"Ah, ternyata di sini ramai," ucap seseorang tersebut, membuat Stella spontan menoleh. Stella menoleh karena dia sangat mengenali suara seseorang tersebut. Orang tersebut adalah orang yang …-"Berisik sekali anak ini. Ck." Aiden berdecak pelan, melayangkan tatapan tajam ke arah Kinara–agar anak itu berhenti menangis. Aiden memang tak suka pada Kinara. Menurutnya anak itu sangat manja, cengeng dan luar biasa nakal. Andai Nail tak mempertahankan Stella dalam artian melindungi perempuan itu, mungkin Aiden sendiri yang akan mengusir Stella serta putrinya yang cengeng ini. Menyebalkan! "Kau tidak boleh seperti itu. Kinara hanya anak-anak," bela Nail tiba-tiba, membuat Agatha bingung. Bagaimana tak bingung? Sebelumya Nail membentak Kinara. Akan tetapi ketika Aiden yang mengatai Kinara–padahal dengan nada yang lembut, kenapa Nail menegur? 'Pak Nail seolah tak terima jika Kinara dikatai. Kan … aku jadi overthinking. Jangan-jangan benar jika Kinara adalah anak dari Pak Nail.' batin Agath
"Tapi kau tidak tahu bukan siapa ayah kandung Kinara?" ucap Zein dengan nada datar. Aiden menggelengkan kepala. Dia memang tak tahu siapa ayah kandung Kinara. Dia tak pernah penasaran karena baginya Stella adalah perempuan penghibur, bisa saja Kinara adalah anak dari pria langganan Stella. "Baca ini." Zein menyerahkan sebuah laporan medis pada Aiden, merupakan hasil tes DNA yang sengaja Zein ambil agar bisa ia tunjukkan pada Aiden. Aiden meraih kertas tersebut, membaca sebuah hasil tes di sana. Matanya seketika membelalak saat melihat itu adalah hasil tes DNA dirinya dan Kinara. Hasil tersebut menyatakan jika Kinara adalah anak kandung Aiden. Wajah Aiden seketika muram, menjatuhkan kertas di tangan karena saking tak percaya dan syok. Bagaimana bisa Kinara anaknya? "Pa-Papa, aku tidak pernah bermain-main dengan perempuan. Apalagi Stella," ucap Aiden dengan nada bergetar, dia takut. Dia hanyalah anak angkat di keluarga ini. Aiden sangat tahu diri akan hal itu. "Humm." Zein berde
"Bukan hanya tidak berhak pada Kinara, kau juga akan ku jebloskan dalam penjara!" ucap Aiden tiba-tiba, membuat Stella dan orangtuanya memebalak terkejut. Mereka semakin panik. Lucas juga terlihat sangat kaget, tak percaya dengan apa yang Aiden katakan. Mungkinkan Aidenelakuoan ini untuk melindungi Nail? Supaya Nail tidak menceraikan Agatha, dan Nail juga tak harus menikahi Stella. Yah, Lucas yakin begitu karena Aiden selalu mencintai saudara-saudaranya. Posisinya sebagai kakak membuatnya selalu ingin melindunhi. Namun, Lucas tak akan membiarkan ini. Nail harus menikah dengan Stella karena Stella perempuan yang cocok untuk Nail. Dia berpendidikan dan punya karir yang bagus. Tak seperti Agatha yang masih dalam proses mencari jati diri. Nail menatap Aiden sekilas kemudian memperhatikan papanya. Nail yakin papanya yang telah mengungkap ini pada Aiden. Nail cukup khawatir pada Aiden, akan tetapi melihat papanya tenang, Nail berusaha menghapus kekhawatiran tersebut. "Jangan asal bic
Lengah sedikit saja, perempuan ini bisa-bisa menghilang. "Aiden sudah punya anak dengan Stella, jadi biarkan …-" Ucapan Lucas dipotong oleh Zein. "Tidak akan kubiarkan putraku menikahi wanita licik itu. Dia yang telah menjebak Aiden, dan Aiden tidak harus menikahinya. Mengenai Kinara, seperti yang Aiden katakan, Kinara akan bersama Aiden." "Kali ini Ayah tidak akan kubiarkan terlalu mencampuri urusan putra-putraku lagi. Nail-ku ditinggalkan istri terkasihnya karena ulah Ayah yang keukeuh menjodohkan Nail dengan Stella. Sekarang Aiden jauh dari putrinya sendiri juga karena Ayah yang terus melindungi Stella. Aku tidak mau Ayah, kehidupan putraku rusak karena wanita itu," ucap Zahra, ikut bersuara karena sudah tak tahan. Putra-putra-nya dikorbankan karena keegoisan ayahnya. Zahra memang menyayangi ayahnya, tetapi dia tak akan membuat putranya dalam posisi sulit hanya karena kasih sayangnya pada sang ayah. "Nak, maafkan Ayah …." Lucas berkata dengan nada gemetar, "Ayah tak tahu jik
Mata Agatha membelalak kaget, berakhir panik karena Nail tak berada jauh darinya dan Alka. Nail tengah menggendong Sagara–kedua laki-laki beda zaman itu menatap Agatha dengan muka lempeng dan tatapan yang sama-sama menghunus tajam. Agatha menyengir tak enak entah pada siapa. Dia merasa terancam oleh tatapan suami dan putranya. Entah kenapa keduanya mendadak kompak mengintimidasi Agatha. "Akhirnya kita bertemu kembali, Agatha. Aku sangat senang," ungkap Alka senang, masih berpelukan dengan Agatha. Di sisi lain, Syakila langsung menghampiri keduanya. Dia menarik Alka supaya menjauh dari Agatha. "Paci, ada Kak Nail," bisik Syakila pelan pada Alka, setelah dia menarik sahabat sekaligus paman kecil-nya tersebut. Alka menoleh tak enak pada Nail, menyengir lebar sembari merangkul Agatha. "Aku dan Agatha berteman baik, Kakak. Best friend," lanjutnya sembari cengengesan. Walau Nail adalah keponakannya, tetapi Alka memanggil Nail dengan sebutan 'kakak, begitu juga pada Aiden. Karena kedu
"Daddy kenapa tidur di lantai?" Nail terdiam dan sama sekali tak menjawab, menatap dingin ke arah Agatha yang menendangnya sehingga dia berakhir terjatuh dari ranjang. Agatha buru-buru merapikan pakaian serta penampilan. Setelah itu menatap tak enak dan penuh perasaan bersalah pada Nail. Dia meneguk saliva secara kasar, takut oleh tatapan tajam suaminya. "Da--Daddy sedang pendinginan, Saga. Daddy kegerahan dan marmer kan dingin," jawab Agatha, cengengesan pada putranya tetapi mendadak muram serta tegang saat Nail menatapnya dengan penuh peringatan. "Aneh." Sagara berkomentar pelan, berjalan masuk ke dalam kamar orangtuanya–membawa ransel yang ia jinjing. "Mommy, Sagara punya tugas menggambar dari huruf c. Mommy bisa membantu Sagara?" pinta Sagara, melewati daddynya secara santai kemudian naik ke atas ranjang. Dia duduk di depan sang mommy. "Sangat bisa, Bos Kecil." Agatha menganggukkan kepala secara bersemangat. Dia sangat suka menggambar, tentu dia excited. Sagara tersen
Agatha yang membatu dan menegang kaku, mendongak menatap Nail. Pria ini sepertinya hobi membuat Agatha jantungan. Namun, ada gerangan apa sehingga pria pemarah ini mengucapkan 'i love you' pada Agatha? "Kenapa ke sini? Tunggulah di meja makan," ucap Nail kemudian, mengusap pucuk kepala istrinya secara lembut dan penuh kasih sayang. Agatha berdehem sejenak, menetralkan debaran jantung yang menggila karena kalimat ajaib tadi. Hatinya bergetar dan terasa seperti musim bunga. Benih cinta yang tertanam dalam hati, tumbuh seketika karena kata tersebut. Yah, cintanya masih ada pada Nail. Itu seperti biji yang sedang melakukan dormansi dalam tanah, kapanpun bisa tumbuh setelah mendapat rangsangan. "Aku ingin membuat bekal untuk Sagara. Mu-mungkin untukmu juga," ucap Agatha dengan nada pelan. Pada akhirnya kalimat, itu diluar kendalinya. Entah dorongan dari mana sehingga dia inisiatif punya niat membuat bekal untuk pria ini.Ataukah karena terkena sihir cinta dari Nail? "Humm? Darling, ka
Setelah Nail pergi, Agatha seketika bernapas lega. Demi Tuhan, tadi itu sangat menyeramkan.Agatha segera beranjak dari sana, mengambil tas serta lukisan lalu pergi. Dia ingin menemui Almira. **Agatha sampai di galeri milik Almira. Saat bertemu dengan perempuan cantik dan anggun tersebut, Agatha langsung tersenyum manis. Entah kenapa dia selalu bahagia saat bertemu dengan Almira, hatinya selalu hangat dan bahagia. "Selamat pagi, Kak Almi," sapa Agatha dengan sopan dan lembut. Almira tersenyum tulus, tiba-tiba mengusap pucuk kepala Agatha, hak itu membuat Agatha cukup canggung dan kaget. Namun, dia memilih diam karena tak tahu harus bereaksi seperti apa. "Sudah sarapan, Agatha?" tanya Almira dengan nada pelan dan halus, cara bicaranya yang lembut sangat teduh di telinga dan terasa sopan sekali. Agatha menganggukkan kepala. "Aku sudah sarapan, bagaimana dengan Kakak?" tanya Agatha balik. Lagi-lagi Almira tersenyum, kali ini lebih lebar dari yang sebelumnya. "Sudah juga, Sayang."
"Pulanglah lebih dulu, Nak," ucap Zahra, tersenyum lembut dan hangat pada Nail. Tatapannya begitu sendu, berkaca-kaca karena merasa kasihan pada putranya. Tiga tahun! Ternyata selama itu Nail tak pernah pulang, Nail selalu berada di sini–demi menjaga orangtuanya. Zahra baru tahu ini karena Aiden memberitahunya. Sedangkan Aiden, dia beberapa kali menyuruh Nail kembali ke negara mereka untuk mengunjungi Agatha, akan tetapi Nail menolak karena beberapa alasan. Sekarang Zahra sudah mulai membaik, oleh sebab itu Aiden berani mengatakan hal tersebut pada mama mereka. "Mama dan Papa juga akan pulang secepatnya," lanjut Zahra, meraih tangan Nail lalu menggenggamnya erat. "Pulang, Nak. Temui istri dan anak-anakmu."Nail tersenyum kecut, menggelengkan kepala dengan pelan. "Agatha tidak membiarkanku pulang jika tak membawa Mama dan Papa. Jadi cepatklah sembuh, Mah," ujar Nail lembut, menatap wajah teduh mamanya dengan manik sendu. Mamanya duduk di kursi roda, pada kening mamanya ada sebuah b
"Ya, aku bersedia." Agatha menjawab cepat, tiba-tiba saja dia membuka sandal yang ia gunakan kemudian mengangkatnya tinggi. "Bersedia memukul kepalamu dengan ini," ucapnya, kemudian mengayunkan tangan yang memegang sandal tersebut. Bug' Jidan awalnya mengira Agatha hanya mengancam. Ternyata Agatha benar-benar memukulnya dengan sandal tersebut. Jidan melebarkan mata, menatap tak percaya saat sandal tersenyum secara kasar menyapa kepalanya. "Masih tak ingin pergi yah? Oke!" Agatha melepas sandal satu lagi, mengunakan kedua sandal untuk memukul Jidan. Pria itu membelalak lebar, menghindari pukulan Agatha lalu buru-buru pergi dari sana. "Sialan kamu!" jerit Agatha kesal setengah mati pada Jidan. Jidan nyengir ketika akan masuk dalam mobil, mengedipkan mata secara genit ke arah Agatha. "Aku yakin sebentar lagi kamu akan jatuh cinta padaku, Agatha. Aku sangat tampan dan soft." Bug' Agatha yang kesal luar biasa, kembali meraih sandalnya lalu melemparnya pada Jidan. Pria terk
"Aku sangat merindukanmu, Tata. Kapan aku boleh pulang, Humm?" ucap Nail dari seberang sana. Sejujurnya mata pria yang katanya sangat kejam tersebut terlihat memerah dan digenangi bulir kristal, akan tetapi karena dia dan Agatha berbicara lewat ponsel, Agatha tak kentara jelas melihatnya. Nail sangat merindukan Agatha. Dia tidak bohong! "Jika Mama dan Papa sudah sembuh, barulah Mon Tresor kembali." Agatha menjawab dengan nada lembut, tak menghilangkan keceriaan di wajahnya. Namun kenyataannya, Agatha rasanya ingin menbagis. Matanya sudah panas dan berair, ingin menangis karena menahan gejolak rindu yang melanda. Percayalah! Ini tidak mudah, akan tetapi mereka harus bertahan. "Keadaan Mama sudah jauh lebih baik," ucap Nail tiba-tiba, tersenyum tipis di bibir, "sebentar lagi kita akan bertemu," lanjutnya. Agatha melebarkan senyuman. "Aaaa … aku tidak sabar. Semangat semangat semangat! Mon Tresor harus semangat merawat Mama dan Papa. Oh iya, bagaimana dengan kondisi Papa?" "Papa su
Tiga tahun kemudian. "Ini adalah hari kematian Kakek, tahun ketiga yang menyedihkan untuk kita semua." Agatha menoleh pada Syakila, tersenyum tipis pada sahabatnya tersebut untuk menyalurkan kekuatan dan cinta. Benar sekali! Ini adalah hari kematian kakek Lucas, tahun ketiga mereka kehilangan semuanya. Tiga bulan setelah Agatha melahirkan, Nail bepergian ke luar negeri. Di sisi lain, Zein, Zahra, Alana dan Raka, juga pergi ke sebuah negara untuk menghadiri acara penting. Nail pergi ke negara berbeda dari orangtuanya, dan dia ke sana untuk kepentingan bisnis. Nail di sana selama sebulan, dan berencana pulang setelah urusannya telah selesai. Namun, niatnya untuk pulang tertunda karena orangtuanya dan kakeknya kecelakaan saat akan kembali ke negara ini. Bukan hanya sekedar kecelakaan, akan tetapi ada campur tangan seseorang yang membenci keluarga Melviano. Tak lain adalah orangtua Soraya, mereka balas dendam karena menghancurkan kehidupan Soraya. Vidio buruk Soraya dengan beberapa p
"Kau sangat cantik." Deg' Agatha mendongak seketika, menatap gugup pada Nail. Pipinya memerah karena mendengar pujian dari suaminya, dan bibirnya menahan untuk tak tersenyum. Namun, ketika melihat raut muka Nail yang lempeng, Agatha memilih kembali menunduk–memanyunkan bibir sembari meremas bagian gaun di atas pangkuannya. Agatha sepertinya hanya salah mendengar. Nail tak lagi memuji dirinya, Agatha hanya salah pendengaran. Mungkin saking inginnya mendapat pujian dari suaminya. Tiba-tiba saja tangan Nail terulur, menyentuh dagu Agatha secara lembut. Dia menaikkan dagu istrinya, membuat Agatha reflek mendongak–menatap tepat ke arah Nail. "Kau sangat cantik, Tata," ucap Nail lembut, menatap berat ke arah Agatha. Sempurna! Wanita ini terlihat begitu cantik di malam hari ini, gaun biru ini sangat indah setelah berada di tubuh Agatha. Kulit Agatha bersinar terang apabila dibawah cahaya, efek dari sparkling yang menempel pada gaun. Istrinya bak Dewi bulan, cantik dan indah! "Kau
"Daddy jika ingin tersenyum, tersenyum saja. Tak ada yang melarang," ucap Sagara dengan nada yang terkesan ketus, mendongak pada daddynya yang duduk bersebelahan dengannya. Sagara tentu iri! Bagaimana bisa monster cap kuku Setan ini bisa sangat menginspirasi mommynya? Kenapa bukan Sagara yang jelas-jelas baik hati, anak yang rajin dan suka membantu orang tua? "Humm." Nail berdehem datar, menatap putranya dengan tatapan lempeng. Namun, setelah itu dia berdecis geli, terkekeh pelan setelahnya sembari mengacak surai di pucuk kepala putranya. "Cih, mommy sangat menggemaskan," ucap Nail, benar-benar salah tingkah. Damage-nya begitu dahsyat, hingga rasanya Nail terus-terusan ingin tersenyum. Sagara menatap berang pada sang daddy, cukup kesal karena rambutnya terus diacak oleh daddynya. Sedangkan Nail, saat papa, paman dan kakeknya menoleh ke arahnya, seketika itu juga dia memasang wajah lempeng–pura-pura tidak merasakan apapun setelah mendapat pujian dari Agatha. Lalu setelah para pria
"Yah, benar sekali. Lukisanku telah dirusak oleh seseorang." Agatha menoleh sinis pada Laila, "sejujurnya aku sempat down karena lukisanku rusak. Bukan masalah tak punya ide, tetapi mengerjakan lukisan itu memakan banyak waktu. Aku senang saat melukis, tetapi tak bisa dipungkiri melukis sangat melelahkan. Setiap kali selesai melukis, pasti aku akan menjadi nenek-nenek. Pinggang sakit, punggung pegal, leher terasa akan patah, kaki kesemutan. Yah, seperti nenek-nenek. Dan … dengan seenaknya seseorang merusak lukisanku. Siapa yang tak marah?" Lagi-lagi para tamu tersenyum mendengar ucapan Agatha. Ah, mereka sangat suka mendengar coleteh perempuan menggemaskan ini. Sangat lucu! "Tapi tenang! Sejatinya kemampuan pelukis itu bukan pada hasil, akan tetapi pada proses dan ide. Itu yang Mama dan Papa katakan padaku." Agatha berucap dengan ceria, dia lalu menoleh pada mamanya kemudian membungkuk hormat, "Mama, Agatha berterimakasih padamu. Lagi-lagi Mama menginspirasiku dan aku semakin meng
"Itu mirip seperti lukisan Agatha." Orang-orang mulai berbisik karena mendengar ucapan salah satu pelukis tersebut. Sedangkan Laila, dia panik dan terlihat gugup. "Jangan asal menuduh. Ini lukisan yang kubuat, hasil pemikiran ku sendiri." Laila memekik, berucap dengan suara kuat supaya orang-orang percaya padanya. Almira maju ke depan, Laila seketika mendekat karena mengira Almira akan menolongnya. Laila bisa masuk ke tempat ini berkat bantuan Almira, dia yakin sekali Almira akan membantunya. Karena jika tidak nama galeri milik Almira, bahkan nama Almira sendiri bisa rusak. "Ya, benar. Lukisan ini memang mirip dengan lukisan Agatha–putriku," ucap Almira lantang, mengejutkan orang-orang karena tak menyangka jika Almira adalah ibu dari Agatha. "Ti-tidak. Aku tidak mungkin plagiat. Aga-- Nyonya Almira membela Agatha karena dia putri anda. Iya kan?" Laila bersikeras tak mengakui perbuatannya. Almira menoleh pada Laila, tersenyum tipis namun penuh isyarat. Almira memberi i
Agatha dengan ragu mengatakan langsung alasan kenapa dia marah pada suaminya. "Aku sangat ingin mangga muda dan aku memintanya pada Mon-- Kuku Setan ini!" Agatha menyolot di akrih kalimat, melotot galak pada suaminya kemudian memukul paha Nail kembali. Mendengar sebutan Agatha pada Nail, orang-orang di sana menahan tawa. Sedangkan Agatha lanjut berbicara, "dia bilang, dia akan mencari mangga muda untukku. Tetapi-- Kuku Setan ini bukan memberiku mangga muda, Kuku Setan ini memberiku jelly berbentuk mangga." "Yang penting mangga," jawab Nail tanpa dosa. Bug' Agatha kembali memukul lengan Nail, dengan sekuat tenaga sehingga suara pukulan terdengar. "Kamu mempermainkanku. Dasar Kuku Setan! Aku benciii! Agrkkk--" Agatha menjerit tertahan sembari menengada ke atas. Kemudian, dia mengigit lengan Nail sekuat mungkin–melampiaskan rasa kesal yang melandanya. Agatha kehilangan kendali, tak peduli lagi jika saat ini mereka dihadapan keluarga besar Melviano. "Nail." Zahra geleng-geleng k