Agatha terbangun dan langsung menghela napas secara berat. Dia kira kejadian yang menimpanya hari ini hanyalah mimpi, tetapi ternyata dia benar-benar di kamarnya–rumah orang tuanya. "Ck." Agatha berdecak pelan kemudian berjalan menuju kamar mandi. Air matanya kembali jatuh, resah dan kesal pada takdirnya yang membawanya kembali ke rumah ini. Agatha bukan tak ingin mengenal orangtuanya lagi, bukan! Tetapi dia hanya ingin meraih impiannya. Sdikit lagi dia akan berhasil tetapi papanya menemukannya, membawanya ke rumah ini. Setelah selesai mandi, Agatha memasuki walk in closet. Dia terkejut karena pakaiannya dalam lemari banyak yang baru. Koleksi tas, perhiasan, sepatu bahkan jepitan rambut, semua bertambah. Agatha buru-buru mengenakan pakaian, dia tak langsung pergi karena dia memperhatikan jepitan dalam rak khusus. Srett' Tiba-tiba pintu walk in closet terbuka, memperlihatkan mamanya dan dua maid. "Mama selalu membersihkan kamarmu dan selalu menbelimu pakaian baru. Setiap
Ceklek' Agatha buru-buru menyembunyikan foto serta tasnya. Dia langsung berpura-pura menyisir rambut. "Agatha sayang, ada yang ingin bertemu denganmu." Mamanya yang sudah pulang ternyata yang datang. "Siapa, Mah?" Agatha meletakkan sisir kembali ke tempat semula lalu berjalan mendekati mamanya. Agatha cukup berdebar, siapa tahu Nail yang datang untuk menjemputnya. "Jidan, Sayang. Calon suami kamu." "Mah." Agatha langsung memekik protes. "Kenapa? Jidan cocok dengan kamu, Agatha." "Tapi aku sudah katakan pada Papa jika aku memilih kuliah dibandingkan dijodohkan." Agatha setengah frustasi. Agatha kenal pada Jidan, pria itu adalah pria yang pernah dijodohkan dengannya–dulu sebelum dia kabur. Setelah dia kembali, ternyata orangtuanya masih tetap ingin menjodohkannya dengan Jidan. Hell! "Jidan bersedia membiarkanmu melanjutkan pendidikan meski kalian sudah menikah, Nak." Wulan berkata dengan lemah lembut. Agatha menghela napas lalu memijit pelipis. "Mah, sebenarnya Agath
Plak' Tamparan kuat langsung papanya layangkan ke pipi Agatha, membuat Agatha berhenti berbicara dan terdiam seketika. "Almira adalah penjahat!" bentak Hendrik murka, "dan kamu tidak boleh sepertinya." Agatha hanya diam, tertunduk dan sudah menangis dalam diam. "Pernikahanmu dipercepat. Besok kamu menikah secara sederhana dengan Jidan." "Pah." Agatha mendongak tak percaya. "Tolong jangan seperti ini. Aku masih menjadi istri orang dan …-" "DIAM! INI HUKUMAN KARENA KAMU BERANI MENEMUI PENJAGAT ITU!" bentak Hendrik padanya, kemudian setelah itu beranjak dari kamar Agatha. "Haaah." Wulan menghela napas panjang, menarik putrinya dalam dekapannya, "Almira itu pencuri dan penjahat, Sayang. Menurut pada Papa supaya kamu tidak dimarahi lagi. Okey?" Karena tak tahu harus menjawab apa, Agatha hanya menganggukkan kepala. Mamanya pergi dari kamarnya dan Agatha hanya menangis setelahnya. Handphonenya dibawa pergi oleh papanya dan sekarang Agatha tak tahu meminta tolong pada siapapu
"Aaaaa …." Syakila berteriak kencang di sebuah jembatan, untuk meluapkan perasaan kacau yang menyelimuti dirinya. Orangtuanya belum kembali dari luar kota, dan Stella yang berhasil kabur dari pengasingan menemui Lucas untuk diberi pengampunan. Bukan hanya mendapat pengampunan dari kakeknya, perempuan itu juga mendapat restu untuk menikah dengan Aiden. Yang membuat Syakila patah hati besar karena Aiden setuju menikahi Stella. Syakila sangat hancur. Kakaknya–Nail, baru pulang dari luar negeri. Nail juga sedang ada masalah dan Syakila tak berani mengadukan masalahnya pada Nail. "Aku tidak mau pulang!" teriak Syakila sekencang mungkin, "tak ada yang peduli padaku di sana," lanjutnya, menoleh ke bawah–memperhatikan sungai yang mengalir deras. Syakila berada di jembatan, di sini sangat sepi karena itu dia kemari. Dia butuh tempat sepi untuk menenangkan diri. Kakeknya lebih peduli pada orang lain dibandingkan dirinya. Sedangkan Aiden, dia tak tahu kakaknya suka padanya atau tidak. Tetapi
"A-apa?!" Hendrik melebarkan mata karena kaget, reflek menatap putrinya yang masih di pelukan Nail. Itu berarti … Agatha tak berbohong padanya, dan-- dan dia telah melakukan kesalahan yang sangat fatal. "Pah, tolonglah! Lepaskan Agatha dan berhenti mengatur hidupnya," ucap Edward tiba-tiba, nadanya menggeram halus dan tatapan matanya menyala–marah dengan apa yang papanya lakukan. Mendengar itu, Agatha langsung mendongak–menatap tak percaya pada Edward. Pria itu memanggil papanya dengan sebutan papa? 'Ja-jangan-jangan Pak Edward bersaudara denganku. Foto yang kutemukan itu-- Pak Edward saat muda?' batin Agatha, mengamati lekat pada Edward. "Diam kamu, Edward! Tidak ada yang berhak pada hidup Agatha selain Papa. Kamu-- tidak berhak sama sekali!" Hendrik menggeram marah, melayangkan tatapan tajam pada putranya. Dia merindukan Edward dan rasanya sangat ingin memeluk putranya, akan tetapi egonya mengalahkan semuanya. Edward begitu marah mendengar penuturan papanya. Dibandingkan papany
"Ck! Nail Kuku Setan bajingan!" pekik Agatha, setelah itu bangkit lalu melempar bantal ke sembarang arah. Namun, baru beberapa menit duduk, Agatha langsung membaringkan tubuhnya. Hah, kepalanya pusing! Ceklek' Tak lama pintu kamar terbuka, memperlihatkan anak kecil. Agatha hanya melirik sekilas lalu memalingkan wajah. Entah kenapa dia juga kesal pada Sagara. "Mommy." Sagara berjalan cepat menuju mommynya. Dia naik ke atas ranjang kemudian memeluk mommynya. Agatha sama sekali tak merespon apapun, hanya diam dan pura-pura tidur. "Sagara merindukan Mommy," ucap Sagara pelan, cukup sedih karena pelukannya tak dibalas oleh sang mommy. Agatha yang tak tahan pada akhirnya membuka mata, menatap datar ke arah Sagara. "Aku bukan mommymu lagi. Pergi!" "Mommy mengatakan apa?" "Daddymu akan menikah lagi, dan wanita itu akan menjadi mommynya. Pasti kamu senang kan? Oleh sebab itu kamu ikut dengan Daddymu, si Kuku Setan itu ke luar negeri untuk menemui mommy baru kamu. Kalian sengaja pergi t
"Lebih tepatnya kamu menemui calon istrimu.""Kita sudah menikah dan kau di negara ini. Kenapa aku harus menemuimu ke negara lain, Darling?" Nail berucap lembut, kembali menyuapkan jeruk pada istrinya. "Tidak nyambung," gerutu Agatha kesal, mengepalkan tangan karena merasa Nail sengaja memutar-mutar pembicaraan. Apakah Nail berniat menutupi perselingkuhannya? "Sebetulnya kalau memang Pak Nail ingin menikahi perempuan itu, tak apa-apa sih. Tetapi tolong lepaskan aku," lanjut Agatha, kali ini menolak suapan jeruk dari Nail. Dia tiba-tiba mual lagi tetapi Agatha masih bisa menahan. Nail menatap tangannya yang ditepis oleh Agatha. Ucapan Agatha pada akhir kalimat, sejujurnya menampar hatinya. Namun, dia tidak selingkuh dari Agatha dan tak berniat menikah juga. "Aku mencintaimu." Nail berucap lembut. Agatha menggelengkan kepala, menolak mempercayai ucapan Nail. "Aku ke luar negeri murni untuk pekerja. Maaf bila aku tak mengabarimu dan membawa Sagara ikut." Nail meraih toples permen cok
Keduanya ribut! Nail terlihat marah dan Aiden terlihat lesu. "Aku tak bisa membantah kakek, Nail." Aiden berkata lemah, duduk dengan menyender pada sofa yang ada di ruangan Nail. "Hah." Nail menghela napas, memilih tak mengatakan apa-apa ketika melihat istri dan putranya datang ke ruangannya. "Apa yang kalian bawa?" tanya Nail, langsung melunak dan lemah lembut pada Agatha. Tatapan yang tajam dan aura dingin, seketika lenyap. Berganti dengan tampang muka berseri. "Umm … itu--" Agatha berkata gugup, meletakkan kue serta minuman yang ia bawa di meja–depan Nail. "Sagara memintaku membuatkan kue untuk Mon Tresor." Sagara reflek mendongak kaget pada mommynya, ingin protes tetapi sang mommy membekap mulutnya lebih dulu. "Hehehe … Saga bilang Mon Tresor suka sekali dengan kue. Apalagi rasa coklat." Nail menyunggingkan smirk tipis, menaikkan sebelah alis karena merasa geli dengan istrinya. "Seingatku– aku hanya mengonsumsi makanan manis di depanmu, Darling. Hanya kau yang tahu aku s
"Pulanglah lebih dulu, Nak," ucap Zahra, tersenyum lembut dan hangat pada Nail. Tatapannya begitu sendu, berkaca-kaca karena merasa kasihan pada putranya. Tiga tahun! Ternyata selama itu Nail tak pernah pulang, Nail selalu berada di sini–demi menjaga orangtuanya. Zahra baru tahu ini karena Aiden memberitahunya. Sedangkan Aiden, dia beberapa kali menyuruh Nail kembali ke negara mereka untuk mengunjungi Agatha, akan tetapi Nail menolak karena beberapa alasan. Sekarang Zahra sudah mulai membaik, oleh sebab itu Aiden berani mengatakan hal tersebut pada mama mereka. "Mama dan Papa juga akan pulang secepatnya," lanjut Zahra, meraih tangan Nail lalu menggenggamnya erat. "Pulang, Nak. Temui istri dan anak-anakmu."Nail tersenyum kecut, menggelengkan kepala dengan pelan. "Agatha tidak membiarkanku pulang jika tak membawa Mama dan Papa. Jadi cepatklah sembuh, Mah," ujar Nail lembut, menatap wajah teduh mamanya dengan manik sendu. Mamanya duduk di kursi roda, pada kening mamanya ada sebuah b
"Ya, aku bersedia." Agatha menjawab cepat, tiba-tiba saja dia membuka sandal yang ia gunakan kemudian mengangkatnya tinggi. "Bersedia memukul kepalamu dengan ini," ucapnya, kemudian mengayunkan tangan yang memegang sandal tersebut. Bug' Jidan awalnya mengira Agatha hanya mengancam. Ternyata Agatha benar-benar memukulnya dengan sandal tersebut. Jidan melebarkan mata, menatap tak percaya saat sandal tersenyum secara kasar menyapa kepalanya. "Masih tak ingin pergi yah? Oke!" Agatha melepas sandal satu lagi, mengunakan kedua sandal untuk memukul Jidan. Pria itu membelalak lebar, menghindari pukulan Agatha lalu buru-buru pergi dari sana. "Sialan kamu!" jerit Agatha kesal setengah mati pada Jidan. Jidan nyengir ketika akan masuk dalam mobil, mengedipkan mata secara genit ke arah Agatha. "Aku yakin sebentar lagi kamu akan jatuh cinta padaku, Agatha. Aku sangat tampan dan soft." Bug' Agatha yang kesal luar biasa, kembali meraih sandalnya lalu melemparnya pada Jidan. Pria terk
"Aku sangat merindukanmu, Tata. Kapan aku boleh pulang, Humm?" ucap Nail dari seberang sana. Sejujurnya mata pria yang katanya sangat kejam tersebut terlihat memerah dan digenangi bulir kristal, akan tetapi karena dia dan Agatha berbicara lewat ponsel, Agatha tak kentara jelas melihatnya. Nail sangat merindukan Agatha. Dia tidak bohong! "Jika Mama dan Papa sudah sembuh, barulah Mon Tresor kembali." Agatha menjawab dengan nada lembut, tak menghilangkan keceriaan di wajahnya. Namun kenyataannya, Agatha rasanya ingin menbagis. Matanya sudah panas dan berair, ingin menangis karena menahan gejolak rindu yang melanda. Percayalah! Ini tidak mudah, akan tetapi mereka harus bertahan. "Keadaan Mama sudah jauh lebih baik," ucap Nail tiba-tiba, tersenyum tipis di bibir, "sebentar lagi kita akan bertemu," lanjutnya. Agatha melebarkan senyuman. "Aaaa … aku tidak sabar. Semangat semangat semangat! Mon Tresor harus semangat merawat Mama dan Papa. Oh iya, bagaimana dengan kondisi Papa?" "Papa su
Tiga tahun kemudian. "Ini adalah hari kematian Kakek, tahun ketiga yang menyedihkan untuk kita semua." Agatha menoleh pada Syakila, tersenyum tipis pada sahabatnya tersebut untuk menyalurkan kekuatan dan cinta. Benar sekali! Ini adalah hari kematian kakek Lucas, tahun ketiga mereka kehilangan semuanya. Tiga bulan setelah Agatha melahirkan, Nail bepergian ke luar negeri. Di sisi lain, Zein, Zahra, Alana dan Raka, juga pergi ke sebuah negara untuk menghadiri acara penting. Nail pergi ke negara berbeda dari orangtuanya, dan dia ke sana untuk kepentingan bisnis. Nail di sana selama sebulan, dan berencana pulang setelah urusannya telah selesai. Namun, niatnya untuk pulang tertunda karena orangtuanya dan kakeknya kecelakaan saat akan kembali ke negara ini. Bukan hanya sekedar kecelakaan, akan tetapi ada campur tangan seseorang yang membenci keluarga Melviano. Tak lain adalah orangtua Soraya, mereka balas dendam karena menghancurkan kehidupan Soraya. Vidio buruk Soraya dengan beberapa p
"Kau sangat cantik." Deg' Agatha mendongak seketika, menatap gugup pada Nail. Pipinya memerah karena mendengar pujian dari suaminya, dan bibirnya menahan untuk tak tersenyum. Namun, ketika melihat raut muka Nail yang lempeng, Agatha memilih kembali menunduk–memanyunkan bibir sembari meremas bagian gaun di atas pangkuannya. Agatha sepertinya hanya salah mendengar. Nail tak lagi memuji dirinya, Agatha hanya salah pendengaran. Mungkin saking inginnya mendapat pujian dari suaminya. Tiba-tiba saja tangan Nail terulur, menyentuh dagu Agatha secara lembut. Dia menaikkan dagu istrinya, membuat Agatha reflek mendongak–menatap tepat ke arah Nail. "Kau sangat cantik, Tata," ucap Nail lembut, menatap berat ke arah Agatha. Sempurna! Wanita ini terlihat begitu cantik di malam hari ini, gaun biru ini sangat indah setelah berada di tubuh Agatha. Kulit Agatha bersinar terang apabila dibawah cahaya, efek dari sparkling yang menempel pada gaun. Istrinya bak Dewi bulan, cantik dan indah! "Kau
"Daddy jika ingin tersenyum, tersenyum saja. Tak ada yang melarang," ucap Sagara dengan nada yang terkesan ketus, mendongak pada daddynya yang duduk bersebelahan dengannya. Sagara tentu iri! Bagaimana bisa monster cap kuku Setan ini bisa sangat menginspirasi mommynya? Kenapa bukan Sagara yang jelas-jelas baik hati, anak yang rajin dan suka membantu orang tua? "Humm." Nail berdehem datar, menatap putranya dengan tatapan lempeng. Namun, setelah itu dia berdecis geli, terkekeh pelan setelahnya sembari mengacak surai di pucuk kepala putranya. "Cih, mommy sangat menggemaskan," ucap Nail, benar-benar salah tingkah. Damage-nya begitu dahsyat, hingga rasanya Nail terus-terusan ingin tersenyum. Sagara menatap berang pada sang daddy, cukup kesal karena rambutnya terus diacak oleh daddynya. Sedangkan Nail, saat papa, paman dan kakeknya menoleh ke arahnya, seketika itu juga dia memasang wajah lempeng–pura-pura tidak merasakan apapun setelah mendapat pujian dari Agatha. Lalu setelah para pria
"Yah, benar sekali. Lukisanku telah dirusak oleh seseorang." Agatha menoleh sinis pada Laila, "sejujurnya aku sempat down karena lukisanku rusak. Bukan masalah tak punya ide, tetapi mengerjakan lukisan itu memakan banyak waktu. Aku senang saat melukis, tetapi tak bisa dipungkiri melukis sangat melelahkan. Setiap kali selesai melukis, pasti aku akan menjadi nenek-nenek. Pinggang sakit, punggung pegal, leher terasa akan patah, kaki kesemutan. Yah, seperti nenek-nenek. Dan … dengan seenaknya seseorang merusak lukisanku. Siapa yang tak marah?" Lagi-lagi para tamu tersenyum mendengar ucapan Agatha. Ah, mereka sangat suka mendengar coleteh perempuan menggemaskan ini. Sangat lucu! "Tapi tenang! Sejatinya kemampuan pelukis itu bukan pada hasil, akan tetapi pada proses dan ide. Itu yang Mama dan Papa katakan padaku." Agatha berucap dengan ceria, dia lalu menoleh pada mamanya kemudian membungkuk hormat, "Mama, Agatha berterimakasih padamu. Lagi-lagi Mama menginspirasiku dan aku semakin meng
"Itu mirip seperti lukisan Agatha." Orang-orang mulai berbisik karena mendengar ucapan salah satu pelukis tersebut. Sedangkan Laila, dia panik dan terlihat gugup. "Jangan asal menuduh. Ini lukisan yang kubuat, hasil pemikiran ku sendiri." Laila memekik, berucap dengan suara kuat supaya orang-orang percaya padanya. Almira maju ke depan, Laila seketika mendekat karena mengira Almira akan menolongnya. Laila bisa masuk ke tempat ini berkat bantuan Almira, dia yakin sekali Almira akan membantunya. Karena jika tidak nama galeri milik Almira, bahkan nama Almira sendiri bisa rusak. "Ya, benar. Lukisan ini memang mirip dengan lukisan Agatha–putriku," ucap Almira lantang, mengejutkan orang-orang karena tak menyangka jika Almira adalah ibu dari Agatha. "Ti-tidak. Aku tidak mungkin plagiat. Aga-- Nyonya Almira membela Agatha karena dia putri anda. Iya kan?" Laila bersikeras tak mengakui perbuatannya. Almira menoleh pada Laila, tersenyum tipis namun penuh isyarat. Almira memberi i
Agatha dengan ragu mengatakan langsung alasan kenapa dia marah pada suaminya. "Aku sangat ingin mangga muda dan aku memintanya pada Mon-- Kuku Setan ini!" Agatha menyolot di akrih kalimat, melotot galak pada suaminya kemudian memukul paha Nail kembali. Mendengar sebutan Agatha pada Nail, orang-orang di sana menahan tawa. Sedangkan Agatha lanjut berbicara, "dia bilang, dia akan mencari mangga muda untukku. Tetapi-- Kuku Setan ini bukan memberiku mangga muda, Kuku Setan ini memberiku jelly berbentuk mangga." "Yang penting mangga," jawab Nail tanpa dosa. Bug' Agatha kembali memukul lengan Nail, dengan sekuat tenaga sehingga suara pukulan terdengar. "Kamu mempermainkanku. Dasar Kuku Setan! Aku benciii! Agrkkk--" Agatha menjerit tertahan sembari menengada ke atas. Kemudian, dia mengigit lengan Nail sekuat mungkin–melampiaskan rasa kesal yang melandanya. Agatha kehilangan kendali, tak peduli lagi jika saat ini mereka dihadapan keluarga besar Melviano. "Nail." Zahra geleng-geleng k