Saat mereka akan membuka pintu ruang perawatan Niel, sosok tak terduga muncul di hadapan mereka—Danu. Dia berdiri dengan wajah dingin, matanya menatap tajam ke arah mereka bertiga."Danu!" Reihan langsung menghentikan langkahnya, berdiri di depan Nandia dan Niel seolah-olah sebagai tameng. “Apa yang kau lakukan di sini, Danu?” tanyanya dengan nada tajam. Danu tersenyum tipis, tetapi matanya penuh kecurigaan. “Haruskah aku bertanya hal yang sama padamu, Reihan? Mengapa kamu berada disini dengan istri dan juga anakku? Apa yang kalian lakukan? Apa kamu berselingkuh dengan istriku?” Reihan menahan kemarahannya. “Aku ada di sini karena mereka membutuhkan pertolonganku. Sementara kau… apa kau benar-benar peduli pada mereka? Atau kamulah yang sebenarnya menculik mereka?” Danu mengangkat alisnya, berpura-pura terkejut. “Jangan menebar fitnah, Reihan. Apa kau sedang mencoba menuduhku? Aku ke sini hanya ingin memastikan keadaan mereka, karena Galih bilang mereka tidak pulang semalam.” Nand
"Aku harus membuatnya sibuk dengan diriku... bagaimanapun caranya." gumam Diana, sambil mengepalkan tangannya.. Di dalam apartemennya, Diana berdiri menatap bayangannya di cermin. Rencananya sudah sejauh ini. Dia tak ingin gagal hanya karena Danu meninggalkannya demi menolong Nandia. Dia tahu, Danu akan lebih memilih untuk menolong Nandia jika terjadi sesuatu, kecuali jika keadaannya dalam keadaan darurat. Senyum mengembang di bibirnya saat terbesit satu ide gila di kepalanya. Sebuah rencana yang penuh risiko, tapi ini mungkin satu-satunya cara agar Danu tak lagi memikirkan Nandia-dengan membuat dirinya terlihat rapuh dan memaksa Danu untuk terus berada di sisinya."Aku yakin, setelah ini, kamu tidak akan pernah meninggalkanku, Danu!" --- Saat Danu hendak pulang, Diana mengirimkan beberapa pesan padanya. Lelaki itu hanya melihat sekilas, kemudian memilih mengabaikan pesan-pesan ancaman dari Diana. Danu sudah lelah dengan ancaman Diana. Di layar ponselnya, pesan-pesan wanita
"Diana!" Danu berlari mendekati Diana yang tergeletak di lantai. Wanita itu sudah tak sadarkan diri. Darah terus mengalir dari pergelangan tangannya. Sepertinya, wanita sudah dari tadi menyayat nadinya hingga darah pun merembes hingga ke lantai. Danu begidik ngeri melihatnya. "Diana!" Danu segera berlutut di sampingnya, mengguncang tubuh wanita itu dengan lembut, mencoba membangunkannya. "Diana, bangunlah! Kenapa kamu melakukan ini!" Tak ada reaksi. Wajah Diana tampak pucat pasi, matanya setengah terbuka namun tanpa fokus. Danu segera meraih teleponnya, menelepon ambulans dengan tangan gemetar. Setelah itu, ia mengambil handuk terdekat dan menekannya ke pergelangan tangan Diana, mencoba menghentikan pendarahan sebisanya. “Diana, dengarkan aku,” ucapnya pelan namun penuh kepanikan. “Bertahanlah… ambulans akan segera datang. Aku di sini, jangan menyerah.” Beberapa menit yang terasa sangat lama, akhirnya suara sirene terdengar. Paramedis datang dan langsung menangani Diana, mem
Danu tak lagi mempedulikan Diana. Begitu Galih memberitahukan Nandia tidak pulang, dunia seakan runtuh. Ia berdiri dengan cepat, dengan tergesa-gesa, dia melangkah keluar. “Danu … kamu mau kemana? Kamuu akan meninggalkanku sekarang?” Diana berteriak dengan nada penuh kesedihan, tapi Danu tak peduli lagi dengan keadaan Diana. Baginya, tak ada yang lebih penting dari Niel dan Nandia. “Maaf, Diana. Aku harus pergi.” Danu pun keluar tanpa peduli dengan teriakan Diana. Begitu keluar dari ruang perawatan Diana, Danu menghubungi Galih. “Galih, apa yang terjadi pada Nandia dan Niel? Kenapa mereka tidak pulang semalam?” Suara Galih terdengar tegang di seberang. “Dari penyelidikanku tadi, Nandia dan Niel diculik, Danu. Aku mendapat kabar dari anak buah kita bahwa Reihan lah yang menolong Nandia. Dia menemukan mereka di sebuah gudang tua. Mereka sempat disekap di sana, tapi Reihan berhasil membawa mereka keluar dan kini mereka ada di rumah sakit.” Danu mematung sejenak, darahnya mendidih me
Danu keluar dari mobilnya dengan jantung berdebar, menggenggam beberapa mainan dan kantong berisi makanan kesukaan Niel. Danu sudah dipersilahkan masuk oleh ART di rumah Nandia. Ya, malam ini, Danu datang ke rumah Nandia demi bisa bermain dengan putranya dan juga mengambil kembali hati Nandia. Tak ada siapapun disana, mungkin, mereka sedang beristirahat di dalam. Hampir setengah jam ia menunggu di ruang tamu, berharap Nandia akan keluar dan berbicara dengannya. Namun, hanya Niel yang muncul, dengan senyum kecil yang langsung meluruhkan amarah Danu. “Papa!” Niel memeluk Danu erat. Bocah itu tertawa saat melihat mainan yang dibawanya. “Terima kasih, Papa. Ini semua untukku?” Danu tersenyum, menepuk kepala putranya. “Iya sayang, ini semuanya untukmu. Maaf kalau Papa baru sempat menjengukmu sejak insiden kemarin,” ucapnya, mencoba menahan rasa bersalah yang membakar dadanya. “Papa dengar kamu sangat berani waktu itu. Bisa ceritakan pada Papa bagaimana kejadiannya?” Niel tampak be
Danu melangkah keluar dari rumah Nandia dengan langkah berat. Hatinya diliputi perasaan hampa dan bingung. Meski Nandia tidak secara langsung menolak permintaannya, Danu bisa merasakan tembok besar yang memisahkan mereka. Ia berharap kehadirannya malam ini mampu mencairkan hati Nandia, namun respon Nandia biasa saja. Di dalam mobil, Danu memandangi mainan yang tadi diberikan pada Niel, mendesah pelan, merasa gagal untuk mendekatkan diri pada anak dan istrinya. Tiba-tiba, pikirannya beralih ke satu nama: Reihan. Pria itu sudah terlalu sering muncul di dalam hidup Nandia dan Niel. Keberadaan Reihan selalu membuat Danu merasa terancam, seolah Reihan menjadi figur yang lebih dapat diandalkan bagi keluarganya. “Kalau aku tidak bertindak sekarang, aku bisa kehilangan mereka selamanya,” gumam Danu, memantapkan hati. Dengan sigap, ia menyalakan mobil dan langsung meluncur ke rumah Reihan. Sesampainya di depan rumah mewah Reihan, Danu keluar dari mobil dengan amarah yang seperti bom akan me
"Maaf, Tuan, laporan tentang penculikan Nyonya Nandia sudah saya kirim via email beserta foto-fotonya," kata Galih pada akhirnya Danu pun segera mematikan panggilannya. Lelaki itu mencari email dari Galih. Tangannya mengepal saat membaca laporan dari Galih."Kurang ajar! Kamu ingin coba-coba denganku, ya!" Danu melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh menuju rumah sakit. Api amarah seketika itu memuncak saat membaca email dari Galih tadi. Ternyata, Dianalah dalang dari penculikan Niel dan Nandia."Kamu pikir, aku tidak tahu kalau bunuh dirimu itu hanyalah alasan untuk mengalihkan perhatianku? Wanita licik!"Sesampainya di rumah sakit, Danu langsung menuju kamar Diana. Sesaat setelah masuk, ia melihat Diana terbaring lemah di ranjang, menatap langit-langit dengan ekspresi kosong. Namun, begitu menyadari kehadiran Danu, wanita itu tersenyum tipis, meski matanya menyiratkan kelelahan.“Danu... aku tidak menyangka kau akan datang,” suara Diana terdengar lemah namun penuh kepura-puraan
Danu menghela napas dalam saat melihat wajah Diana yang terbaring di ranjang rumah sakit, terlihat lemah namun penuh kepura-puraan. Emosi masih berkecamuk dalam dirinya, terutama setelah mengetahui betapa jauh Diana telah melangkah demi obsesinya yang mulai tak terkendali. Namun, Danu bukan satu-satunya orang yang geram dengan tindakan Diana. Tak lama kemudian, Galih, asisten setia Danu, masuk ke dalam kamar dengan wajah dingin, melirik ke arah Diana tanpa rasa simpati sedikitpun “Maaf, Tuan Danu, saya sudah menyiapkan rencana yang Anda perintahkan,” ucap Galih, suaranya rendah namun tegas. Danu mengangguk pelan, pandangannya tetap tertuju pada Diana. “Baiklah, Galih. Kita selesaikan semua ini sekarang,” jawabnya dengan nada berat namun penuh tekad. Diana yang terbaring, perlahan mengangkat wajahnya dan menatap mereka dengan tatapan bingung namun tetap arogan. "Apa yang kalian rencanakan?" tanyanya, mencoba mempertahankan gengsinya."Bangun, nggak usah pura-pura kamu! Dokter sudah
Enam bulan kemudian ..."Mas, sepertinya, aku akan melahirkan," teriak Nandia saat Danu akan memulai kegiatan panasnya."Sayang, kamu jangan bercanda. Aku belum mulai nih," keluh Danu saat lelaki itu mencumbu istrinya.Nandia mendorong tubuh sang suami. "Mas, aku beneran. Ketubanku sudah pecah!""Apa!"Danu pun segera memakaikan pakaian di tubuh sang istri. Setelah itu memakai pakaiannya sendiri. Dia lalu menggendong sang istri kemudian berteriak pada sopir untuk menyiapkan mobilnya.Mobil pun segera melaju ke rumah sakit tempat Nandia periksa kandungan. Danu sudah menelepon pihak rumah sakit agar dokter kandungan Nandia sudah stand by disana saat mereka tiba di rumah sakit.Tak lama kemudian, Danu sudah sampai di rumah sakit. Nandia langsung dibawa ke ruang bersalin. Danu pun mengikutinya dari belakang.Danu ingin masuk ke dalam, tapi dilarang oleh perawat. Ternyata, air ketuban Nandia telah habis. Akan sangat menyakitkan jika Nandia memaksa melahirkan secara normal.Dengan terpaks
“Reihan, Tasya tidak akan melarikan diri. Jadi, kamu jangan gugup seperti itu,” ujar Danu yang bermaksud menghibur sepupunya.Reihan hanya tersenyum kecut melihat candaan Danu yang sama sekali nggak lucu itu."Kamu nggak usah menasehatiku! Kamu nggak tahu bagaimana rasanya menikah. Ohh iya, aku lupa, kamu dulu menikahi Nandia dengan terpaksa ya, jadi tidak merasa gugup sama sekali, yang ada, kamu malah kesel karena menikah dengannya." Reihan membalasnya dengan sindiran membuat Danu langsung memukul saudara sepupunya dengan tongkat penyanggah kakinya.Kedua saudara sepupu itu memang seperti tom and jerry jika bertemu. Meskipun, jauh di dalam lubuk hati, mereka saling menyayangi. Buktinya, meski keadaannya belum sehat, danu memaksakan hadir di pernikahan saudara sepupunya.Bukannya mengaduh kesakitan, Reihan justru tertawa kecil, sambil menggelengkan kepala. “Aku hanya bercanda. Meski aku belum mencintai Tasya, tapi aku ingin memastikan semuanya sempurna untuknya.” “Percayalah, Tasya h
"Mike, kamu datang?" tanya Nandia yang kaget saat melihat Mike tiba-tiba berdiri di depan ruangan Danu. Lelaki itu memancarkan senyum manis menatap wanita yang hingga saat ini menempati tahta tertinggi di hatinya. "Aku ingin melihatmu Nandia. Sudah lama kamu tidak ke kantor, sekaligus, membawa file yang harus kamu tandatangani, dan ... aku ingin bicara serius denganmu." "Sebentar ya Mike, aku masih harus membersihkan bekas mandi Danu dulu. Danu tidak nyaman jika dimandikan oleh perawat" Mike berdiri memandangi Nandia yang sedang membawa air bekas mandi Danu ke kamar mandi . Hatinya terasa berat, tapi ia tahu bahwa sudah tidak ada lagi kesempatan baginya. Dan sekarang, saatnya dia harus pergi. Danu memerhatikan Mike dari sudut matanya, merasa ada sesuatu yang ingin disampaikan pria itu. Namun, sebelum ia sempat bertanya, Nandia berbalik dan menghampiri Mike. “Mike, ada yang ingin kamu bicarakan?” tanya Nandia, tersenyum lembut. Mike mengangguk, lalu memberi isyarat agar mer
Nandia masih gemetar setelah insiden mengerikan itu. Dia duduk di sofa kecil di sudut ruangan, ditemani Galih dan Kakek Anggara. Meski tubuhnya lelah, pikirannya terus berpacu. Tatapan penuh kekhawatiran menghiasi wajahnya saat memandangi Danu yang masih terbaring lemah di ranjang dengan alat-alat medis yang membantu kehidupannya. “Jadi, pria itu mengincar Danu?” tanya Kakek Anggara dengan suara berat, matanya menatap tajam ke arah Galih. “Ini jelas bukan kebetulan.” Galih, yang sejak tadi tampak gelisah, mengangguk pelan. “Betul, Kek. Dia bukan orang biasa. Dari identitas yang kami dapat, dia bernama Reno, mantan kekasih Diana. Ini bukan pertama kalinya dia berurusan dengan hal-hal berbahaya.” Mendengar itu, Nandia langsung menatap Galih dengan mata melebar. “Mantan kekasih Diana? Jadi... ini semua ada hubungannya dengan Diana? Tapi, dia sudah dipenjara. Bagaimana mungkin?” Galih menghela napas berat. “Kita belum tahu sejauh apa keterlibatan Diana. Tapi dari pengakuan sementa
“Aku akan sembuh… demi kamu… demi anak-anak kita…” Nandia mengangguk penuh keyakinan. Dalam hatinya, ia tahu bahwa perjuangan mereka belum selesai, tetapi dengan kehadiran Danu di sisinya, ia merasa mampu menghadapi segalanya. --- Di luar kamar, suara malam perlahan mereda. Namun, di dalam ruang VVIP itu, cinta dan harapan kembali tumbuh. Nandia menggenggam tangan Danu erat, bersumpah dalam hatinya untuk melindungi keluarga kecil mereka dengan segenap tenaga. Di sisi lain, Lidia tersenyum sambil memandangi mereka dari kejauhan, yakin bahwa mukjizat ini adalah awal dari lembaran baru untuk mereka semua. Nandia kembali duduk di sisi ranjang, menggenggam tangan Danu yang masih lemah. Rasa syukur yang sempat membanjiri hatinya kini bercampur dengan kecemasan, terutama setelah mendengar bisikan samar Danu sebelum tak sadarkan diri lagi. Namun, ia mencoba menenangkan dirinya. Beberapa saat kemudian, pintu kamar VVIP itu terbuka perlahan. Seorang pria berpakaian putih lengkap denga
"Danu, kamu harus bangun Danu! Aku mencintaimu!" Tubuh Nandia bergetar hebat saat ia memeluk Danu, mencoba membangunkan suaminya yang tak lagi memberikan respons. Air matanya membasahi baju rumah sakit Danu yang terasa dingin. Monitor jantung di samping tempat tidur masih menunjukkan garis lurus yang menandakan Danu telah pergi untuk selamanya. “Danu, bangun! Aku butuh kamu… Niel butuh kamu…dan anak yang aku kandung ini juga butuh kamu,” isaknya putus asa. Tangannya yang gemetar terus mengguncang tubuh Danu, berharap ada keajaiban dan sang suami bangun kembali. Namun, tubuh itu tetap tak bergerak. Di sudut ruangan, Niel masih berdiri kaku, matanya terus menatap tubuh ayahnya. Lidia, yang berada di sampingnya, hanya bisa memeluk cucunya erat, berusaha memberikan ketenangan meski hatinya juga remuk redam. “Papa nggak akan bangun lagi ya, Oma?” bisik Niel dengan suara kecil, penuh ketakutan. Lidia mengusap kepala Niel, berusaha menahan tangis. “Kita berdoa saja ya, Sayang. H
Di ruang perawatan VVIP, suasana penuh keheningan yang menyayat hati. Monitor jantung Danu berbunyi lemah, menunjukkan garis naik turun yang semakin lambat. Nandia duduk di sisi tempat tidur, menggenggam tangan suaminya yang dingin. Air matanya tak pernah berhenti mengalir sejak Danu mengalami penurunan tadi. Meski kondisinya masih lemah. Dia tak ingin kehilangan momen bersama suaminya. Di sudut ruangan, Niel berdiri dekat Lidia, wanita paruh baya itu benar-benar sudah berubah. Sedari kemarin, dia merawat Nandia hingga kondisinya membaik. Wajah Lidia pun terlihat cemas, sementara tangannya memegang bahu Niel yang gemetar. “Nandia, kamu harus makan sesuatu. Kamu nggak bisa terus seperti ini,” ujar Lidia pelan, mencoba membujuk menantunya. Namun, Nandia menggeleng dengan lemah. “Aku nggak bisa, Ma. Aku nggak akan meninggalkan Danu, walaupun hanya sedetik.” Lidia menghela napas panjang. "Nandia, kamu harus makan, demi bayi yang ada dalam kandunganmu. Dia butuh asupan makanan untu
Di Rumah Sakit Saat ambulan tiba di rumah sakit, dokter langsung membawa Danu ke ruang operasi. Karena saat berada di dalam ambulan, dokter jaga sudah memeriksa keadaan Danu. Nandia mengikuti brankar Danu dari belakang sambil menggendong Niel. Meski bocah itu tak mau digendong, tetapi Nandia tak tega. Apalagi, saat melihat luka di leher dan juga di pipi sang putra. Meskipun sudah diobati saat di ambulan tadi, tetap saja, Nandia merasa bersalah karena tidak mampu melindungi putranya. Pintu ruang operasi tertutup rapat, di atasnya lampu merah menyala, menandakan operasi Danu sedang berlangsung. Waktu terasa berjalan begitu lambat. “Mama, apa Papa akan baik-baik saja?” tanya Niel, suaranya serak. Nandia mengelus kepala putranya dengan lembut, meski hatinya penuh kecemasan. “Papa kamu kuat, Niel. Dia pasti akan bertahan.” Niel hanya menganggukkan kepalanya. Matanya terus menatap pintu ruangan operasi. Rasa khawatir pada sang ayah begitu besar. Beberapa saat kemudian, dokter
Wajah Danu tetap datar, meskipun di dalam hatinya ingin rasanya dia menghancurkan pintu itu. "Tunggu aba-abaku," katanya dingin. Namun, di dalam gudang, Andra mulai merasa ada yang aneh. "Hei, kau dengar sesuatu?" tanyanya pada salah satu pria. "Apa maksudmu?" Andra melangkah ke arah pintu, mencoba memastikan, tetapi saat itu juga Danu memberi isyarat. "Sekarang!" Pintu gudang diterjang oleh salah satu anak buahnya, dan kelompok itu langsung menyerbu masuk. Tembakan peringatan dilepaskan ke udara, membuat semua orang di dalam panik. "Andra!" suara Danu menggema di ruangan itu. "berani kau menyentuh anakku, dan aku akan memastikan kau tak punya tempat untuk bersembunyi." Andra tertegun, tetapi ia segera mengambil pistol dari pinggangnya. "Berhenti di situ, Danu, atau anakmu akan meninggal!" ancamnya, mengarahkan pistol ke kepala Niel. Niel menatap Danu dengan tenang, seolah tahu bahwa ayahnya tak akan kalah dalam situasi ini. "Lepaskan dia," ucap Danu, suaranya rendah