Hari yang seharusnya membuat Azkia bahagia, seketika berubah menjadi ketegangan.
Dua orang sepasang mantan kekasih itu masih tidak menyadari ada segerombol orang yang mendekati mereka.
Deffin dan yang lain masih memberikan jarak, namun obrolan mereka cukup terdengar dengan jelas di indra pendengaran mereka.
Setelah Mark meminta Azkia untuk merajut hubungan mereka kembali.
"Kau sudah gila Mark, aku sudah menikah, dan itu tidak mungkin akan terjadi." Azkia berbicara dengan memberikan sorot mata tajam.
Bagaimana orang di depannya mempunyai pikiran gila seperti itu.
"Aku memang sudah gila karenamu Azkia, selama ini hidupku hampa tanpamu ...." Lirihnya.
"Aku akan lebih membahagiakan dirimu dari tuan Deffin sialan itu." Mark berkata dengan penuh percaya diri, untuk meyakinkan hati Azkia bahwa dirinya yang terbaik.
"Kau benar-benar semakin tidak waras, aku tidak akan mungkin meninggalkan suamiku jika dia tidak bersalah," ucap Azkia me
Pagi yang indah bagi Tuan Muda yang paling berkuasa di negeri ini. Deffin menganggap kutukannya telah berakhir, bibir itu tidak berhenti tersenyum semenjak dia membuka matanya. Di hadapannya ada pemandangan indah yang mengalahkan segala keindahan di bumi, wanita cantik yang masih setia menutup matanya karena kelelahan akibat pergulatan panas semalam. Wajah menggemaskannya saat tidur membuat Deffin tidak kuasa untuk menahan agar tidak mencium Azkia. Cup Cup Cup Entah berapa kali dia melakukannya, kecupan yang didaratkan di bibir, yang akhirnya membangunkan tidur nyenyak Azkia. "Jika kau masih tetap seperti ini, kau bisa memancingku untuk memakanmu lagi," ucap Deffin dengan senyuman manis setelah Azkia membuka matanya. Azkia yang wajahnya merona semakin memerah, dia menyelusupkan wajahnya ke dada Deffin yang terbuka, Azkia tidak tahu jika kelakuannya membuat Deffin semakin terpancing. Tanpa aba-aba Deffin menggendong tubuh Azkia menuju kamar mandi. Azkia yang terkejut sedikit be
Tidak terasa pernikahan Deffin dan Azkia sudah memasuki usia satu tahun. Mereka berdua semakin dekat, sama seperti pasangan suami istri pada umumnya, yang terlihat saling mencintai. Namun, sampai sekarang masih belum ada kata cinta dari mulut mereka berdua, Deffin yang masih menjunjung tinggi rasa gengsinya, sedangkan Azkia, semua aturan Deffin yang tetap membelenggunya, tidak bisa membuat Azkia percaya jika Deffin mencintainya, jika tidak pernah ada kata cinta yang keluar untuknya. Deffin yang ingin segera mengetahui perasaan Azkia untuknya, telah berpikir konyol yang mungkin akan menjadi ingatan yang paling dia sesali seumur hidupnya. **************** Sudah satu bulan Deffin kembali menjadi lelaki normal, dia sudah tidak mual jika berdekatan dengan wanita, namun meski begitu, dia tetap menjaga jarak dengan wanita, aturan mematahkan tangan setiap wanita yang menyentuhnya karena niat menggoda tetap berlaku sepanjang hidupnya. Pagi yang cerah, tapi tidak dengan suasana hati Azkia,
Azkia yang setelah melihat pemandangan itu langsung pergi dan setengah berlari, kejadian ini seperti dejavu mengingatkannya pada Bella, namun sekarang kasusnya jelas berbeda karena Deffin memangku wanita itu berarti Deffin menerima semua perlakuan wanita itu.Jika dulu ada para karyawan yang mencegahnya keluar dari gedung ini, namun sekarang tidak karena tidak ada instruksi dari Sekretaris Roy, dan ini membuat Azkia semakin berpikir buruk, berarti benar dugaannya selama ini, dia hanyalah alat yang digunakan Deffin untuk menyembuhkan alerginya terhadap wanita.Dengan kasar Azkia membuka dan menutup pintu mobil sport milik Erwin, sedangkan yang di dalam mengumpat kencang karena kaget, namun emosinya segera sirna melihat betapa kacaunya wajah Azkia yang sedang menangis."Hei, apa yang terjadi?" Erwin membantu mengusap air mata Azkia, dengan lembut dia bertanya lagi, "Kenapa kamu menangis?""Sudah jangan banyak tanya dulu, cepat bawa aku pergi dari sini !!" p
Cukup lama berada di luar hanya memandang deburan ombak yang saling berkejaran, meski dari jarak yang cukup jauh, namun sudah bisa mengurangi rasa sesak di dadanya."Apa kau tidak lapar, ayo cepat masuk," suara Erwin membuyarkan lamunannya, tanpa ada kata karena dia juga merasa lelah, dengan patuh Azkia mengikuti langkah Erwin.Para penjaga dengan hormat menundukkan kepalanya ketika mereka berdua melangkahkan kaki melewati mereka yang sedang berbaris rapi di depan pintu yang bercat putih itu.Azkia semakin dibuat terpukau dengan dekorasi di dalam rumah yang semuanya bercat putih itu, segala impian masa kecilnya tentang rumah yang ingin ditinggalinya ketika dewasa, sekarang bisa nyata di pandang dengan leluasa oleh matanya.Dengan curiga Azkia memandang penuh selidik orang yang sekarang berada di sampingnya itu.tidak ingin berpikir aneh-aneh dengan segera Azkia mengungkapkan rasa penasarannya."Apakah villa ini milik Deffin?"
Azkia kini semakin dekat mengingat masa lalunya, apalagi setelah melewati hari ini."Baik, semua keinginan Tuan Putri akan saya turuti." ucapan Erwin dengan senyum misterius.Deg...Azkia yang berada di depan Erwin merasakan seperti ada sesuatu yang menghantam jantungnya setelah mendengar perkataan Erwin.Secepat kilat dia teringat sesuatu tapi secepat itu pula dia merasakan sakit di kepalanya.Tidak ingin rasa sakit ini semakin menjadi, dia langsung menoleh ke arah Erwin untuk bertanya."Kau memanggilku apa?" Dengan mimik wajah penuh harap, semoga dia mendapat petunjuk dari jawaban Erwin."Tuan putri, memang kenapa? Bukannya panggilan tuan putri adalah hal biasa untuk wanita yang mempunyai keinginan untuk selalu dituruti," jawaban dari Erwin membuat Azkia semakin membeku tak terasa matanya berkaca-kaca, bukan karena terharu mendapat sebuah petunjuk. Tapi dia merasa kesal karena tidak bisa men
Azkia yang speechless mendengar panggilan dari Deffin berpengaruh juga pada tubuhnya, entah mengapa rasa lemas menyerangnya seketika, Deffin yang merasakan tubuh Azkia lemas segera memapahnya untuk duduk di sofa yang berada di sampingnya."Kau baik-baik saja?" tanya Deffin penuh dengan wajah khawatir.Azkia mengangguk lalu bertanya,"Ka- kamu, me- memanggilku dengan nama Kia?" ujarnya terbata, panggilan itu membuat ada perasaan yang tidak bisa dibendung dan detik itu juga memaksa untuk keluar, kemudian ada air mata yang jatuh membasahi pipinya.Deffin menganggukkan kepalanya mengiyakan pertanyaan Azkia."Astaga ... Apalagi ini, belum ada jawaban tentang rasa penasaranku pada Erwin, sekarang kau tiba-tiba juga membuatku merasakan akan sesuatu hal yang sulit aku ingat, entah mengapa aku sangat nyaman mendengar panggilan itu," gumam hati Azkia."Kenapa kau malah menangis, apakah kau tidak suka mendengar aku memanggilmu Kia," ucap
Sinar matahari menembus jendela yang sengaja dibuka gordennya oleh Deffin. Namun itu tetap tidak dapat mengusik tidur istri cantiknya agar bangun, akhirnya dia menusuk-nusukkan jarinya di pipi mulus itu. "Hei bangun, kau semalam yang malu untuk menginap di sini, tapi sekarang sepertinya kau sudah betah berada di sini," omel Deffin yang sedari tadi membangunkan Azkia namun tidak ada respon sama sekali. Azkia yang sayup-sayup mendengar perkataan Deffin segera membuka matanya. Oh iya, kita kan berada di rumah Erwin, ngomong-ngomong jam berapa sekarang. Azkia membelalakkan matanya kaget melihat jam yang menggantung di dinding itu, seharusnya Deffin sudah berangkat ke kantor saat ini. Lalu dia mendesah lega karena Deffin sudah rapi dengan pakaian kantornya. "Sayang, kenapa tidak membangunkanku?" tanyanya tanpa rasa bersalah. "Kau yang tidur seperti orang mati," ketus Deffin. "Cepat bersihkan dirimu," lanjutnya. "Baik," jawab Azkia sambil mengerucutkan bibirnya lalu berlalu ke kamar
Setelah mengucapkan terima kasih kepada orang yang mambantunya, Azkia bergegas pergi karena Erwin tidak berhenti menelponnya sedari tadi ketika antri membayar belanjaan. Sedangkan orang itu hanya menatap kepergian Azkia dengan tatapan yang susah diartikan.Setengah berlari karena suara klakson mobil terus berbunyi menandakan orang yang ada di dalamnya tidak sabaran menunggu. Setelah menyerahkan kantong kresek kepada pengawal yang mengikuti di mobil belakang, Azkia masuk kembali di mobil yang dikemudikan Erwin.Setelah mendudukkan dirinya di kursi penumpang bagian belakang."Kau ini kenapa tidak sabaran sekali sih," gerutunya pada Erwin yang mulai menjalankan mobilnya."Kau ingin telingaku cepat tuli karena tuan muda berteriak terus dari tadi.""Hah! memangnya kenapa?" Azkia bingung, apalagi ini pikirnya."Tuan muda menelpon tidak berhenti mengomel sambil berteriak, sudah s