"A-Agatha sayang, apa dia … pu-putramu dan Tuan Nail?" tanya Wulan gugup, akan tetapi menatap berseri-seri pada Sagara. Agatha menganggukkan kepala, tersenyum canggung pada neneknya. Waktu itu, Agatha sudah pernah mengatakan kalau dia telah memiliki anak dengan Nail. Akan tetapi nenek dan kakeknya tidak mempercayai ucapan Agatha. Setelah di ruang tamu, keadaan berubah kaku. Semua orang diam, termasuk Agatha yang tak tahu harus mengatakan apa. Nail sendiri, diam karena sedang mengamati istrinya yang saat ini terlihat kalem dan anggun. Agatha tak pecicilan seperti biasanya, Agatha juga tak banyka bicara. Sejak tadi, istrinya hanya tersenyum lembut–bak seorang putri kerajaan dengan keeleganannya. Sungguh ini istrinya? Si pengoceh yang tak bisa diam walau hanya lima detik saja? "Jika tak ada yang kalian ingin katakan, kami pulang," ancam Edward tiba-tiba, menatap datar pada orang tuanya. Wulan menatap penuh kerinduan pada putranya, menahan diri untuk tak menangis dan tak memeluk
Agatha dan yang lainnya telah pulang dari rumah kediaman Karang. Dia cukup bete karena neneknya terus membicarakan Seline pada Agatha, dan Agatha tahu apa tujuan neneknya melakukan itu. Supaya Agatha setuju apabila papanya menikah dengan perempuan itu. "Aku tidak akan ke sana lagi," gumam Agatha pelan, berkata cukup kesal. Dia sedang di ruang keluarga, tengah bersantai. Setelah pulang dari kediaman Karang, Agatha berdiam diri di rumah. Sedangkan Nail dan Sagara pergi entah kemana. Ting'Tiba-tiba saja HP Agatha berbunyi, dia meraih handphone kemudian membukanya. Sebuah pesan masuk. [Halo, Agatha sayang. Perkenalkan, Tante Soraya Lora.]"Ck." Agatha berdecak malas, segera memblokir nomor tersebut. Neneknya kentara sekali ingin menjodohkan papanya dengan sora. Agatha tidak akan membiarkan. Apa akhirnya Agatha tertidur di sofa, terlalu memikirkan masalah neneknya. ***"Eungh …." Agatha mengerjap beberapa kali, terbangun dan dia sudah di kamar. Dia menoleh ke sekitar, mencari keber
Namun, tangan kekar milik daddynya lebih dulu menjangkau piring–menarik piring tersebut secara cepat ke depannya. "Milik Daddy!" dingin Nail pada Sagara, membuat anak itu menggembungkan pipi lalu memalingkan wajah secara kesal. Sagara berdecak tanpa sadar ketika memikirkan sesuatu. Daddy para temannya sangat baik dan manis, selalu mengalah serta mendahulukan anak-anak mereka. Tetapi kenapa daddynya berbeda? Maksudnya-- daddynya menganggapnya saingan. Daddynya tak mau berbagi apapun pemberian mommynya. Sagara rasa daddynya lebih kekanak-kanakan dibandingkan dirinya. "Mommy, Daddy teman Sagara sangat baik," ucap Sagara tiba-tiba, membuat Agatha menoleh cepat pada putranya. "Humm?" Agatha berdehem sembari menaikkan kedua alis, tak paham kenapa putranya mengatakan hal itu. Nail langsung meletakkan tablet di tangan lalu langsung menarik kursi Agatha supaya lebih dekat serta rapat dengannya. Setelah itu dia memeluk pinggang Agatha secara possesive. "Maksudmu bicara begitu apa?" ucap N
Setelah mentraktir temannya, Agatha tak kembali ke galeri. Dia menemani Sandi yang ingin membeli hadiah pada adiknya–Kalisa. Hari ini adalah hari kasih sayang, Sandi berniat memberikan hadiah pada adiknya, satu-satunya keluarga Sandi di dunia ini. Agatha sendiri, bukan menemani sebenarnya. Tetapi dia juga ikut mencari hadiah untuk suaminya. "Aku sudah mendapatkan hadiah untuk adikku. Terimakasih sudah membantuku, Agatha," ucap Sandi, tersenyum lembut pada Agatha. "Sebenarnya aku juga ingin memberimu hadiah, bagaimanapun kamu sudah seperti saudara untukku dan Kalisa. Tetapi mengingat suamimu adakah … ekhmm-- mengerikan, aku cukup tak berani. Ahahaha … tetapi jika coklat seharusnya tak masalah bukan?" ucap Sandi, menyerahkan coklat untuk Agatha. Agatha meraih coklat tersebut dengan perasaan senang. "Terimakasih, Sandi." "Oh iya, aku belum menemukan hadiah yang cocok untuk Pak Nail. Kamu pulang lebih dulu saja, Sandi. Aku yakin Kalisa sudah menunggumu," ucap Agatha selanjutnya. "Aku
Agatha memilih ke kamar mandi, mengurungkan niat karena takut mengganggu Nail. Pria itu duduk dengan memamgku laptop, sepertinya memang sibuk. Setelah selesai mandi, Agatha memberanikan diri mendekati Nail. Tak lupa dia membawa kado yang akan ia serahkan pada suaminya. "Mon Tresor," sapa Agatha manis dan seria, duduk di sebelah Nail yang masih sibuk dengan laptopnya. Nail sama sekali tidak menoleh dan tetap fokus pada laptop. Agatha sejujurnya tertohok dengan sikap Nail, akan tetapi dia berusaha positif thinking. Mungkin karena suaminya tengah serius. Agatha mengulurkan tangan untuk memijat pundak Nail. Siapa tahu jika dia memijat pundak suaminya, pria ini akan menyadari keberadaannya. Atau-- lelah Nail berkurang, diobati oleh pijatannya. Namun, tiba-tiba saja Nail berdecak cukup kesal, seketika itu juga Agatha menarik tangan dari pundak Nail–berhenti memijat pundak pria itu. Nail memang tak mengatakan jika Agatha mengusik karena pijatannya, Nail juga tak menatapnya. Tetapi dar
"Hah." Nail menghela napas, menatap Agatha yang tertidur pulas di atas sofa panjang–ruang lukis. Nail pikir Agatha meninggalkannya setelah kejadian tadi, ternyata Agatha masih di ruang lukis. Istrinya lebih memilih tidur di ruangan ini dibandingkan kembali ke kamar mereka. Nail mendekat ke arah Agatha, berjongkok di sebelah sofa–dekat wajah istrinya. Nail mengusap rambut sang istrinya, menatapnya sendu tetapi dengan rahang yang mengatup kuat. Gigi Nail bergemelutuk, tetapi dadanya panas melihat Agatha tidur di sini. Nail mendekatkan wajah ke arah kening Agatha. Cup' Dia mengecup kening Agatha, begitu kuat dan lama. Ada pancaran amarah di maniknya, tetapi ada pancaran kesedihan juga di sana. "Aku tidak ingin kau dekat pria manapun selain aku," ucap Nail pelan, meraih tubuh Agatha kemudian membawa perempuan itu ke kamar mereka. Nail menggendong Agatha secara bridal style. *** Agatha terbangun dan dia sudah dalam kamar. Jantungnya langsung berdebar kencang, tubuhnya seketi
Almira menatap lukisan putrinya yang telah rusak. Dia belum melihat karya Agatha secara langsung, hanya melihat dari foto–hasil kiriman asistennya semalam. Hari ini meskipun sibuk di kantor suaminya, tetapi Almira menyempatkan diri ke galeri untuk melihat lukisan putrinya secara langsung. Namun, lukisan tersebut telah rusak. Hati Almira meringis dan pedih melihat lukisan yang rusak tersebut. Sebagai seorang pelukis, dia sesak dan sedih. Namun, saat menatap putrinya, kesedihan itu semakin nyata Almira rasakan. Almira berjalan cepat mendekati Agatha, lalu langsung membawa putrinya dalam pelukannya. "Lukisanku … rusak, Maa …," cicit Agatha, menangis dalam pelukan mamanya. Almira mengusap surai putrinya secara lembut dan halus. "Mama melihatnya, dan Mama akan mencari siapa orang yang telah merusak karya Agatha. Jangan menangis, Sayang," lembut Agatha, berusaha menenangkan putrinya. Agatha memang menganggukkan kepala, tetapi air matanya terus jatuh. Hari ini begitu kacau, peras
"Ck." Nail berdecak kesal, wajah datarnya begitu dingin dan aura mengerikan menguar dari tubuhnya. Pertama, perempuan itu kembali! Dia sepertinya perempuan tak tahu malu, karena setelah penculikan dan tragedi keji yang menimpanya, perempuan itu masih tetap berani muncul. Bodohnya, perempuan tak sadar jika kesialan yang ia terima adalah perbuatan Nail. Kedua, perempuan itu mengirim sebuah foto yang membuat Nail kesal. Nail kesal bukan karena foto yang dikirim, tetapi tindakan bodoh perempuan itu. Hell! Perempuan itu ingin memfitnah istrinya, menuduh Agatha berselingkuh dengan seorang pria yang tak lain adalah papa istrinya sendiri. Konyol!Nail menghela napas kemudian mengantongi handphonenya. "Langsung ke kamar dan mandilah," ucap Nail pada putranya. Sagara menganggukkan kepala secara patuh. Sejujurnya dia ingin menemui mommynya, karena Sagara begitu merindukan sang mommy. Seharian ini, Sagara tak bertemu dengan mommynya. Namun, sepertinya hubungan mommy dan daddynya sedang panas
"Hello, Wife," sapa Nail, tersenyum tipis dan menahan geli melihat ekspresi istrinya yang sedang kaget. Sejujurnya pukulan Agatha pada kepalanya cukup sakit. Mungkin memang benar adanya jika senjata ampuh perempuan adalah sandal karena terbukti bagi Nail, sandal Agatha lebih sakit daripada pukulan papanya. Agatha mengerjap beharap kali, masih terkejut dan tak dapat menguasai diri karena sosok di hadapannya saat ini. Sungguh? Ini Nail suaminya? "Kau tidak ingin memelukku?" tanya Nail, merentangkan tangan sembari mengibarkan senyuman yang lebih lebar dari yang sebelumnya. Agatha masih membeku di tempat, dia menatap Nail dari atas hingga bawah lalu bergerak mundur. Alih-alih memeluk suaminya, perempuan itu malah sebaliknya–bergegas masuk ke dalam rumah. "Agatha Aditya Melviano." Nail memanggil, menatap bingung pada Agatha yang meninggalkannya begitu saja. Sedangkan Agatha, dia berlari menjauh dari sana. Ah, tidak! Agatha sepertinya terlalu merindukan Nail sehingga dia berhalusinasi
"Pulanglah lebih dulu, Nak," ucap Zahra, tersenyum lembut dan hangat pada Nail. Tatapannya begitu sendu, berkaca-kaca karena merasa kasihan pada putranya. Tiga tahun! Ternyata selama itu Nail tak pernah pulang, Nail selalu berada di sini–demi menjaga orangtuanya. Zahra baru tahu ini karena Aiden memberitahunya. Sedangkan Aiden, dia beberapa kali menyuruh Nail kembali ke negara mereka untuk mengunjungi Agatha, akan tetapi Nail menolak karena beberapa alasan. Sekarang Zahra sudah mulai membaik, oleh sebab itu Aiden berani mengatakan hal tersebut pada mama mereka. "Mama dan Papa juga akan pulang secepatnya," lanjut Zahra, meraih tangan Nail lalu menggenggamnya erat. "Pulang, Nak. Temui istri dan anak-anakmu."Nail tersenyum kecut, menggelengkan kepala dengan pelan. "Agatha tidak membiarkanku pulang jika tak membawa Mama dan Papa. Jadi cepatklah sembuh, Mah," ujar Nail lembut, menatap wajah teduh mamanya dengan manik sendu. Mamanya duduk di kursi roda, pada kening mamanya ada sebuah b
"Ya, aku bersedia." Agatha menjawab cepat, tiba-tiba saja dia membuka sandal yang ia gunakan kemudian mengangkatnya tinggi. "Bersedia memukul kepalamu dengan ini," ucapnya, kemudian mengayunkan tangan yang memegang sandal tersebut. Bug' Jidan awalnya mengira Agatha hanya mengancam. Ternyata Agatha benar-benar memukulnya dengan sandal tersebut. Jidan melebarkan mata, menatap tak percaya saat sandal tersenyum secara kasar menyapa kepalanya. "Masih tak ingin pergi yah? Oke!" Agatha melepas sandal satu lagi, mengunakan kedua sandal untuk memukul Jidan. Pria itu membelalak lebar, menghindari pukulan Agatha lalu buru-buru pergi dari sana. "Sialan kamu!" jerit Agatha kesal setengah mati pada Jidan. Jidan nyengir ketika akan masuk dalam mobil, mengedipkan mata secara genit ke arah Agatha. "Aku yakin sebentar lagi kamu akan jatuh cinta padaku, Agatha. Aku sangat tampan dan soft." Bug' Agatha yang kesal luar biasa, kembali meraih sandalnya lalu melemparnya pada Jidan. Pria terk
"Aku sangat merindukanmu, Tata. Kapan aku boleh pulang, Humm?" ucap Nail dari seberang sana. Sejujurnya mata pria yang katanya sangat kejam tersebut terlihat memerah dan digenangi bulir kristal, akan tetapi karena dia dan Agatha berbicara lewat ponsel, Agatha tak kentara jelas melihatnya. Nail sangat merindukan Agatha. Dia tidak bohong! "Jika Mama dan Papa sudah sembuh, barulah Mon Tresor kembali." Agatha menjawab dengan nada lembut, tak menghilangkan keceriaan di wajahnya. Namun kenyataannya, Agatha rasanya ingin menbagis. Matanya sudah panas dan berair, ingin menangis karena menahan gejolak rindu yang melanda. Percayalah! Ini tidak mudah, akan tetapi mereka harus bertahan. "Keadaan Mama sudah jauh lebih baik," ucap Nail tiba-tiba, tersenyum tipis di bibir, "sebentar lagi kita akan bertemu," lanjutnya. Agatha melebarkan senyuman. "Aaaa … aku tidak sabar. Semangat semangat semangat! Mon Tresor harus semangat merawat Mama dan Papa. Oh iya, bagaimana dengan kondisi Papa?" "Papa su
Tiga tahun kemudian. "Ini adalah hari kematian Kakek, tahun ketiga yang menyedihkan untuk kita semua." Agatha menoleh pada Syakila, tersenyum tipis pada sahabatnya tersebut untuk menyalurkan kekuatan dan cinta. Benar sekali! Ini adalah hari kematian kakek Lucas, tahun ketiga mereka kehilangan semuanya. Tiga bulan setelah Agatha melahirkan, Nail bepergian ke luar negeri. Di sisi lain, Zein, Zahra, Alana dan Raka, juga pergi ke sebuah negara untuk menghadiri acara penting. Nail pergi ke negara berbeda dari orangtuanya, dan dia ke sana untuk kepentingan bisnis. Nail di sana selama sebulan, dan berencana pulang setelah urusannya telah selesai. Namun, niatnya untuk pulang tertunda karena orangtuanya dan kakeknya kecelakaan saat akan kembali ke negara ini. Bukan hanya sekedar kecelakaan, akan tetapi ada campur tangan seseorang yang membenci keluarga Melviano. Tak lain adalah orangtua Soraya, mereka balas dendam karena menghancurkan kehidupan Soraya. Vidio buruk Soraya dengan beberapa p
"Kau sangat cantik." Deg' Agatha mendongak seketika, menatap gugup pada Nail. Pipinya memerah karena mendengar pujian dari suaminya, dan bibirnya menahan untuk tak tersenyum. Namun, ketika melihat raut muka Nail yang lempeng, Agatha memilih kembali menunduk–memanyunkan bibir sembari meremas bagian gaun di atas pangkuannya. Agatha sepertinya hanya salah mendengar. Nail tak lagi memuji dirinya, Agatha hanya salah pendengaran. Mungkin saking inginnya mendapat pujian dari suaminya. Tiba-tiba saja tangan Nail terulur, menyentuh dagu Agatha secara lembut. Dia menaikkan dagu istrinya, membuat Agatha reflek mendongak–menatap tepat ke arah Nail. "Kau sangat cantik, Tata," ucap Nail lembut, menatap berat ke arah Agatha. Sempurna! Wanita ini terlihat begitu cantik di malam hari ini, gaun biru ini sangat indah setelah berada di tubuh Agatha. Kulit Agatha bersinar terang apabila dibawah cahaya, efek dari sparkling yang menempel pada gaun. Istrinya bak Dewi bulan, cantik dan indah! "Kau
"Daddy jika ingin tersenyum, tersenyum saja. Tak ada yang melarang," ucap Sagara dengan nada yang terkesan ketus, mendongak pada daddynya yang duduk bersebelahan dengannya. Sagara tentu iri! Bagaimana bisa monster cap kuku Setan ini bisa sangat menginspirasi mommynya? Kenapa bukan Sagara yang jelas-jelas baik hati, anak yang rajin dan suka membantu orang tua? "Humm." Nail berdehem datar, menatap putranya dengan tatapan lempeng. Namun, setelah itu dia berdecis geli, terkekeh pelan setelahnya sembari mengacak surai di pucuk kepala putranya. "Cih, mommy sangat menggemaskan," ucap Nail, benar-benar salah tingkah. Damage-nya begitu dahsyat, hingga rasanya Nail terus-terusan ingin tersenyum. Sagara menatap berang pada sang daddy, cukup kesal karena rambutnya terus diacak oleh daddynya. Sedangkan Nail, saat papa, paman dan kakeknya menoleh ke arahnya, seketika itu juga dia memasang wajah lempeng–pura-pura tidak merasakan apapun setelah mendapat pujian dari Agatha. Lalu setelah para pria
"Yah, benar sekali. Lukisanku telah dirusak oleh seseorang." Agatha menoleh sinis pada Laila, "sejujurnya aku sempat down karena lukisanku rusak. Bukan masalah tak punya ide, tetapi mengerjakan lukisan itu memakan banyak waktu. Aku senang saat melukis, tetapi tak bisa dipungkiri melukis sangat melelahkan. Setiap kali selesai melukis, pasti aku akan menjadi nenek-nenek. Pinggang sakit, punggung pegal, leher terasa akan patah, kaki kesemutan. Yah, seperti nenek-nenek. Dan … dengan seenaknya seseorang merusak lukisanku. Siapa yang tak marah?" Lagi-lagi para tamu tersenyum mendengar ucapan Agatha. Ah, mereka sangat suka mendengar coleteh perempuan menggemaskan ini. Sangat lucu! "Tapi tenang! Sejatinya kemampuan pelukis itu bukan pada hasil, akan tetapi pada proses dan ide. Itu yang Mama dan Papa katakan padaku." Agatha berucap dengan ceria, dia lalu menoleh pada mamanya kemudian membungkuk hormat, "Mama, Agatha berterimakasih padamu. Lagi-lagi Mama menginspirasiku dan aku semakin meng
"Itu mirip seperti lukisan Agatha." Orang-orang mulai berbisik karena mendengar ucapan salah satu pelukis tersebut. Sedangkan Laila, dia panik dan terlihat gugup. "Jangan asal menuduh. Ini lukisan yang kubuat, hasil pemikiran ku sendiri." Laila memekik, berucap dengan suara kuat supaya orang-orang percaya padanya. Almira maju ke depan, Laila seketika mendekat karena mengira Almira akan menolongnya. Laila bisa masuk ke tempat ini berkat bantuan Almira, dia yakin sekali Almira akan membantunya. Karena jika tidak nama galeri milik Almira, bahkan nama Almira sendiri bisa rusak. "Ya, benar. Lukisan ini memang mirip dengan lukisan Agatha–putriku," ucap Almira lantang, mengejutkan orang-orang karena tak menyangka jika Almira adalah ibu dari Agatha. "Ti-tidak. Aku tidak mungkin plagiat. Aga-- Nyonya Almira membela Agatha karena dia putri anda. Iya kan?" Laila bersikeras tak mengakui perbuatannya. Almira menoleh pada Laila, tersenyum tipis namun penuh isyarat. Almira memberi i