Harrison Realty Partners. Pekerjaan yang menumpuk mulai berkurang, dan suasana di luar pun lebih sepi hari itu. Terkadang, kesibukan yang datang begitu mendalam membuat Henry merasa sesak, namun saat ini dia lebih bisa bernapas lega.Dia memeriksa beberapa dokumen di mejanya dengan tenang, tangannya sesekali menulis catatan di margin. Tentu saja, ada beberapa hal yang masih perlu ditindak lanjuti lebih matang, tetapi semuanya terasa lebih terkendali. Henry menikmati momen ini, waktu untuk menyusun langkah selanjutnya tanpa tergesa-gesa.Tiba-tiba pintu ruangannya diketuk, dan suara Ryan terdengar dari luar, “Ini saya, Tuan."Tanpa menoleh Henry menjawab, "Masuklah."Pintu dibuka, dan Ryan memasuki ruangan dengan langkah ringan. Dia mengenakan jas hitam yang tampak rapi, meskipun hari itu tidak ada pertemuan penting yang mengharuskannya berpakaian seperti itu.“Ada yang bisa saya bantu, Tuan?” “Aku ingin berbicara mengenai bodyguard yang pernah kau utus saat di rumah sakit.” Henr
The Underground Exchange, meski itu tempat tersembunyi, tempat itu tak pernah sepi. Semakin malam, tempat itu semakin ramai.Tempat itu tersembunyi dari pandangan publik dan sering digunakan untuk kegiatan tidak sah, tempat mencari informasi, dan pertemuan rahasia antar individu. Letaknya di bagian belakang klub, atau biasa disebut backroom. Dan tak semua orang memiliki akses untuk masuk. Seorang memakai jubah hitam tampak memasuki area tersebut dengan santai dan tenang. Dia adalah salah satu langganan di tempat tersebut. Dia duduk di salah satu bangku, di hadapannya terdapat seorang pria yang seperti sudah menunggunya. Dengan gerakan perlahan, tangannya membuka penutup di kepalanya. Orang itu adalah … Julia. Namun, orang di depannya itu terlihat biasa saja. Seakan mereka sudah terbiasa saling bertemu. “Selamat malam, Nona,” sapa orang di hadapannya. “Kau sudah mengamankan mobil itu?” Julia tidak mau berbasa-basi. Pria itu menjawab, “Semua sudah saya amankan, Nona.”Rupa-rupan
Ekspresi Henry perlahan-lahan berubah, mata yang semula penuh kehangatan, dalam hitungan detik menjadi datar dan dingin. Eva menatap Harry dengan tenang, dia sudah terbiasa dengan ekspresi seperti itu. Tak ada kejutan atau kekagetan di wajahnya, hanya sekedar kebiasaan yang sudah mengakar. Dia menyadari bahwa ucapannya itu membuat Henry sensitif. Dia tak bermaksud mencari perkara, dia hanya ingin melihat bagaimana kondisi Samuel saat ini.Apakah pria itu baik-baik saja?Setelah operasi berlangsung, dia tak lagi melihat kehadiran Samuel di sana. Padahal, pria itu biasanya lebih antusias. Dia hanya ingin mengucapkan terima kasih, karena Samuel sudah banyak membantunya. “Aku rasa itu bukan pilihan yang tepat.” Suaranya terdengar lebih datar, meskipun dia berusaha untuk tidak menunjukkannya. “Aku hanya ingin menjenguknya dan berterima kasih. Dia sudah banyak membantuku selama ini.” Eva menjawab dengan tenang, tanpa rasa takut. Tik!Tik!Tik!Suasana hening seketika, hanya terdengar
“Kau sangat mencintainya, ‘kan?” Nyonya Rosie tidak terkejut. Ia bisa melihat perlakuan dan bagaimana tatapan Samuel selama ini. Wanita itu menjeda ucapannya sejenak, kemudian melanjutkan, “Tidak semua cinta harus memiliki, Anak Muda.”Samuel memandang Nyonya Rosie. Wajahnya menyimpan luka yang dia sembunyikan. Entah bagaimana wanita tua itu bisa tahu perasaan tanpa perlu menjelaskan panjang lebar. "Kadang, cinta sejati adalah tentang mengorbankan perasaan kita sendiri demi kebahagiaan orang yang kita cintai," lanjut Nyonya Rosie. "Aku pernah muda sepertimu.” Nyonya Rosie memulai untuk bercerita. "Dulu aku mencintai seseorang dengan seluruh hatiku. Tapi dia memilih orang lain.”“Benarkah, Nyonya?” kata Samuel, suaranya penuh keterkejutan. “Lalu, apa Anda menyesal sudah mencintainya, Nyonya?” tanyanya dengan penasaran.Nyonya Rosie menggeleng samar. “Tidak! Aku tidak pernah menyesal.” Dia tersenyum, mengenang kenangan yang jauh. “Aku bisa saja membencinya, atau berusaha memisahkan
Henry duduk di meja kerjanya dengan wajah serius menatap layar ponsel yang ada di tangannya. Jari-jarinya terus menggulir di atas layar, mencari yang penuh perhatian. Di atas meja, tumpukan dokumen itu tidak tersentuh, terlupakan karena dia begitu fokus pada apa yang sedang dia baca. “Cara menyenangkan hati istri” begitu judul artikel di layar ponselnya. Dia merasa ini adalah topik yang penting. Sampai saat ini, dia tidak bisa memahami perasaan Eva, dan kali ini dia mencoba yang terbaik untuk memperbaiki rumah tangganya. Dengan penuh rasa ingin tahu, dia segera menggulir layar dan membaca artikel itu dengan cermat. Artikel itu memberikan beberapa tips, dari mulai memberikan perhatian lebih, menghargai waktu, mengajak makan malam bersama, dan memperhatikan hal-hal kecil yang sepele, tapi berarti bagi pasangan. Henry mendesah pelan, beberapa dari tips itu sudah pernah dia lakukan. Namun itu tidak berhasil. Eva hanya diam, menunjukkan emosinya dan selalu menghindar. Dia kembali meng
Henry mendengus sebal. “Sudah kubilang, kau memang tidak berguna!” kata-katanya penuh sarkasme. “Saya ‘kan tidak setiap hari bersama Nyonya, Tuan. Harusnya Tuan yang lebih tahu apa saja yang disukai Nyonya Eva.” Ryan membantah. “Tugasmu sebagai Asistenku untuk apa kalau tidak mencari tahu semuanya?” Tatapan Henry begitu tajam ke arahnya. Dengan nada pasrah Ryan menjawab, “Siap salah, Tuan. Saya akan mencari tahu apa saja yang disukai Nyonya Eva.” Dia memilih pasrah, karena tahu bahwa berdebat lebih lanjut dengan Henry tidak akan membawa hasil apa pun. “Oh, iya, Tuan, begini saja.” Suara Ryan kembali terdengar penuh semangat. “Anda tahu Chef Miles, ‘kan? Nah … kebetulan dia sedang membuka kelas memasak. Mungkin Tuan bisa ikut kelasnya dan membuat masakan untuk Nyonya Eva.” “Ya sudah tunggu apa lagi? Cepat hubungi dia sekarang juga!” perintahnya. “Aku mau kelas pribadi.” Rasa semangat Ryan membara, dia senang sekali karena Henry menuruti setiap saran yang diberikan. D
Henry menggaruk kepala, sedikit malu. "Mungkin sedikit terlalu lama di atas kompor. Tenang saja, ini bisa dimakan!" jawabnya dengan suara pelan, berusaha mempertahankan semangat. Namun, ekspresinya yang canggung dan mencoba terlihat yakin, justru membuat suasana semakin konyol.Eva terdiam sejenak, rasanya ingin tertawa keras. "Kau … sudah mencobanya?" “Aku membuatkan ini untukmu, aku akan makan kalau kau sudah makan,” jawabnya dengan percaya diri. Ia memberikan piring itu pada Eva.Dia sebenarnya niat atau tidak, sih? Apa dia mengejekku menggunakan makanan ini?Eva yang melihatnya dibuat speechless. Lidahnya mendadak keluh tidak bisa mengeluarkan sepatah kata pun. Salah satu pelayannya terlihat ragu, dia melirik ke dalam piring bergantian menatap majikannya dikelilingi rasa cemas dan takut hingga akhirnya dia angkat bicara, “Tu-tuan … itu ….” Dia menghentikan ucapannya. Sejak awal, dia sudah berusaha memberitahu Henry tentang masakan itu, tapi Henry mengabaikan, enggan mendeng
Henry mengemudi dengan fokus, sementara Eva duduk tenang di sebelahnya. Mobil melaju mengikuti arus lalu lintas yang ramai, dan sepanjang perjalanan, suasana di dalam mobil tampak sunyi. Sesekali Henry melirik ke arah Eva, dan pada akhirnya, Henry mulai membuka suara, “Kenapa tidak izin kalau kau keluar?” Eva menoleh, mengerutkan kening. “Aku tidak mau mengganggu waktumu,” jawabnya singkat.Henry kembali bersuara, “Kenapa kau menolak pengawalan yang kuberikan untukmu?” “Aku tidak perlu pengawalan,” jawabnya santai. “Terlalu mencolok, dan itu membuatku tidak nyaman saat di luar.”Henry menghela napas panjang, matanya tetap fokus mengarah ke depan. “Aku sengaja menempatkan mereka untuk menjagamu. Anggap saja mereka tidak ada bersamamu. Keselamatanmu lebih penting.” Eva terdiam mendengar pernyataan Henry. Kata-kata itu terngiang di benaknya. Dia menoleh perlahan, mencoba mencari ekspresi di wajah Henry, tetapi pria itu tetap menatap lurus ke depan dengan wajah penuh keseriusan.Hat
Besok adalah hari keberangkatan oleh Eva dan Henry ke Swiss, sesuai dengan kesepakatan. Momen itu akan dia gunakan untuk beristirahat dari padatnya jadwal kerjanya. Eva tengah sibuk mengatur barang-barangnya di kamar, mengatur pakaian, dan memeriksa tiket pesawat. Sementara itu, Henry yang ada di sana dengan gaya santainya duduk di atas tempat tidur sambil memainkan ponsel. Sesekali dia melirik ke arah Eva, yang tampak sedikit repot dengan tumpukan koper dan barang-barang yang belum tertata rapi. “Henry, bisa bantu aku menata sisanya?” Eva bersuara dengan tangan yang masih sibuk memilih baju untuk dia kenakan selama di Swiss. Ini pertama kalinya dia berlibur ke negara lain, apalagi liburan ini bersama dengan kolega suaminya. Dia hanya ingin menyiapkan semuanya dengan baik, dan menyesuaikan diri dengan mereka. “Untuk apa kau repot-repot dengan semua baju-baju itu?” Akhirnya Henry bersuara. Henry menoleh tanpa terburu-buru, lalu berdiri dan mendekati Eva dengan langkah yang santai.
Henry tersenyum tipis, jari-jarinya mengetuk meja pelan. "Ya, Tuan Lawson ternyata sudah menjadwalkan liburan eksklusif ke Swiss untuk kita semua. Lusa kita berangkat."Eva membelalakkan mata, meletakkan sendoknya ke piring dengan pelan. "Tunggu! Liburan eksklusif? Ke Swiss? Lusa?"Henry mengangguk tenang, seolah kabar ini bukan sesuatu yang mengejutkan. "Benar. Dia sudah mengatur semuanya, penerbangan, penginapan mewah di pegunungan, dan berbagai aktivitas. Katanya, istrinya sudah tidak sabar ingin bertemu denganmu.” “Istrinya?” Jantungnya tiba-tiba berdetak kencang. Sebelumnya, dia tak pernah berinteraksi dengan teman ataupun istri dari kolega suaminya. Tangannya mendadak dingin, merasakan gugup. Henry memerhatikan perubahan ekspresi Eva. Dia tahu bahwa istrinya tengah dilanda kegugupan. “Tidak perlu gugup. Yang aku dengar, Istri Tuan Lawson orang yang ramah. Jadi gunakan waktu itu untuk berteman sekaligus liburan. Jangan membuatnya menjadi beban.”Kata-kata Henry terdengar menen
Pintu apartemen terbuka, membuat pandangan Eva mengikuti sumber suara. Matanya bertemu dengan mata Henry, dan seketika itu, senyum hangat muncul di wajahnya. Dia bangkit dan mendekat ke arah Henry. “Sudah pulang?” ujar Eva, matanya berbinar-binar. Henry tersenyum, menyelipkan anak rambut Eva ke sela telinganya. Mata Eva fokus pada kotak yang ada di tangan suaminya. “Apa lagi yang kau bawa kali ini? Apa kau membiarkan rumah ini menjadi toko dadakan?” “Aku bawa sesuatu untukmu,” jawabnya dengan perasaan bahagia. Dengan wajah penasaran dia bertanya, “Apa itu?” Henry menuntun Eva ke meja makan, dan mengeluarkan hidangan khusus di dalamnya, chicken hot pie.Mata Eva berbinar. Dia tahu betul bahwa suaminya yang sering kali bersikap keras dan arogan, bukan tipe orang yang menunjukkan kelembutan dengan mudah. Bahkan, untuk melakukan sesuatu sesederhana ini, pasti ada usaha yang besar di baliknya.“Kau membelinya untukku?” tanyanya, dengan nada antusias. Henry tersenyum saat melihat w
Apa aku harus mengatakannya?Mungkin lebih baik tidak!“Apa kejadian di rumah sakit itu memengaruhi mood-mu?” Henry kembali bersuara. “Aku pastikan jika hal itu tidak akan terjadi lagi.” Eva terdiam, tak menjawab ucapan Henry. Hari ini sepertinya memberi dampak cukup besar pada suasana hatinya. Semua yang terjadi membebani pikirannya, membuat mood nya kacau. Pelukan itu akhirnya terlepas. Henry sedikit membungkuk, menyetarakan tinggi badannya dengan Eva. “Sebentar lagi makan malam, aku mandi dulu sebelum kita makan malam.”Eva mengangguk pelan dan membiarkan Henry membersihkan diri. ***Hari demi hari berlalu, hubungan Henry dan Eva semakin membaik. Setelah melewati keraguan dan ketidakpastian yang menguras emosi, mereka akhirnya menemukan kenyamanan dalam kebersamaan. Henry yang sebelumnya sibuk di dunia kantornya, kini semakin giat dalam kelas memasaknya bersama Chef Miles. Dia memilih memperketat jadwal kelas memasaknya, dia berlatih tanpa henti. Demi memasak makanan kesukaan
“Aku ingin percaya, tapi aku tidak tahu bagaimana caranya agar aku bisa percaya denganmu.”Henry menatap Eva dalam-dalam, tak sedikitpun melepaskan pandangannya. Dia menggenggam tangan Eva semakin erat, menyalurkan semua ketulusannya. Dia melangkah satu langkah lebih dekat dengan Eva. Dengan satu tarikan napas, dia pun menjawab, “Apa keberadaanku di sini saat ini tidak cukup?” suaranya terdengar lebih tenang. Tangannya terangkat, menyentuh pipi lembut Eva. “Aku sadar, aku tidak bisa menghapus semua rasa sakit di masa lalu, tapi aku selalu mengusahakan agar tidak menambah luka itu. Tidak apa-apa jika kau belum bisa percaya padaku. Aku tidak memaksamu untuk melakukannya.”Eva terdiam cukup lama, mencoba meresapi kata-kata suaminya. Tak mendapat reaksi dari Eva, perlahan-lahan dia menarik Eva ke dalam pelukannya. Eva terkejut saat merasakan tangan kekar itu tiba-tiba melingkari tubuhnya. Setiap detiknya waktu terasa berhenti. Dia terdiam, tubuhnya mendadak kaku, mulutnya terkunci da
“Samuel?” gumamnya pelan, dengan perasaan campur aduk.Nyonya Rosie mengangguk. “Ya. Dia terlihat baik … tapi ada sesuatu dalam sorot matanya yang sulit kujelaskan.”Jantung Eva berdetak lebih cepat. Sudah sekian lama dia tidak mendengar kabarnya, tapi cukup satu penyebutan namanya saja untuk membuat dadanya terasa sesak dan merasa bersalah. Selama ini, dia selalu berusaha menghubungi pria itu, tapi setiap usahanya hanya berakhir sia-sia. Tak ada balasan atau tanda-tanda bahwa pria itu menghubunginya. Setiap pesan yang dia kirim terasa terabaikan. Apa dia benar-benar menjauhiku?Kenapa dia lakukan itu?“Apa dia mengatakan sesuatu, Nyonya?” Eva bertanya dengan rasa penasaran. Nyonya Rosie memerhatikan wajah Eva yang dipenuhi kekhawatiran. Dia pun tersenyum lembut dan menjawab, “Dia memberitahuku jika operasimu berhasil. Dia juga terlihat senang saat mengatakan itu.”Nyonya Rosie memilih diam, tidak membocorkan pembicaraannya bersama Samuel pada hari itu. Sudah cukup tahu bagaimana k
Henry tiba di penthouse pada waktu senja. Tangannya penuh dengan paper bag besar, dan terlihat jelas tulisan di paper bag itu adalah merk ternama, dan meletakkan semua paper bag di atas meja. Matanya menatap sekeliling, menyadari suasana hening memenuhi ruangan. Tak ada tanda-tanda keberadaan istrinya. Apa dia di dalam kamar? “Di mana Nyonya kalian?” Suara beratnya itu mampu menghentikan pelayan yang tampak sibuk. Pelayan itu berbalik dan segera menjawab, “Tadi Nyonya bilang keluar sebentar, Tuan.” Henry dengan cepat menanggapi, “Ke mana?” “Kami tidak tahu, Tuan,” jawabnya dengan rasa ragu. “Nyonya tidak memberitahu kami.” Suaranya semakin terdengar pelan. Seketika wajah Henry memerah karena marah. “Kenapa kalian membiarkannya, hah?! Kenapa kalian tidak memberitahuku kalau dia keluar?” Pelayan itu sedikit terjingkat karena terkejut dengan bentakan Henry. “Maaf, Tuan.” Henry mengusap wajahnya, lalu mengacak rambutnya dengan gerakan kasar. Pikirannya penuh deng
Henry melanjutkan dengan suara datar dan tegas. “Kalau Mama terus berbicara seperti itu, Henry akan menjaga jarak seterusnya! Eva adalah Istriku, dan aku tidak akan membiarkan Mama mengatakan itu lagi padanya!”Gigi Elise gemertak, mulutnya terkatup rapat. “Jadi kamu lebih memilih dan membelanya?” Suaranya bergetar penuh dengan kemarahan. Dia pun kembali menatap Eva dengan perasaan semakin membara. “Pasti kau sudah mencuci otak Henry, ’kan?” Sementara Eva, wajahnya tampak tenang, tidak menunjukkan kemarahan atau tanda-tanda melawan. “Bisa dibilang seperti itu. Aku memiliki terlalu banyak waktu luang untuk melakukannya.”Dia melirik Henry sebentar, lalu kembali menatap Elise dengan tatapan datar. "Tapi Mama tenang saja, dia masih punya kemampuan untuk berpikir sendiri, walaupun aku tahu itu terlalu sulit dipahami oleh sebagian orang.”Elise terhenyak, wajahnya memerah karena tersinggung, dan kini kemarahannya semakin meluap. Henry pun terkejut mendengar jawaban Eva. Dia tak menyangk
Henry memerhatikan Eva yang terlihat memalingkan pandangannya, seolah tidak melihat kehadirannya. Biasanya dia paling tak peduli dengan reaksi Eva selama ini, dan sekarang, dadanya terasa sesak ketika istrinya tak melihat keberadaanya. “Ayo kita berangkat,” ajaknya dengan suara lembut. “Tidak perlu!” Eva berbalik. “Aku bisa berangkat sendiri.”Eva melangkah dengan mantap, bersiap pergi tanpa menoleh lagi. Namun, sebelum dia sempat menjauh, Henry dengan sigap meraih tangannya."Tidak ada penolakan!” tegasnya. Dia menggenggam tangan Eva erat, lalu menuntunnya menuju mobil.Eva ingin menolak, tetapi genggaman Henry terlalu kuat, membuatnya enggan berdebat lebih jauh. Akhirnya, dia membiarkan pria itu membawanya pergi.Selama perjalanan, keduanya terdiam. Hanya suara mesin mobil yang terdengar, sementara tatapan Eva terarah ke luar jendela. Henry, di sisi lain, sesekali meliriknya, ingin mengatakan sesuatu tetapi menahan diri.Akhirnya bersuara, suaranya rendah dan penuh perhatian. "B