"Yah, Darling." Nail menjawab serak, menatap cemas pada Agatha karena takut pada reaksi Agatha. "Hehehe …." Agatha tiba-tiba cengengesan, langsung makan lagi dengan senyum-senyum malu. "Kau tak apa-apa, Tata?" Nail memperhatikan Agatha takut. "Tidak apa-apa. Ayo, makan lagi," gugup Agatha. Meskipun sama-sama cemas pada Agatha, tetapi semua orang kembali makan. Sedangkan Agatha, dia mendekat ke arah Nail lalu berbisik pada suaminya. Ah iya, Agatha berada di antara Nail dan Almira. Sedangkan Sagara duduk dipangkuan kakeknya–Zein Melviano. "Berarti anak kita akan bertambah yah, Mon Tresor?" bisik Agatha. Nail menganggukkan kepala pelan, menatap istrinya penuh ketelitian. "Yess!" ucap Agatha tiba-tiba, menyeru sangat senang dan bahagia. "Kalau perempuan nanti aku ada yang membantu menguras habis uang Mon Tresor. Aku sudah sangat ingin punya anak perempuan. Lagian supaya Mon Treros tidak dekat dekat dengan Kinara," bisik Agatha, pura-pura memakan pancake secara anggu
"Istirahatlah," ucap Nail setelah membaringkan Agatha di atas ranjang. Nail dan Agatha telah pulang ke rumah mereka. Nail tak ingin berlama-lama di rumah kakeknya karena takut Agatha melakukan aktivitas berlebihan. Jika di rumah mereka, Nail lebih teliti dan perhatian pada istrinya. Dia jauh lebih fokus untuk memantau kegiatan istrinya yang sedang hamil. Nail memang cukup protektif. Baik saat Agatha hamil anak pertama mereka–Sagara, maupun hamil sekarang, Nail selalu mengusahakan diri untuk lebih perhatian pada Agatha. Agatha tersenyum tipis kemudian menganggukkan kepala. Agatha memutuskan untuk tidur karena dia memang mengantuk. Setelah puas tidur, bangun sekitar jam tiga sore, Agatha segera mandi lalu setelah itu turun ke lantai bawah. Entah kenapa Agatha sangat ingin mencium aroma kue yang sedang dalam panggangan. Agatha juga sangat ingin membuat kue. "Darling."Agatha yang ingin memasuki dapur, menghentikan langkah, menoleh ke arah suaminya yang terdiam di ambang pembatas rua
"Apa aku akan diusir dari rumah?" tanya Kinara tiba-tiba, suaranya pelan dan bergetar hebat. Dia menatap Agatha dengan mata berkaca-kaca. "Kalau kamu mau berteman denganku dan menjadi anak baik, kamu tak akan diusir," jawab Agatha dengan nada lembut, tersenyum manis setelahnya–di mana dia meletakkan tangan di atas kepala Kinara. Kinara menatap lekat dan dalam pada Agatha. Dia ingat wanita ini pernah mencubitnya, tetapi wanita ini adalah orang yang sama yang telah menggendongnya serta menyelimutinya penuh perhatian saat menginap di rumah ini. Ibunya saja tak seperti itu padanya, tak pernah mau memindahkan Kinara ke tempat tidur semisal Kinara ketiduran di ruang televisi. Selalu maid yang melakukan. Tetapi perempuan yang ia anggap perebut papanya ini, menunjukkan arti kepedulian serta perhatian padanya. Mata Kinara semakin berkaca-kaca, bibirnya mengerucut karena ingin menangis. "Jangan sedih, Cantik." Agatha melembutkan gerakan tangannya yang sedang mengusap pucuk kepala Kinara
"Tata." Agatha yang sedang mengobrol asyik dengan Syakila, sembari mengajak Kinara bermain boneka, reflek menoleh pada Nail. Nail memasuki ruangan itu kemudian matanya menoleh ke sana kemari, mencari Sagara yang telah menggelapkan kue bagiannya. "Di mana Sagara?" tanya Nail kemudian, meletakkan piring yang ia bawa di atas meja–depan sofa. Agatha berada di ruang keluarga, sengaja supaya lebih enjoy bermain dengan Kinara serta lebih nyaman mengobrol dengan Syakila. "Kak Nail kenapa? Seperti ingin makan manusia saja," tanya Syakila, menatap kakaknya dengan tampang muka heran. Namun, kenapa juga dia marah? Sudah tabiat kakaknya pemarah dan selalu memasang wajah bak vampire lapar. "Ck." Nail berdecak pelan. "Memakan Tata iya," jawabnya ketus akan tetapi pelan. Wajahnya masih dongkol, kesal pada putranya sendiri. Agatha yang paham ucapan suaminya melototkan mata lalu memukul paha Nail. "Te-tenang saja, Agatha. Aku tidak dengar kok. A-aman," jawab Syakila kikuk. Kakaknya memang super
"Mom-- oh, tidak! Ada Daddy!!" Sagara buru-buru beranjak dari sana karena panik melihat daddynya. "Sagara!" geram Nail, bangkit dari ranjang dan sebelah Agatha kemudian secepat mungkin menyusul putranya. Pada akhirnya keduanya kejar-kejaran. Agatha keluar dari kamar, khusus untuk melihat kelakuan suami dan putranya. Bukan hanya Agatha, para maid dan penjaga juga ikut menyaksikan."Tom and Jerry," ucap Agatha, geleng-geleng kepala melihat Nail yang masih berusaha menangkap Sagara yang sangat lincah. Agatha tersenyum geli, merasa lucu dengan suaminya. Semua gara-gara kue. ***"Syakila punya info untuk Mama dan Papa." Syakila menahan tawa saat mengingat kejadian di rumah kakaknya. Saat ini, dia sudah di rumah–di ruang keluarga sedang berkumpul untuk membahas pernikahan antara dia dan Aiden. "Tadi-- Kak Nail marah besar, dia mengamuk dan berakhir merajuk pada Agatha. Mama dan Papa, coba tebak apa alasan Kak Nail marah?""Cemburu?" Zein mengerutkan kening. Itu alasan paling masuk diak
"Kamu tidak perlu menunggu mama kamu lagi. Karena sekarang aku akan menjadi Mama kamu. Tenang saja, kalau kamu tidak nyaman denganku, kamu bisa menganggapku teman dulu. Bagaimana?" ucap Syakila pada Kinara, menatap sungguh-sungguh pada anak kecil itu yang saat ini tengah menatapnya berkaca-kaca. "Tetapi Nala takut punya Mama tiri," cicit Kinara pelan, tiba-tiba menundukkan kepala dengan sedih. "Makanya kita menjadi teman." Syakila terus meyakinkan. "Kalau kamu menjadi temanku, kamu akan senang. Soalnya aku banyak pernak pernik dan boneka. Kamu bisa memakainya kapanpun." "U'um." Kinara menganggukkan kepala, tersenyum manis pada Syakila. Akan tetapi senyumannya seketika luntur dan mendadak menundukkan kepala ketika seorang pria tampan dewasa memasuki tempat tersebut. Kinara meremas dress yang dia kenakan, takut pada sosok itu. "Kenapa kau di sini, Syaki?" tanya Aiden lembut, menghampiri perempuan itu lalu duduk di sebelah Syakila. "Aku hanya ingin berteman dengan Kinara, Kak
Hari ini Agatha ikut ke kantor Nail. Entah kenapa Agatha sangat ingin ke kantor dan menyaksikan suaminya bekerja. Nail tak menolak sama sekali karena dia juga senang Agatha ikut. Dengan begitu dia tetap ke kantor dan sekaligus tetap bisa memantau istrinya. Awalnya Agatha sangat antusias, akan tetapi pada akhrinya dia jenu karena tak bisa melakukan aktivitas apapun–kecuali duduk dan bermain ponsel. "Mon Tresor, aku ingin pulang ke rumah. Aku bosan di sini," ucap Agatha dari tempatnya, duduk di salah satu sofa ruangan suaminya–menyender lesu sembari menatap ke arah Nail. "Bukankah di rumah juga seperti ini? Lebih baik temani aku di sini, Darl." Nail menoleh sejenak pada Agatha kemudian kembali fokus pada pekerjaannya. "Jika di rumah aku bisa merawat bunga-bungaku, aku bisa melukis, aku bisa memasak kue untuk Mon Tresor dan ketika Mon Tresor pulang, aku bisa menyambut," bujuk Agatha, berkata lemah lembut supaya Nail luluh lalu menbolehkannya pulang. Sedangkan Nail, mendengar ucapan
Sedangkan Nail yang mendengar tawa pelan, seketika berhenti melangkah. "Ada yang lucu?!" "Ekhm." Edward, Alvin dan Aiden seketika berdehem, berusaha menetralkan tawa yang masih terus menggerogoti mereka. Sial! Keadaan selucu ini akan tetapi mereka harus menahan diri karena suara dan tampang Nail yang dingin. "Jangan ada yang tertawa!" Nail memperingati, melanjutkan langkah menuju ruangan lain di sana–sebuah kamar yang dikhususkan untuk beristirahat apabila Nail lembur atau padat pekerjaan. "Padahal kau mendapat pahala jika membiarkan kami tertawa. Apalagi aku ayah mertuamu," celetuk Edward pelan, menggaruk tengkuk sembari menghampiri cucunya. Dis menggendong Sagara dan memindahkannya ke kamar yang sama dengan Agatha. Nail tak menanggapi ucapan Edward. Dia tetap memasang wajah cool, bersikap dingin dan lempeng. "Nail seperti punya dua anak," ucap Aiden pelan dan geli pada Alvin, mendapat kekehan dari Alvin. ***Agatha terbangun dan mendapati dirinya dalam sebuah kamar. Putranya–
"Bagaimana, Wife? Kau suka?" tanya Marc, menoleh pada istrinya dengan senyuman lembut. Alis Marc menaikkan sebelah, terkekeh pelan melihat reaksi istrinya. Belum apa-apa tetapi Kiana sudah membeku di tempat. Cih, bahkan dia belum mengutarakan cintanya pada sang istri. Kiana mematung di tempat, punggungnya terasa panas tetapi tangannya dingin. Masih dibagian sini tetapi Kiana sudah sangat gugup. Ya Tuhan! Kiana tak percaya jika Marc biasa menyiapkan tempat se indah ini. "Ekhem." Suara deheman tersebut membuat Kiana menoleh pada Marc. Matanya membelalak lebar, tak percaya dan terkejut pada Marc yang sudah bertekuk lutut dihadapannya. Pria itu memegang kotak hitam mewah, di mana ketika dibuka isinya adalah … kosong. "Ko-kosong?" bingung Kiana, gugup dan berdebar tak karuan. Marc mendapat kotak dan ternyata benar, kotak tersebut kosong. Dia berdecak pelan kemudian berdiri. Wajah Marc terlihat kesal, dingin secara bersamaan. "Ti-tidak apa-apa, Kak Marc. Tanpa cincin jug
"MARC!" jerit Disha antara syok dan horor. Akan tetapi yang dia panggil malah terlihat santai. Disha geleng-geleng kepala, sudah menangis karena melihat kejahatan putranya. Disha sangat lega suaminya tak ada di sini akan tetapi dia lupa juga titisan suaminya ada di sini. Marc dan Damon, sama saja! "Penjaga!" Daniel memangil penjaga, kemudian menyuruh mereka untuk membereskan kekacauan yang Marc lakukan, "bawa mayat perempuan ini, buang ketengah hutan. Jangan sampai ada jejak yang tertinggal." "Baik, Tuan." Para penjaga melaksanakan perintah, langsung membawa mayat Sofia dari sana. "Masalah sudah selesai. Dan … Marc, lain kali jangan seperti tadi. Kasihan orang-orang rumah yang tak terbiasa dengan suara tembakan, Nak. Apalagi istrimu," tegur Daniel kemudian pada cucunya. Dia geleng-geleng kepala karena Marc dan Damon sangat persis. Untung daddy dari cucunya tak ada di sini. Karena jika Damon di sini, tentu Damon akan membenarkan tindakan Marc dan bahkan bisa memarahi siapapun
"Bisa saja kamu membuat surat palsu," elak Sofia. "Masalah di rumah Kakek Nenekku, bukannya kamu yang lebih dulu menuduhku yang bukan-bukan?! Kamu menuduhku gembel dan berniat mengacaukan pesta, kamu mengusirku dari rumah Nenek dan Kakekku sendiri. Dan wajar bukan jika aku menyuruh maid di rumah Kakek Nenekku mengawasimu karena … seorang tamu tidak dikenal bisa-bisanya ada di ruang keluarga kami. Padahal ruangan itu area terlarang untuk para tamu. Pertanyaannya, kenapa kamu bisa di sana? Pasti berniat macam-macam bukan?" "Aku bukan pencuri!" marah Sofia, berteriak kesal karena tak tahan dengan tuduhan Kiana. Yang membuatnya semakin kesal adalah semua orang diam dan mendengarkan perkataan Kiana. "Kenapa marah? Aku saja tidak marah saat kamu mengusirku dari rumahku sendiri." Sofia memucat, menggelengkan kepala pada Audi. Dia berharap Audi tak percaya pada perkataan Kiana. "A-aku tidak mengusirnya, Nenek. A-aku bertujuan baik. Saat itu-- dia mengenakan pakaian santai. Sedangkan a
"Kenapa kalian memenjarakan Sofia, Marc?" tanya Audi, menatap Marc dengan ekspresi tak enak kemudian menatap satu persatu anggota keluarga yang lain– yang telah ia suruh berkumpul di kediaman Lucas. Sofia juga ada di sana, sudah ia bebaskan dari penjara. Sofia menghubunginya, mengatakan jika Marc telah memenjarakannya karena kesalah pahaman. "Aku tidak memenjarakannya, Nek," jawab Marc, "dan aku juga tak mungkin memenjarakannya," lanjut Marc, seketika membuat Sofia tersenyum manis–merasa jika Marc memiliki perasaan padanya oleh sebab itu Marc tak ingin menjebloskannya dalam penjara. Audi juga terlihat senang mendengarkan penuturan Marc, ternyata Marc tak ingin menjebloskan Sofia dalam penjara. "Hukuman di penjara terlalu ringan untuk wanita itu. Kejahatan yang dia perbuat sudah sangat banyak," lanjut Marc, seketika membuat senyuman Audi hilang. Begitu juga dengan Sofia yang langsung memucat. "Penjara terlalu enak baginya," tambahnya yang semakin membuat Sofia ketakutan. "Marc
Kiana menatap gambarnya yang salah coret, menganga sedikit lalu menoleh pada suaminya. Pria satu ini! Sangat-sangat tak aman untuk kesehatan jantung Kiana. Hell! Dari tadi, Marc sudah bagus hanya diam dan tak bersuara. Tetapi kenapa dia tiba-tiba mengeluarkan suara? See?! Sekalinya Marc berbicara, gambar Kiana rusak. Bencana! "Jawab." Marc bangkit dari kursi lalu menghampiri Kiana, dia berdiri di belakang istrinya–menatap sejenak pada gambar desain Kiana yang tergores pencil, cukup dalam dan parah. Melihat itu, Marc menarik salah satu sudut bibir ke atas–membentuk sebuah smirk tipis, geli melihat gambar istrinya. Jadi perempuan ini tadi kaget dan salah coret? Cih, menggemaskan. "Kau mencintaiku, Wife?" tanya Marc, membungkuk ke arah Kiana. Satu tangannya memegang sandaran kursi Kiana, satu lagi bertopang pada sisi meja istrinya. Kiana yang sedang menghapus bagian yang salah pada desain, menjadi kikuk lalu berakhir salah hapus. Marc berdecis geli, menarik penghapus dari tangan i
Ceklek' Marc menoleh ke arah pintu, mendapati istrinya di sana. Kiana terlihat kaget, mungkin tak mengira jika Marc telah datang. Kiana masuk dalam kamar, menutupi pintu sembari berjalan menghampiri suaminya. Dia tersenyum manis, senang karena Marc akhirnya kembali. Ada banyak hal yang ingin Kiana ceritakan pada Marc, salah satunya niatan Gebara untuk melamar Kinara–kakaknya. Karena jika Gebara ingin melamar Kinara, pasti mereka akan ke negara Kiana. Itu yang membuat Kiana sangat senang, dia bisa pulang lalu bertemu dengan keluarganya. Tak bisa dipungkiri, Kiana sangat rindu pada keluarganya. "Kak Marc kapan pulang?" tanya Kiana, masih tersenyum manis pada Marc. Pria itu menaikkan sebelah alis, menampilkan raut muka dingin dan tatapan yang cukup mengintimidasi. "Baru saja." Kiana cengar cengir, mendudukkan diri di pinggir ranjang. "Kau sepertinya terlihat sangat senang." Kiana menganggukkan kepala. "Kak Gebara sudah memantapkan niatannya untuk melamar Kak Kinara. Minggu
Sofia! "Untuk apa kamu datang ke sini?" sinis Kiana, menatap Sofia kesal secara terang-terangan. "Tuan meninggalkan laporan penting dan aku datang untuk menjemputnya," ucap Sofia dengan nada angkuh, berniat masuk akan tetapi Kiana dengan cepat mendorong pundaknya. "Jangan menginjakkan kaki kotormu ke dalam kamarku dan Kak Marc." Tak mau kalah, Kiana memperlihatkan keangkuhan yang sesungguhnya pada Sofia, "makhluk rendahan sepertimu bisa mencemari kamar kami," lanjut Kiana. Sofia mengepalkan tangan, menatap begitu marah pada Kiana. "Kiana! Jaga ucapanmu, ini bukan keluarga Melviano! Mungkin di keluargamu, kamu adalah nona muda yang selalu dihormati dan dimanja. Tetapi di sini …-" Kiana langsung memotong, berkata santai dengan bersedekap di dada, "nyonya Lucas. Aku malah naik jabatan di sini. Dari Lady Melviano, menjadi Nyonya Lucas. Iri, Remahan Biskuit?" ejek Kiana di akhir kalimat. Sofia semakin marah mendengar ucapan Kiana. Dia sangat tak terima, apalagi bagian Kiana meny
"A-aku memang kecelakaan, Tante. A-aku bahkan hampir mati." pekik Sofia, menangis dengan air mata yang terus meluruh. Disha menghela napas, tak ingin berdebat lagi dengan perempuan tersebut. "Kalau begitu biarkan Arseno memeriksa kakimu," ucap Disha dengan nada tegas. Sofia memucat, gugup dan terlihat panik. Kakinya tidak sakit ataupun patah. Meski Arseno bukan dokter ortopedi, tetapi dia yakin kalau Arseno akan tahu kebohongannya. Namun, jika dia keukeuh menolak, Disha akan lebih curiga padanya. Disha memanggil beberapa maid untuk membawa Sofia ke dalam, setelah itu dia menyuruh keponakannya untuk memeriksa kaki Sofia. ***Cup' Marc mencium bibir Kiana, melumatnya cukup kasar dan penuh penuntutan. Saat ini mereka sudah dalam kamar, membuat Marc leluasa untuk mencium istrinya. "Ummff--" Kiana memberontak, cukup kaget karena Marc tiba-tiba menciumnya. Dia juga ingin mengatakan sesuatu pada Marc, oleh sebab itu dia berupaya menghentikan Marc. "Kau menolak ciumanku?" ucap Marc, me
Setelah berbicara pada Eliza, Kiana menemui mama mertuanya. Dia tak enak hati melihat sang mama mertua yang sibuk ikut membantu persiapan pesta untuk nanti malam. Karena tidak tahu harus membantu apa, Kiana mendekati mama mertuanya untuk bertanya. Akan tetapi, sang mama mertua malah menyuruh Kiana istirahat–menyuruh Yoona supaya mengantar Kiana ke kamar. Yoona berbeda dengan Eliza, perempuan ini sangat santai dan juga ramah. Yoona memiliki seorang kakak bernama Gerald De Lucas, dan dia ternyata bekerja di DSL. Hanya saja karena Kiana tak memperhatikan dan Gerald tak terlalu menonjol orangnya, Kiana tak tahu jika Gerald adalah sepupu Marc. Suaminya juga punya satu sepupu laki-laki lainnya. Namanya Arseno De Lucas (anak dari Ando dan Aulia) di mana Ando adalah paman tertua Marc. Arseno sendiri memilih berbeda, menjadi seorang dokter bedah yang sudah terkenal keahliannya di negara ini. "Yoona, aku akan membantumu. Katakan apa yang bisa ku lakukan?" ucap Kiana, menolak masuk dalam ka