Azkia yang setelah melihat pemandangan itu langsung pergi dan setengah berlari, kejadian ini seperti dejavu mengingatkannya pada Bella, namun sekarang kasusnya jelas berbeda karena Deffin memangku wanita itu berarti Deffin menerima semua perlakuan wanita itu.Jika dulu ada para karyawan yang mencegahnya keluar dari gedung ini, namun sekarang tidak karena tidak ada instruksi dari Sekretaris Roy, dan ini membuat Azkia semakin berpikir buruk, berarti benar dugaannya selama ini, dia hanyalah alat yang digunakan Deffin untuk menyembuhkan alerginya terhadap wanita.Dengan kasar Azkia membuka dan menutup pintu mobil sport milik Erwin, sedangkan yang di dalam mengumpat kencang karena kaget, namun emosinya segera sirna melihat betapa kacaunya wajah Azkia yang sedang menangis."Hei, apa yang terjadi?" Erwin membantu mengusap air mata Azkia, dengan lembut dia bertanya lagi, "Kenapa kamu menangis?""Sudah jangan banyak tanya dulu, cepat bawa aku pergi dari sini !!" p
Cukup lama berada di luar hanya memandang deburan ombak yang saling berkejaran, meski dari jarak yang cukup jauh, namun sudah bisa mengurangi rasa sesak di dadanya."Apa kau tidak lapar, ayo cepat masuk," suara Erwin membuyarkan lamunannya, tanpa ada kata karena dia juga merasa lelah, dengan patuh Azkia mengikuti langkah Erwin.Para penjaga dengan hormat menundukkan kepalanya ketika mereka berdua melangkahkan kaki melewati mereka yang sedang berbaris rapi di depan pintu yang bercat putih itu.Azkia semakin dibuat terpukau dengan dekorasi di dalam rumah yang semuanya bercat putih itu, segala impian masa kecilnya tentang rumah yang ingin ditinggalinya ketika dewasa, sekarang bisa nyata di pandang dengan leluasa oleh matanya.Dengan curiga Azkia memandang penuh selidik orang yang sekarang berada di sampingnya itu.tidak ingin berpikir aneh-aneh dengan segera Azkia mengungkapkan rasa penasarannya."Apakah villa ini milik Deffin?"
Azkia kini semakin dekat mengingat masa lalunya, apalagi setelah melewati hari ini."Baik, semua keinginan Tuan Putri akan saya turuti." ucapan Erwin dengan senyum misterius.Deg...Azkia yang berada di depan Erwin merasakan seperti ada sesuatu yang menghantam jantungnya setelah mendengar perkataan Erwin.Secepat kilat dia teringat sesuatu tapi secepat itu pula dia merasakan sakit di kepalanya.Tidak ingin rasa sakit ini semakin menjadi, dia langsung menoleh ke arah Erwin untuk bertanya."Kau memanggilku apa?" Dengan mimik wajah penuh harap, semoga dia mendapat petunjuk dari jawaban Erwin."Tuan putri, memang kenapa? Bukannya panggilan tuan putri adalah hal biasa untuk wanita yang mempunyai keinginan untuk selalu dituruti," jawaban dari Erwin membuat Azkia semakin membeku tak terasa matanya berkaca-kaca, bukan karena terharu mendapat sebuah petunjuk. Tapi dia merasa kesal karena tidak bisa men
Azkia yang speechless mendengar panggilan dari Deffin berpengaruh juga pada tubuhnya, entah mengapa rasa lemas menyerangnya seketika, Deffin yang merasakan tubuh Azkia lemas segera memapahnya untuk duduk di sofa yang berada di sampingnya."Kau baik-baik saja?" tanya Deffin penuh dengan wajah khawatir.Azkia mengangguk lalu bertanya,"Ka- kamu, me- memanggilku dengan nama Kia?" ujarnya terbata, panggilan itu membuat ada perasaan yang tidak bisa dibendung dan detik itu juga memaksa untuk keluar, kemudian ada air mata yang jatuh membasahi pipinya.Deffin menganggukkan kepalanya mengiyakan pertanyaan Azkia."Astaga ... Apalagi ini, belum ada jawaban tentang rasa penasaranku pada Erwin, sekarang kau tiba-tiba juga membuatku merasakan akan sesuatu hal yang sulit aku ingat, entah mengapa aku sangat nyaman mendengar panggilan itu," gumam hati Azkia."Kenapa kau malah menangis, apakah kau tidak suka mendengar aku memanggilmu Kia," ucap
Sinar matahari menembus jendela yang sengaja dibuka gordennya oleh Deffin. Namun itu tetap tidak dapat mengusik tidur istri cantiknya agar bangun, akhirnya dia menusuk-nusukkan jarinya di pipi mulus itu. "Hei bangun, kau semalam yang malu untuk menginap di sini, tapi sekarang sepertinya kau sudah betah berada di sini," omel Deffin yang sedari tadi membangunkan Azkia namun tidak ada respon sama sekali. Azkia yang sayup-sayup mendengar perkataan Deffin segera membuka matanya. Oh iya, kita kan berada di rumah Erwin, ngomong-ngomong jam berapa sekarang. Azkia membelalakkan matanya kaget melihat jam yang menggantung di dinding itu, seharusnya Deffin sudah berangkat ke kantor saat ini. Lalu dia mendesah lega karena Deffin sudah rapi dengan pakaian kantornya. "Sayang, kenapa tidak membangunkanku?" tanyanya tanpa rasa bersalah. "Kau yang tidur seperti orang mati," ketus Deffin. "Cepat bersihkan dirimu," lanjutnya. "Baik," jawab Azkia sambil mengerucutkan bibirnya lalu berlalu ke kamar
Setelah mengucapkan terima kasih kepada orang yang mambantunya, Azkia bergegas pergi karena Erwin tidak berhenti menelponnya sedari tadi ketika antri membayar belanjaan. Sedangkan orang itu hanya menatap kepergian Azkia dengan tatapan yang susah diartikan.Setengah berlari karena suara klakson mobil terus berbunyi menandakan orang yang ada di dalamnya tidak sabaran menunggu. Setelah menyerahkan kantong kresek kepada pengawal yang mengikuti di mobil belakang, Azkia masuk kembali di mobil yang dikemudikan Erwin.Setelah mendudukkan dirinya di kursi penumpang bagian belakang."Kau ini kenapa tidak sabaran sekali sih," gerutunya pada Erwin yang mulai menjalankan mobilnya."Kau ingin telingaku cepat tuli karena tuan muda berteriak terus dari tadi.""Hah! memangnya kenapa?" Azkia bingung, apalagi ini pikirnya."Tuan muda menelpon tidak berhenti mengomel sambil berteriak, sudah s
Sebelum tidur adalah waktu yang tepat untuk bercengkrama, karena merayu Deffin akan lebih mudah saat berada di atas ranjang. Apalagi setelah melakukan adegan panas, segala yang diinginkan lebih mudah untuk didapatkan."Sayang ...."Memanggil dengan suara manja dan menggunakan lengan Deffin sebagai bantal, posisi yang menghadap ke arah Deffin, membuat jari telunjuknya bebas bergerak di dada Deffin yang terbuka, terkadang jarinya mulai nakal juga dengan merambat ke bawah membelai perut kotak-kotak itu."Kenapa? Mau lagi ...." Deffin tidak hanya berkata, namun tubuhnya sudah menindih tubuh Azkia."Bu- bukan sayang, ada yang ingin aku katakan," jawabnya dengan panik, karena merasakan sesuatu di bawah sana sudah menegang kembali dan siap untuk mencari mangsanya."Kau benar-benar bodoh Azkia, bagaimana mungkin kau membangunkan macan yang sudah tidur, tapi kalau aku tidak seperti itu, aku besok tidak akan mudah me
Waktu menunjukkan pukul dua pagi, terlihat seorang wanita cantik tidur nyamannya telah terganggu, dia terlihat gelisah karena mimpinya.Dia membuka mata dengan deru nafas yang memburu, beruntung pergerakannya tidak membangunkan suami yang tampak nyenyak tidur di sampingnya, bahkan tangan kekar yang melingkar di atas perutnya tidak mau bergeser sedikitpun."Ternyata bukan hanya kakak tampanku yang memanggilku dengan sebutan peri kecil. Tapi siapa kedua anak lainnya itu. Aaahh ... kepalaku sakit sekali." Azkia meringis tanpa suara, karena tidak mau membangunkan Deffin, dengan pelan dia menarik laci tempat menyimpan ponselnya.Jarinya mengetikkan sesuatu dengan cepat, rencananya besok dia akan menemui dokter pribadinya yang sudah sedari dulu menanganinya, yaitu sejak kejadian yang membuatnya kehilangan ingatan.Setelah selesai mengetikkan pesan, dia tidak bisa tidur, matanya dengan setia terbuka tanpa bisa terpejam lagi. Pikirannya pun jauh melayang memikirk