Di Gudang Tua Tak lama kemudian, mobil van itu berhenti. Lelaki bertopeng itu menutup mata Niel sebelum mereka membawa Niel keluar. Sedangkan Nandia, karena wanita itu masih pingsan, jadi salah satu diantara mereka menggendongnya. Saat mereka sudah berada di sebuah kamar, barulah ikatan kepala Niel dibuka. “Mama… bangun Ma. Kenapa kita dibawa ke sini? Niel takut, Ma!” bisik Niel, memeluk ibunya dengan erat. Samar-samar, Nandia yang mendengar suara sang putra pun membuka mata. Ingatannya beralih pada kejadian setelah pulang dari Mall tadi. Ada beberapa orang yang mencoba menculiknya. Niel kembali memeluk ibunya. Merasa senang karena sang ibu ternyata tidak apa-apa. "Mama baik-baik saja?" Tanya Niel khawatir. Nandia mengangguk. Mengusap air mata putranya yang menangis karena ketakutan. “Tenang, sayang. Mama baik-baik saja kok,” jawab Nandia sambil memeluk erat sang putra. Tak lama, pintu terbuka. Beberapa lelaki berbaju hitam masuk ke dalam dan mengikat tangan keduanya. Nandia
Niel memegang erat jam tangannya, sedikit gemetar tetapi matanya berbinar saat ingatannya melayang pada sosok yang sangat dia percayai. Dia mengenang momen ketika pertama kali bertemu Reihan, lelaki baik hati yang selalu memberikannya perhatian. Saat itu, Reihan memberikannya jam tangan khusus dengan fitur rahasia, dan berkata, “Kalau kamu kangen Uncle atau butuh bantuan, pencet tombol hijau ini, ya, Niel.” Nandia memperhatikan putranya yang tengah menatap jam itu dengan penuh harap. “Niel, apa ada yang kamu ingat?” tanya Nandia mencoba meredakan ketegangan yang mereka hadapi. Niel menatap ibunya dengan mata penuh harap. “Mama, dulu, Uncle Reihan bilang kalau aku pencet tombol hijau ini, dia akan datang. Apa menurut Mama, dia benar-benar akan datang ke sini?” Meskipun hatinya ragu, Nandia tersenyum, berusaha menenangkan putranya. “Tidak ada salahnya mencoba, Niel. Kamu pencet aja tombol hijaunya, siapa tahu berfungsi dan kita bisa segera keluar dari sini." Niel mengangguk pelan
Reihan memandang pesan darurat dari Niel di layar ponselnya dengan ekspresi bingung. “Jam tangan itu…” gumamnya pelan. Ingatannya kembali ke hari saat dia memberikan hadiah itu kepada Niel. Jam tangan dengan fitur GPS khusus yang hanya bisa diaktifkan jika ada situasi mendesak. “Kalau kamu kangen atau butuh Uncle, pencet tombol hijau ini,” katanya pada Niel waktu itu. Namun, dia tak pernah benar-benar berharap Niel akan menggunakannya. Kini, kenyataan bahwa Niel mengaktifkannya membuat Reihan cemas. Reihan cepat-cepat mengenakan jaketnya dan bergegas keluar. “Kalau Niel menggunakannya, berarti mereka dalam bahaya atau… mungkin dia hanya merindukanku,” pikir Reihan sambil berusaha menenangkan dirinya. Dia langsung menuju rumah Nandia, berharap mereka hanya sedang di sana dan baik-baik saja. Saat tiba di rumah Nandia, ia segera mengetuk pintu. Tak lama kemudian, seorang pembantu membukakan pintu dan terlihat kaget melihat Reihan. “Tuan Reihan, ada apa ya malam-malam begini?” tanyany
Melihat tubuh Niel yang tiba-tiba menggigil, Reihan pun panik. Begitu juga dengan Nandia."Nandia, kita harus ke rumah sakit dahulu. Kita tidak bisa membiarkan keadaan Niel seperti itu," kata Reihan.Nandia memegang dahi Niel yang tiba-tiba saja mengalami demam. Meski dia tak ingin ke rumah sakit, mau tak mau, dia pun menganggukkan kepalanya.Reihan pun mencari rumah sakit terdekat. Kalau harus menunggu sampai kota, dia takut kondisi Niel bertambah parah. Reihan melirik keadaan Niel lewat kaca spion.“Tenang saja, kita akan segera sampai. Menurut map, 10 kilo dari sini ada rumah sakit,” ujar Reihan, mencoba memberi ketenangan.Nandia mengangguk lemah. “Terima kasih, Reihan. Aku tidak tahu harus bagaimana kalau tidak ada kamu.”Reihan menatapnya sejenak, menyunggingkan senyum kecil. “Sudah menjadi tugasku untuk melindungi kalian. Kalian keluarga bagiku.”Setibanya di rumah sakit, Reihan langsung membawa Niel dan Nandia masuk ke ruang gawat darurat. Seorang perawat menghampiri dan langs
Saat mereka akan membuka pintu ruang perawatan Niel, sosok tak terduga muncul di hadapan mereka—Danu. Dia berdiri dengan wajah dingin, matanya menatap tajam ke arah mereka bertiga."Danu!" Reihan langsung menghentikan langkahnya, berdiri di depan Nandia dan Niel seolah-olah sebagai tameng. “Apa yang kau lakukan di sini, Danu?” tanyanya dengan nada tajam. Danu tersenyum tipis, tetapi matanya penuh kecurigaan. “Haruskah aku bertanya hal yang sama padamu, Reihan? Mengapa kamu berada disini dengan istri dan juga anakku? Apa yang kalian lakukan? Apa kamu berselingkuh dengan istriku?” Reihan menahan kemarahannya. “Aku ada di sini karena mereka membutuhkan pertolonganku. Sementara kau… apa kau benar-benar peduli pada mereka? Atau kamulah yang sebenarnya menculik mereka?” Danu mengangkat alisnya, berpura-pura terkejut. “Jangan menebar fitnah, Reihan. Apa kau sedang mencoba menuduhku? Aku ke sini hanya ingin memastikan keadaan mereka, karena Galih bilang mereka tidak pulang semalam.” Nand
"Aku harus membuatnya sibuk dengan diriku... bagaimanapun caranya." gumam Diana, sambil mengepalkan tangannya.. Di dalam apartemennya, Diana berdiri menatap bayangannya di cermin. Rencananya sudah sejauh ini. Dia tak ingin gagal hanya karena Danu meninggalkannya demi menolong Nandia. Dia tahu, Danu akan lebih memilih untuk menolong Nandia jika terjadi sesuatu, kecuali jika keadaannya dalam keadaan darurat. Senyum mengembang di bibirnya saat terbesit satu ide gila di kepalanya. Sebuah rencana yang penuh risiko, tapi ini mungkin satu-satunya cara agar Danu tak lagi memikirkan Nandia-dengan membuat dirinya terlihat rapuh dan memaksa Danu untuk terus berada di sisinya."Aku yakin, setelah ini, kamu tidak akan pernah meninggalkanku, Danu!" --- Saat Danu hendak pulang, Diana mengirimkan beberapa pesan padanya. Lelaki itu hanya melihat sekilas, kemudian memilih mengabaikan pesan-pesan ancaman dari Diana. Danu sudah lelah dengan ancaman Diana. Di layar ponselnya, pesan-pesan wanita
"Diana!" Danu berlari mendekati Diana yang tergeletak di lantai. Wanita itu sudah tak sadarkan diri. Darah terus mengalir dari pergelangan tangannya. Sepertinya, wanita sudah dari tadi menyayat nadinya hingga darah pun merembes hingga ke lantai. Danu begidik ngeri melihatnya. "Diana!" Danu segera berlutut di sampingnya, mengguncang tubuh wanita itu dengan lembut, mencoba membangunkannya. "Diana, bangunlah! Kenapa kamu melakukan ini!" Tak ada reaksi. Wajah Diana tampak pucat pasi, matanya setengah terbuka namun tanpa fokus. Danu segera meraih teleponnya, menelepon ambulans dengan tangan gemetar. Setelah itu, ia mengambil handuk terdekat dan menekannya ke pergelangan tangan Diana, mencoba menghentikan pendarahan sebisanya. “Diana, dengarkan aku,” ucapnya pelan namun penuh kepanikan. “Bertahanlah… ambulans akan segera datang. Aku di sini, jangan menyerah.” Beberapa menit yang terasa sangat lama, akhirnya suara sirene terdengar. Paramedis datang dan langsung menangani Diana, mem
Danu tak lagi mempedulikan Diana. Begitu Galih memberitahukan Nandia tidak pulang, dunia seakan runtuh. Ia berdiri dengan cepat, dengan tergesa-gesa, dia melangkah keluar. “Danu … kamu mau kemana? Kamuu akan meninggalkanku sekarang?” Diana berteriak dengan nada penuh kesedihan, tapi Danu tak peduli lagi dengan keadaan Diana. Baginya, tak ada yang lebih penting dari Niel dan Nandia. “Maaf, Diana. Aku harus pergi.” Danu pun keluar tanpa peduli dengan teriakan Diana. Begitu keluar dari ruang perawatan Diana, Danu menghubungi Galih. “Galih, apa yang terjadi pada Nandia dan Niel? Kenapa mereka tidak pulang semalam?” Suara Galih terdengar tegang di seberang. “Dari penyelidikanku tadi, Nandia dan Niel diculik, Danu. Aku mendapat kabar dari anak buah kita bahwa Reihan lah yang menolong Nandia. Dia menemukan mereka di sebuah gudang tua. Mereka sempat disekap di sana, tapi Reihan berhasil membawa mereka keluar dan kini mereka ada di rumah sakit.” Danu mematung sejenak, darahnya mendidih me
“Reihan, kamu harus segera ke kantor,” suara ayahnya terdengar cemas di ujung telepon. “Ada apa, Ayah?” tanya Reihan serius. “Ada masalah besar. Saham perusahaan kita tiba-tiba anjlok, dan beberapa investor mulai menarik diri. Kita harus bertindak cepat.” Reihan mengepalkan tangan, merasakan ketegangan dalam nada suara ayahnya. “Baik, saya akan ke sana sekarang.” --- Saat Reihan tiba di ruang rapat, suasana di ruangan itu sangat tegang. Ayahnya, Tuan Hardi, sedang berbicara dengan beberapa direktur utama. Wajah semua orang terlihat serius, dan panik. “Reihan, syukurlah kamu datang,” ujar Hardi. “Kenapa saham kita tiba-tiba jatuh? Apa yang sebenarnya terjadi, Ayah? Apa ada masalah serius dalam perusahaan?” Reihan langsung ke pokok masalah. Salah satu direktur menjawab, “Tidak ada masalah dalam intern perusahaan, Tuan. Harga saham kita tiba-tiba jatuh pagi ini mungkin karena adanya berita salah satu perusahaan yang mengklaim pada media bahwa kita meniru produk dia. Padahal, sem
"Nandia," suaranya dingin, namun tegas. "Kita pulang sekarang." Nandia membeku, terkejut dengan kedatangannya yang tiba-tiba. "Danu? Apa yang kamu lakukan di sini?" tanyanya dengan nada ragu. "Aku tidak akan membiarkan pria lain mengambil tempatku. Kamu istriku, dan Niel adalah anakku," jawab Danu sambil melangkah mendekat. Tatapannya sekilas menyinggung Reihan, yang langsung berdiri di depan Nandia seolah melindunginya. "Danu, kamu tidak bisa begitu saja datang dan memaksaku pulang seperti ini," kata Nandia, mencoba menahan amarahnya. "Saya bisa, dan saya akan," Danu mendekat, nadanya menjadi lebih tegas. "Ayo, Nandia. Jangan membuat saya melakukan lebih dari ini." Reihan angkat bicara. "Danu, kalau kamu ingin bicara, bicaralah dengan tenang. Jangan buat Niel takut." Danu tertawa kecil, tetapi tanpa humor. "Jangan ikut campur, Reihan. Kamu harus sadar siapa dirimu. Kamu sudah memiliki tunangan, tidak pantas berjalan dengan istri orang." Nandia menarik napas panjang, men
Berita perceraian Danu dan Nandia telah sampai ke telinga Reihan. Meski perceraian mereka tidak diketahui oleh media. Namun, salah satu anak buah Reihan ada yang mengetahuinya. Dan dia pun memberitahukan pada Reihan tentang hal ini.Senyum pun terbit di bibir lelaki tampan itu. Dia akan kembali mendekati Nandia melalui Niel. Karena kunci Nandia ada pada kebahagiaan Niel. Dan dia telah memiliki rencana untuk mewujudkan impiannya."Niel, sabtu besok, Om Reihan akan mengajak Niel berkuda. Nanti akan Om belikan Niel sepatu boots baru dan juga topi untuk kita pakai saat berkuda." Niel yang memang sangat menyukai petualangan bersorak sorai. "Horee, aku akan pergi berkuda!" serunya. Hampir setiap hari, Niel melihat kalender karena tak sabar menunggu hari sabtu. --- Sabtu telah tiba. Pagi itu, suasana rumah Nandia terasa lebih hidup dari biasanya. Niel, bocah kecil itu berlari-lari kecil di halaman dengan sepatu boots yang baru dibelikan oleh Reihan. "Asyik, sebentar lagi, kita akan ber
"Aku tidak akan membiarkan semua ini berakhir, Nandia!" gumam Danu saat akan memasuki ruangan sidang. Lelaki itu sudah kembali pada sifat awalnya, dingin dan tak tersentuh. Dia melihat, Nandia duduk di salah satu kursi panjang, mengenakan blazer krem yang membuatnya terlihat lebih segar. Di depannya, Danu duduk dengan ekspresi dingin khas seorang Danu Adiwijaya. Hakim mediasi, seorang wanita berusia 50-an dengan kacamata bundar, memandang pasangan itu dengan tatapan tenang tapi tegas. "Tuan dan Nyonya Adiwijaya, ini adalah sesi terakhir mediasi. Saya berharap kita bisa mencapai kesepakatan hari ini." Nandia menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya sebelum berbicara. "Yang Mulia, saya sudah memikirkan semua ini. Saya ingin berpisah." Danu menyilangkan tangannya, menatap Nandia tanpa ekspresi. "Saya tidak setuju dengan perceraian ini." Hakim mengangkat alisnya. "Tuan Danu, apa alasan Anda menolak perceraian?" Danu mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan. "Saya ingin men
Di taman "Hampir setengah, kenapa Niel belum kembali juga ya?" Gumam Nandia saat melihat jam yang melingkar di tangannya. Wanita itu mendadak gelisah. Ia mengangkat wajah dari bukunya dan tidak melihat Niel di tempat biasa. Matanya mulai mencari-cari, tetapi hanya ada anak-anak lain yang bermain. “Niel!” panggil Nandia, bangkit dari bangku dan berjalan mengitari taman. Mencari di setiap sudut, tempat Niel bermain tadi, tetapi tidak menemukan putranya. Jantungnya berdetak kencang, panik mulai merayap di dadanya. Nandia menghampiri security yang tadi memanggil putranya. "Maaf, Pak, apa tadi melihat anak saya? Yang Bapak panggil tadi, dia pakai kaos biru?" Security itu terdiam sejenak. "Tadi, dia mengantri es krim disini, Nyonya. Saya tidak tahu lagi karena saya memeriksa di bagian sana karena ada anak yang menangis mencari ibunya, Maaf.” Nandia pun kembali mencari, bahkan bertanya pada penjaga taman, tetapi tidak ada yang tahu. Segala kejadian buruk mulai memenuhi pikirannya. Hat
"Pergi, Danu dan jangan pernah kembali lagi."Danu pun keluar dari rumah Kakek Anggar dengan langkah gontai. Sebelum masuk ke dalam mobil, dia pandangi rumah Kakek Anggara. Dia merasa frustasi, karena gagal meyakinkan Kakek Anggara. Lalu, bagaimana cara dia bisa mendapatkan Nandia kembali?Danu pun duduk di dalam mobilnya. Lelaki itu merogoh sakunya, mengambil ponsel untuk menghubungi Galih, sang asisten. "Galih, aku butuh bantuanmu," kata Danu dengan nada serius. “Ada apa, Tuan?” suara Galih terdengar tegas di seberang telepon. “Aku ingin kau melacak keberadaan Nandia dan Niel. Mereka mungkin ada di suatu tempat yang dilindungi oleh Kakek Anggara. Temukan mereka secepatnya. Aku tidak peduli bagaimanapun caranya, yang jelas, kamu harus bisa menemukan mereka." “Baik, Tuan. Tapi ini mungkin butuh waktu agak lama. Kakek Anggara punya jaringan yang luas dan orang-orangnya pasti menjaga mereka dengan ketat.” “Tidak masalah, Galih. Yang penting kamu bisa menemukan mereka. Aku memiliki
"Galih untuk sementara, kamu handel urusan kantor. Aku harus bisa menyelesaikan masalahku dengan Nandia." Pesan untuk Galih saat lelaki itu akan berangkat ke rumah kakek Anggara. Dia harus bisa meyakinkan lelaki tua itu. Jika ingin rumah tangganya bersama Nandia terus bersama.Hujan yang mengguyur bumi tak menyurutkan niat Danu untuk pergi ke rumah kakek mertuanya. Sesampainya di depan gerbang rumah kakek Anggara, security masih tidak mau membukakan pagar rumah itu, meskipun Danu telah membunyikan klakson berkali-kali. Karena bising dengan suara klakson, akhirnya security itu pun keluar."Maaf, Tuan. Bukankah sudah saya bilang kemarin, Anda tidak boleh masuk," ujar satpam itu dengan nada tegas."Tolong, beri saya kesempatan. Saya harus bicara dengan Kakek Anggara," pinta Danu, suaranya melemah karena kelelahan dan frustasi.Satpam itu hanya menatapnya dingin, tetap bergeming di tempatnya. Danu menghela napas panjang, lalu menatap pria itu. "Pak, tolonglah, bukakan pintunya. Saya haru
"Kalau kamu memang masih mencintainya, kenapa kamu ingin kita kembali, Danu?" Pagi itu, setelah menyaksikan pemandangan di bandara yang menyesakkan dadanya, Nandia akhirnya membuat keputusan besar. Dia mengambil barang-barang yang penting untuk dia dan juga Niel. Dia tak butuh lagi penjelasan dari Danu. Apa yang dia lihat di bandara tadi baginya sudah membuat dirinya mengerti bahwa Danu memang tidak bisa meninggalkan Diana. Setelah memastikan semua keperluan Niel sudah siap, Nandia menatap layar ponselnya. Foto Danu bersama Diana yang dia ambil di bandara tadi sudah siap dia kirimkan. Tangannya gemetar saat mengetik pesan. "Jadi, kamu meninggalkanku sendirian di hutan karena ini? Keterlaluan kamu, Danu! Apa arti semua ini kalau kamu masih saja tidak bisa lepas dari Diana. Kamu tunggu saja surat cerai dariku!" Nandia pun segera mengirimkan pesan. Dia tahu Danu belum sempat melihatnya. Suaminya mungkin masih sibuk bersama Diana. Dengan napas berat, Nandia memandangi rumah yang
Setelah mendapat telepon dari sang istri tadi, Danu memutuskan untuk tidak lagi memarahi Galih. Lagipula, hasilnya cukup memuaskan. Lelaki itu kemudian menghubungi sang asisten. "Galih," panggil Danu. "Iya, Tuan," jawab Galih hati-hati. Danu menghela napas panjang. "Sebenarnya, aku marah karena kamu menggunakan uang perusahaan tanpa seizinku. Namun, aku tahu kamu melakukan ini juga karena permintaanku. Jadi, kamu kumaafkan. Tapi lain kali, aku akan menghukum mu." Galih langsung merasa lega. "Terima kasih, Tuan. Saya hanya ingin membantu." "Tapi lain kali, konsultasikan dulu denganku sebelum membuat keputusan seperti itu, mengerti?" tambah Danu tegas. "Baik, Tuan. Saya tidak akan mengulanginya lagi," jawab Galih dengan penuh penyesalan. "Sekarang, fokuslah pada pekerjaan awalmu," kata Danu sebelum menutup panggilannya --- Hampir satu minggu Danu berada di negara N. Dia sudah sangat merindukan Niel dan Nandia, istrinya. Ingin rasanya dia menyuruh Galih menggantikannya