pada Jenar. Jenar mengambil uang di dalam dompetnya. Memberikan satu lembar ratusan ribu untuk penjual itu. "Ada uang kecil, Bu? Saya belum ada kembalian." Penjual itu menatap Jenar penuh penyesalan. "Belum ada pembeli sejak buka. Ini juga masih pagi."Jenar terdiam sejenak. Di dalam dompetnya, hanya ada lembar ratusan ribu. Dia tidak memperkirakan keadaan seperti ini sebelumnya."Kalau begitu saya coba tukarkan dulu uangnya ke—""Biar saya yang bayar," jawab seseorang. Suaranya tidak asing untuk Jenar. Benar saja, saat menoleh Luce berdiri di sampingnya. Mengulurkan yang sesuai dengan harga anggurnya.Jenar tersenyum canggung. "Tidak perlu, Nyonya Luce." Dia berusaha menolak.
Beberapa bulan kemudian. Jenar melahirkan. Suasana panik bercampur gelisah. Bahkan sampai detik ini, Jenar seperti dibuang oleh ibunya. Wanita itu bahkan tidak mau meninggalkan pekerjaannya di Malaysia meskipun tahu kalau putrinya melahirkan hari ini. Sarah adalah walinya. Itulah sebabnya dia tidak pernah mau meninggalkan Jenar sendirian, hidup temannya itu memang tidak pernah beruntung dari segi apapun."Sarah!" Julian berlari dari ujung lorong. Raut wajahnya dipenuhi kepanikan. Sarah memang sengaja mengabarinya, tetapi tidak langsung pada dirinya. Julian adalah pria sibuk belakangan ini. Menemuinya adalah hal yang paling sulit untuk dilakukan."Jenar?" Julian terengah-engah. "Lahirannya lancar kan?" tanyanya. Dia berdiri sembari berkacak pinggang. Menatap pintu ruang persalinan. "Maaf aku terlambat."Sarah tidak memberi jawaban sepatah kata pun. Dia mengabaikan kalimat Julian, bahkan sebenarnya dia tidak berharap pria ini datang."Untung ada tetangga yang membantunya." Sarah meng
"Silakan masuk, usahakan satu saja yang menemani." Sarah memberi kesempatan pada Julian untuk menjadi orang pertama yang melihat Jenar dan putranya. Meskipun sebenarnya, dia sudah tidak sabar sejak pertama kali mendengar suara tangisan bayi itu. Julian melangkah hati-hati, seakan tidak mau meninggalkan suara. Akan tetapi, kedatangannya diketahui oleh Jenar. Jenar menoleh dan menetap ke arahnya. Dari bibir pucatnya, perempuan itu tersenyum manis. "Pak Julian?"Julian berusaha mengimbangi suasana. Tidak ingin terlalu canggung di antara mereka berdua. Julian menatap bayi dalam gendongan Jenar. "Dia tampan," gumamanya. Julian mengusap ujung jari mungil itu. "Jari jemarinya begitu cantik."Jenar tersenyum manis. "Aku bersyukur bisa melahirkannya.""Hidungnya mirip sekali denganmu," ucap Julian lagi. "Matanya juga."Keduanya berusaha memaksakan senyuman, meskipun sebenarnya mereka punya kekhawatiran yang sama. Pertanyaan tentang anak siapa ini, masih membekas di dalam kepala Jenar. Nam
Jasmine masuk ke dalam ruangan. Dia melihat Jenar berbaring sembari memangku seorang bayi kecil yang dibungkus kain hangat. Jasmine ditipu oleh Sarah. Wanita itu ternyata tidak mau datang bersamanya, tetapi dia malah mampir ke suatu tempat.Jenar melihat ke ambang pintu. Jasmine berdiri di sana sepertinya berpikir untuk masuk atau pergi lagi."Masuklah." Jenar mengembangkan senyum di atas bibirnya. Sesuai dengan perintahnya Jasmine masuk dan kembali menutup pintu."Kamu bawa pakaianku?" Jenar menata barang bawaan Jasmine yang cukup banyak.Jasmine menganggukkan kepalanya. "Aku tadi datang dulu ke rumah. Ternyata kamu melahirkan hari ini.""Tidak ada yang memberitahu kamu?" Jenar memicingkan matanya atas ketidaktahuan Jasmine. "Aku kira papa kamu memberitahu itu padamu sebelum dia datang ke sini.""Aku saja tidak tahu kalau dia datang ke sini." Jasmine menarik kursi dan duduk tidak jauh dari Jenar. Jasmine menatap wajah pucatnya. "Hari ini seharusnya Papa datang dan mengambil hasil u
"Ini hasil tes DNA-nya, Pak Julian." Julian menerima amplop bersegel resmi dari rumah sakit itu dengan sedikit ragu. Di dalam dirinya, Julian masih belum siap menerima kenyataan apapun. Julian ingin mempercayai Jenar, mungkin fakta akan berkata sebaliknya. Luka akan dia dapat setelah itu. "Pak Julian?" Dokter di depannya membuyarkan lamunan Julian. "Ada masalah?"Julian tersenyum seadanya. Dia menggelengkan kepalanya kemudian. "Tidak. Terimakasih bantuannya, Dok."Julian beranjak dari tempatnya. Dia menepi di lorong rumah sakit yang sedikit gelap. Tidak terlalu lalang orang sebab ini bukan akses untuk pergi ke manapun. "Haruskah aku membukanya sekarang?" Julian dihantui ketakutan yang luar biasa. Keraguan menyerang dirinya tiba-tiba. Julian mendesah panjang. "Jika aku tidak membukanya sekarang, untuk apa kamu melakukannya?" Dia bimbang pada keputusannya sendiri.Julian akhirnya memutuskan untuk membuka amplop itu. Dia mendapatkan dua amplop istimewa. Amplop pertama mengatasnamak
Malam, kediaman Julian. Jasmine melirik Julian yang baru saja turun dari lantai atas. Pakaiannya sudah diganti dengan kaos seadanya dipadukan celana panjang kain berwarna cokelat muda. "Papa nggak menunggu Jenar di rumah sakit?" Jasmine bertanya, menyela dengan memasukkan sesuap nasi ke dalam mulutnya. Julian menarik kursi di depan Jasmine. "Kamu makan jam segini, tidak takut gendut?" kekehnya. "Umumnya gadis seusia kamu menjaga pola makan di jam begini."Pria itu menatap piring yang penuh dengan nasi. "Sepertinya kamu lain.""Jangan coba-coba mengalihkan pembicaraan," jawab Jasmine. Dipandanginya Julian dengan saksama. "Papa hanya akan mengalihkan pembicaraan jika tidak suka dengan topiknya."Julian hanya tersenyum miring, sembari mengambil nasi di depannya."Aku kira Papa peduli dengannya." Jasmine berucap lagi. "Papa bahkan berlari dari luar kota kembali ke Jakarta, setelah mendengar Jenar melahirkan hari ini."Julian manggut-manggut. "Memang. Momen melahirkan hanya sekali kan?
Dua cangkir teh menemani diamnya mereka. Jenar tiba-tiba ingin berbicara serius, padahal kedatangan Julio hanya ingin melihat putranya. "Aku membelikan mainan baru," kata Julio mencoba untuk menghilangkan rasa canggung itu. "Aku tahu kalau putra kita belum bisa bermain, aku hanya ingin membelikannya saja."Julio seakan takut penolakan dari Jenar. "Aku juga merindukan putraku. Aku kebetulan lewat sini, jadi aku langsung mampir," ucapnya lagi. Jenar tersenyum. "Kamu baru datang kemarin. Bagaimana bisa merindukannya secepat itu? Kamu baru pulang dari rumah ini kemarin malam, belum ada satu hari."Julio manggut-manggut. "Rasanya sudah lama sekali tidak melihatnya," celetuknya."Julio, aku ingin ....""Aku tahu kalau aku berlebihan." Julio tiba-tiba memotong kalimat Jenar. "Aku tahu kalau tidak seharusnya aku datang setiap hari dan memberikan itu semua."Julio menghela napas. "Namun, seberapa kuat kamu menolak, itu tetap putraku.""Aku tetap punya hak untuk datang dan melihatnya. Member
Luce's N Property, Jakarta.Jenar duduk sembari memandang keadaan sekitarnya. Suasana begitu asing ketika dia memutuskan untuk masuk ke dalam tempat ini. "Jadi, kamu datang untuk apa?" Luce menyambutnya dengan sedikit aneh, tatapan mata tidak suka melihat Jenar datang tiba-tiba. "Kebetulan aku sibuk hari ini."Jenar tersenyum seadanya. Kepalanya manggut-manggut ringan. "Maaf, karena aku mengganggumu hari ini, Nyonya Luce.""Jadi?" Luce mendesak Jenar untuk segera berbicara. Jujur saja, dia juga penasaran.Jenar menundukkan pandangan mata. Keraguan menyerbu dirinya. Sekarang, Jenar menyesali keputusannya datang kemari tanpa keyakinan dalam hatinya. "Kenapa malah diam?" Luce memecah keheningan. "Sudah aku bilang kalau aku sibuk hari ini. Jika kamu memang tidak ....""Ini tentang Julio." Jenar memberanikan diri untuk menatap Luce. "Sudah sejak beberapa hari yang lalu ketika dia memutuskan untuk pulang ke Indonesia."Luce mengangguk sekali. "Lantas?""Aku yang menyuruhnya untuk pulang k
Jenar dikejutkan dengan kedatangan Jasmine pagi ini. Gadis itu membawa setumpuk buku yang tebal dan terlihat begitu berat. Jasmine meletakkannya di atas meja, lalu tersenyum pada Jenar."Kamu bisa membaca ini." Jasmine duduk di tengah sofa. Memberi perintah Jenar untuk duduk bersamanya.Jenar hendak pergi, sebenarnya. Sayang sekali, gadis ini membuatnya tertahan. Dia harus menunda kepergiannya, mungkin untuk beberapa menit hingga jam ke depan."Ayo duduk." Jasmine memberi perintah lagi sembari mengetuk meja di depannya. "Aku yakin ini akan menjawab keraguanmu."Jenar memandangnya tak mengerti. Namun, dia tidak punya pilihan lain untuk menurutinya. Jenar terpaksa duduk dan meladeni Jasmine hari ini. "Apa yang kamu maksudkan?" Jenar membuka salah satu buku di depannya. Alangkah terkejutnya Jenar, ketika dia melihat biodata Julio yang membuka halaman pertama. Jenar memandang Jasmine lagi. "Apa-apaan ini?" tanyanya. "Kenapa kamu memberi buku seperti ini padaku?""Bukan hanya satu, di ba
Jenar ingin sekali mengusirnya, tetapi dia tidak tega melakukan itu. Bukan soal Julio, tetapi bagaimana perasaan putranya? "Dia tampan sekali," gumam Julio sembari mengusap lembut pipi putranya dengan ujung jarinya. "Dia mirip denganmu."Jenar hanya berdiri di ambang pintu. Kepalanya sesekali menunduk, padahal dia tidak salah apapun. "Sudah memberi nama?" tanyanya. Julio menoleh ke arah Jenar. Jenar menggelengkan kepalanya. "Aku tidak tahu nama yang bagus untuk dia."Julio terkekeh. "Lalu selama ini kamu memanggilnya bagaimana?"Jenar lagi-lagi menggelengkan kepalanya. Sekarang dia tidak berucap sepatah kata pun. Julio menatap putranya lagi. "Bolehkah aku yang memberi nama? Aku sudah memikirkannya sejak turun dari pesawat.""Perjalanan kemari aku menyusun nama panjang untuknya," kata Julio lagi. Keduanya saling memandang.Jenar manggut-manggut. "Itu adalah putramu juga.""Bayu Kalandra Joe." Julian menoleh pada Jenar lagi. "Kita bisa memanggilnya Bayu."Jenar langsung mengembangkan
Hari demi hari berlalu begitu saja. Jenar hanya berharap keadaan jauh lebih baik. Dia hanya ingin membesarkan putranya tanpa harus memberi penderitaan pada bayi kecil tak bersalah itu. "Jenar!" Jasmine memanggilnya. Jenar yang hendak masuk ke dalam rumah, harus kembali terhenti. Dia menyambut kedatangan Jasmine dengan senyuman."Baru pulang sekolah?" Jenar menatap penampilan gadis itu. Seragam sekolah masih rapi membungkus tubuhnya. Jasmine menganggukkan kepala. "Begitulah." Sekarang dia lebih lunak pada Jenar. Toh juga tidak ada yang perlu ditutupi, dia mulai mengakui segalanya. "Aku tadi lewat toko kue, aku beli satu buat kamu." Jasmine menyodorkan kue dalam kantung plastik hitam. "Kamu suka keju kan?"Jenar mengembangkan senyum di atas bibirnya. "Makasih banyak.""Kalau kamu belum makan siang, kamu bisa makan di sini dulu." Jenar menawarkan. "Aku buat ayam tepung."Jasmine menganggukkan kepala. "Bolehkah?" "Tentu saja. Kamu boleh menghabiskan semuanya." Jenar tertawa kecil semb
"Aku tidak bisa menemui Julio." Jenar menundukkan pandangan mata. Rasa bersalah masih menguasai dirinya acap kali melihat Julian. Julian tersenyum dan menyeruput teh yang dibuatkan Jenar untuknya. Kepalanya mengangguk, bukan berarti dia menyetujui kalimat Jenar. Julian hanya berusaha memahami perasaannya. "Lebih tepatnya kamu tidak mau, kan?" tanya Julian. "Benar kata Jasmine, ternyata kamu berusaha kabur dari kesalahanmu."Jenar tidak menyangka akan mendengar kalimat seperti itu dari mulut Julian. Julian meletakkan cangkir teh di atas meja. "Katanya kamu mau pergi keluar Jakarta. Kamu tidak akan kembali dan kamu meminta Jasmine untuk membantu kepergianmu secara diam-diam."Jenar tidak bisa menjawab. Dia mengaku salah."Apa yang kamu inginkan dari keputusan itu?" tanya Julian. "Kamu menginginkan ketenangan?"Jenar menggelengkan kepalanya tak yakin. "Jangan-jangan kamu berpikir, kalau kamu akan terbebas dari dosa jika pergi dari Jakarta," kekeh Julian pelan. "Aku pikir kamu tidak s
Beberapa hari kemudian. Jenar meletakkan tas jinjing di atas meja, sedangkan Sarah sibuk menurunkan barang-barang dari taksi yang mengantar mereka pulang ke rumah. Jenar lega, akhirnya dia kembali mencium aroma rumah. Suasana rumah sakit benar-benar membosankan untuk dirinya."Aku harus kembali kerja setelah makan siang," ucap Sarah. "Aku sudah libur beberapa hari untuk menunggu kamu di rumah sakit. Aku tidak bisa libur lagi."Jenar menganggukkan kepalanya paham. "Maaf, karena aku jadi merepotkan kamu."Jenar menggelengkan kepalanya. "Kamu seharusnya bisa fokus pada pekerjaan kamu.""Tidak masalah." Sarah meliriknya. "Aku juga tidak akan bisa fokus kerja kalau meninggalkan kamu sendirian.""Sekarang aku jadi bisa lebih fokus, kamu sudah pulang." Sarah menutup kalimatnya. Dia menata barang-barang itu di sudut ruangan.Jenar tersenyum manis. "Makasih, Sar." "Sama-sama." Sarah menyelesaikan aktivitasnya. Dia berjalan mendekati Jenar. Jari jemarinya mengusap wajah tampan bayi di atas g
Rumah sakit persalinan, Jakarta.Tidak ada yang berani berbicara. Sarah melirik Jenar sesekali, kembali menunduk dan bermain dengan jari jemarinya. Helaan napas sesekali terdengar begitu berat dan penuh beban. Kenyatannya, tidak ada yang berani menghadapi keadaan yang ada. "Haruskah aku mengabari Julio?" Sarah memberanikan diri. Pandangan matanya tak lepas dari Jenar. "Aku akan ....""Bisakah besok kita pulang ke rumah?" Jenar memotongnya kalimat Sarah. Membalas tatapan temannya itu dengan sendu. "Aku ingin pulang."Sarah meraih tangan Jenar. "Jika karena biaya, kamu tidak perlu khawatir. Pak Julian memasukkan semua tagihan atas nama perusahaannya.""Dia memang pria yang bisa diandalkan." Sarah tersenyum mantap sembari mengacungkan jempolnya. Semangatnya seakan diisi ulang. Jenar memandangnya dengan begitu iba. Seakan mengetahui maksud dari perubahan raut wajah temannya, Sarah langsung menurunkan jempolnya."Sorry," gumam Sarah. Jenar menghela napas panjang. "Aku berpikir untuk kem
Malam, kediaman Julian. Jasmine melirik Julian yang baru saja turun dari lantai atas. Pakaiannya sudah diganti dengan kaos seadanya dipadukan celana panjang kain berwarna cokelat muda. "Papa nggak menunggu Jenar di rumah sakit?" Jasmine bertanya, menyela dengan memasukkan sesuap nasi ke dalam mulutnya. Julian menarik kursi di depan Jasmine. "Kamu makan jam segini, tidak takut gendut?" kekehnya. "Umumnya gadis seusia kamu menjaga pola makan di jam begini."Pria itu menatap piring yang penuh dengan nasi. "Sepertinya kamu lain.""Jangan coba-coba mengalihkan pembicaraan," jawab Jasmine. Dipandanginya Julian dengan saksama. "Papa hanya akan mengalihkan pembicaraan jika tidak suka dengan topiknya."Julian hanya tersenyum miring, sembari mengambil nasi di depannya."Aku kira Papa peduli dengannya." Jasmine berucap lagi. "Papa bahkan berlari dari luar kota kembali ke Jakarta, setelah mendengar Jenar melahirkan hari ini."Julian manggut-manggut. "Memang. Momen melahirkan hanya sekali kan?