Samuel duduk di tempat tidurnya, kedua kakinya berselanjaran santai di atas kasur yang empuk. Laptop terbuka di pangkuannya, cahaya layar memantul di wajahnya yang terlihat serius, sementara suasana kamar yang tenang menciptakan kesan hening di sekelilingnya.Liliana menggelengkan kepala perlahan, matanya memandang putranya heran. Putranya itu tampak tenggelam dalam kesibukannya sendiri. Dia duduk diam, fokus pada dunianya sendiri. “Mama benar-benar heran sama kamu,” katanya kesal sambil berkacak pinggang. “Baru juga pulang dari rumah sakit tapi masih saja kerja. Kamu tuh masih butuh banyak istirahat! Kondisi kamu masih belum pulih sepenuhnya.” Wajahnya tampak tegas, menunjukkan kekhawatiran dan keheranan yang tidak bisa dijelaskan. Samuel menatap mamanya sekilas dengan senyum tipis di wajahnya. “Samuel sudah jauh lebih baik, Ma,” jawabnya dengan santai. Matanya kembali fokus pada layar laptop di depannya. Langkah Liliana semakin dekat, wajahnya menunjukkan sedikit kekesalan. “Kamu
Meski hatinya berat melihat Samuel kesepian, dia tahu bahwa cinta tidak bisa dipaksakan, dan terkadang, cinta tak harus memiliki. Dia hanya bisa tetap ada di sampingnya, memberikan dukungan dengan cara yang sederhana, karena, terkadang hal yang paling dibutuhkan adalah kehadiran dan doa yang tulus dari orang terdekatt.Samuel menghela napas panjang, menyadari dirinya terlalu larut dalam pikirannya. Dia mengalihkan pandangannya pada Dave sebelum akhirnya bertanya dengan suara tenang namun tegas, "Bagaimana kondisi di kantor selama aku tidak ada?"Dave segera menjawab, "Semuanya berjalan seperti biasa, Tuan. Beberapa klien menanyakan Anda, tapi sudah ditangani. Tidak ada masalah besar."Samuel mengangguk pelan. "Baik. Aku akan segera kembali. Kau urus semuanya."Dave hanya mengangguk samar. Tak lama kemudian memberikan tablet pada Samuel. "Tuan, ada pembaruan dari klien utama kita. Blackwood Capital ingin laporan performa terbaru sebelum akhir pekan. Mereka menekan soal proyek investa
Eva menatap Henry dengan serius, sorot matanya menunjukkan keteguhan. Suasana hening sejenak, dia menunggu jawaban Henry, memastikan perubahan sikap suaminya.Henry membalas tatapan Eva, memikirkan kata-kata yang tepat. Dia merasa kesal pada dirinya sendiri, tetapi juga gengsi untuk mengakui kesalahan secara langsung. Dengan ekspresi serius dan dengan nada ragu dia menjawab, "Semua orang pasti pernah melakukan kesalahan. Aku … akan berusaha untuk melakukan yang terbaik kedepannya." Henry menatap Eva dengan sedikit gugup, berharap Eva bisa melihat bahwa dia benar-benar berniat berubah, meskipun sedikit malu mengakui kesalahannya.Eva terdiam sejenak setelah mendengar jawaban Henry, mencerna kata-kata itu dengan benar. Ada gurat keraguan di wajahnya, tetapi dia mencoba untuk tenang. Matanya menatap ke dalam mata Henry, memastikan jawaban itu benar adanya. “Baiklah, aku harap itu bukan hanya sekedar kata-kata, karena aku tidak bisa terus-terusan begini. Aku hanya memberimu satu kali kes
Dengan rasa ragu Eva berucap, “Aku ….”Ucapan itu dibuat menggantung, membuat Henry menatapnya dalam diam. Ada sesuatu yang tak terungkap, sesuatu yang mengambang di antara mereka, tetapi Eva tampak ragu untuk melanjutkannya. “Apa yang ingin kau katakan?” Henry bertanya pelan, berusaha tak mendesak, tapi cukup tegas agar Eva merasa dia siap mendengarkan.Eva menarik napas panjang, seolah mengumpulkan keberanian, matanya tak bisa menatap langsung ke arah Henry. Beberapa detik kemudian dia menggeleng, mengurungkan niatnya. “Tidak apa-apa, lupakan saja.”Eva kembali fokus pada piring di depannya. Takut jika apa yang dia katakan nanti hanya menjadi angin lalu bagi Henry. Lebih baik dia diam saja daripada harus membuang tenaganya. Sementara Henry, dia bisa merasakan keraguan di wajah Eva. Dia menyadari bahwa istrinya itu belum siap untuk berbicara tentang apa yang mengganggunya.Dia mencoba memberikan ruang tanpa menekan. "Aku tahu kau sedang memikirkan banyak hal," katanya dengan suara
Berlian kecil yang terdapat di kalung itu memancarkan setitik kilauan indah. Keindahan itu tampak sangat menyatu. Dia tak salah pilih, kalung itu benar-benar cocok di leher Eva. “Kenapa tiba-tiba sekali?” Eva menatap Henry dengan mata penuh kebingungan. “Apa kau ada maksud tertentu?” Henry sedikit terhenyak dengan pertanyaan Eva tampak mencurigainya. Dia menarik napas sejenak, berusaha untuk tidak terbawa perasaan. Meskipun sedikit terkejut, dia berusaha menjaga ketenangannya dan menatap Eva dengan lembut.“Hadiah itu untukmu, karena akhirnya kau bisa melihat lagi,” jawabnya dengan tenang sabar. Eva terdiam sejenak, matanya sedikit melebar. Dia memandang Henry dengan ekspresi yang sulit untuk dijelaskan. Sudah bertahun-tahun mereka menikah, dan ini adalah pertama kalinya dia menerima hadiah dari Henry. Ada perasaan campur aduk yang muncul, terkejut, haru, dan sedikit bingung.Apa dia benar-benar berubah? Eva masih merasa tidak percaya. Akan tetapi sorot mata Henry tidak menunjukk
Harrison Realty Partners. Pekerjaan yang menumpuk mulai berkurang, dan suasana di luar pun lebih sepi hari itu. Terkadang, kesibukan yang datang begitu mendalam membuat Henry merasa sesak, namun saat ini dia lebih bisa bernapas lega.Dia memeriksa beberapa dokumen di mejanya dengan tenang, tangannya sesekali menulis catatan di margin. Tentu saja, ada beberapa hal yang masih perlu ditindak lanjuti lebih matang, tetapi semuanya terasa lebih terkendali. Henry menikmati momen ini, waktu untuk menyusun langkah selanjutnya tanpa tergesa-gesa.Tiba-tiba pintu ruangannya diketuk, dan suara Ryan terdengar dari luar, “Ini saya, Tuan."Tanpa menoleh Henry menjawab, "Masuklah."Pintu dibuka, dan Ryan memasuki ruangan dengan langkah ringan. Dia mengenakan jas hitam yang tampak rapi, meskipun hari itu tidak ada pertemuan penting yang mengharuskannya berpakaian seperti itu.“Ada yang bisa saya bantu, Tuan?” “Aku ingin berbicara mengenai bodyguard yang pernah kau utus saat di rumah sakit.” Henr
“Wah, coba lihat. Menantu cacat dari keluarga Harrison ikut bergabung di sini.” Baru saja Eva terduduk. Ia sudah mendapatkan sambutan sinis dari kerabat suaminya. Hari ini, Eva ikut menghadiri pesta pernikahan kerabat jauh dari Henry, suaminya. Namun, kehadirannya tidak disambut dengan baik. Salah satu dari mereka, Bibi Maria, mulai menyahuti. “Henry, kenapa kau harus membawa perhiasan tidak layak sepertinya? Tampaknya dia lebih cocok berada di etalase daripada di keluarga kita.”Anggota kerabat lainnya menatap Eva dengan tatapan mengejek. “Wanita yang berasal dari latar belakang biasa dan juga memiliki penyakit mata, ya. Aku tidak yakin dia bisa melakukan tugas-tugas sebagai istri dengan benar.”“Kami bisa mengenalkanmu pada wanita yang layak denganmu. Kenapa kau harus memilih wanita rendahan sepertinya, Henry?” Eva menundukkan, menyembunyikan wajahnya. Ia berusaha bersikap tenang, tetapi rasa sakit hati mulai membanjiri hatinya. Dia tahu, bahwa setiap acara seperti ini, ia hany
Eva merogoh tasnya, mencari obat tetes mata yang biasa ia gunakan. Namun sayangnya, dia tidak membawa obat tersebut.Eva menepuk keningnya pelan. “Aah … aku lupa membawanya karena terburu-buru.”Rasa perih di matanya itu kini menjalar ke kepala. Eva memukul kepalanya berulang kali, berniat menormalkan pandangannya. Namun pandangan matanya semakin gelap.Eva mulai melangkahkan kakinya menjauh dari sana. Perjalannya ternyata tidak mulus. Dia tersungkur karena pandangan matanya gelap.“Awsh.” Eva merintih kesakitan. Lututnya terasa perih.Eva kembali bangkit melupakan rasa perih di lututnya. Ia terus berjalan sampai di tepi jalan besar dengan langkah kaki tersandung. Tangannya melambai menghentikan taksi yang sedang melaju. Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 2 jam lamanya, Eva tiba di Central Park Tower Penthouse. Penthouse mewah yang ia tempati bersama Henry. Di mana suasana di dalamnya sangat sunyi dan dingin. Tak ada kehangatan atau warna di dalamnya.Eva berjalan dengan lesu,
Harrison Realty Partners. Pekerjaan yang menumpuk mulai berkurang, dan suasana di luar pun lebih sepi hari itu. Terkadang, kesibukan yang datang begitu mendalam membuat Henry merasa sesak, namun saat ini dia lebih bisa bernapas lega.Dia memeriksa beberapa dokumen di mejanya dengan tenang, tangannya sesekali menulis catatan di margin. Tentu saja, ada beberapa hal yang masih perlu ditindak lanjuti lebih matang, tetapi semuanya terasa lebih terkendali. Henry menikmati momen ini, waktu untuk menyusun langkah selanjutnya tanpa tergesa-gesa.Tiba-tiba pintu ruangannya diketuk, dan suara Ryan terdengar dari luar, “Ini saya, Tuan."Tanpa menoleh Henry menjawab, "Masuklah."Pintu dibuka, dan Ryan memasuki ruangan dengan langkah ringan. Dia mengenakan jas hitam yang tampak rapi, meskipun hari itu tidak ada pertemuan penting yang mengharuskannya berpakaian seperti itu.“Ada yang bisa saya bantu, Tuan?” “Aku ingin berbicara mengenai bodyguard yang pernah kau utus saat di rumah sakit.” Henr
Berlian kecil yang terdapat di kalung itu memancarkan setitik kilauan indah. Keindahan itu tampak sangat menyatu. Dia tak salah pilih, kalung itu benar-benar cocok di leher Eva. “Kenapa tiba-tiba sekali?” Eva menatap Henry dengan mata penuh kebingungan. “Apa kau ada maksud tertentu?” Henry sedikit terhenyak dengan pertanyaan Eva tampak mencurigainya. Dia menarik napas sejenak, berusaha untuk tidak terbawa perasaan. Meskipun sedikit terkejut, dia berusaha menjaga ketenangannya dan menatap Eva dengan lembut.“Hadiah itu untukmu, karena akhirnya kau bisa melihat lagi,” jawabnya dengan tenang sabar. Eva terdiam sejenak, matanya sedikit melebar. Dia memandang Henry dengan ekspresi yang sulit untuk dijelaskan. Sudah bertahun-tahun mereka menikah, dan ini adalah pertama kalinya dia menerima hadiah dari Henry. Ada perasaan campur aduk yang muncul, terkejut, haru, dan sedikit bingung.Apa dia benar-benar berubah? Eva masih merasa tidak percaya. Akan tetapi sorot mata Henry tidak menunjukk
Dengan rasa ragu Eva berucap, “Aku ….”Ucapan itu dibuat menggantung, membuat Henry menatapnya dalam diam. Ada sesuatu yang tak terungkap, sesuatu yang mengambang di antara mereka, tetapi Eva tampak ragu untuk melanjutkannya. “Apa yang ingin kau katakan?” Henry bertanya pelan, berusaha tak mendesak, tapi cukup tegas agar Eva merasa dia siap mendengarkan.Eva menarik napas panjang, seolah mengumpulkan keberanian, matanya tak bisa menatap langsung ke arah Henry. Beberapa detik kemudian dia menggeleng, mengurungkan niatnya. “Tidak apa-apa, lupakan saja.”Eva kembali fokus pada piring di depannya. Takut jika apa yang dia katakan nanti hanya menjadi angin lalu bagi Henry. Lebih baik dia diam saja daripada harus membuang tenaganya. Sementara Henry, dia bisa merasakan keraguan di wajah Eva. Dia menyadari bahwa istrinya itu belum siap untuk berbicara tentang apa yang mengganggunya.Dia mencoba memberikan ruang tanpa menekan. "Aku tahu kau sedang memikirkan banyak hal," katanya dengan suara
Eva menatap Henry dengan serius, sorot matanya menunjukkan keteguhan. Suasana hening sejenak, dia menunggu jawaban Henry, memastikan perubahan sikap suaminya.Henry membalas tatapan Eva, memikirkan kata-kata yang tepat. Dia merasa kesal pada dirinya sendiri, tetapi juga gengsi untuk mengakui kesalahan secara langsung. Dengan ekspresi serius dan dengan nada ragu dia menjawab, "Semua orang pasti pernah melakukan kesalahan. Aku … akan berusaha untuk melakukan yang terbaik kedepannya." Henry menatap Eva dengan sedikit gugup, berharap Eva bisa melihat bahwa dia benar-benar berniat berubah, meskipun sedikit malu mengakui kesalahannya.Eva terdiam sejenak setelah mendengar jawaban Henry, mencerna kata-kata itu dengan benar. Ada gurat keraguan di wajahnya, tetapi dia mencoba untuk tenang. Matanya menatap ke dalam mata Henry, memastikan jawaban itu benar adanya. “Baiklah, aku harap itu bukan hanya sekedar kata-kata, karena aku tidak bisa terus-terusan begini. Aku hanya memberimu satu kali kes
Meski hatinya berat melihat Samuel kesepian, dia tahu bahwa cinta tidak bisa dipaksakan, dan terkadang, cinta tak harus memiliki. Dia hanya bisa tetap ada di sampingnya, memberikan dukungan dengan cara yang sederhana, karena, terkadang hal yang paling dibutuhkan adalah kehadiran dan doa yang tulus dari orang terdekatt.Samuel menghela napas panjang, menyadari dirinya terlalu larut dalam pikirannya. Dia mengalihkan pandangannya pada Dave sebelum akhirnya bertanya dengan suara tenang namun tegas, "Bagaimana kondisi di kantor selama aku tidak ada?"Dave segera menjawab, "Semuanya berjalan seperti biasa, Tuan. Beberapa klien menanyakan Anda, tapi sudah ditangani. Tidak ada masalah besar."Samuel mengangguk pelan. "Baik. Aku akan segera kembali. Kau urus semuanya."Dave hanya mengangguk samar. Tak lama kemudian memberikan tablet pada Samuel. "Tuan, ada pembaruan dari klien utama kita. Blackwood Capital ingin laporan performa terbaru sebelum akhir pekan. Mereka menekan soal proyek investa
Samuel duduk di tempat tidurnya, kedua kakinya berselanjaran santai di atas kasur yang empuk. Laptop terbuka di pangkuannya, cahaya layar memantul di wajahnya yang terlihat serius, sementara suasana kamar yang tenang menciptakan kesan hening di sekelilingnya.Liliana menggelengkan kepala perlahan, matanya memandang putranya heran. Putranya itu tampak tenggelam dalam kesibukannya sendiri. Dia duduk diam, fokus pada dunianya sendiri. “Mama benar-benar heran sama kamu,” katanya kesal sambil berkacak pinggang. “Baru juga pulang dari rumah sakit tapi masih saja kerja. Kamu tuh masih butuh banyak istirahat! Kondisi kamu masih belum pulih sepenuhnya.” Wajahnya tampak tegas, menunjukkan kekhawatiran dan keheranan yang tidak bisa dijelaskan. Samuel menatap mamanya sekilas dengan senyum tipis di wajahnya. “Samuel sudah jauh lebih baik, Ma,” jawabnya dengan santai. Matanya kembali fokus pada layar laptop di depannya. Langkah Liliana semakin dekat, wajahnya menunjukkan sedikit kekesalan. “Kamu
2 hari kemudian. Mobil berjenis marcedes itu telah terparkir rapi di basement, berjejer dengan mobil mewah lainnya. Suasana di sana cukup hening, hanya terdengar suara pelan mesin ventilasi yang berputar. Eva menoleh ke arah kursi pengemudi, di sana terdapat Henry yang baru saja mematikan mesin mobilnya. Wajahnya menunjukkan ketidaksetujuan. “Aku ingin pulang, kenapa kau membawaku ke sini?” Keningnya berkerut, hingga alianya itu hampir menyatu. Henry melepas sabuk pengaman, menatap ke arah Eva sekilas. “Bukankah ini rumahmu?” jawabnya dengan santai.Henry tahu, bahwa Eva pasti akan menolak kembali ke penthouse, tempat tinggal mereka berdua sebelumnya. Dia memang sengaja membawa Eva kembali ke penthouse untuk memulai kehidupan mereka setelah drama perceraian. Eva menegang di tempat duduknya, jari-jarinya mengepal di atas pangkuan. "Aku sudah bilang, aku tidak akan kembali ke sini," ucapnya dengan suara rendah, nyaris bergetar.Henry tersenyum kecil, bukan senyum yang hangat, mela
Henry tertawa ringan, tapi ada nada ejekan di dalamnya. “Heh, Samuel?” gumamnya, menatap Eva yang masih duduk di brankar.Ada perasaan aneh saat Eva menyebutkan nama Samuel di depannya. Rasa seperti tak dihargai. Tapi dia tak bisa menyalahkan Eva, karena dia juga yang menutupinya. Eva mengerutkan kening, bingung dengan ekspresi di wajah suaminya. “Kenapa tertawa?” tanyanya. Henry melipat tangannya, menyandarkannya di atas brankar milik Eva, posturnya tegak, tapi tetap santai. Kedua matanya menatap Eva, seperti menyimpan sesuatu yang sulit dibaca. “Jadi, kau pikir operasi ini semua karena inisiatif Samuel?” katanya, suaranya terdengar datar namun tajam.Eva menatapnya, perlahan mulai memahami arah pembicaraan ini. “Bukankah begitu?”Henry mendengus kecil, lalu tersenyum miring. “Sebenarnya, semuanya terjadi atas perintahku.”Eva terdiam, menatap Henry lekat-lekat, mencoba memastikan apakah dia serius. “Maksudmu…?”Henry mengangkat bahu, seolah itu bukan hal besar. “Aku yang mengur
Bukan hanya Eva, rasa lega terpancar dari wajah para dokter itu. Operasi ini berhasil, dan dengan itu, karir mereka tetap utuh. Tak henti-hentinya mereka mengucapkan rasa syukur. Eva tersenyum penuh haru, air matanya mulai menggenang. Pandangannya mengedar ke seluruh ruangan, memerhatikan satu per satu dari mereka. Matanya berhenti pada sosok Henry yang berdiri tak jauh dari jangkauan para dokter. Wajahnya tampak tegas, tapi menunjukkan kelegaan dalam hatinya. Namun tiba-tiba saja senyum di wajah Eva perlahan luntur. Hatinya merasa sesak ketika orang yang selalu ada untuknya tak berada di sana. Pada momen bahagia ini, seharusnya Samuel berada di sana, turut merayakan kebahagiaan yang ada. Namun, di sisi lain, ia teringat bahwa Samuel memang membutuhkan waktu untuk beristirahat, agar kesehatannya kembali pulih. Meskipun hati ingin sekali bersama, kesadaran akan pentingnya istirahat membuatnya merelakan ketidakhadiran Samuel di momen tersebut."Senang sekali mendengar Anda bisa me