Semua orang menatap Bambang dengan penuh kasihan. "Ayah, bagaimana ini, apakah kakak ipar akan dipukul mereka hingga cacat?" kata Jennie dengan khawatir dan dia masih menginginkan bantuan dari Sean untuk membantunya mendapatkan barang antik. Ekspresi wajah Bambang sangat khawatir dengan keadaan Sean, tapi dia juga tidak bisa berbuat apa-apa. "Orang sombong seperti dia memang pantas mendapatkan hal itu," kata Devindra setelah Sean dibawa pergi oleh dua orang itu. "Yang paling buruk adalah dia tidak berakhlak dan bahkan tega menipu teman sendiri. Anggap saja hal ini sebuah pelajaran karena kesombongannya," kata Erwin dengan senyuman hina. "Bambang, bukan aku ingin menasehatimu, hanya saja menantumu itu benar-benar keterlaluan dia menyepelekan orang lain dan merasa dirinya paling hebat," kata Indra dengan tatapan yang terlihat senang. Dia sudah lama tidak senang kepada Sean. Dia tentu saja senang ketika melihat Sean mendapatkan masalah. "Profesor
"Bagaimana mungkin Yuda bisa membiarkanmu kembali dengan selamat?" tanya Devindra dengan judes. "Aku juga tidak tahu, aku hanya membicarakan sedikit hal yang masuk akal dengannya. Mungkin dia merasa hal itu juga benar dan langsung melepaskanku tanpa menyentuh sedikitpun," kata Sean sambil tersenyum misterius. "Bagaimana mungkin, aku tahu sangat jelas akan Yuda. Bagaimana mungkin membicarakan hal yang masuk akal denganmu lalu meloloskan begitu saja. Mungkin kamu meminta maaf dan memohon kepadanya dan perilakumu terlihat tulus, jadinya dia pun melepaskanmu," kata Devindra dengan tidak percaya. Semua orang juga merasa seperti itu. Orang seperti Yuda tidak akan membicarakan hal yang masuk akal. Dia mungkin akan langsung membahas pukulan. "Baguslah kalau tidak apa-apa," kata Bambang dengan lega. Meskipun dia setuju akan perkataan Devindra, namun dia tidak mungkin membuat menantunya sendiri malu. Sean adalah pembawa rezeki bagi Bambang. "Ayo kita pulang, kita t
"Aku berani bertaruh, dia itu pasti pergi untuk meminta maaf kepada Yuda," kata Devindra ketika melihat semua orang terkejut. "Benar, pastilah pergi untuk meminta ampun," jawab orang lain. Bambang dan Jennie juga merasa kalau Sean pergi meminta maaf. Kalau tidak, dia tidak mungkin berani pergi menghampiri Yuda. Dibawah pengawasan semua orang, Sean pun sampai di depan Yuda. Yuda menatap Sean dengan ekspresi wajah yang murung karena dia sudah tahu kalau kedua kaki dan tangan bawahannya tadi telah dipatahkan oleh Sean. Kedua bawahan itu merupakan mantan prajurit ternama dan mereka merupakan prajurit yang sudah pernah berperang pada masanya. Tapi, siapa sangka Sean yang hanya seorang diri bisa mengalahkan mereka dan hampir membuat mereka muntah darah. "Kamu masih berani menjumpaiku?" kata Yuda dengan ekspresi yang seram. PLAK! PLAK! Sean tidak berkata apapun dan langsung menampar kedua pipi Yuda. Melihat kejadian ini, semua orang langsung hening. Ti
Yuda sedikit terkejut ternyata kejadian yang menimpa abangnya juga merupakan perbuatan Sean. Mengingat kejadian abangnya, dia pun tidak lagi berani mengganggu Sean meskipun dia merasa sangat kesal. Dia mengerti pepatah yang berkata mengalah bukan berarti kalah. Dia juga tidak berani berkata apapun saat Sean hendak pergi. Karena menurutnya kalau manusia ini menggila, mungkin dia sendiri akan ditendang hingga mandul. Namun hal ini tidak mungkin berakhir disini saja. "Kalau aku tidak membuatmu mati, aku bukan bermarga Suryana!" kata Yuda didalam hati. Setelah diancam oleh Sean, Yuda pun lemas dan membuat semua orang mengubah pandangan mereka terhadap Yuda. Apakah kamu masih merupakan generasi dari keluarga Suryana? Apalagi Devindra dan juga Surya, mereka berdua menatap Yuda dengan penuh hina. Mereka yang tadinya berharap kalau Yuda akan membalas perlakuan Sean. Namun siapa sangka Yuda langsung lemas ketika Sean beraksi. "Sial, apa dia sudah lupa marganya
Semua orang yang mengikuti pertaruhan sudah ada di belakang masing-masing kotak. Semua membuka kotaknya dan meneliti batu yang mereka dapat untuk di tebak. Setelah beberapa menit mereka meneliti dengan sangat teliti. Sampai keadaan ruangan yang tadinya ramai dengan suara, hening seketika. "Baiklah, aku akan memulainya, 10M untuk batu yang sudah aku teliti. Boleh siapa yang mau meneliti dan bertaruh denganku?" kata seorang pria yang memiliki tinggi badan tidak lebih dari 158 cm, bisa dilihat kalau pria ini sangat suka berjudi. "Baik, aku akan bertaruh denganmu," kata salah satu pengusaha perhiasan lainnya. Yang langsung menghampiri batu tersebut dan menelitinya. Semua orang mulai penasaran akan batu apa yang ada dalam kotak si pria pendek tadi. "Jika kalian bingung dan butuh ahli batu, aku sudah menyiapkannya dengan biaya sekitar 200 juta. Tapi tidak menjamin menang ataupun kalah," kata Riza sambil mempromosikan ahli batu yang dia undang itu. Meski
"Tuan Riza, permainanmu ini terlihat seru. Bagaimana kalau kami menantang kalian?" kata salah satu pria kepada Riza. Ini adalah pertaruhan antar kota. Semua orang menatap beberapa pengusaha itu dengan penasaran "Itu adalah Zein, seorang pimpinan di perusahaan perhiasan di Dolar Sejahtera, seorang gangster yang memiliki puluhan miliar aset. "Iya benar, aku juga pernah melihatnya. Mereka semua merupakan orang-orang yang memiliki aset milyaran, apakah untuk apa mereka datang kesini? Ada beberapa orang yang mengenal beberapa pengusaha itu dan seketika terkejut lalu berteriak. Tentu saja Riza mengenal mereka, apalagi kekuasaan keluarga Sanjaya di Dolar Sejahtera tidak kalah dengan kekuasaan keluarga Hartanto di Bandung. Ini terlihat buruk "Kenapa, kalian tidak berani?" kata Zein kepada pengusaha-pengusaha dari Bandung dengan nada yang menantang Beberapa pengusaha lain juga memasang wajah yang penuh hina. Seperti sedang berkata kalau mereka sengaja datang
Kebetulan Lubis bekerja khusus dibidang bebatuan. "Aku tidak bisa menjamin ini bisa menang. Bagaimanapun kemampuanku masih terbatas jika dibandingkan di dalam negeri," kata Lubis dengan jujur. "Profesor Lubis, kaulah yang paling berpengalaman di Bandung ini, jikalau kamu tidak membantuku, tidak ada lagi yang bisa melakukannya," kata Riza. Semua orang mulai memohon kepada Lubis. Akhirnya Lubis pun maju tanpa persiapan apapun. Bagaimanapun kedatangan pihak lawan pastilah sudah menyewa ahli bebatuan yang sudah senior. "Ini berhubungan dengan masa depan Bandung, profesor Lubis haruslah menang," kata pria pendek itu dengan serius. "Aku akan berusaha semaksimal yang aku bisa," jawab Lubis. "Jangan memberi tekanan kepada profesor Lubis, dia akan berusaha semaksimal mungkin," kata Riza kepada pria pendek itu. Semua orang mengangguk, seluruh keuntungan dan masa depan di bidang perhiasan aka bergantung pada kemenangan Lubis. " profesor Nandang, aku b
1T adalah masalah kecil, mereka bisa membayar bersama. Namun selanjutnya pasar perhiasan mereka akan terhalangi oleh keluarga Sanjaya. Dan juga mereka pasti akan merasa malu. "Tuan Riza, apakah pertandingan kedua akan dilanjutkan?" kata Zein sambil tersenyum. Beberapa pengusaha lainnya juga menatap seluruh rakyat Bandung dengan penuh ejekan. Ekspresi wajah Riza semakin buruk dan dia sangatlah emosi. Bukanlah masalah baginya jika kalah sebesar triliunan rupiah. Namun jika impor perhiasan di Bandung terhambat, maka dia akan disalahkan oleh semua rakyat Bandung dan mungkin akan berpengaruh pada kedudukannya. "Di kota ini, tidak ada yang bisa bertaruh bebatuan. Hasilnya akan tetap sama jika ditandingkan sampai kapanpun," kata Nandang. "Kemampuan bertaruh bebatuan di Bandung ternyata hanya begini saja. Mengadakan pameran sebesar ini dan aku hanya mengenal salah satu orang hebat di Bandung. Aku sedikit kecewa," kata Zein sambil tertawa. Beberapa pengusaha lainn