"Akhirnya … pulang juga," ucap Agatha yang saat ini sudah di rumah–lebih tepatnya di green house miliknya, pemberian Nail. Dia tersenyum lebar, berkeliling taman bunga sembari mengamati bunga-bunga kuning cantik. Bunga tersebut terasa indah karena senja. Agatha di sana ditemani oleh penjaga, sedangkan Nail lebih dulu ke kamar. Sagara sendiri, anak itu juga kembali ke kamarnya untuk mandi. "Ah, aku punya ide untuk lukisan yang akan dipamerkan saat festival akbar nanti. Kebetulan Festival seni kali ini temanya Bangsa Fairy," celetuk Agatha pelan, tersenyum senang karena menemukan ide untuk lukisannya saat melihat bunga krokot miliknya. Agatha mendekati bunga krokot tesebut lalu memetik batang yang merambat. Dia mengambil beberapa batang lalu ia rangkai membentuk mahkota. Saat melakukan itu, Agatha tak hentinya tersenyum–entah kenapa membayangkan dirinya dan Nail punya anak perempuan kemudian memasangkan mahkota dari bunga krokot tersebut pada putrinya. Tiba-tiba saja setangkai bung
Kau-- menangis, Darling?" Agatha mengerjap beberapa kali kemudian dengan cepat menggelengkan kepala. "Tidak," jawabnya cepat dan terkesan gugup, "siapa yang menangis? Enggmm … itu-- mataku kering dan panas. Kalau dipejamkan akan berair. Aduh …," lanjut Agatha berbohong, tiba-tiba pura-pura sakit mata dengan mengedip-edipkan mata beberapa kali. 'Ck, bagaimana bisa dia tahu aku menangis? Padahal air matanya sudah kuhudap. Mon Treros … gabungan antara teliti dan cenayang.' batin Agatha, tersenyum kaku untuk meyakinkan Nail. Nail duduk di sebelah istrinya, mencondongkan tubuh ke arah Agatha. Nail memperhatikan mata Agatha, terlihat merah dan berair. Akan tetapi itu bukan karena sakit mata, melainkan menangis. Nail melayangkan tatapan tajam, membuat Agatha yang kikuk dan gugup seketika menampilkan cengiran. Agatha mundur dan meringsut ke kepala ranjang, terlalu takut oleh mata elang suaminya yang menghunus ke arahnya. Hingga tiba-tiba saja …-Sret' Nail dengan cepat mengambil handph
"Lalu kenapa kau kabur dan tak ingin kembali pada mereka?"Agatha mendongak, memperhatikan suaminya dengan lekat dan intens. Pria ini sangat mencintainya, Agatha harus percaya dan harus terbuka pada Nail. "Sewaktu kecil, Ayah dan Mama-- maksudku Kakek dan Nenek sangat memanjakanku. Mereka selalu menunjukan kasih sayang dengan kelembutan. Hingga ketika aku high school, aku mengatakan keinginanku untuk menjadi seorang pelukis. Ayah tiba-tiba marah dan begitu juga Mama. Setelah itu-- mereka sangat berubah. Tidak ada lagi kelemah lembutan dan hampir setiap hari aku dimarahi. Dulu, ketika nilaiku turun, Ayah tak pernah marah. Tetapi setelah itu, sedikit saja nilaiku turun, Ayah akan memukulku. Kupikir itu wajar karena aku sudah mulai beranjak dewasa dan mungkin Ayah mulai khawatir pada masa depanku. Tetapi … bahkan setelah aku mendapat nilai tertinggi dan lulus dengan peringkat pertama, Ayah tetapi tidak mengizinkanku menjadi pelukis. Kami bertengkar dan aku memilih keluar dari rumah. Ku
"A-Agatha sayang, apa dia … pu-putramu dan Tuan Nail?" tanya Wulan gugup, akan tetapi menatap berseri-seri pada Sagara. Agatha menganggukkan kepala, tersenyum canggung pada neneknya. Waktu itu, Agatha sudah pernah mengatakan kalau dia telah memiliki anak dengan Nail. Akan tetapi nenek dan kakeknya tidak mempercayai ucapan Agatha. Setelah di ruang tamu, keadaan berubah kaku. Semua orang diam, termasuk Agatha yang tak tahu harus mengatakan apa. Nail sendiri, diam karena sedang mengamati istrinya yang saat ini terlihat kalem dan anggun. Agatha tak pecicilan seperti biasanya, Agatha juga tak banyka bicara. Sejak tadi, istrinya hanya tersenyum lembut–bak seorang putri kerajaan dengan keeleganannya. Sungguh ini istrinya? Si pengoceh yang tak bisa diam walau hanya lima detik saja? "Jika tak ada yang kalian ingin katakan, kami pulang," ancam Edward tiba-tiba, menatap datar pada orang tuanya. Wulan menatap penuh kerinduan pada putranya, menahan diri untuk tak menangis dan tak memeluk
Agatha dan yang lainnya telah pulang dari rumah kediaman Karang. Dia cukup bete karena neneknya terus membicarakan Seline pada Agatha, dan Agatha tahu apa tujuan neneknya melakukan itu. Supaya Agatha setuju apabila papanya menikah dengan perempuan itu. "Aku tidak akan ke sana lagi," gumam Agatha pelan, berkata cukup kesal. Dia sedang di ruang keluarga, tengah bersantai. Setelah pulang dari kediaman Karang, Agatha berdiam diri di rumah. Sedangkan Nail dan Sagara pergi entah kemana. Ting'Tiba-tiba saja HP Agatha berbunyi, dia meraih handphone kemudian membukanya. Sebuah pesan masuk. [Halo, Agatha sayang. Perkenalkan, Tante Soraya Lora.]"Ck." Agatha berdecak malas, segera memblokir nomor tersebut. Neneknya kentara sekali ingin menjodohkan papanya dengan sora. Agatha tidak akan membiarkan. Apa akhirnya Agatha tertidur di sofa, terlalu memikirkan masalah neneknya. ***"Eungh …." Agatha mengerjap beberapa kali, terbangun dan dia sudah di kamar. Dia menoleh ke sekitar, mencari keber
Namun, tangan kekar milik daddynya lebih dulu menjangkau piring–menarik piring tersebut secara cepat ke depannya. "Milik Daddy!" dingin Nail pada Sagara, membuat anak itu menggembungkan pipi lalu memalingkan wajah secara kesal. Sagara berdecak tanpa sadar ketika memikirkan sesuatu. Daddy para temannya sangat baik dan manis, selalu mengalah serta mendahulukan anak-anak mereka. Tetapi kenapa daddynya berbeda? Maksudnya-- daddynya menganggapnya saingan. Daddynya tak mau berbagi apapun pemberian mommynya. Sagara rasa daddynya lebih kekanak-kanakan dibandingkan dirinya. "Mommy, Daddy teman Sagara sangat baik," ucap Sagara tiba-tiba, membuat Agatha menoleh cepat pada putranya. "Humm?" Agatha berdehem sembari menaikkan kedua alis, tak paham kenapa putranya mengatakan hal itu. Nail langsung meletakkan tablet di tangan lalu langsung menarik kursi Agatha supaya lebih dekat serta rapat dengannya. Setelah itu dia memeluk pinggang Agatha secara possesive. "Maksudmu bicara begitu apa?" ucap N
Setelah mentraktir temannya, Agatha tak kembali ke galeri. Dia menemani Sandi yang ingin membeli hadiah pada adiknya–Kalisa. Hari ini adalah hari kasih sayang, Sandi berniat memberikan hadiah pada adiknya, satu-satunya keluarga Sandi di dunia ini. Agatha sendiri, bukan menemani sebenarnya. Tetapi dia juga ikut mencari hadiah untuk suaminya. "Aku sudah mendapatkan hadiah untuk adikku. Terimakasih sudah membantuku, Agatha," ucap Sandi, tersenyum lembut pada Agatha. "Sebenarnya aku juga ingin memberimu hadiah, bagaimanapun kamu sudah seperti saudara untukku dan Kalisa. Tetapi mengingat suamimu adakah … ekhmm-- mengerikan, aku cukup tak berani. Ahahaha … tetapi jika coklat seharusnya tak masalah bukan?" ucap Sandi, menyerahkan coklat untuk Agatha. Agatha meraih coklat tersebut dengan perasaan senang. "Terimakasih, Sandi." "Oh iya, aku belum menemukan hadiah yang cocok untuk Pak Nail. Kamu pulang lebih dulu saja, Sandi. Aku yakin Kalisa sudah menunggumu," ucap Agatha selanjutnya. "Aku
Agatha memilih ke kamar mandi, mengurungkan niat karena takut mengganggu Nail. Pria itu duduk dengan memamgku laptop, sepertinya memang sibuk. Setelah selesai mandi, Agatha memberanikan diri mendekati Nail. Tak lupa dia membawa kado yang akan ia serahkan pada suaminya. "Mon Tresor," sapa Agatha manis dan seria, duduk di sebelah Nail yang masih sibuk dengan laptopnya. Nail sama sekali tidak menoleh dan tetap fokus pada laptop. Agatha sejujurnya tertohok dengan sikap Nail, akan tetapi dia berusaha positif thinking. Mungkin karena suaminya tengah serius. Agatha mengulurkan tangan untuk memijat pundak Nail. Siapa tahu jika dia memijat pundak suaminya, pria ini akan menyadari keberadaannya. Atau-- lelah Nail berkurang, diobati oleh pijatannya. Namun, tiba-tiba saja Nail berdecak cukup kesal, seketika itu juga Agatha menarik tangan dari pundak Nail–berhenti memijat pundak pria itu. Nail memang tak mengatakan jika Agatha mengusik karena pijatannya, Nail juga tak menatapnya. Tetapi dar
"Hello, Wife," sapa Nail, tersenyum tipis dan menahan geli melihat ekspresi istrinya yang sedang kaget. Sejujurnya pukulan Agatha pada kepalanya cukup sakit. Mungkin memang benar adanya jika senjata ampuh perempuan adalah sandal karena terbukti bagi Nail, sandal Agatha lebih sakit daripada pukulan papanya. Agatha mengerjap beharap kali, masih terkejut dan tak dapat menguasai diri karena sosok di hadapannya saat ini. Sungguh? Ini Nail suaminya? "Kau tidak ingin memelukku?" tanya Nail, merentangkan tangan sembari mengibarkan senyuman yang lebih lebar dari yang sebelumnya. Agatha masih membeku di tempat, dia menatap Nail dari atas hingga bawah lalu bergerak mundur. Alih-alih memeluk suaminya, perempuan itu malah sebaliknya–bergegas masuk ke dalam rumah. "Agatha Aditya Melviano." Nail memanggil, menatap bingung pada Agatha yang meninggalkannya begitu saja. Sedangkan Agatha, dia berlari menjauh dari sana. Ah, tidak! Agatha sepertinya terlalu merindukan Nail sehingga dia berhalusinasi
"Pulanglah lebih dulu, Nak," ucap Zahra, tersenyum lembut dan hangat pada Nail. Tatapannya begitu sendu, berkaca-kaca karena merasa kasihan pada putranya. Tiga tahun! Ternyata selama itu Nail tak pernah pulang, Nail selalu berada di sini–demi menjaga orangtuanya. Zahra baru tahu ini karena Aiden memberitahunya. Sedangkan Aiden, dia beberapa kali menyuruh Nail kembali ke negara mereka untuk mengunjungi Agatha, akan tetapi Nail menolak karena beberapa alasan. Sekarang Zahra sudah mulai membaik, oleh sebab itu Aiden berani mengatakan hal tersebut pada mama mereka. "Mama dan Papa juga akan pulang secepatnya," lanjut Zahra, meraih tangan Nail lalu menggenggamnya erat. "Pulang, Nak. Temui istri dan anak-anakmu."Nail tersenyum kecut, menggelengkan kepala dengan pelan. "Agatha tidak membiarkanku pulang jika tak membawa Mama dan Papa. Jadi cepatklah sembuh, Mah," ujar Nail lembut, menatap wajah teduh mamanya dengan manik sendu. Mamanya duduk di kursi roda, pada kening mamanya ada sebuah b
"Ya, aku bersedia." Agatha menjawab cepat, tiba-tiba saja dia membuka sandal yang ia gunakan kemudian mengangkatnya tinggi. "Bersedia memukul kepalamu dengan ini," ucapnya, kemudian mengayunkan tangan yang memegang sandal tersebut. Bug' Jidan awalnya mengira Agatha hanya mengancam. Ternyata Agatha benar-benar memukulnya dengan sandal tersebut. Jidan melebarkan mata, menatap tak percaya saat sandal tersenyum secara kasar menyapa kepalanya. "Masih tak ingin pergi yah? Oke!" Agatha melepas sandal satu lagi, mengunakan kedua sandal untuk memukul Jidan. Pria itu membelalak lebar, menghindari pukulan Agatha lalu buru-buru pergi dari sana. "Sialan kamu!" jerit Agatha kesal setengah mati pada Jidan. Jidan nyengir ketika akan masuk dalam mobil, mengedipkan mata secara genit ke arah Agatha. "Aku yakin sebentar lagi kamu akan jatuh cinta padaku, Agatha. Aku sangat tampan dan soft." Bug' Agatha yang kesal luar biasa, kembali meraih sandalnya lalu melemparnya pada Jidan. Pria terk
"Aku sangat merindukanmu, Tata. Kapan aku boleh pulang, Humm?" ucap Nail dari seberang sana. Sejujurnya mata pria yang katanya sangat kejam tersebut terlihat memerah dan digenangi bulir kristal, akan tetapi karena dia dan Agatha berbicara lewat ponsel, Agatha tak kentara jelas melihatnya. Nail sangat merindukan Agatha. Dia tidak bohong! "Jika Mama dan Papa sudah sembuh, barulah Mon Tresor kembali." Agatha menjawab dengan nada lembut, tak menghilangkan keceriaan di wajahnya. Namun kenyataannya, Agatha rasanya ingin menbagis. Matanya sudah panas dan berair, ingin menangis karena menahan gejolak rindu yang melanda. Percayalah! Ini tidak mudah, akan tetapi mereka harus bertahan. "Keadaan Mama sudah jauh lebih baik," ucap Nail tiba-tiba, tersenyum tipis di bibir, "sebentar lagi kita akan bertemu," lanjutnya. Agatha melebarkan senyuman. "Aaaa … aku tidak sabar. Semangat semangat semangat! Mon Tresor harus semangat merawat Mama dan Papa. Oh iya, bagaimana dengan kondisi Papa?" "Papa su
Tiga tahun kemudian. "Ini adalah hari kematian Kakek, tahun ketiga yang menyedihkan untuk kita semua." Agatha menoleh pada Syakila, tersenyum tipis pada sahabatnya tersebut untuk menyalurkan kekuatan dan cinta. Benar sekali! Ini adalah hari kematian kakek Lucas, tahun ketiga mereka kehilangan semuanya. Tiga bulan setelah Agatha melahirkan, Nail bepergian ke luar negeri. Di sisi lain, Zein, Zahra, Alana dan Raka, juga pergi ke sebuah negara untuk menghadiri acara penting. Nail pergi ke negara berbeda dari orangtuanya, dan dia ke sana untuk kepentingan bisnis. Nail di sana selama sebulan, dan berencana pulang setelah urusannya telah selesai. Namun, niatnya untuk pulang tertunda karena orangtuanya dan kakeknya kecelakaan saat akan kembali ke negara ini. Bukan hanya sekedar kecelakaan, akan tetapi ada campur tangan seseorang yang membenci keluarga Melviano. Tak lain adalah orangtua Soraya, mereka balas dendam karena menghancurkan kehidupan Soraya. Vidio buruk Soraya dengan beberapa p
"Kau sangat cantik." Deg' Agatha mendongak seketika, menatap gugup pada Nail. Pipinya memerah karena mendengar pujian dari suaminya, dan bibirnya menahan untuk tak tersenyum. Namun, ketika melihat raut muka Nail yang lempeng, Agatha memilih kembali menunduk–memanyunkan bibir sembari meremas bagian gaun di atas pangkuannya. Agatha sepertinya hanya salah mendengar. Nail tak lagi memuji dirinya, Agatha hanya salah pendengaran. Mungkin saking inginnya mendapat pujian dari suaminya. Tiba-tiba saja tangan Nail terulur, menyentuh dagu Agatha secara lembut. Dia menaikkan dagu istrinya, membuat Agatha reflek mendongak–menatap tepat ke arah Nail. "Kau sangat cantik, Tata," ucap Nail lembut, menatap berat ke arah Agatha. Sempurna! Wanita ini terlihat begitu cantik di malam hari ini, gaun biru ini sangat indah setelah berada di tubuh Agatha. Kulit Agatha bersinar terang apabila dibawah cahaya, efek dari sparkling yang menempel pada gaun. Istrinya bak Dewi bulan, cantik dan indah! "Kau
"Daddy jika ingin tersenyum, tersenyum saja. Tak ada yang melarang," ucap Sagara dengan nada yang terkesan ketus, mendongak pada daddynya yang duduk bersebelahan dengannya. Sagara tentu iri! Bagaimana bisa monster cap kuku Setan ini bisa sangat menginspirasi mommynya? Kenapa bukan Sagara yang jelas-jelas baik hati, anak yang rajin dan suka membantu orang tua? "Humm." Nail berdehem datar, menatap putranya dengan tatapan lempeng. Namun, setelah itu dia berdecis geli, terkekeh pelan setelahnya sembari mengacak surai di pucuk kepala putranya. "Cih, mommy sangat menggemaskan," ucap Nail, benar-benar salah tingkah. Damage-nya begitu dahsyat, hingga rasanya Nail terus-terusan ingin tersenyum. Sagara menatap berang pada sang daddy, cukup kesal karena rambutnya terus diacak oleh daddynya. Sedangkan Nail, saat papa, paman dan kakeknya menoleh ke arahnya, seketika itu juga dia memasang wajah lempeng–pura-pura tidak merasakan apapun setelah mendapat pujian dari Agatha. Lalu setelah para pria
"Yah, benar sekali. Lukisanku telah dirusak oleh seseorang." Agatha menoleh sinis pada Laila, "sejujurnya aku sempat down karena lukisanku rusak. Bukan masalah tak punya ide, tetapi mengerjakan lukisan itu memakan banyak waktu. Aku senang saat melukis, tetapi tak bisa dipungkiri melukis sangat melelahkan. Setiap kali selesai melukis, pasti aku akan menjadi nenek-nenek. Pinggang sakit, punggung pegal, leher terasa akan patah, kaki kesemutan. Yah, seperti nenek-nenek. Dan … dengan seenaknya seseorang merusak lukisanku. Siapa yang tak marah?" Lagi-lagi para tamu tersenyum mendengar ucapan Agatha. Ah, mereka sangat suka mendengar coleteh perempuan menggemaskan ini. Sangat lucu! "Tapi tenang! Sejatinya kemampuan pelukis itu bukan pada hasil, akan tetapi pada proses dan ide. Itu yang Mama dan Papa katakan padaku." Agatha berucap dengan ceria, dia lalu menoleh pada mamanya kemudian membungkuk hormat, "Mama, Agatha berterimakasih padamu. Lagi-lagi Mama menginspirasiku dan aku semakin meng
"Itu mirip seperti lukisan Agatha." Orang-orang mulai berbisik karena mendengar ucapan salah satu pelukis tersebut. Sedangkan Laila, dia panik dan terlihat gugup. "Jangan asal menuduh. Ini lukisan yang kubuat, hasil pemikiran ku sendiri." Laila memekik, berucap dengan suara kuat supaya orang-orang percaya padanya. Almira maju ke depan, Laila seketika mendekat karena mengira Almira akan menolongnya. Laila bisa masuk ke tempat ini berkat bantuan Almira, dia yakin sekali Almira akan membantunya. Karena jika tidak nama galeri milik Almira, bahkan nama Almira sendiri bisa rusak. "Ya, benar. Lukisan ini memang mirip dengan lukisan Agatha–putriku," ucap Almira lantang, mengejutkan orang-orang karena tak menyangka jika Almira adalah ibu dari Agatha. "Ti-tidak. Aku tidak mungkin plagiat. Aga-- Nyonya Almira membela Agatha karena dia putri anda. Iya kan?" Laila bersikeras tak mengakui perbuatannya. Almira menoleh pada Laila, tersenyum tipis namun penuh isyarat. Almira memberi i