Orang itu menyebutkan namanya sebelum ditanya. “Namaku Chuanchen.”Hanz, Avraam, dan Zahid sepakat bahwa orang di hadapan mereka ini cukup cantik dan memikat. Dia berhiasa walaupun tidak bisa juga dikatakan menor. Intinya, setiap pria mungkin bernafsu saat menyaksikan keelokan dan keseksian Chuanchen.“Kalian bertiga pasti turis dari luar. Hehe.” Chuanchen menyeringai lebar, menampilkan pesona wajahnya yang terang dan semarak seperti ada acara kembang api. Bibir itu terutama. Merah merona seperti lambang dari sebuah keberanian.Karena Hanz dan Zahid sudah punya kekasih, mereka berdua memaksakan diri untuk tidak dekat-dekat dengan Chuanchen. Maka Avraam yang agak tergerak hatinya untuk segera berdiri dan menyambut teman baru mereka itu. Avraam tersenyum ramah lalu menyahut, “Salam kenal. Namuku Avraam. Senang bisa berkenalan dengan mu, Chuanchen. Kau sangat cantik.”Chuanchen tersanjung saat menerima pujian kecil itu. Tidak hanya itu, dia pun sedikit lumayan kagum ketika melihat keteg
Ketika mendapat pertanyaan itu, pipi Chuanchen langsung merah padam karena malu. Pertanyaan tentang kekasih adalah sesuatu yang sangat sensitif di Thailand. Seharusnya Avraam tidak melontarkan pertanyaan seperti itu pada siapa pun.Kendati pun begitu, Chuanchen terpaksa memberikan jawaban. Hanya demi Avraam.“Belum. Aku belum punya kekasih.” Chuanchen membenarkan pakaiannya agar belahan dadanya tidak terlalu tampak sembari mengulum bibirnya yang merah merona.Entah kenapa Avraam agak senang ketika mendengarnya. Berbicara dengan wanita yang belum punya kekasih atau suami tentu hal yang menyenangkan bagi pria jomblo seperti Avraam.“Seharusnya wanita cantik seperti mu sudah punya suami, Chuanchen. Pria itu pasti beruntung kalau punya istri seperti mu.” Avraam terus memberikan pujian bertubi-tubi kepada Chuanchen.Terang saja, pipi Chuanchen semakin merah membara karena diterpa rasa malu luar biasa. Dia langsung menyilangkan kedua pahanya karena barusan merasakan gatal secara tiba-tiba d
Chuanchen tersenyum simpul, walau agak malu, dia memberanikan diri sebab ini memang sudah pekerjaannya. Aneh rasanya kalau dia gerogi atau pun minder di hadapan turis Eropa satu ini. Dia sudah terbiasa berinteraksi dengan banyak orang yang datang ke Bangkok. Chuanchen masih saja memberikan tatapan penuh godaan agar Avraam semakin kelepek-kelepek.Dia berkata dengan genit, “Aku malam ini pun bisa menemani mu tidur, Avraam. Kebetulan malam ini belum ada yang booking aku. Tenang saja, aku kasih harga murah dan spesial.”Buru-buru Avraam meneguk minumannya lagi untuk mengikis gugup yang menerjang dirinya. Dadanya kian bergolak ketika mendapatkan tawaran gila semacam itu. “Hm. Bukannya aku tidak mau. Tapi aku tidur satu kamar dengan dua temanku itu. Tidak enak lah kalau gabung sama mereka.”“Simpel. Kita bisa sewa kamar lain. Mudah kan?”Avraam malah gelagapan. Dia yang paling getol dan bersemangat liburan ke Thailand untuk menikmati wanita, tapi sekarang dia malah terpaku bisu di hadapan
Ketika Chuanchen menyaksikan Avraam hanya mengenakan celana pendek saja dan bertelanjang dada, dia pun terpana dan dadanya berdesir. Dia merasa canggung saat berdampingan bersama Avraam. Tapi sebisa mungkin dia menetralisir hatinya agar tetap tenang dan menguasai keadaan. Bukankah dia sudah terbiasa menghadapi para lelaki?“Pemandangan yang sungguh indah,” ujar Avraam sambil membenarkan tata letak kaca mata pantainya.Chuanchen tersenyum lebar. “Pattaya memang indah. Setiap pekan aku pasti berkunjung ke Pattaya. Menikmati suasana pantainya. Atau menikmati segala hal yang ada di sini. Apa kau betah?”“Tentu aku betah di sini.”Chuanchen bergumam dalam hati. ‘Apa kau betah karena aku, Avraam?’ Sedari tadi dia terus mencuri-curi pandang Avraam.Rahang yang teguh dan rambut yang cepak ala tentara itu semakin mengalihkan dunia Chuanchen. Berulang kali dia menggigit bibirnya dan mengulum lidahnya sendiri. Rasanya, dia butuh waktu selama beberapa hari untuk bisa terus bisa bersama Avraam. D
Meskipun awalnya Hanz sempat melarang agar Avraam tidak jadi bertarung melawan lelaki perkasa dan berotot itu, tetapi Avraam tetap merasa dirinya jauh lebih perkasa. Ini menyangkut rasa kasihannya terhadap Chuanchen. Apalagi tadi lelaki itu memberikan ejekan terhadap Avraam. Tahu sendiri Avraam orangnya tidak suka kalau diejek dan diremehkan.“Kita datang ke sini untuk liburan, bukan mencari masalah,” kata Hanz sambil merangkul Avraam.Namun, Avraam yang sudah merasa jengkel tidak akan membatalkan apa yang sudah tadi terucap. “Aku akan tetap bertarung melawan lelaki itu, Hanz. Hitung-hitung cari pengalaman baru.”Zahid tersenyum tipis. “Ya, hitung-hitung juga cari keringat malam-malam. Avraam, kalau kau tidak mau melawannya, biar aku saja. Bagaimana?”“Tidak! Tidak! Biar aku saja yang menyikat habis lelaki sok itu. Berani sekali dia tadi menggoda Chuanchen di hadapanku.” Avraam merasa jumawa dan sok perkasa.Chuanchen yang masih berada di sana lantas semakin tersipu. Ketika Avraam mem
Hanz terperangah. “Bagaimana Avraam bisa kualahan? Aku tidak pernah melihat Avraam begitu lemahnya seperti sekarang.”Zahid tercengang dan matanya membeliak. “Sama, Hanz. Aku juga heran. Kenapa Avraam tiba-tiba lemah seperti ini? Biasanya dia jago. Apa jangan-jangan ini karena boxing, bukan MMA?”“Tidak ada pengaruhnya. Avraam jago tinju dan juga gulat. Pasti ada alasan lain. Entahlah.”Kembali lagi ke arena pertarungan.Untungnya, Avraam berhasil memusatkan tenaga pada tumpuan kedua kaki sehingga dia tetap bisa menjaga keseimbangan. Hampir saja dia terjengkang setelah mendapatkan serangan.Gan tertawa lalu meledek, “Haha. Aku pikir kau kuat. Tapi parahnya aku bisa mengalahkan mu hanya dengan satu tangan. Kau sangat lemah, Bocil!”Tidak terima diejek, Avraam naik pitam. Darahnya tidak hanya mendidih, tapi menguap. Dia meninju telapak tangan satunya sambil meloncat-loncat. Semangatnya kian terbakar dan tidak akan pernah membiarkan Gan kembali menguasai pertarungan.Ketika Gan berupaya
"Membongkar rahasia Amerika"***PROLOG :***“Astaga!” umpat Edwin. “Keberadaan ku diketahui oleh petugas.”Segera dia mengambil sesuatu yang dikira sangat penting di sana, seperti ponsel, dompet, dan laptop. Tidak banyak yang bisa dia bawa sebab dalam waktu kurang dari lima menit, FBI akan segera tiba di lokasi persembunyiannya dan melakukan penyergapan. Sebelum pergi, dia memberikan pesan singkat kepada salah satu sahabat ngobrol di dark web-nya selama ini :“Kawan, aku butuh bantuan mu sekarang juga karena aku tahu kau sekarang berada di Zurich. Aku tunggu di sekitar Bethesda Spital, Basel. Kau adalah orang terdekat yang bisa membantuku, jika tidak, aku pasti akan dihukum berat karena telah banyak melakukan pelanggaran.”Edwin juga meninggalkan pesan tentang ciri-cirinya, memakai jaket kulit hitam dan bertopi putih. Dua sampai tiga jam lagi mereka harus segera bertemu, karena kalau tidak, Edwin tidak bakal tertolong lagi. Usai mengirimkan pesan terakhirnya, Edwin menghancurkan
Lima orang FBI mendobrak pintu lalu merangsek masuk ke dalam rumah sepetak itu. Mereka serempak menodongkan senapan laras panjang ke semua penjuru ruangan. Namun, upaya mereka sia-sia. “Tidak ada satu pun yang tersisa,” kata seorang dari mereka sambil berusaha memadamkan api yang membakar semua perangkat komputer di sana. Di dalam hanya ada dapur kecil dan kamar mandi. Tidak ada ruangan lain seperti halnya rumah pada umumnya. Dengan hanya luas bangunan lima kali lima meter, para anggota FBI yang ditugaskan menggerebek rumah ini tidak kerepotan untuk menyusuri setiap sisi tempat sebab ruangan ini memang sempit. “Hanya satu orang, dan dia sudah kabur pakai motor tadi.”Upaya penggerebekan tidak menuai hasil. Namun, tiga kelompok lainnya masih terus memburu Edwin sampai dapat.***Ketika Edwin sedang menggeber motor nya dengan sangat kencang di tengah hamparan tanah merah yang kering, sejumlah tembakan peringatan memekakkan telinganya, mengisyaratkan agar dia segera stop lalu menyera