"Senyum padaku sekarang juga," titah Nail pada Agatha. Agatha langsung mengibarkan senyuman yang manis, sengaja menurut supaya tak berlama-lama berurusan dengan Nail. "Sudah kan?" ucap Agatha setelahnya, setelah itu melepaskan diri dari Nail kemudian membawa Sagara bersamanya. Nail masih diam di tempat, menatap Agatha dengan sorot mata yang berat tetapi dingin secara bersamaan. Dia tahu Agatha pergi dan bertemu dengan Alka, dia mengawasi perempuan itu. "Kenapa kau sangat dekat dengan Alka, Tata?" gumam Nail entah pada siapa. Setelah itu dia menghela napas lalu segera beranjak dari sana. *** Malamnya Syakila dan Alka datang ke rumah Nail untuk mengantar Kinara. Anak kecil itu terus menangis karena dipisahkan dari mamanya. Kinara tak ingin bersama siapapun. Sedangkan Aiden, dia tak terlalu dekat dengan anak itu. Sehingga saat anak itu menangis, Aiden hanya menonton. Pada akhirnya Alka dan Syakila mengantar Kinara ke rumah Nail. Sejujurnya mereka tak enak karena takut Agath
"Kau dari mana?" Agatha menatap cukup gugup pada Nail. Jika dia jujur, apakah Nail akan marah padanya? Tetapi jika dia berbohong, mungkin saja Nail tahu dia kemana dan pria ini bisa saja berakhir marah. "Aku habis mengantar Kinara ke kamar. Aku kasihan padanya," jawab Agatha, duduk di kursi bar yang lebih dekat dari dapur. Nail membawa masakan yang dia buat lalu meletakkannya di depan Agatha. "Jangan gunakan hatimu untuk anak itu." "Kinara masih kecil, Mon Tresor. Tentunya bersikap padanya harus pakai hati." Agatha berkata pelan, di mana maniknya seketika bersinar terang saat melihat masakan suaminya. Tanpa sadar dia bertepuk tangan pelan, tersenyum lembut lalu secara antusias langsung mencicipi masakan buatan Nail. Melihat tingkah istrinya yang menggemaskan, Nail mengacak rambut di pucuk kepala Agatha. "Kau dengan mudah menggunakan hati pada Kinara, padahal ibunya dan anak itu-- penyebab kau meninggalkanku."Uhuk uhuk uhuk'Agatha seketika terbatuk-batuk mendengarkan ucapan Nai
Apa jangan-jangan tanpa ia sadari, dia sering bertemu dengan Edward–mengingat dialah yang mengantar jemput adiknya. "Ada apa ini?" Almira tiba-tiba datang, langsung tersenyum bahkan mendekati Agatha ketika melihat wanita itu. "Akhirnya kamu datang, Agatha sayang. Kakak sudah sangat menantikanmu," ucap Almira dengan sangat antusias. Almira menarik Agatha dari sana, meninggalkan suaminya yang sudah mendengkus dan Sandi yang terlihat kikuk. Sedangkan Agatha, dia hanya pasrah dibawa oleh Almira. Tentu dia merasa senang, karena Almira adalah idolanya. Dan entah kenapa dia selalu merasa nyaman berdekatan dengan Almira. ***Agatha dan Sandi ke perusahaan WaMi Entertainment untuk urusan sesuatu, mereka akan berkerja sama dalam sebuah proyek. Pameran seni akan diadakan, tetapi kali ini kolaborasi dengan peragaan busana. Ada tiga perusahaan yang terlibat dalam proyek ini, salah satunya WaMi. Yang membuat Agatha terkejut adalah dia bertemu dengan suaminya di sana. Ada Syakila dan Alka juga.
"Tuan Nail dan Tuan muda Sagara pergi keluar Negeri untuk urusan bisnis, Nyonya." "O-oh." Agatha ber oh ria, terdiam dengan raut muka pucat dan tegang. Pantas saja dia menunggu suami dan putranya pulang, keduanya tak kunjung pulang–meski jam sudah menunjukkan setengah sebelas malam. Setelah mendapat saran dari Alka untuk mewarnai kukunya, Agatha langsung mewarnainya. Dia menulis huruf dari nama suaminya di setiap kuku, lalu kuku yang tersisa ia gambar bentuk hati. Dia merias kuku karena menganggap itu istimewa, bagian dari nama suaminya. Sehabis dari menghias kuku, Agatha dengan semangat memasak makan malam. Siapa tahu makan malam bersama akan membuat Nail berhenti mendiaminya. Semua sudah selesai dan Agatha dengan antusias menunggu Nail serta Sagara pulang. Namun ternyata …- keduanya pergi keluar negeri, tak memberitahu Agatha sama sekali. Maid tahu lalu kenapa Agatha tidak? "Aku telpon tak diangkat. Aku salah apa sih?" tanya Agatha, masih duduk di kursi meja makan. Dia ter
Agatha terbangun dan langsung menghela napas secara berat. Dia kira kejadian yang menimpanya hari ini hanyalah mimpi, tetapi ternyata dia benar-benar di kamarnya–rumah orang tuanya. "Ck." Agatha berdecak pelan kemudian berjalan menuju kamar mandi. Air matanya kembali jatuh, resah dan kesal pada takdirnya yang membawanya kembali ke rumah ini. Agatha bukan tak ingin mengenal orangtuanya lagi, bukan! Tetapi dia hanya ingin meraih impiannya. Sdikit lagi dia akan berhasil tetapi papanya menemukannya, membawanya ke rumah ini. Setelah selesai mandi, Agatha memasuki walk in closet. Dia terkejut karena pakaiannya dalam lemari banyak yang baru. Koleksi tas, perhiasan, sepatu bahkan jepitan rambut, semua bertambah. Agatha buru-buru mengenakan pakaian, dia tak langsung pergi karena dia memperhatikan jepitan dalam rak khusus. Srett' Tiba-tiba pintu walk in closet terbuka, memperlihatkan mamanya dan dua maid. "Mama selalu membersihkan kamarmu dan selalu menbelimu pakaian baru. Setiap
Ceklek' Agatha buru-buru menyembunyikan foto serta tasnya. Dia langsung berpura-pura menyisir rambut. "Agatha sayang, ada yang ingin bertemu denganmu." Mamanya yang sudah pulang ternyata yang datang. "Siapa, Mah?" Agatha meletakkan sisir kembali ke tempat semula lalu berjalan mendekati mamanya. Agatha cukup berdebar, siapa tahu Nail yang datang untuk menjemputnya. "Jidan, Sayang. Calon suami kamu." "Mah." Agatha langsung memekik protes. "Kenapa? Jidan cocok dengan kamu, Agatha." "Tapi aku sudah katakan pada Papa jika aku memilih kuliah dibandingkan dijodohkan." Agatha setengah frustasi. Agatha kenal pada Jidan, pria itu adalah pria yang pernah dijodohkan dengannya–dulu sebelum dia kabur. Setelah dia kembali, ternyata orangtuanya masih tetap ingin menjodohkannya dengan Jidan. Hell! "Jidan bersedia membiarkanmu melanjutkan pendidikan meski kalian sudah menikah, Nak." Wulan berkata dengan lemah lembut. Agatha menghela napas lalu memijit pelipis. "Mah, sebenarnya Agath
Plak' Tamparan kuat langsung papanya layangkan ke pipi Agatha, membuat Agatha berhenti berbicara dan terdiam seketika. "Almira adalah penjahat!" bentak Hendrik murka, "dan kamu tidak boleh sepertinya." Agatha hanya diam, tertunduk dan sudah menangis dalam diam. "Pernikahanmu dipercepat. Besok kamu menikah secara sederhana dengan Jidan." "Pah." Agatha mendongak tak percaya. "Tolong jangan seperti ini. Aku masih menjadi istri orang dan …-" "DIAM! INI HUKUMAN KARENA KAMU BERANI MENEMUI PENJAGAT ITU!" bentak Hendrik padanya, kemudian setelah itu beranjak dari kamar Agatha. "Haaah." Wulan menghela napas panjang, menarik putrinya dalam dekapannya, "Almira itu pencuri dan penjahat, Sayang. Menurut pada Papa supaya kamu tidak dimarahi lagi. Okey?" Karena tak tahu harus menjawab apa, Agatha hanya menganggukkan kepala. Mamanya pergi dari kamarnya dan Agatha hanya menangis setelahnya. Handphonenya dibawa pergi oleh papanya dan sekarang Agatha tak tahu meminta tolong pada siapapu
"Aaaaa …." Syakila berteriak kencang di sebuah jembatan, untuk meluapkan perasaan kacau yang menyelimuti dirinya. Orangtuanya belum kembali dari luar kota, dan Stella yang berhasil kabur dari pengasingan menemui Lucas untuk diberi pengampunan. Bukan hanya mendapat pengampunan dari kakeknya, perempuan itu juga mendapat restu untuk menikah dengan Aiden. Yang membuat Syakila patah hati besar karena Aiden setuju menikahi Stella. Syakila sangat hancur. Kakaknya–Nail, baru pulang dari luar negeri. Nail juga sedang ada masalah dan Syakila tak berani mengadukan masalahnya pada Nail. "Aku tidak mau pulang!" teriak Syakila sekencang mungkin, "tak ada yang peduli padaku di sana," lanjutnya, menoleh ke bawah–memperhatikan sungai yang mengalir deras. Syakila berada di jembatan, di sini sangat sepi karena itu dia kemari. Dia butuh tempat sepi untuk menenangkan diri. Kakeknya lebih peduli pada orang lain dibandingkan dirinya. Sedangkan Aiden, dia tak tahu kakaknya suka padanya atau tidak. Tetapi
"Pulanglah lebih dulu, Nak," ucap Zahra, tersenyum lembut dan hangat pada Nail. Tatapannya begitu sendu, berkaca-kaca karena merasa kasihan pada putranya. Tiga tahun! Ternyata selama itu Nail tak pernah pulang, Nail selalu berada di sini–demi menjaga orangtuanya. Zahra baru tahu ini karena Aiden memberitahunya. Sedangkan Aiden, dia beberapa kali menyuruh Nail kembali ke negara mereka untuk mengunjungi Agatha, akan tetapi Nail menolak karena beberapa alasan. Sekarang Zahra sudah mulai membaik, oleh sebab itu Aiden berani mengatakan hal tersebut pada mama mereka. "Mama dan Papa juga akan pulang secepatnya," lanjut Zahra, meraih tangan Nail lalu menggenggamnya erat. "Pulang, Nak. Temui istri dan anak-anakmu."Nail tersenyum kecut, menggelengkan kepala dengan pelan. "Agatha tidak membiarkanku pulang jika tak membawa Mama dan Papa. Jadi cepatklah sembuh, Mah," ujar Nail lembut, menatap wajah teduh mamanya dengan manik sendu. Mamanya duduk di kursi roda, pada kening mamanya ada sebuah b
"Ya, aku bersedia." Agatha menjawab cepat, tiba-tiba saja dia membuka sandal yang ia gunakan kemudian mengangkatnya tinggi. "Bersedia memukul kepalamu dengan ini," ucapnya, kemudian mengayunkan tangan yang memegang sandal tersebut. Bug' Jidan awalnya mengira Agatha hanya mengancam. Ternyata Agatha benar-benar memukulnya dengan sandal tersebut. Jidan melebarkan mata, menatap tak percaya saat sandal tersenyum secara kasar menyapa kepalanya. "Masih tak ingin pergi yah? Oke!" Agatha melepas sandal satu lagi, mengunakan kedua sandal untuk memukul Jidan. Pria itu membelalak lebar, menghindari pukulan Agatha lalu buru-buru pergi dari sana. "Sialan kamu!" jerit Agatha kesal setengah mati pada Jidan. Jidan nyengir ketika akan masuk dalam mobil, mengedipkan mata secara genit ke arah Agatha. "Aku yakin sebentar lagi kamu akan jatuh cinta padaku, Agatha. Aku sangat tampan dan soft." Bug' Agatha yang kesal luar biasa, kembali meraih sandalnya lalu melemparnya pada Jidan. Pria terk
"Aku sangat merindukanmu, Tata. Kapan aku boleh pulang, Humm?" ucap Nail dari seberang sana. Sejujurnya mata pria yang katanya sangat kejam tersebut terlihat memerah dan digenangi bulir kristal, akan tetapi karena dia dan Agatha berbicara lewat ponsel, Agatha tak kentara jelas melihatnya. Nail sangat merindukan Agatha. Dia tidak bohong! "Jika Mama dan Papa sudah sembuh, barulah Mon Tresor kembali." Agatha menjawab dengan nada lembut, tak menghilangkan keceriaan di wajahnya. Namun kenyataannya, Agatha rasanya ingin menbagis. Matanya sudah panas dan berair, ingin menangis karena menahan gejolak rindu yang melanda. Percayalah! Ini tidak mudah, akan tetapi mereka harus bertahan. "Keadaan Mama sudah jauh lebih baik," ucap Nail tiba-tiba, tersenyum tipis di bibir, "sebentar lagi kita akan bertemu," lanjutnya. Agatha melebarkan senyuman. "Aaaa … aku tidak sabar. Semangat semangat semangat! Mon Tresor harus semangat merawat Mama dan Papa. Oh iya, bagaimana dengan kondisi Papa?" "Papa su
Tiga tahun kemudian. "Ini adalah hari kematian Kakek, tahun ketiga yang menyedihkan untuk kita semua." Agatha menoleh pada Syakila, tersenyum tipis pada sahabatnya tersebut untuk menyalurkan kekuatan dan cinta. Benar sekali! Ini adalah hari kematian kakek Lucas, tahun ketiga mereka kehilangan semuanya. Tiga bulan setelah Agatha melahirkan, Nail bepergian ke luar negeri. Di sisi lain, Zein, Zahra, Alana dan Raka, juga pergi ke sebuah negara untuk menghadiri acara penting. Nail pergi ke negara berbeda dari orangtuanya, dan dia ke sana untuk kepentingan bisnis. Nail di sana selama sebulan, dan berencana pulang setelah urusannya telah selesai. Namun, niatnya untuk pulang tertunda karena orangtuanya dan kakeknya kecelakaan saat akan kembali ke negara ini. Bukan hanya sekedar kecelakaan, akan tetapi ada campur tangan seseorang yang membenci keluarga Melviano. Tak lain adalah orangtua Soraya, mereka balas dendam karena menghancurkan kehidupan Soraya. Vidio buruk Soraya dengan beberapa p
"Kau sangat cantik." Deg' Agatha mendongak seketika, menatap gugup pada Nail. Pipinya memerah karena mendengar pujian dari suaminya, dan bibirnya menahan untuk tak tersenyum. Namun, ketika melihat raut muka Nail yang lempeng, Agatha memilih kembali menunduk–memanyunkan bibir sembari meremas bagian gaun di atas pangkuannya. Agatha sepertinya hanya salah mendengar. Nail tak lagi memuji dirinya, Agatha hanya salah pendengaran. Mungkin saking inginnya mendapat pujian dari suaminya. Tiba-tiba saja tangan Nail terulur, menyentuh dagu Agatha secara lembut. Dia menaikkan dagu istrinya, membuat Agatha reflek mendongak–menatap tepat ke arah Nail. "Kau sangat cantik, Tata," ucap Nail lembut, menatap berat ke arah Agatha. Sempurna! Wanita ini terlihat begitu cantik di malam hari ini, gaun biru ini sangat indah setelah berada di tubuh Agatha. Kulit Agatha bersinar terang apabila dibawah cahaya, efek dari sparkling yang menempel pada gaun. Istrinya bak Dewi bulan, cantik dan indah! "Kau
"Daddy jika ingin tersenyum, tersenyum saja. Tak ada yang melarang," ucap Sagara dengan nada yang terkesan ketus, mendongak pada daddynya yang duduk bersebelahan dengannya. Sagara tentu iri! Bagaimana bisa monster cap kuku Setan ini bisa sangat menginspirasi mommynya? Kenapa bukan Sagara yang jelas-jelas baik hati, anak yang rajin dan suka membantu orang tua? "Humm." Nail berdehem datar, menatap putranya dengan tatapan lempeng. Namun, setelah itu dia berdecis geli, terkekeh pelan setelahnya sembari mengacak surai di pucuk kepala putranya. "Cih, mommy sangat menggemaskan," ucap Nail, benar-benar salah tingkah. Damage-nya begitu dahsyat, hingga rasanya Nail terus-terusan ingin tersenyum. Sagara menatap berang pada sang daddy, cukup kesal karena rambutnya terus diacak oleh daddynya. Sedangkan Nail, saat papa, paman dan kakeknya menoleh ke arahnya, seketika itu juga dia memasang wajah lempeng–pura-pura tidak merasakan apapun setelah mendapat pujian dari Agatha. Lalu setelah para pria
"Yah, benar sekali. Lukisanku telah dirusak oleh seseorang." Agatha menoleh sinis pada Laila, "sejujurnya aku sempat down karena lukisanku rusak. Bukan masalah tak punya ide, tetapi mengerjakan lukisan itu memakan banyak waktu. Aku senang saat melukis, tetapi tak bisa dipungkiri melukis sangat melelahkan. Setiap kali selesai melukis, pasti aku akan menjadi nenek-nenek. Pinggang sakit, punggung pegal, leher terasa akan patah, kaki kesemutan. Yah, seperti nenek-nenek. Dan … dengan seenaknya seseorang merusak lukisanku. Siapa yang tak marah?" Lagi-lagi para tamu tersenyum mendengar ucapan Agatha. Ah, mereka sangat suka mendengar coleteh perempuan menggemaskan ini. Sangat lucu! "Tapi tenang! Sejatinya kemampuan pelukis itu bukan pada hasil, akan tetapi pada proses dan ide. Itu yang Mama dan Papa katakan padaku." Agatha berucap dengan ceria, dia lalu menoleh pada mamanya kemudian membungkuk hormat, "Mama, Agatha berterimakasih padamu. Lagi-lagi Mama menginspirasiku dan aku semakin meng
"Itu mirip seperti lukisan Agatha." Orang-orang mulai berbisik karena mendengar ucapan salah satu pelukis tersebut. Sedangkan Laila, dia panik dan terlihat gugup. "Jangan asal menuduh. Ini lukisan yang kubuat, hasil pemikiran ku sendiri." Laila memekik, berucap dengan suara kuat supaya orang-orang percaya padanya. Almira maju ke depan, Laila seketika mendekat karena mengira Almira akan menolongnya. Laila bisa masuk ke tempat ini berkat bantuan Almira, dia yakin sekali Almira akan membantunya. Karena jika tidak nama galeri milik Almira, bahkan nama Almira sendiri bisa rusak. "Ya, benar. Lukisan ini memang mirip dengan lukisan Agatha–putriku," ucap Almira lantang, mengejutkan orang-orang karena tak menyangka jika Almira adalah ibu dari Agatha. "Ti-tidak. Aku tidak mungkin plagiat. Aga-- Nyonya Almira membela Agatha karena dia putri anda. Iya kan?" Laila bersikeras tak mengakui perbuatannya. Almira menoleh pada Laila, tersenyum tipis namun penuh isyarat. Almira memberi i
Agatha dengan ragu mengatakan langsung alasan kenapa dia marah pada suaminya. "Aku sangat ingin mangga muda dan aku memintanya pada Mon-- Kuku Setan ini!" Agatha menyolot di akrih kalimat, melotot galak pada suaminya kemudian memukul paha Nail kembali. Mendengar sebutan Agatha pada Nail, orang-orang di sana menahan tawa. Sedangkan Agatha lanjut berbicara, "dia bilang, dia akan mencari mangga muda untukku. Tetapi-- Kuku Setan ini bukan memberiku mangga muda, Kuku Setan ini memberiku jelly berbentuk mangga." "Yang penting mangga," jawab Nail tanpa dosa. Bug' Agatha kembali memukul lengan Nail, dengan sekuat tenaga sehingga suara pukulan terdengar. "Kamu mempermainkanku. Dasar Kuku Setan! Aku benciii! Agrkkk--" Agatha menjerit tertahan sembari menengada ke atas. Kemudian, dia mengigit lengan Nail sekuat mungkin–melampiaskan rasa kesal yang melandanya. Agatha kehilangan kendali, tak peduli lagi jika saat ini mereka dihadapan keluarga besar Melviano. "Nail." Zahra geleng-geleng k