Untuk sementara Evelyn memilih jadi penurut demi bisa melancarkan idenya nanti."Kalau begitu mari kita berganti pakaian," ajak Evelyn yang kini wajahnya sedikit berbinar."Apa Ibu ingin Bella bantu berganti pakaian?" Gadis itu pun menjadi semakin bersemangat."Ya, Ibu akan sangat membutuhkan bantuan Bella." Evelyn bersikap seakan dirinya memang ibu dari gadis itu.Bella pun tersenyum lebar, sejak kedatangan Evelyn ke rumah rasanya baru pertama kali ia merasakan lagi kehangatan sang ibu yang sempat kaku dan dingin pada dirinya itu."Kalau begitu Bella panggil Ayah untuk mengangkat Ibu ke ruang pakaian dulu." Bella berlari keluar dengan sangat bersemangat.Karena di kamar sudah tidak ada siapa-siapa, Evelyn beranjak, berjalan dengan pincang ke arah nakas di sampingnya untuk mencari benda yang mungkin bisa berguna nantinya."Kenapa tidak ada apa-apa di sini? Gunting saja tidak ada," keluh Evelyn sambil mengacak-acak rambutnya saking merasa kesal.Pantang menyerah, Evelyn bergegas mencar
Di saat Evelyn sedang merasa berdebar menanti jawaban di saat itu pula sang dokter malah terlihat santai seolah ucapan Evelyn hanyalah angin laluDok tolong bantu saya melarikan diri karena tidak mendapat respon Evelyn lantas langsung berbicara pada intinyaNamun lagi-lagi dokter tersebut seakan tidak mengindahkan ucapan Evelyn dan malah asik memeriksa kaki yang terkilirEvelyn semakin dibuat keheranan ada apa dengan dokter tersebut tidak mungkin jika ucapannya itu sampai tak terdengarDokter kenapa Anda terus diam tolong jawab Evelyn mulai merasa kesalIya nanti kita atasi itu jawab sang dokter seakan tak terlalu memperdulikan ucapan Evelyn sudah selesai mari kita kembaliEvelyn langsung menggenggam tangan sang dokter iya tidak ingin melewatkan kesempatan itu dan masih berusaha untuk meyakinkan jika ia memang benar-benar sedang diculikTolong bantu saya pergi dari pria itu ucap Evelyn dengan mata berkaca-kacaBukannya menjawab sang dokter malah tersenyum ia tetap membantu Evelyn untu
Evelyn langsung menekan nomor ponsel Sean, berharap setidaknya bisa berbicara walau hanya sebentar. Namun, baru saja ia hendak melakukan panggilan, di saat itu juga Dion merebut ponsel tersebut."Apa yang kamu lakukan?" Dion menatap Evelyn dengan lekat."Menelpon temanku, sebentar saja," ucap Evelyn yang berharap jika Dion mau meminjamkan ponselnya lagi."Aku meminjamkan ponsel bukan berarti mengizinkan menelepon temanmu!" tegas Dion yang saat ini wajahnya kembali terlihat datar.Evelyn tercengang, bagaimana mungkin pria itu sikapnya bisa dengan mudah berubah-ubah?"A-aku." Evelyn ragu, tak tahu harus menjawab apa."Jangan pernah berpikir bisa mengelabuiku lagi!" Dion menggenggam tangan Evelyn, lalu beranjak pergi meninggalkan kamar.Setelah Dion keluar dari kamar, Evelyn yang merasa lelah segera berbaring sambil meringkuk di atas kasur. Ia menangis saking tak tahan dengan apa yang sedang dihadapinya."Sean … Kelvin … aku sangat merindukan kalian," ucap Evelyn sambil terisak.Di ruang
Sean memulai perjalanan menuju kota yang sedikit asing baginya tersebut. Ia bahkan nyaris tidak pernah menginjakkan kaki di sana. Namun, demi Evelyn pria itu sampai berusaha untuk mempelajari daerah tersebut dalam waktu singkat."Ayah, pemandangan di sini tidak sebagus di rumah kita," protes Kelvin yang terus memandangi jalan di mana banyak tanah luas yang gersang."Ya, tempat kita itu kota wisata ada pantai dan juga gunung dalam satu tempat, jadi tidak bisa dibandingkan dengan kota ini," jelas Sean sambil mengusap rambut sang anak.Saat sedang berbincang, ponsel Sean mendadak berdering, ada panggilan masuk dari anak buahnya."Ya, bagaimana?" tanya Sean sesaat setelah mengangkat telepon."Kami sudah menemukan jejak beberapa preman dari kota Ganea yang sempat singgah ke sana," jelas anak buah Sean dari balik telepon."Bagus, kirim alamatnya segera!""Baik, Pak."Sean langsung mematikan telepon. Ia tersenyum puas seolah sudah ada titik cerah pencarian Evelyn."Kuharap ini jadi permulaan
Saat itu Sean sedang merasa jauh lebih bersemangat dibanding sebelumnya. Keyakinan untuk bisa membawa Evelyn kembali pulang terus memenuhi pikirannya karena semua sudah menjadi jelas dan akan lebih mudah untuk melakukannya."Kalau begitu, Key bermain dengan Paman Nick dulu, ya. Ayah harus mengerjakan sesuatu dulu," ucap Sean yang langsung membuka laptopnya sambil menunggu kedatangan anak buah yang membawa rekam medis.Sedang di tempat lain, Evelyn yang dengan terpaksa berjalan-jalan ke mall itu sama sekali tak merasa bahagia di tengah kebahagiaan Bella dan Dion."Apa Ibu senang? Sudah lama sekali kita tidak jalan-jalan begini," ucap Bella sambil berjalan mundur, menatap Evelyn yang sedang melaju dengan kursi roda."Ya, ini cukup menyenangkan," jawab Evelyn dengan senyum getir dan dipaksakan.Bella sedikit merasa bersedih melihat ekspresi ibunya, tetapi ia menepis pikiran itu dengan berpikir jika sang ibu tengah sakit dan ingatannya belum kembali sempurna.Melihat ekspresi sang anak, D
Melihat Evelyn menjadi semakin tertekan membuat Dion merasa puas dan senang. Ia langsung masuk ke kamar begitu saja dengan tatapan yang membuat Evelyn bergidik."Inilah akibatnya jika kamu berani melawanku!" hardik Dion dengan tatapan tajam."Apa kamu itu manusia? Kenapa begitu tidak memiliki perasaan?" Arabella pun akhirnya tak bisa membendung air mata lagi dan berakhir menangis di depan Dion."Jika kamu menurut semua ini tidak akan terjadi!" timpal Dion seraya menatap Evelyn lekat."Aku akan menurut. Tapi tolong lepaskan Diana! Dia tidak salah apa-apa," mohon Evelyn sambil duduk bersimpuh di atas kasur.Melihat Evelyn sudah memohon seperti itu membuat Dion melepaskan Diana, hingga gadis itu terkulai lemah di lantai.Evelyn yang tak kuasa melihat penderitaan Diana lantas beranjak, berniat untuk menghampiri gadis itu. Namun, baru saja sampai di ujung kasur, Dion malah berusaha mencegahnya."Tetaplah disitu!" hardik Dion.Evelyn pun terdiam, jika tak menurut tentu Diana yang akan menja
Untuk pertama kalinya Evelyn melihat Dion yang wajahnya seperti sedang cemas. Ia langsung menoleh ke arah orang yang baru saja datang. Siapa mereka? Kenapa bisa membuat seorang pria menyeramkan seperti Dion menjadi begitu panik?"Dion, hentikan semua ini! Jangan bohongi dirimu sendiri!""Lupakan Clara, istrimu sudah meninggal, Dion!"Mendengar pernyataan tersebut, seisi ruangan menjadi riuh. Mereka seakan tak percaya dengan apa yang sedang terjadi saat itu."Ada apa ini? Bukankah itu Tuan dan Nyonya Thompson? Kenapa mereka malah berkata seperti itu?""Apa dua orang tua itu sudah menjadi pikun? Kenapa mereka mengatakan anak sendiri sudah tiada padahal sudah jelas ada di depan mata?" "Aku sempat mendengar kabar kecelakaan Clara Thompson, tapi setahuku dia sudah pulih sekarang.""Sudah! Kita lihat drama ini saja! Kenapa kalian terus berisi?"Para tamu seakan berlomba-lomba untuk bergosip, mengeluarkan seluruh informasi yang mereka tahu. Bahkan tak sedikit yang berspekulasi sendiri dengan
“Kenapa tidak bilang saja ke mana tujuan kita?” Evelyn tak bisa menahan rasa penasarannya itu.“Sebuah tempat yang indah.” Sean lagi-lagi tersenyum menatap Evelyn.“Di mana itu? Kenapa terus bermain teka-teki?” Evelyn memanyunkan bibirnya.“Nanti juga, kamu akan tahu sendiri.” Sean merangkul sang istri, lalu mengecup keningnya dengan penuh rasa cinta.Evelyn menghela napas panjang, jika Sean mengatakan seperti itu, maka tidak akan memberitahu dalam waktu dekat.Perjalanan itu cukup panjang, mereka bahkan beberapa kali singgah di tempat wisata untuk sejenak beristirahat dan memanjakan mata. Hingga akhirnya Evelyn tak tahan lagi dan mendiamkan Sean yang menurutnya sangat menyebalkan.“Apa kamu marah?” Sean berusaha meraih tangan Evelyn.Namun, Evelyn yang sedang kesal itu langsung menepis tangan Sean dan segera memalingkan wajahnya.“Aku takut kamu terkejut jika tahu yang sebenarnya.” Sean terus menggoda Evelyn.“Katakan saja! Kamu begitu menyebalkan, mengajak bepergian, tapi tidak memb