"Kamu tidak perlu menunggu mama kamu lagi. Karena sekarang aku akan menjadi Mama kamu. Tenang saja, kalau kamu tidak nyaman denganku, kamu bisa menganggapku teman dulu. Bagaimana?" ucap Syakila pada Kinara, menatap sungguh-sungguh pada anak kecil itu yang saat ini tengah menatapnya berkaca-kaca. "Tetapi Nala takut punya Mama tiri," cicit Kinara pelan, tiba-tiba menundukkan kepala dengan sedih. "Makanya kita menjadi teman." Syakila terus meyakinkan. "Kalau kamu menjadi temanku, kamu akan senang. Soalnya aku banyak pernak pernik dan boneka. Kamu bisa memakainya kapanpun." "U'um." Kinara menganggukkan kepala, tersenyum manis pada Syakila. Akan tetapi senyumannya seketika luntur dan mendadak menundukkan kepala ketika seorang pria tampan dewasa memasuki tempat tersebut. Kinara meremas dress yang dia kenakan, takut pada sosok itu. "Kenapa kau di sini, Syaki?" tanya Aiden lembut, menghampiri perempuan itu lalu duduk di sebelah Syakila. "Aku hanya ingin berteman dengan Kinara, Kak
Hari ini Agatha ikut ke kantor Nail. Entah kenapa Agatha sangat ingin ke kantor dan menyaksikan suaminya bekerja. Nail tak menolak sama sekali karena dia juga senang Agatha ikut. Dengan begitu dia tetap ke kantor dan sekaligus tetap bisa memantau istrinya. Awalnya Agatha sangat antusias, akan tetapi pada akhrinya dia jenu karena tak bisa melakukan aktivitas apapun–kecuali duduk dan bermain ponsel. "Mon Tresor, aku ingin pulang ke rumah. Aku bosan di sini," ucap Agatha dari tempatnya, duduk di salah satu sofa ruangan suaminya–menyender lesu sembari menatap ke arah Nail. "Bukankah di rumah juga seperti ini? Lebih baik temani aku di sini, Darl." Nail menoleh sejenak pada Agatha kemudian kembali fokus pada pekerjaannya. "Jika di rumah aku bisa merawat bunga-bungaku, aku bisa melukis, aku bisa memasak kue untuk Mon Tresor dan ketika Mon Tresor pulang, aku bisa menyambut," bujuk Agatha, berkata lemah lembut supaya Nail luluh lalu menbolehkannya pulang. Sedangkan Nail, mendengar ucapan
Sedangkan Nail yang mendengar tawa pelan, seketika berhenti melangkah. "Ada yang lucu?!" "Ekhm." Edward, Alvin dan Aiden seketika berdehem, berusaha menetralkan tawa yang masih terus menggerogoti mereka. Sial! Keadaan selucu ini akan tetapi mereka harus menahan diri karena suara dan tampang Nail yang dingin. "Jangan ada yang tertawa!" Nail memperingati, melanjutkan langkah menuju ruangan lain di sana–sebuah kamar yang dikhususkan untuk beristirahat apabila Nail lembur atau padat pekerjaan. "Padahal kau mendapat pahala jika membiarkan kami tertawa. Apalagi aku ayah mertuamu," celetuk Edward pelan, menggaruk tengkuk sembari menghampiri cucunya. Dis menggendong Sagara dan memindahkannya ke kamar yang sama dengan Agatha. Nail tak menanggapi ucapan Edward. Dia tetap memasang wajah cool, bersikap dingin dan lempeng. "Nail seperti punya dua anak," ucap Aiden pelan dan geli pada Alvin, mendapat kekehan dari Alvin. ***Agatha terbangun dan mendapati dirinya dalam sebuah kamar. Putranya–
"Akhirnya … pulang juga," ucap Agatha yang saat ini sudah di rumah–lebih tepatnya di green house miliknya, pemberian Nail. Dia tersenyum lebar, berkeliling taman bunga sembari mengamati bunga-bunga kuning cantik. Bunga tersebut terasa indah karena senja. Agatha di sana ditemani oleh penjaga, sedangkan Nail lebih dulu ke kamar. Sagara sendiri, anak itu juga kembali ke kamarnya untuk mandi. "Ah, aku punya ide untuk lukisan yang akan dipamerkan saat festival akbar nanti. Kebetulan Festival seni kali ini temanya Bangsa Fairy," celetuk Agatha pelan, tersenyum senang karena menemukan ide untuk lukisannya saat melihat bunga krokot miliknya. Agatha mendekati bunga krokot tesebut lalu memetik batang yang merambat. Dia mengambil beberapa batang lalu ia rangkai membentuk mahkota. Saat melakukan itu, Agatha tak hentinya tersenyum–entah kenapa membayangkan dirinya dan Nail punya anak perempuan kemudian memasangkan mahkota dari bunga krokot tersebut pada putrinya. Tiba-tiba saja setangkai bung
Kau-- menangis, Darling?" Agatha mengerjap beberapa kali kemudian dengan cepat menggelengkan kepala. "Tidak," jawabnya cepat dan terkesan gugup, "siapa yang menangis? Enggmm … itu-- mataku kering dan panas. Kalau dipejamkan akan berair. Aduh …," lanjut Agatha berbohong, tiba-tiba pura-pura sakit mata dengan mengedip-edipkan mata beberapa kali. 'Ck, bagaimana bisa dia tahu aku menangis? Padahal air matanya sudah kuhudap. Mon Treros … gabungan antara teliti dan cenayang.' batin Agatha, tersenyum kaku untuk meyakinkan Nail. Nail duduk di sebelah istrinya, mencondongkan tubuh ke arah Agatha. Nail memperhatikan mata Agatha, terlihat merah dan berair. Akan tetapi itu bukan karena sakit mata, melainkan menangis. Nail melayangkan tatapan tajam, membuat Agatha yang kikuk dan gugup seketika menampilkan cengiran. Agatha mundur dan meringsut ke kepala ranjang, terlalu takut oleh mata elang suaminya yang menghunus ke arahnya. Hingga tiba-tiba saja …-Sret' Nail dengan cepat mengambil handph
"Lalu kenapa kau kabur dan tak ingin kembali pada mereka?"Agatha mendongak, memperhatikan suaminya dengan lekat dan intens. Pria ini sangat mencintainya, Agatha harus percaya dan harus terbuka pada Nail. "Sewaktu kecil, Ayah dan Mama-- maksudku Kakek dan Nenek sangat memanjakanku. Mereka selalu menunjukan kasih sayang dengan kelembutan. Hingga ketika aku high school, aku mengatakan keinginanku untuk menjadi seorang pelukis. Ayah tiba-tiba marah dan begitu juga Mama. Setelah itu-- mereka sangat berubah. Tidak ada lagi kelemah lembutan dan hampir setiap hari aku dimarahi. Dulu, ketika nilaiku turun, Ayah tak pernah marah. Tetapi setelah itu, sedikit saja nilaiku turun, Ayah akan memukulku. Kupikir itu wajar karena aku sudah mulai beranjak dewasa dan mungkin Ayah mulai khawatir pada masa depanku. Tetapi … bahkan setelah aku mendapat nilai tertinggi dan lulus dengan peringkat pertama, Ayah tetapi tidak mengizinkanku menjadi pelukis. Kami bertengkar dan aku memilih keluar dari rumah. Ku
"A-Agatha sayang, apa dia … pu-putramu dan Tuan Nail?" tanya Wulan gugup, akan tetapi menatap berseri-seri pada Sagara. Agatha menganggukkan kepala, tersenyum canggung pada neneknya. Waktu itu, Agatha sudah pernah mengatakan kalau dia telah memiliki anak dengan Nail. Akan tetapi nenek dan kakeknya tidak mempercayai ucapan Agatha. Setelah di ruang tamu, keadaan berubah kaku. Semua orang diam, termasuk Agatha yang tak tahu harus mengatakan apa. Nail sendiri, diam karena sedang mengamati istrinya yang saat ini terlihat kalem dan anggun. Agatha tak pecicilan seperti biasanya, Agatha juga tak banyka bicara. Sejak tadi, istrinya hanya tersenyum lembut–bak seorang putri kerajaan dengan keeleganannya. Sungguh ini istrinya? Si pengoceh yang tak bisa diam walau hanya lima detik saja? "Jika tak ada yang kalian ingin katakan, kami pulang," ancam Edward tiba-tiba, menatap datar pada orang tuanya. Wulan menatap penuh kerinduan pada putranya, menahan diri untuk tak menangis dan tak memeluk
Agatha dan yang lainnya telah pulang dari rumah kediaman Karang. Dia cukup bete karena neneknya terus membicarakan Seline pada Agatha, dan Agatha tahu apa tujuan neneknya melakukan itu. Supaya Agatha setuju apabila papanya menikah dengan perempuan itu. "Aku tidak akan ke sana lagi," gumam Agatha pelan, berkata cukup kesal. Dia sedang di ruang keluarga, tengah bersantai. Setelah pulang dari kediaman Karang, Agatha berdiam diri di rumah. Sedangkan Nail dan Sagara pergi entah kemana. Ting'Tiba-tiba saja HP Agatha berbunyi, dia meraih handphone kemudian membukanya. Sebuah pesan masuk. [Halo, Agatha sayang. Perkenalkan, Tante Soraya Lora.]"Ck." Agatha berdecak malas, segera memblokir nomor tersebut. Neneknya kentara sekali ingin menjodohkan papanya dengan sora. Agatha tidak akan membiarkan. Apa akhirnya Agatha tertidur di sofa, terlalu memikirkan masalah neneknya. ***"Eungh …." Agatha mengerjap beberapa kali, terbangun dan dia sudah di kamar. Dia menoleh ke sekitar, mencari keber
"Pulanglah lebih dulu, Nak," ucap Zahra, tersenyum lembut dan hangat pada Nail. Tatapannya begitu sendu, berkaca-kaca karena merasa kasihan pada putranya. Tiga tahun! Ternyata selama itu Nail tak pernah pulang, Nail selalu berada di sini–demi menjaga orangtuanya. Zahra baru tahu ini karena Aiden memberitahunya. Sedangkan Aiden, dia beberapa kali menyuruh Nail kembali ke negara mereka untuk mengunjungi Agatha, akan tetapi Nail menolak karena beberapa alasan. Sekarang Zahra sudah mulai membaik, oleh sebab itu Aiden berani mengatakan hal tersebut pada mama mereka. "Mama dan Papa juga akan pulang secepatnya," lanjut Zahra, meraih tangan Nail lalu menggenggamnya erat. "Pulang, Nak. Temui istri dan anak-anakmu."Nail tersenyum kecut, menggelengkan kepala dengan pelan. "Agatha tidak membiarkanku pulang jika tak membawa Mama dan Papa. Jadi cepatklah sembuh, Mah," ujar Nail lembut, menatap wajah teduh mamanya dengan manik sendu. Mamanya duduk di kursi roda, pada kening mamanya ada sebuah b
"Ya, aku bersedia." Agatha menjawab cepat, tiba-tiba saja dia membuka sandal yang ia gunakan kemudian mengangkatnya tinggi. "Bersedia memukul kepalamu dengan ini," ucapnya, kemudian mengayunkan tangan yang memegang sandal tersebut. Bug' Jidan awalnya mengira Agatha hanya mengancam. Ternyata Agatha benar-benar memukulnya dengan sandal tersebut. Jidan melebarkan mata, menatap tak percaya saat sandal tersenyum secara kasar menyapa kepalanya. "Masih tak ingin pergi yah? Oke!" Agatha melepas sandal satu lagi, mengunakan kedua sandal untuk memukul Jidan. Pria itu membelalak lebar, menghindari pukulan Agatha lalu buru-buru pergi dari sana. "Sialan kamu!" jerit Agatha kesal setengah mati pada Jidan. Jidan nyengir ketika akan masuk dalam mobil, mengedipkan mata secara genit ke arah Agatha. "Aku yakin sebentar lagi kamu akan jatuh cinta padaku, Agatha. Aku sangat tampan dan soft." Bug' Agatha yang kesal luar biasa, kembali meraih sandalnya lalu melemparnya pada Jidan. Pria terk
"Aku sangat merindukanmu, Tata. Kapan aku boleh pulang, Humm?" ucap Nail dari seberang sana. Sejujurnya mata pria yang katanya sangat kejam tersebut terlihat memerah dan digenangi bulir kristal, akan tetapi karena dia dan Agatha berbicara lewat ponsel, Agatha tak kentara jelas melihatnya. Nail sangat merindukan Agatha. Dia tidak bohong! "Jika Mama dan Papa sudah sembuh, barulah Mon Tresor kembali." Agatha menjawab dengan nada lembut, tak menghilangkan keceriaan di wajahnya. Namun kenyataannya, Agatha rasanya ingin menbagis. Matanya sudah panas dan berair, ingin menangis karena menahan gejolak rindu yang melanda. Percayalah! Ini tidak mudah, akan tetapi mereka harus bertahan. "Keadaan Mama sudah jauh lebih baik," ucap Nail tiba-tiba, tersenyum tipis di bibir, "sebentar lagi kita akan bertemu," lanjutnya. Agatha melebarkan senyuman. "Aaaa … aku tidak sabar. Semangat semangat semangat! Mon Tresor harus semangat merawat Mama dan Papa. Oh iya, bagaimana dengan kondisi Papa?" "Papa su
Tiga tahun kemudian. "Ini adalah hari kematian Kakek, tahun ketiga yang menyedihkan untuk kita semua." Agatha menoleh pada Syakila, tersenyum tipis pada sahabatnya tersebut untuk menyalurkan kekuatan dan cinta. Benar sekali! Ini adalah hari kematian kakek Lucas, tahun ketiga mereka kehilangan semuanya. Tiga bulan setelah Agatha melahirkan, Nail bepergian ke luar negeri. Di sisi lain, Zein, Zahra, Alana dan Raka, juga pergi ke sebuah negara untuk menghadiri acara penting. Nail pergi ke negara berbeda dari orangtuanya, dan dia ke sana untuk kepentingan bisnis. Nail di sana selama sebulan, dan berencana pulang setelah urusannya telah selesai. Namun, niatnya untuk pulang tertunda karena orangtuanya dan kakeknya kecelakaan saat akan kembali ke negara ini. Bukan hanya sekedar kecelakaan, akan tetapi ada campur tangan seseorang yang membenci keluarga Melviano. Tak lain adalah orangtua Soraya, mereka balas dendam karena menghancurkan kehidupan Soraya. Vidio buruk Soraya dengan beberapa p
"Kau sangat cantik." Deg' Agatha mendongak seketika, menatap gugup pada Nail. Pipinya memerah karena mendengar pujian dari suaminya, dan bibirnya menahan untuk tak tersenyum. Namun, ketika melihat raut muka Nail yang lempeng, Agatha memilih kembali menunduk–memanyunkan bibir sembari meremas bagian gaun di atas pangkuannya. Agatha sepertinya hanya salah mendengar. Nail tak lagi memuji dirinya, Agatha hanya salah pendengaran. Mungkin saking inginnya mendapat pujian dari suaminya. Tiba-tiba saja tangan Nail terulur, menyentuh dagu Agatha secara lembut. Dia menaikkan dagu istrinya, membuat Agatha reflek mendongak–menatap tepat ke arah Nail. "Kau sangat cantik, Tata," ucap Nail lembut, menatap berat ke arah Agatha. Sempurna! Wanita ini terlihat begitu cantik di malam hari ini, gaun biru ini sangat indah setelah berada di tubuh Agatha. Kulit Agatha bersinar terang apabila dibawah cahaya, efek dari sparkling yang menempel pada gaun. Istrinya bak Dewi bulan, cantik dan indah! "Kau
"Daddy jika ingin tersenyum, tersenyum saja. Tak ada yang melarang," ucap Sagara dengan nada yang terkesan ketus, mendongak pada daddynya yang duduk bersebelahan dengannya. Sagara tentu iri! Bagaimana bisa monster cap kuku Setan ini bisa sangat menginspirasi mommynya? Kenapa bukan Sagara yang jelas-jelas baik hati, anak yang rajin dan suka membantu orang tua? "Humm." Nail berdehem datar, menatap putranya dengan tatapan lempeng. Namun, setelah itu dia berdecis geli, terkekeh pelan setelahnya sembari mengacak surai di pucuk kepala putranya. "Cih, mommy sangat menggemaskan," ucap Nail, benar-benar salah tingkah. Damage-nya begitu dahsyat, hingga rasanya Nail terus-terusan ingin tersenyum. Sagara menatap berang pada sang daddy, cukup kesal karena rambutnya terus diacak oleh daddynya. Sedangkan Nail, saat papa, paman dan kakeknya menoleh ke arahnya, seketika itu juga dia memasang wajah lempeng–pura-pura tidak merasakan apapun setelah mendapat pujian dari Agatha. Lalu setelah para pria
"Yah, benar sekali. Lukisanku telah dirusak oleh seseorang." Agatha menoleh sinis pada Laila, "sejujurnya aku sempat down karena lukisanku rusak. Bukan masalah tak punya ide, tetapi mengerjakan lukisan itu memakan banyak waktu. Aku senang saat melukis, tetapi tak bisa dipungkiri melukis sangat melelahkan. Setiap kali selesai melukis, pasti aku akan menjadi nenek-nenek. Pinggang sakit, punggung pegal, leher terasa akan patah, kaki kesemutan. Yah, seperti nenek-nenek. Dan … dengan seenaknya seseorang merusak lukisanku. Siapa yang tak marah?" Lagi-lagi para tamu tersenyum mendengar ucapan Agatha. Ah, mereka sangat suka mendengar coleteh perempuan menggemaskan ini. Sangat lucu! "Tapi tenang! Sejatinya kemampuan pelukis itu bukan pada hasil, akan tetapi pada proses dan ide. Itu yang Mama dan Papa katakan padaku." Agatha berucap dengan ceria, dia lalu menoleh pada mamanya kemudian membungkuk hormat, "Mama, Agatha berterimakasih padamu. Lagi-lagi Mama menginspirasiku dan aku semakin meng
"Itu mirip seperti lukisan Agatha." Orang-orang mulai berbisik karena mendengar ucapan salah satu pelukis tersebut. Sedangkan Laila, dia panik dan terlihat gugup. "Jangan asal menuduh. Ini lukisan yang kubuat, hasil pemikiran ku sendiri." Laila memekik, berucap dengan suara kuat supaya orang-orang percaya padanya. Almira maju ke depan, Laila seketika mendekat karena mengira Almira akan menolongnya. Laila bisa masuk ke tempat ini berkat bantuan Almira, dia yakin sekali Almira akan membantunya. Karena jika tidak nama galeri milik Almira, bahkan nama Almira sendiri bisa rusak. "Ya, benar. Lukisan ini memang mirip dengan lukisan Agatha–putriku," ucap Almira lantang, mengejutkan orang-orang karena tak menyangka jika Almira adalah ibu dari Agatha. "Ti-tidak. Aku tidak mungkin plagiat. Aga-- Nyonya Almira membela Agatha karena dia putri anda. Iya kan?" Laila bersikeras tak mengakui perbuatannya. Almira menoleh pada Laila, tersenyum tipis namun penuh isyarat. Almira memberi i
Agatha dengan ragu mengatakan langsung alasan kenapa dia marah pada suaminya. "Aku sangat ingin mangga muda dan aku memintanya pada Mon-- Kuku Setan ini!" Agatha menyolot di akrih kalimat, melotot galak pada suaminya kemudian memukul paha Nail kembali. Mendengar sebutan Agatha pada Nail, orang-orang di sana menahan tawa. Sedangkan Agatha lanjut berbicara, "dia bilang, dia akan mencari mangga muda untukku. Tetapi-- Kuku Setan ini bukan memberiku mangga muda, Kuku Setan ini memberiku jelly berbentuk mangga." "Yang penting mangga," jawab Nail tanpa dosa. Bug' Agatha kembali memukul lengan Nail, dengan sekuat tenaga sehingga suara pukulan terdengar. "Kamu mempermainkanku. Dasar Kuku Setan! Aku benciii! Agrkkk--" Agatha menjerit tertahan sembari menengada ke atas. Kemudian, dia mengigit lengan Nail sekuat mungkin–melampiaskan rasa kesal yang melandanya. Agatha kehilangan kendali, tak peduli lagi jika saat ini mereka dihadapan keluarga besar Melviano. "Nail." Zahra geleng-geleng k