"Aku ingin bicara sama kamu, Julian.""Ini penting sekali jadi, aku harap kamu mau datang dan menyempatkan waktu." Julian datang karena pesan itu. Dia tidak bisa mengabaikan Luce, setelah semua bantuan yang dikirim Luce untuk menopang perusahannya. "Katanya mau bicara?" Julian memulai. Menu makanan yang mereka pesan sudah datang semua, jadi tidak akan ada yang mengganggu pembicaraan mereka.Luce tidak benar-benar yakin mengatakan semua ini. Pada kenyataannya, dia sedikit ragu. Keputusannya tidak benar-benar mantap untuk dia lakukan. "Kenapa malah diam saja?" Julian mencoba untuk menebak apa kiranya yang akan menjadi topik pembicaraan mereka. "Bukan tentang bisnis?"Luce menggelengkan kepala. "Sebelum aku mengatakan itu, aku ingin bertanya sesuatu padamu."Julian manggut-manggut. "Katakan saja. Aku akan mendengarnya.""Belakangan ini apakah kamu melihat sesuatu yang aneh pada Julio?" Luce menatap Julian tanpa jeda. "Mungkin dia menunjukkan perilaku yang tidak biasanya."Julian menco
"Jangan menggodaku!" Jenar berusaha mendorong tubuh Julio agar menjauh darinya. "Aku bilang aku tidak nyaman kalau kamu begitu terus!" Jenar menggerutu habis-habisan sejak turun dari bus kota, sedangkan Julio tak mau berhenti untuk menempel padanya. "Kalau ada orang yang lihat, nanti mereka salah paham!" Jenar menggerutu lagi.Tetap keras kepala, Julio terus mengikuti kemanapun Jenar pergi. Hingga mereka tidak sadar, jikalau keduanya sudah berada di depan halaman rumah. "Julio!" "Bukankah ini hal yang mau jadi lakukan oleh ibu dan anak tirinya?" kekeh Julio. "Kita mencoba saling akrab satu sama lain, Jenar."Jenar mendesah panjang. "Kamu ini!" "Bukankah itu yang kamu mau sejak dulu?" Julio tertawa. "Sekarang ini aku hanya sedang mengabulkan permintaanmu saja."Jenar berhenti sejenak, sebelum akhirnya dia kembali melanjutkan langkah kaki. Jenar masuk ke dalam rumah. "Mas Julian?" Dia terkejut ketika Julian sudah berdiri di ambang pintu, tidak menyangka kalau suaminya akan pulang
"Papa tahu apa yang sudah kamu lakukan dengan Jenar.""Julio, Papa tidak akan menghukum kamu atau Jenar. Akan tetapi, Papa harus memisahkan kalian berdua.""Papa tidak bisa membiarkan kalian terus bersama, itu akan berdampak buruk pada keluarga kita.""Apa yang Papa takutkan? Papa takut aku akan tidur dengan Jenar lagi? Itu hanya kesalahan! Kita tidak akan mengulanginya lagi. Jenar juga tidak mau! Aku yakin itu!""Papa hanya takut ... jika Jenar menyukaimu."Julio berdiam diri. Dia memilih menepi dari orang-orang di rumahnya. Julio sedang tidak ingin diganggu oleh siapa pun malam ini. Dia berharap semua orang memahaminya. Sayangnya, tidak untuk Jasmine. Dia mendapati Julio sendirian di taman belakang rumah. "Kakak nggak masuk?" tanya Jasmine mendekatinya. Julio mendongak. "Pergi saja, jangan ganggu aku." Dia menolak kedatangan Jasmine mentah-mentah. "Aku sedang tidak mau diganggu."Bukan Jasmine kalau menurut begitu saja pada Julio. Julio mengerutkan dahi ketika melihat Jasmine m
Ada satu pertanyaan di dalam hati Jenar sejak mendengar pembicaraan antara Jasmine dan Julio beberapa hari yang lalu. Julio seperti menyembunyikan sesuatu, alasan dia memutuskan untuk pergi ke luar negeri. Julio tidak pernah mau bercerita pada Jenar meskipun dirinya sudah memaksa beberapa kali. Julio bahkan mengabaikan rengekan Jasmine untuk menahannya tetap ada di sini. Tidak ada angin tidak ada hujan, hari ini Jenar mengantar putra tirinya tertua itu ke bandara untuk pergi ke luar negeri. "Papa kamu akan segera datang, Jasmine pamit sebentar untuk ke kamar mandi." Jenar berusaha untuk bersikap netral, meskipun sebenarnya dia juga enggan membiarkan Julio pergi begitu saja.Julio tidak memberi jawaban. Belakangan ini dia jadi lebih pendiam. "Kamu sudah yakin akan tinggal di Amerika?" Jenar bertanya dengan lembut. Dia memandang Julio yang sedari tadi terkesan tak acuh pada dirinya."Aku bukannya mau ikut campur dengan urusanmu, aku berhak tahu kan ke mana kamu pergi?" Jenar begitu
Kediaman Julian. "Katakan padaku sebenarnya ada apa?" Jenar mendesak Julian untuk berbicara. "Aku tahu ada yang disembunyikan dari diriku."Julian berusaha mengabaikan istrinya. Dia tidak mau berdebat di hari pertama dirinya kehilangan putranya. Kalau dia boleh jujur, Julian juga tidak rela membiarkan Julio pergi sendirian begitu tanpa persiapan apapun. "Mas Julian!" Jenar menarik pergelangan tangan Julian yang hendak masuk ke dalam kamar. Julian menoleh dan menatapnya. Jenar berharap suaminya akan berkata sesuatu untuk melegakan hatinya sejak pulang dari bandara beberapa menit yang lalu. Sayang sekali, Julian tidak berkata apapun. Dia hanya menatap Jenar dalam kekosongan yang besar. Jenar juga tidak bisa memahami isi kepalanya. "Katanya kamu tidak mau menyimpan rahasia dariku, tetapi sekarang kamu terang-terangan menyimpan rahasia itu dariku." Jenar memprotesnya.Jenar akan melakukan segala cara untuk membuat suaminya berbicara. Jika apa kata Jasmine tadi benar, kepergian Julio
Jenar mendatangi Luce. Pertanyaan tentang alasan kenapa Julio tiba-tiba pergi meninggalkan Indonesia, adalah alasan yang kuat membuatnya berakhir di tempat ini.Jenar menunggu cukup lama, Luce katanya pergi sebentar membuatkan teh untuknya. "Maaf menunggu lama," ucap Luce datang dari dapur. Dia membawa dua cangkir teh di atas nampan. Jenar tersenyum seadanya. Dia berharap bisa lebih akrab dengan Luce Wileen sebenarnya. Namun, kecanggungan membatasi dirinya."Aku kaget saat tahu kamu adalah tamuku," imbuh Luce sembari menurunkan cangkir dari atas nampan. Jenar belum berbicara sepatah katapun. Dia hanya tersenyum, sesekali menatap Luce.Luce terdiam sejenak. Ikut memandang Jenar."Sepertinya ada yang ingin kamu bicarakan." Luce duduk di atas sofa berhadapan dengan Jenar. "Penting?"Jenar mengangguk ragu. "Ini tentang Julio."Luce langsung mengerti apa yang dimaksudkan Jenar. Sebenarnya dia sudah menunggu Jenar datang dan membicarakan ini empat mata dengannya. Ternyata kedatangan Jena
"Jangan menyakiti Julian lebih dalam." Kalimat Luce membuat Jenar tidak bisa fokus sepanjang jalan. Langkah kaki yang dia tempuh tanpa arah tujuan yang pasti, tiba-tiba membawanya kembali ke rumah Julian.Jenar hanya punya rasa bersalah dalam dirinya. Dia tidak bisa memberi pembenaran, karena memang dia bersalah."Mama!" Suara Jean tiba-tiba terdengar dari ambang pintu kamarnya. Jenar menoleh ketika gadis kecil itu berlari dengan membawa selembar kertas diikuti pembantunya. Jenar tersenyum. "Ada apa?" Dia berusaha menutupi kesedihannya. Jean tidak boleh tahu luka yang dia dapatkan hari ini. "Aku dapat nilai 100!" Jean memamerkan hasil gambarnya. "Guruku bilang Jean akan jadi seniman yang hebat!"Jenar tersenyum semakin lebar. Dia mengusap puncak kepala putrinya. "Kerja yang bagus, Jean.""Mama Jenar juga yakin kalau suatu saat nanti kamu akan menjadi seniman yang hebat, kamu suka melukis?" tanya Jenar. Jean manggut-manggut. "Sangat suka!" "Kalau begitu, nanti Mama akan hadiahkan
Jenar duduk di hadapan Julian. Dia mengumpulkan banyak keberanian untuk menatap suaminya."Ada yang ingin kamu bicarakan denganku?" tanya Julian. "Sepertinya ada yang ingin kamu sampaikan."Julian meletakkan koran di atas meja. Pandangan mata yang sekarang hanya untuk Jenar. "Kamu mau membicarakan tentang Julio? Sudah aku bilang dia pergi ke luar negeri karena keputusannya.""Aku tahu semuanya." Jenar tiba-tiba berbicara aneh. Kalimatnya tidak tentu arah.Julian memandangnya dengan serius. "Kamu tahu tentang apa?" tanyanya. Julian masih bingung dengan Jenar yang tiba-tiba begini. "Apa yang kamu lakukan dengan Luce saat kamu pergi bisnis, kamu sering mampir ke rumahnya, hubungan kalian yang ada di belakangku." Jenar memberanikan diri untuk membahas ini.Seharian penuh dia tidak fokus. Jenar tidak bisa melupakan permasalahan ini begitu saja.Julian mengubah raut wajahnya, terkejut bercampur sedih dalam waktu yang sama. Jenar tahu lebih cepat dari dugaannya. "Benarkah kamu tahu semuany
Dua cangkir teh menemani diamnya mereka. Jenar tiba-tiba ingin berbicara serius, padahal kedatangan Julio hanya ingin melihat putranya. "Aku membelikan mainan baru," kata Julio mencoba untuk menghilangkan rasa canggung itu. "Aku tahu kalau putra kita belum bisa bermain, aku hanya ingin membelikannya saja."Julio seakan takut penolakan dari Jenar. "Aku juga merindukan putraku. Aku kebetulan lewat sini, jadi aku langsung mampir," ucapnya lagi. Jenar tersenyum. "Kamu baru datang kemarin. Bagaimana bisa merindukannya secepat itu? Kamu baru pulang dari rumah ini kemarin malam, belum ada satu hari."Julio manggut-manggut. "Rasanya sudah lama sekali tidak melihatnya," celetuknya."Julio, aku ingin ....""Aku tahu kalau aku berlebihan." Julio tiba-tiba memotong kalimat Jenar. "Aku tahu kalau tidak seharusnya aku datang setiap hari dan memberikan itu semua."Julio menghela napas. "Namun, seberapa kuat kamu menolak, itu tetap putraku.""Aku tetap punya hak untuk datang dan melihatnya. Member
Luce's N Property, Jakarta.Jenar duduk sembari memandang keadaan sekitarnya. Suasana begitu asing ketika dia memutuskan untuk masuk ke dalam tempat ini. "Jadi, kamu datang untuk apa?" Luce menyambutnya dengan sedikit aneh, tatapan mata tidak suka melihat Jenar datang tiba-tiba. "Kebetulan aku sibuk hari ini."Jenar tersenyum seadanya. Kepalanya manggut-manggut ringan. "Maaf, karena aku mengganggumu hari ini, Nyonya Luce.""Jadi?" Luce mendesak Jenar untuk segera berbicara. Jujur saja, dia juga penasaran.Jenar menundukkan pandangan mata. Keraguan menyerbu dirinya. Sekarang, Jenar menyesali keputusannya datang kemari tanpa keyakinan dalam hatinya. "Kenapa malah diam?" Luce memecah keheningan. "Sudah aku bilang kalau aku sibuk hari ini. Jika kamu memang tidak ....""Ini tentang Julio." Jenar memberanikan diri untuk menatap Luce. "Sudah sejak beberapa hari yang lalu ketika dia memutuskan untuk pulang ke Indonesia."Luce mengangguk sekali. "Lantas?""Aku yang menyuruhnya untuk pulang k
Jenar dikejutkan dengan kedatangan Jasmine pagi ini. Gadis itu membawa setumpuk buku yang tebal dan terlihat begitu berat. Jasmine meletakkannya di atas meja, lalu tersenyum pada Jenar."Kamu bisa membaca ini." Jasmine duduk di tengah sofa. Memberi perintah Jenar untuk duduk bersamanya.Jenar hendak pergi, sebenarnya. Sayang sekali, gadis ini membuatnya tertahan. Dia harus menunda kepergiannya, mungkin untuk beberapa menit hingga jam ke depan."Ayo duduk." Jasmine memberi perintah lagi sembari mengetuk meja di depannya. "Aku yakin ini akan menjawab keraguanmu."Jenar memandangnya tak mengerti. Namun, dia tidak punya pilihan lain untuk menurutinya. Jenar terpaksa duduk dan meladeni Jasmine hari ini. "Apa yang kamu maksudkan?" Jenar membuka salah satu buku di depannya. Alangkah terkejutnya Jenar, ketika dia melihat biodata Julio yang membuka halaman pertama. Jenar memandang Jasmine lagi. "Apa-apaan ini?" tanyanya. "Kenapa kamu memberi buku seperti ini padaku?""Bukan hanya satu, di ba
Jenar ingin sekali mengusirnya, tetapi dia tidak tega melakukan itu. Bukan soal Julio, tetapi bagaimana perasaan putranya? "Dia tampan sekali," gumam Julio sembari mengusap lembut pipi putranya dengan ujung jarinya. "Dia mirip denganmu."Jenar hanya berdiri di ambang pintu. Kepalanya sesekali menunduk, padahal dia tidak salah apapun. "Sudah memberi nama?" tanyanya. Julio menoleh ke arah Jenar. Jenar menggelengkan kepalanya. "Aku tidak tahu nama yang bagus untuk dia."Julio terkekeh. "Lalu selama ini kamu memanggilnya bagaimana?"Jenar lagi-lagi menggelengkan kepalanya. Sekarang dia tidak berucap sepatah kata pun. Julio menatap putranya lagi. "Bolehkah aku yang memberi nama? Aku sudah memikirkannya sejak turun dari pesawat.""Perjalanan kemari aku menyusun nama panjang untuknya," kata Julio lagi. Keduanya saling memandang.Jenar manggut-manggut. "Itu adalah putramu juga.""Bayu Kalandra Joe." Julian menoleh pada Jenar lagi. "Kita bisa memanggilnya Bayu."Jenar langsung mengembangkan
Hari demi hari berlalu begitu saja. Jenar hanya berharap keadaan jauh lebih baik. Dia hanya ingin membesarkan putranya tanpa harus memberi penderitaan pada bayi kecil tak bersalah itu. "Jenar!" Jasmine memanggilnya. Jenar yang hendak masuk ke dalam rumah, harus kembali terhenti. Dia menyambut kedatangan Jasmine dengan senyuman."Baru pulang sekolah?" Jenar menatap penampilan gadis itu. Seragam sekolah masih rapi membungkus tubuhnya. Jasmine menganggukkan kepala. "Begitulah." Sekarang dia lebih lunak pada Jenar. Toh juga tidak ada yang perlu ditutupi, dia mulai mengakui segalanya. "Aku tadi lewat toko kue, aku beli satu buat kamu." Jasmine menyodorkan kue dalam kantung plastik hitam. "Kamu suka keju kan?"Jenar mengembangkan senyum di atas bibirnya. "Makasih banyak.""Kalau kamu belum makan siang, kamu bisa makan di sini dulu." Jenar menawarkan. "Aku buat ayam tepung."Jasmine menganggukkan kepala. "Bolehkah?" "Tentu saja. Kamu boleh menghabiskan semuanya." Jenar tertawa kecil semb
"Aku tidak bisa menemui Julio." Jenar menundukkan pandangan mata. Rasa bersalah masih menguasai dirinya acap kali melihat Julian. Julian tersenyum dan menyeruput teh yang dibuatkan Jenar untuknya. Kepalanya mengangguk, bukan berarti dia menyetujui kalimat Jenar. Julian hanya berusaha memahami perasaannya. "Lebih tepatnya kamu tidak mau, kan?" tanya Julian. "Benar kata Jasmine, ternyata kamu berusaha kabur dari kesalahanmu."Jenar tidak menyangka akan mendengar kalimat seperti itu dari mulut Julian. Julian meletakkan cangkir teh di atas meja. "Katanya kamu mau pergi keluar Jakarta. Kamu tidak akan kembali dan kamu meminta Jasmine untuk membantu kepergianmu secara diam-diam."Jenar tidak bisa menjawab. Dia mengaku salah."Apa yang kamu inginkan dari keputusan itu?" tanya Julian. "Kamu menginginkan ketenangan?"Jenar menggelengkan kepalanya tak yakin. "Jangan-jangan kamu berpikir, kalau kamu akan terbebas dari dosa jika pergi dari Jakarta," kekeh Julian pelan. "Aku pikir kamu tidak s
Beberapa hari kemudian. Jenar meletakkan tas jinjing di atas meja, sedangkan Sarah sibuk menurunkan barang-barang dari taksi yang mengantar mereka pulang ke rumah. Jenar lega, akhirnya dia kembali mencium aroma rumah. Suasana rumah sakit benar-benar membosankan untuk dirinya."Aku harus kembali kerja setelah makan siang," ucap Sarah. "Aku sudah libur beberapa hari untuk menunggu kamu di rumah sakit. Aku tidak bisa libur lagi."Jenar menganggukkan kepalanya paham. "Maaf, karena aku jadi merepotkan kamu."Jenar menggelengkan kepalanya. "Kamu seharusnya bisa fokus pada pekerjaan kamu.""Tidak masalah." Sarah meliriknya. "Aku juga tidak akan bisa fokus kerja kalau meninggalkan kamu sendirian.""Sekarang aku jadi bisa lebih fokus, kamu sudah pulang." Sarah menutup kalimatnya. Dia menata barang-barang itu di sudut ruangan.Jenar tersenyum manis. "Makasih, Sar." "Sama-sama." Sarah menyelesaikan aktivitasnya. Dia berjalan mendekati Jenar. Jari jemarinya mengusap wajah tampan bayi di atas g
Rumah sakit persalinan, Jakarta.Tidak ada yang berani berbicara. Sarah melirik Jenar sesekali, kembali menunduk dan bermain dengan jari jemarinya. Helaan napas sesekali terdengar begitu berat dan penuh beban. Kenyatannya, tidak ada yang berani menghadapi keadaan yang ada. "Haruskah aku mengabari Julio?" Sarah memberanikan diri. Pandangan matanya tak lepas dari Jenar. "Aku akan ....""Bisakah besok kita pulang ke rumah?" Jenar memotongnya kalimat Sarah. Membalas tatapan temannya itu dengan sendu. "Aku ingin pulang."Sarah meraih tangan Jenar. "Jika karena biaya, kamu tidak perlu khawatir. Pak Julian memasukkan semua tagihan atas nama perusahaannya.""Dia memang pria yang bisa diandalkan." Sarah tersenyum mantap sembari mengacungkan jempolnya. Semangatnya seakan diisi ulang. Jenar memandangnya dengan begitu iba. Seakan mengetahui maksud dari perubahan raut wajah temannya, Sarah langsung menurunkan jempolnya."Sorry," gumam Sarah. Jenar menghela napas panjang. "Aku berpikir untuk kem
Malam, kediaman Julian. Jasmine melirik Julian yang baru saja turun dari lantai atas. Pakaiannya sudah diganti dengan kaos seadanya dipadukan celana panjang kain berwarna cokelat muda. "Papa nggak menunggu Jenar di rumah sakit?" Jasmine bertanya, menyela dengan memasukkan sesuap nasi ke dalam mulutnya. Julian menarik kursi di depan Jasmine. "Kamu makan jam segini, tidak takut gendut?" kekehnya. "Umumnya gadis seusia kamu menjaga pola makan di jam begini."Pria itu menatap piring yang penuh dengan nasi. "Sepertinya kamu lain.""Jangan coba-coba mengalihkan pembicaraan," jawab Jasmine. Dipandanginya Julian dengan saksama. "Papa hanya akan mengalihkan pembicaraan jika tidak suka dengan topiknya."Julian hanya tersenyum miring, sembari mengambil nasi di depannya."Aku kira Papa peduli dengannya." Jasmine berucap lagi. "Papa bahkan berlari dari luar kota kembali ke Jakarta, setelah mendengar Jenar melahirkan hari ini."Julian manggut-manggut. "Memang. Momen melahirkan hanya sekali kan?